“Sebab, pria dewasa, manusia, di mata kami, di penciuman kami, kalian lebih harum dan lebih banyak memberikan kami energi kehidupan ketimbang mengawini sesama kami. Memang.... sssshh,” katanya sembari menggigit bibir bawahnya sembari melihat kepunyaanku, “Memang... ini adalah kesalahan. Bagi kaum lelembut, mengawini manusia adalah kesalahan kodrati, tapi sebagaimana manusia yang kerap melakukan penyimpangan dan mereka menganggapnya bagian dari kebebasan dan kesetaraan, kami pun demikian,” kata Kinanti sembari menyunggingkan senyuman. Kepala perempuan itu sudah naik turun di antara selangkanganku. Dan kurasakan, pikiranku melayang bersama rasa nikmat tiada tara. Ini seperti menggunakan LSD, atau asam yang memabukan. Barangkali kalian tahu bahwa menggunakan candu, macam heroin ataupun sabu, membuat pikiran tak menentu. Seolah tubuh dan jiwa melayang berpisah mengarungi taman eden. “Mmmhh... suka?” tanya Kinanti. “Hentikan, Kinanti. Cukup.” “Yakin, hanya ini saja. Kau sama sekali bel
“Wirda! Wirda!” Tak ada suara apapun menjawabku. Hanya angin. Hanya gelap. Aku membuka semua pintu ruangan selepas kunyalakan lampu rumah. Mulai dari kamar utama, kamar tamu, ruang makan, kamar mandi, teras belakang, dapur. Tidak ada. Dan kini adalah pukul setengah delapan malam. Selarut-larut rasa bersalah telah melingkupiku. Aku mulai berpikir, alangkah bodohnya aku bercinta dengan Kinanti, sementara tanpa kutahu Wirda telah menghilang dari rumah. “Dia mungkin di rumah kawannya, jangan berpikiran yang tidak-tidak,” tiba-tiba sosok Kinanti telah muncul lagi. Ia kini sedang bersender di bibir pintu kamar tamu, dan sungguh aku tak melihat dirinya masuk meski pintu ruang tamu masih menganga. “Tidak! Dia tidak memiliki seorang kawanpun di sini,” kataku sembari duduk di sofa ruang tamu, dan kurasakan frustasi perlahan-lahan menyertaiku. “Tidak... seharusnya aku tidak melakukannya denganmu, Kinanti. Ini adalah kesalahan besar! Ini... oh... Wirda!” “Tenanglah, Budi.” “Mana bisa aku te
“Oooh! Yang benar saja!” “Tebakanmu benar, Budiman,” katanya sembari tersenyum dan menatapku tanpa merasa bersalah sekalipun. “Makanlah, Budiman. Ayo, ke ruang makan.” “Tidak! Hentikan, Kinanti jangan membuatku...” “Hiruplah aromanya? Apa kau pikir aku berbohong? Jangan samakan aku dengan kuntilanak yang kerap menggoda manusia di tepi jalan dan menumpang ojek lalu membayar mereka dengan daun. Ini benar-benar steik nyata. Jangan bodoh.” “Mana bisa...” pikiran kacauku tidak bisa membuatku akalku jernih dan memercayai bahwa itu benar-benar makanan manusia. Aku hampir saja merebut piring itu dan melemparnya, tapi melihat kesungguhan di wajahnya, aku urung melakukan tindakan tersebut. “Kau adalah setan!” “Aku bukan setan. Aku jin peri.” “Apa bedanya?! Kalian sama-sama tidak nyata.” “Setan adalah mereka yang memang berniat mencelakakan manusia.” “Lalu, apa yang kau lakukan sekarang? Kau menggodaku? Mengajakku bercinta... dan kini... apa ini bukan tindakan setan? Kalian sama saja!”
