Setelah keluargaku kembali pulang tiga hari lalu, kami kembali melalui hari-hari kami seperti semula. Dingin, tanpa banyak bicara, dan perlahan, hari-demi-hari, kulihat kembali Wirda mulai bertingkah aneh, seperti ia sering menonton televisi hingga larut malam dalam keadaan lampu padam, (padahal sebelumnya Wirda sangat anti bila nonton TV, lampunya dipadamkan, bahkan saat tidur pun. Sebelum Wirda tidur lelap, aku biasanya dilarang mematikan lampu lebih dulu). “Kamu nggak tidur.” “Kamu istirahatlah, Mas. Mulai besok kamu sudah mulai kerja, kan?” “Ya...” sebentar aku melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir setengah dua belas malam. “Ini sudah larut, sayang. Ayo tidur.” “Sebentar. Aku masih mau menonton. Ini sedang seru.” “Kamu nonton apa?” “Dunia dalam berita” Wirda tampak tersenyum aneh sekali, membuat bulu kudukku agak merinding. Apa pula senyuman itu, pikirku. “Ayolah. Ini sudah larut... bukankah besok kamu mau ke rumah sakit?” “Tidak! Aku tidak mau ke rumah sakit lagi! Ap
Namun, saat aku kembali memfokuskan lagi telingaku, sudah tidak kudengar lagi suara itu. Seolah itu semua hanyalah reaksi dari stres yang bertumpuk. “Kupikir, aku sudah gila...” Maka dari itu pula, selama beberapa hari ini, aku tidak bisa fokus kerja di kantor. Saat aku mesti melakukan pembukuan bank, aku hampir saja terlelap di atas mejaku. Kalau saja bukan karena Sekarsari, salah satu rekan kantorku itu membangunkanku, mungkin aku sudah kena marah bosku. “Kenapa? Kuperhatikan sudah hampir tiga hari ini kau terus mengantuk di jam kerja. Dan sudah beberapa minggu terakhir, wajahmu pucat dan ditekuk seperti itu. Apa kau tahu, semua orang di kantor sempat membicarakanmu di saat jam makan siang?” kata Sekarsari, yang meja kerjanya berada di sampingku. Aku hanya terkekeh kecut. “Maaf, bukannya aku ikut campur dalam masalah rumah tanggamu, tapi keadaanmu benar-benar kentara sekali, Bud,” kata Sekar. “Ya, maaf, bila keadaanku telah membuat kalian cemas.” “Tapi, kau sudah sehat
Perempuan gaib itu kembali melambaikan tangannya. Dan entah kenapa aku merasa kesal sekali dengan penampakannya. Kupikir, semua itu hanyalah mimpi. Tapi, ia tetap bersikukuh hadir, seolah meyakiniku bahwa sosoknya bukanlah sekadar bunga tidur. Bukan juga sekadar khayal. Aku langsung masuk mobil, berniat untuk mengusirnya dari mobil. “Kau hanyalah ilusi! Kau hanyalah delusiku! Bukan nyata!” pekikku, teriak-teriak dalam mobil. “Aku nyata. Dan kini hanya dirimu seorang yang bisa melihatku. Tidak Wirda, tidak siapapun, kecuali mereka memiliki anugerah tertentu. Alasan Wirda tidak bisa melihat dan merasakan kehadiranku, karena kedua mata batinnya hanya dipaksa untuk melihat kehadiran genderuwo itu.” “Hentikan! Kau tidak nyata! Kembali ke alammu! Kembali ke mimpimu!” “Mimpimu, bukan mimpiku.” “Ya! Peduli setan! Kembalilah! Jangan ganggu aku! Jangan ganggu keluargaku!” “Bukan aku yang mengganggu, tapi genderuwo itu.” “Tidak ada bedanya kau atau lelaki mengerikan itu!” Saat itulah, a
Ketika mobil telah kuparkir di pekarangan rumah, aku mematikan mobil dan kulihat ke spion, Kinanti masih tersenyum penuh misteri padaku. “Hentikan, Kinanti... jangan menatapku seperti itu. Aku... aku tidak suka.” “Kau jelas takut.” “Tidak.” “Percayalah, Budiman. Aku tidak akan mengganggumu. Itupun kalau kau berhasil membuat Wirda kembali seperti dirinya lagi. Asal kau tahu, istrimu sudah dipegang sepenuhnya oleh raja iblis itu. Raja genderuwo. Kau tidak bisa berbuat apa-apa.” “Kinanti... aku tidak tahu mengapa hidupku jadi seperti ini. Aku sama sekali tidak memercayai ini sebelumnya. Sama sekali! Meskipun keluargaku begitu suka sekali dengan hal-hal yang berbau mistis... hingga kini, tiba-tiba semuanya jadi serba aneh... istriku berubah drastis... dicintai bangsa siluman...” “Genderuwo bukan siluman.” “Bagiku sama saja.” “Tentu beda.” “Jangan sampai aku harus berdebat denganmu setelah aku berdebat dengan manusia.” “Manusia? Siapa?” tanya perempuan itu sembari menyengir. “Te
