Home / Thriller / Digoda Suami Gaib / Chapter 131 - Chapter 140

All Chapters of Digoda Suami Gaib: Chapter 131 - Chapter 140

149 Chapters

Bab 132: Sungguh Beruntung dan Malang

Dalam kekosongan di rumah yang semakin lama semakin memuakkan itulah, Kinanti kerap hadir menemaniku. Biasanya ia muncul setelah Ashar dan terus berada di rumah sampai pukul sembilan malam. Ia makin lama berada di rumah, sekadar ingin tahu tentang diriku yang dianggapnya wajib ia teliti. “Tapi, sepertinya calon suamimu itu mulai mencurigaiku, Wirda... mereka mengirimkan begitu banyaknya mata-mata untuk menyelidiki motifku pergi mengunjungimu. Dia pikir, aku akan mengendalikanmu dan mempengaruhimu. Dari sana sudah terlihat, bahwa calon suamimu sama sekali tidak mengerti dirimu,” kata Kinanti sembari membolak-balikkan majalah bisnis yang banyak menumpuk di rak meja ruangtamu. Dan entah sudah berapa lama benda-benda itu membusuk di sana. Tak ada yang menyentuhnya sejak hubunganku dengan Mas Budi memburuk. “Aku tahu... dia hanya mencoba bersikap posesif saja,” kataku sembri menyiapkan sesuatu yang bisa kami minum. Kumasukkan beberapa buah ke dalam blender. Bersama itu pula, dari rua
Read more

Bab 133: Akhir Pertemuan

Hari pernikahanku semakin dekat saja. Dan malam ini, suamiku kembali tidak pulang lagi dari tempat kerjanya, sebab berdasarkan informasi dari Kinanti Mas Budi pergi bersama Sekar ke rumah kakeknya, dan hari ini pula mereka akan pergi untuk mengusir semua jin yang ada di dalam rumah ini. Jujur saja, aku ingin sekali menolaknya, tapi semua rencana sudah dibuat dan aku tak bisa melakukan apa-apa di rumah ini selain menunggu Gandarakala alias Reynaldi mendatangi rumah bersama prajurit-prajurit istimewanya—seperti malam saat ia pertama kali mengajakku ke kerajaannya. Menjelang magrib, Kinanti pun datang lagi ke rumahku sekadar menginginku menceritakan hal-hal yang mungkin selama ini kuanggap tabu. “Ini untuk yang terakhir kalinya aku datang ke sini, Wirda... sebelumnya aku ingin mengucapkan terima kasih atas persahabatan yang mungkin menurutmu cukup ganjil.” “Ya...” Kinanti lagi-lagi memesan jus alpukat padaku, dan ia tampak senang sekali meminumnya hingga habis. Ia kemudian menatap
Read more

Bab 134: Hati yang Hampa

Tepat setelah Kinanti pergi membawa informasi dariku, tak lama seperti kata peri itu, aroma bangsa gandarawa bisa kuhirup. Aroma kembang menyan, yang sering kuhirup di setiap sudut istana kerajaan Gandarawa itu semerbak datang menguasai rumah. Saat itu juga, aku langsung membuka pintu kamar. Portal yang sebelumnya tercipta di sekitar halaman depan rumah kini kembali membuka, seperti sebuah mata yang membelalak. Tak hanya itu, sekelemenyar cahaya yang mencuat bersama datangnya rombongan prajurit khusus berzirah emas yang berkilauan itu, mulai menyilaukan mataku. Cahaya keputihan dan aroma kemenyan itu kemudian menarik perhatian seluruh mahluk halus yang semula telah berada di sekitar perumahanku. Mulai dari kaum kuntilanak, kaum pocong, tuyul, beberapa silumuan berderajat rendah, dan hantu-hantu dari arwah penasaran yang tak diterima bumi pun berkumpul semua ke sekitar cahaya. Mereka seperti para penyembah sang Gandarakala, yang kembali datang dengan kereta kencana berpancaran cahay
Read more

Bab 135: Mata Penuh Kesedihan

Perjalanan menuju istana terasa cepat. Padahal aku ingin segalanya terlihat lambat. Barangkali ini karena sihir yang digunakan oleh Gandarakala—yang sudah sangat ingin menikahiku dalam sebuah rangkaian upacara sakral bangsa Gandarawa. Setibanya kami di halaman istana, suasana sudah ramai seperti pasar tumpah. Mahluk-mahluk Gandarawa itu berjubelan di sekitar alun-alun menyambut kedatangan kami dengan gegap gempita dan sorak-sorai—seolah-olah kami adalah sekelompok prajurit yang baru saja pulang menang perang. Kulihat beberapa pemuda gandarawa melambaikan kedua tangannya sembari pada jemari mereka tampak kain besar seperti spanduk bergambarkan lukisan wajahku. “Kau sudah sangat dicintai di sini, kekasihku... kaulah satu-satunya permaisuriku yang akan membawa kedamaian di dunia ini... di bangsa kami...” begitu kata Gandarakala—yang agaknya tak mengerti bahwa sikapnya ini hanyalah menjadikan diriku sebagai alat politik untuknya, agar kepemimipinannya bisa dihargai di kerajaan ini. “Tu
Read more

