Beranda / Thriller / Digoda Suami Gaib / Bab 21 - Bab 30

Semua Bab Digoda Suami Gaib: Bab 21 - Bab 30

149 Bab

Bab 21: Dunia Astral

Jin perempuan itu membawaku melayang melewati orang-orang yang membawa keranda. Dan sungguh ganjil, selama aku melewati sekumpulan orang bermuka rata itu, ketika kabut berhasil menyapu mereka, baik suara maupun rombongan orang itu ikut menghilang bersama kabut.Sementara Kinanti, terus membawaku hingga aku diajaknya ke suatu perhutanan. Kupikir, ini adalah hutan yang terletak tak jauh dari lokasi perumahan kami tinggal. Tapi, ada yang aneh dari hutan yang seingatku tampak sebagaimana hutan pada umumnya. Kali ini, yang kulihat lain. Tepat di bibir hutan itu, kulihat ada gapura. Sementara di dalamnya, begitu ramai oleh aktivitas orang.Seperti pasar, pikirku. Dan kupikir, meski ini malam, daerah itu terlihat begitu penuh hiruk pikuk. Aku melihat orang berlalu-lalang. Banyak pula pedagang dan pejalan kaki di dalam sana. Dan yang semakin aneh lagi adalah hutan itu telah berubah menjadi suatu perkotaan! Rupanya seperti kota-kota zaman penjajahan Belanda, seperti Batavia tempo dulu ataupun
Baca selengkapnya

Bab 22: Aku Masih Mencintainya

“Lihat itu. Ya, di atas pohon sana, dekat bangunan mirip hotel-hotel tua peninggalan Belanda, gerombolan perempuan bergaun cantik di balkon itu sedang membicarakanmu sembari cekikikan. Kau tahu mereka siapa?” tanya Kinanti membuatku bingung.“Tidak. Apakah mereka peri juga?” kataku malah bertanya balik, sebab kulihat paras mereka sama menariknya dengan golongan peri yang digambarkan kecantikannya oleh Kinanti.“Bukan,” katanya sembari tersenyum kecil. “Mereka adalah entitas lain. Mereka para kuntilanak.”“Yang benar saja!””“Mereka adalah golongan orang yang paling sering tertawa, bahkan dalam keadaan sedih sekalipun. Sangat tidak manusiawi bagi kalian, dan bagi kami mereka seperti golongan perempuan-perempuan jet set, noni-noni Belanda yang doyang arisan serta bergosip tentang banyak hal. Dan, jangan salah. Sepertihalnya kaum sosialita di dalam kaummu, mereka pun punya sistem hierarki.”“Apa bedanya dengan para peri?”“Peri pada umumnya tidak berwujud. Itu wujud aslinya. Tapi, mereka
Baca selengkapnya

Bab 23: Akhir Perjalanan Gaib

Mulutku mencium tanah basah. Ketika mataku selarut-larut tersadar, kepalaku lantas terasa berat dan saat aku mencoba bangkit lalu berjalan, langkahku payah dan limbung hingga satu batang pohon besar kini menjadi tumpuanku berjalan. Seperti yang kuduga, aku kembali di dunia nyata. Kini, aku berada di hutan sebagaimana yang kukenal selama ini. Bukan kota megah yang mirip kota-kota kanal di Eropa. “Wirda...” gumamku berat. Aku berusaha berjalan lurus, tapi selayaknya orang mabuk, aku kembali terjerembab lagi, lagi, dan lagi. Hingga hampir saja aku tercebur ke sebuah sungai deras. Jika aku tak berusaha sadar, mungkin kepalaku sudah terbentur bahkan pecah di antara bebatuan besar dan tajam, yang tersembunyi oleh aliran deras sungai itu. “Asal kau tahu, Budiman. Semua yang kaulihat barusan bukanlah kebohongan. Bukan pula mimpi,” gumam seorang perempuan membuatku sedikit terkesiap. Aku yang sedang terduduk lemah di bawah pohon besar di tepi sungai itu, melihat Kinanti baru saja menembus
Baca selengkapnya