Pagi hari yang sunyi, kupikir kehilangan Wirda adalah mimpi belaka, selayaknya aku pergi ke alam gaib. Tapi, nyatanya ketika aku mengecek ke kamar utama lagi, ranjangnya masih rapi dan dingin. Tak ada tubuh istriku tidur di sana. Aku kembali ke kamar tamu, tempat di mana aku tidur sejak semalam. Melamun saja, dan tanpa terasa air mataku meleleh ke pipi. “Tak kusangka, kau begitu rapuh, Budiman,” ujar Kinanti yang sejak semalam memang kurasakan tidur di sampingku. Ya, jin perempuan itu kembali hadir kini, meski sosoknya tidak bisa kulihat. Aku hanya bisa mendengar suaranya pagi ini, dan kulihat seprai di sebelahku begitu berantakan, seolah ada seseorang yang tidur di sana. Dan memang, saat semalam pun, aku merasa satu tangan memelukku dari belakang ketika aku tidur, seolah ada yang mengeloni. “Biar bagaimanapun aku adalah manusia... aku telah gagal menjadi seorang suami... gagal menjadi seorang lelaki... gagal menjadi pelindungnya...” “Tidak pernah ada pernikahan yang sempurna... b
Begitulah, selanjutnya aku menutup telepon dengan murung. Dan selepas aku kembali ke kamar, sungguh tak disangka, seprai sudah rapi. Bantal dan guling sudah diletakkan pada tempatnya. “Terima kasih,” gumamku. Setelah itu, aku pergi kerja. Dan lagi-lagi selama di kantor aku kembali melesu. Sekarsari kembali menyadarkanku di saat aku tertidur dalam rapat pertemuan para manajer dan direksi. Setelah rapat pun, meski aku telah meminum kopi hingga dua gelas sekaligus, rasa kantuk itu tidaklah lenyap. Barulah ketika menjelang pulang kantor tiba, mendadak rasa lelah dan kantuk itu pergi begitu saja. “Aku tidak tahu apa yang terjadi akhir-akhir ini, Sekar. Semuanya seperti mimpi, dan akalku kurasa sudah rusak,” gumamku dalam perjalanan menuju lantai bawah bersama Sekar, yang kini berjalan di belakangku. “Apa maksudmu soal akal yang rusak? Mungkin kau hanya sedang berada di titik jenuh, Bud. Kau butuh penyegaran. Kau mungkin bisa memulainya dengan mengajak istrimu bertamasya ke Solo, atau
Darah menetes di pelipisku ketika aku menyadari masih berada di dalam mobil, sementara batang pohon dari sisi sebuah hutan juga masih berada di atas kap mobilku. Beberapa batang kecilnya berhasil melubangi kaca mobil depanku, membuat kaca retak dan sebagian ranting masuk melalui lubang kaca mobil yang padahal cukup tebal. Aku masih bersyukur, kedua mataku tidak tertembus oleh batang yang meroyak kaca dan masuk secara ganjil ke tempat kemudiku. Saat keluar dari mobil secara susah payah, udara malam lantas membuatku terbatuk-batuk. Terlebih, ketika aku berusaha mengangkat batang seorang diri. “Urrrrrghhhhh!” Satu kali coba gagal. Batang malah menjatuh lagi ke kap mobil dan membuat penyok semakin dalam. “Urrghhhhh!” Aku hampir menyerah untuk yang ketiga kalinya. Membuat aku terduduk di jalanan yang hanya terdiri dari batuan kecil serta tanah berlumpur. Malam semakin larut. Entah berapa lama aku pingsan. Aku terduduk di dekat mobilku, bercangkung kaki dan terpekur di tengah hutan
“Ya. Bila seorang manusia yang menggunakan bulu perindu saja bisa membuat seorang gadis jatuh cinta hingga lupa daratan, apalagi genderuwo itu sendiri. Dan kini yang sedang membuat istrimu berubah bahkan bukan genderuwo kelas kroco, melainkan raja.” Sembari memegang batang pohon itu lagi, aku menatap wajah perempuan itu yang entah kenapa agak bersinar malam ini, seolah cahaya bulan terpendar ke parasnya, terutama ke dua bola matanya yang tampak berbinar-binar. “Itu tidak akan membuatku menyerah...” “Terserah olehmu.” Aku melihat Kinanti hanya menggunakan satu tangannya ke batang itu. Dan dalam waktu beberapa detik saja, kurasakan batang besar yang pastinya sangat berat itu tiba-tiba berubah ringan sekali, seolah aku sedang mengangkat gabus saja. Tentu, setelah itu aku bisa membuang batang itu dengan mudah. “Mereka akan datang mencarimu dan istrimu...” “Kau tahu di mana Wirda?” “Meski aku tahu, aku tak akan memberitahumu.” “Kenapa?!” “Karena itu hanya akan membunuhmu... jalan
“Kinanti...” gumaku tanpa sadar. Ketika kedua mataku terbuka, aku sudah berada di rumah sakit. Dan wajah Sekarsari bersama dua kawan kantorku tampak kulihat. “Istirahatlah, Budi. Kedua kawanmu katanya menemukan Wirda di pedalaman hutan,” ujar Sekarsari baru saja mengambil kursi dan duduk di sampingku. “Ya... bersyukurlah kalian masih bisa selamat. Aku tidak tahu masalahnya apa, tapi ini .... benar-benar aneh... kuharap kalian bisa lepas dari hal mengerikan ini, Budiman. Mungkin aku bisa mengenalkanmu beberapa orang pintar untuk membersihkan rumahmu atau keadaan kalian,” kata bosku di kantor Pak Arif Hermawan. “Terima kasih, Pak.” “Kau tak perlu memikirkan pekerjaan. Aku ingin kau pulih seratus persen dulu baru kembali lagi nanti ke kantor, oke?” “Oke,” kataku sembari terkekeh. Begitu juga Sekar. Sebentar, lelaki bertubuh gempal dengan ciri khas kacamatanya yang selalu mendoyong ke bawah itu lantas beringsut dari kamar rawat kami. Ya, Wirda pun ada di kamar yang sama. Hanya tirai
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant
Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K