Tanpa sadar, aku terlena oleh Kinanti. Sentuhan bibir kami telah berubah menjadi cumbuan liar, yang membuat Kinanti lantas pindah dari jok belakang ke jok depan. Perempuan gaib itu, sudah tak kupedulikan lagi. Begitu mudahnya aku terpedaya, sebab masalahnya aku tak tahu lagi mana yang nyata dan tidak. Kinanti begitu nyata atau tidak, atau akal sehatku yang sudah rusak. Aku juga tak mengerti. “Mmmmh....” Kinanti terdengar menikmati permainan lidah kami. Saling bertaut, saling membelit, saling mengikat, seolah kami adalah sepasang kekasing. Titel seorang suami yang ada padaku, seolah bisa ia lunturkan begitu saja. “Kinanti, cukup...” “Apanya yang cukup? Kau tidak bisa merasakan betapa burungmu sedang berontak dari balik celana sekarang?” kata Kinanti sembari menunjukkan paras cantiknya yang sayu dan menggoda. Bersama itu pula, ia begitu ahli memainkan jemarinya di atas tubuhku. “Kinanti... cukup... aku harus turun dan melihat Wirda...” “Sebentar saja, Budiman. Sebentar saja...” “
“Sebab, pria dewasa, manusia, di mata kami, di penciuman kami, kalian lebih harum dan lebih banyak memberikan kami energi kehidupan ketimbang mengawini sesama kami. Memang.... sssshh,” katanya sembari menggigit bibir bawahnya sembari melihat kepunyaanku, “Memang... ini adalah kesalahan. Bagi kaum lelembut, mengawini manusia adalah kesalahan kodrati, tapi sebagaimana manusia yang kerap melakukan penyimpangan dan mereka menganggapnya bagian dari kebebasan dan kesetaraan, kami pun demikian,” kata Kinanti sembari menyunggingkan senyuman. Kepala perempuan itu sudah naik turun di antara selangkanganku. Dan kurasakan, pikiranku melayang bersama rasa nikmat tiada tara. Ini seperti menggunakan LSD, atau asam yang memabukan. Barangkali kalian tahu bahwa menggunakan candu, macam heroin ataupun sabu, membuat pikiran tak menentu. Seolah tubuh dan jiwa melayang berpisah mengarungi taman eden. “Mmmhh... suka?” tanya Kinanti. “Hentikan, Kinanti. Cukup.” “Yakin, hanya ini saja. Kau sama sekali bel
“Wirda! Wirda!” Tak ada suara apapun menjawabku. Hanya angin. Hanya gelap. Aku membuka semua pintu ruangan selepas kunyalakan lampu rumah. Mulai dari kamar utama, kamar tamu, ruang makan, kamar mandi, teras belakang, dapur. Tidak ada. Dan kini adalah pukul setengah delapan malam. Selarut-larut rasa bersalah telah melingkupiku. Aku mulai berpikir, alangkah bodohnya aku bercinta dengan Kinanti, sementara tanpa kutahu Wirda telah menghilang dari rumah. “Dia mungkin di rumah kawannya, jangan berpikiran yang tidak-tidak,” tiba-tiba sosok Kinanti telah muncul lagi. Ia kini sedang bersender di bibir pintu kamar tamu, dan sungguh aku tak melihat dirinya masuk meski pintu ruang tamu masih menganga. “Tidak! Dia tidak memiliki seorang kawanpun di sini,” kataku sembari duduk di sofa ruang tamu, dan kurasakan frustasi perlahan-lahan menyertaiku. “Tidak... seharusnya aku tidak melakukannya denganmu, Kinanti. Ini adalah kesalahan besar! Ini... oh... Wirda!” “Tenanglah, Budi.” “Mana bisa aku te
“Oooh! Yang benar saja!” “Tebakanmu benar, Budiman,” katanya sembari tersenyum dan menatapku tanpa merasa bersalah sekalipun. “Makanlah, Budiman. Ayo, ke ruang makan.” “Tidak! Hentikan, Kinanti jangan membuatku...” “Hiruplah aromanya? Apa kau pikir aku berbohong? Jangan samakan aku dengan kuntilanak yang kerap menggoda manusia di tepi jalan dan menumpang ojek lalu membayar mereka dengan daun. Ini benar-benar steik nyata. Jangan bodoh.” “Mana bisa...” pikiran kacauku tidak bisa membuatku akalku jernih dan memercayai bahwa itu benar-benar makanan manusia. Aku hampir saja merebut piring itu dan melemparnya, tapi melihat kesungguhan di wajahnya, aku urung melakukan tindakan tersebut. “Kau adalah setan!” “Aku bukan setan. Aku jin peri.” “Apa bedanya?! Kalian sama-sama tidak nyata.” “Setan adalah mereka yang memang berniat mencelakakan manusia.” “Lalu, apa yang kau lakukan sekarang? Kau menggodaku? Mengajakku bercinta... dan kini... apa ini bukan tindakan setan? Kalian sama saja!”
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant
Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K