Bab 24: Alam Nyata

Tak lama setelah melihat Kinanti berbicara sendiri ke arah pepohonan, saat itu juga kepalaku kembali pusing dan pandanganku segera menggelap. Perutku kembali mual, bersama itu pula seluruh tubuhku rasanya remuk. Namun, ketika pandangan gelap itu perlahan-lahan menerang, tiba-tiba saja aku merasakan keganjilan semakin nyata. Aku sudah berada di ruang tamu rumah, dan kulihat rumahku sudah dipenuhi banyak orang, terutama anggota keluarga. “Budi! Budi! Budi sudah sadar!” Aku kenal suara itu. Itu seperti suara Lukas. Kawan lamaku, yang memang sudah cukup dekat dengan keluargaku. “Ya Tuhan, Budi! Budi! Sadarlah... kenapa kalian ini... kenapa tiba-tiba pingsan bersamaan begini!” ujar ibuku, Roslina. “Ma,” kataku lemah. “Minumlah dulu. Lihatlah kau begitu pucat.” “Budi... sudah hampir dua hari kau pingsan, dan sungguh tak ada yang bisa memindahkan tubuhmu dari sofa ruang tamu sini. Saat paman meminta Lukas dan Jarwo untuk mengangkatmu ke ranjang kamar, tubuhmu terasa berat sekali. Bahk
Baca selengkapnya

Bab 25: Kenormalan yang Ganjil

Saat itu juga, pamanku lantas membantuku berjalan ke arah kamar. Kurasakan tubuhku memang berat dan lemas sekali, seolah tulang-tulangku rentan lepas dari tempatnya. “Seharusnya kau tidak perlu memaksa dirimu, Bud,” kata Adrian. Aku hanya menggeleng sembari menampilkan senyum kecut. Dalam langkah yang berat dan lemah itu, akhirnya aku tiba juga di bibir pintu kamar kami. Aku melihat wajah Wirda yang cerah itu tampak sudah bisa bercengkerama dengan adikku, Kenanga, yang datang langsung bersama ibu dan pamanku, setelah Jarwo dan Lukas pastinya menghubungi mereka. “Mas Budi!..” kata Wirda lantas buru-buru turun dari ranjangnya, begitu juga adikku yang langsung menatapku dengan cemas. “Mas...” kata Kenanga lantas membawaku ke ranjang bersama pamanku. “Akhirnya, Mas bangun. Kemarin kawan-kawan Mas sama sekali tidak bisa mengangkat tubuh Mas,” kata Kenanga. Wirda pun tampak membantu mereka. Setelah aku berada di ranjang, bayangan melihat Wirda sedang disetubuhi mahluk berbulu dan berm
Baca selengkapnya

Bab 26: Wirda dan Kebiasaan Barunya

Setelah keluargaku kembali pulang tiga hari lalu, kami kembali melalui hari-hari kami seperti semula. Dingin, tanpa banyak bicara, dan perlahan, hari-demi-hari, kulihat kembali Wirda mulai bertingkah aneh, seperti ia sering menonton televisi hingga larut malam dalam keadaan lampu padam, (padahal sebelumnya Wirda sangat anti bila nonton TV, lampunya dipadamkan, bahkan saat tidur pun. Sebelum Wirda tidur lelap, aku biasanya dilarang mematikan lampu lebih dulu). “Kamu nggak tidur.” “Kamu istirahatlah, Mas. Mulai besok kamu sudah mulai kerja, kan?” “Ya...” sebentar aku melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir setengah dua belas malam. “Ini sudah larut, sayang. Ayo tidur.” “Sebentar. Aku masih mau menonton. Ini sedang seru.” “Kamu nonton apa?” “Dunia dalam berita” Wirda tampak tersenyum aneh sekali, membuat bulu kudukku agak merinding. Apa pula senyuman itu, pikirku. “Ayolah. Ini sudah larut... bukankah besok kamu mau ke rumah sakit?” “Tidak! Aku tidak mau ke rumah sakit lagi! Ap
Baca selengkapnya

Bab 27: Jin Kinanti Terus Menggoda

Namun, saat aku kembali memfokuskan lagi telingaku, sudah tidak kudengar lagi suara itu. Seolah itu semua hanyalah reaksi dari stres yang bertumpuk. “Kupikir, aku sudah gila...” Maka dari itu pula, selama beberapa hari ini, aku tidak bisa fokus kerja di kantor. Saat aku mesti melakukan pembukuan bank, aku hampir saja terlelap di atas mejaku. Kalau saja bukan karena Sekarsari, salah satu rekan kantorku itu membangunkanku, mungkin aku sudah kena marah bosku. “Kenapa? Kuperhatikan sudah hampir tiga hari ini kau terus mengantuk di jam kerja. Dan sudah beberapa minggu terakhir, wajahmu pucat dan ditekuk seperti itu. Apa kau tahu, semua orang di kantor sempat membicarakanmu di saat jam makan siang?” kata Sekarsari, yang meja kerjanya berada di sampingku. Aku hanya terkekeh kecut. “Maaf, bukannya aku ikut campur dalam masalah rumah tanggamu, tapi keadaanmu benar-benar kentara sekali, Bud,” kata Sekar. “Ya, maaf, bila keadaanku telah membuat kalian cemas.” “Tapi, kau sudah sehat
Baca selengkapnya

Bab 28: Kejahilan Kinanti

Perempuan gaib itu kembali melambaikan tangannya. Dan entah kenapa aku merasa kesal sekali dengan penampakannya. Kupikir, semua itu hanyalah mimpi. Tapi, ia tetap bersikukuh hadir, seolah meyakiniku bahwa sosoknya bukanlah sekadar bunga tidur. Bukan juga sekadar khayal. Aku langsung masuk mobil, berniat untuk mengusirnya dari mobil. “Kau hanyalah ilusi! Kau hanyalah delusiku! Bukan nyata!” pekikku, teriak-teriak dalam mobil. “Aku nyata. Dan kini hanya dirimu seorang yang bisa melihatku. Tidak Wirda, tidak siapapun, kecuali mereka memiliki anugerah tertentu. Alasan Wirda tidak bisa melihat dan merasakan kehadiranku, karena kedua mata batinnya hanya dipaksa untuk melihat kehadiran genderuwo itu.” “Hentikan! Kau tidak nyata! Kembali ke alammu! Kembali ke mimpimu!” “Mimpimu, bukan mimpiku.” “Ya! Peduli setan! Kembalilah! Jangan ganggu aku! Jangan ganggu keluargaku!” “Bukan aku yang mengganggu, tapi genderuwo itu.” “Tidak ada bedanya kau atau lelaki mengerikan itu!” Saat itulah, a
Baca selengkapnya

Bab 29: Terimalah Aku

Ketika mobil telah kuparkir di pekarangan rumah, aku mematikan mobil dan kulihat ke spion, Kinanti masih tersenyum penuh misteri padaku. “Hentikan, Kinanti... jangan menatapku seperti itu. Aku... aku tidak suka.” “Kau jelas takut.” “Tidak.” “Percayalah, Budiman. Aku tidak akan mengganggumu. Itupun kalau kau berhasil membuat Wirda kembali seperti dirinya lagi. Asal kau tahu, istrimu sudah dipegang sepenuhnya oleh raja iblis itu. Raja genderuwo. Kau tidak bisa berbuat apa-apa.” “Kinanti... aku tidak tahu mengapa hidupku jadi seperti ini. Aku sama sekali tidak memercayai ini sebelumnya. Sama sekali! Meskipun keluargaku begitu suka sekali dengan hal-hal yang berbau mistis... hingga kini, tiba-tiba semuanya jadi serba aneh... istriku berubah drastis... dicintai bangsa siluman...” “Genderuwo bukan siluman.” “Bagiku sama saja.” “Tentu beda.” “Jangan sampai aku harus berdebat denganmu setelah aku berdebat dengan manusia.” “Manusia? Siapa?” tanya perempuan itu sembari menyengir. “Te
Baca selengkapnya

Bab 30: Pertanyaan dan Mata Memabukkan

Tanpa sadar, aku terlena oleh Kinanti. Sentuhan bibir kami telah berubah menjadi cumbuan liar, yang membuat Kinanti lantas pindah dari jok belakang ke jok depan. Perempuan gaib itu, sudah tak kupedulikan lagi. Begitu mudahnya aku terpedaya, sebab masalahnya aku tak tahu lagi mana yang nyata dan tidak. Kinanti begitu nyata atau tidak, atau akal sehatku yang sudah rusak. Aku juga tak mengerti. “Mmmmh....” Kinanti terdengar menikmati permainan lidah kami. Saling bertaut, saling membelit, saling mengikat, seolah kami adalah sepasang kekasing. Titel seorang suami yang ada padaku, seolah bisa ia lunturkan begitu saja. “Kinanti, cukup...” “Apanya yang cukup? Kau tidak bisa merasakan betapa burungmu sedang berontak dari balik celana sekarang?” kata Kinanti sembari menunjukkan paras cantiknya yang sayu dan menggoda. Bersama itu pula, ia begitu ahli memainkan jemarinya di atas tubuhku. “Kinanti... cukup... aku harus turun dan melihat Wirda...” “Sebentar saja, Budiman. Sebentar saja...” “
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
15
DMCA.com Protection Status