Bab 136: Upacara Pernikahan yang Terasa Cepat

Upacara itu terasa cepat. Juga perjamuan makan antar keluarga, berlangsung cukup cepat, kendati sebenarnya lama. Entah kenapa, apakah ini karena sihir Gandarakala? Aku tak tahu, yang jelas, sehabis kami melakukan tradisi memakan daging mentah segar—yang mana itu semua adalah daging-daging bayi manusia yang dikorbankan, aku lantas dituntun oleh keluarga sepupu mereka, pergi ke sebuah kamar pengantin yang telah disiapkan.Tampak saat Gandarakala membuka pintu berdaun dua, sebuah ruangan seperti griya tawang hotel paling mahal pun bisa kulihat. Kuhirup pula aroma bebungaan yang berguna untuk mengundang hasrat kami, agar malam pertama kami dihabiskan dengan sangat indah. Kendati sebenarnya, aku merasa sudah melakukannya, jadi kupikir pernikahan ini hanyalah sebuah formalitas dan seremonial belaka.“Kau pasti lelah, wahai permaisuriku,” kata Gandarakala terdengar lembut seraya membelai punggungku, dan di saat yang sama Gandarakala segera memerintahkan semua sepupunya untuk kembali ke pesta
Read more

Bab 137: Tetap Saja Menyakitkan

Setelah menjalani kehidupan bersama Gandarakala, aku merasa de javu. Merasakan sesuatu yang sama dengan kehidupan di masa yang telah lalu. Masa di mana aku menjalani kehidupan bersama seorang manusia bernama Budiman. Kupikir masa-masa seperti itu telah lalu, namun apa yang kurasakan sekarang seakan menarikku kembali ke kehidupan yang bahkan baru beberapa bulan saja kutinggalkan. Saat baru saja aku menyelesaikan rangkaian acara pernikahan, sejujurnya aku sempat ingin pergi mengunjungi rumahku yang kini keadaannya sudah berbeda alam. Tapi, aku malah mendapatkan sesuatu telepati dari Kinanti. “Kau tidak perlu datang ke dunia manusia lagi, setidaknya selama pemagaran di rumah dan sekitar lingkungan rumah masih terjadi. Apalagi kendati kau bisa menembusnya, kau tidak akan bisa mendekati tubuhmu sendiri, karena dokter forensik itu telah menanamkan beberapa mantera di tubuh manusiamu, sehingga kau hanya akan terlempar kembali ke duniamu saat ini hanya dengan menyentuhnya saja,” kata Kinanti
Read more

Bab 138: Kesadaran Akan Gendam

Berbulan-bulan kami sudah hidup. Mungkin di dunia manusia sudah beberapa tahun. Ya, ini semua karena perbedaan ruang dan waktu. Teori relativitas memang benar-benar terjadi di dunia ini. Di dunia ini pula, lambat hari perasaan de javuku makin kental. Setiap hari aku ditinggal oleh sang raja bangsa gandarawa demi mengontrol pasukannya di beberapa wilayah terluar. Kupikir, ia masih muda, dan mudah terpikat dengan energi perempuan manusia di luar sana. Aku sempat berpikir Raja Gandarakala telah kepincut dengan perempuan lain, dan menyetubuhi mereka selayaknya menyetubuhiku. Memberikan mantera lebih dulu agar perempuan-perempuan itu kelepek-kelepek, lalu secara perlahan tapi pasti ia menarik hatinya hingga hati dan akalnya kacau-balau. Begitulah caranya bekerja hingga perempuan-perempuan itu tak punya pikiran lagi selain merindukan belaiannya. Entah, aku sendiri merasa heran, apa yang membuatku bisa tersadar dari mantera-mantera itu. Dan aku bisa sadar bila lelaki itu telah meresapkan
Read more

Bab 139: Hilang Rasa

Raja Gandarakala kembali pergi ke teritori lain dan pergi ke Alas Purwo atas panggilan para sesepuh bangsa Gandarawa. Hal itu membuatku sendirian lagi di istana. Hanya Ibu Athania saja yang kerap menemaniku dan berbagi kisah denganku di istana ini. Ia menjelaskan tentang segala hal yang pernah terjadi di kawasan istana kerajaan ini. Mulai dari hal yang cukup menggemparkan seperti kisah Ratna, sepupu dari Gandarakala yang kawin dengan bangsa siluman banteng, dan ia melahirkan anak mutan yang bahkan berbeda dari kedua orangtua mereka. Dan hal itu menjadi yang pertama kali terjadi dalam kehidupan istana. Lepas dari itu, sebenarnya aku benar-benar merasa bosan setengah mati dalam kehidupan istana yang menyebalkan—karena meskipun kehidupan di sini begitu mewah dan segala yang kuminta akan segera tersedia—entah kenapa aku tak bisa melenyapkan rasa de javuku. Dan entah pula kenapa ini begitu menyiksaku. “Aku sendiri tak tahu, Bu... aku ingin melakukan sesuatu yang membuatku tidak merasa bo
Read more

Bab 140: Cerita Bercinta

Sudah hampir tiga tahun berlalu, dan mungkin hampir sekitar sepuluh tahun berlalu di dunia manusia. Kinanti sesekali mengabarkan padaku bahwa anak mereka sudah berusia sepuluh tahun, dan anak keduanya tahun ini tepat berusia enam tahun. “Aku ingin mendengar suara mereka,” kataku. “Baiklah... aku akan menajamkan sinyal telepatinya. Dengarlah baik-baik. Yang paling gede namanya Rifan, dan yang paling kecil namanya Susanti. Dan ada satu lagi masih dalam kandungan.” “Kau hamil lagi?” “Ya,” kata Kinanti sembari terkekeh. Mereka benar-benar telah menjadi selayaknya pasangan normal seorang manusia. “Baik... sekarang kau juga fokuskan dirimu.. Aku akan membuat kau bisa mendengar percakapan biasa yang kami lakukan sebelum mengantar kedua anak ini pergi sekolah.” “Baik.” Tak lama, bisa kudengar sayup-sayup suara dua anak yang sedang meributkan soal sarapan mereka yang tak kunjung datang karena ibunya sedang bertelepati denganku. Tentu saja mendengar anak-anak itu berdebat dengan suara ria
Read more

Bab 141: Fakta Seorang Keluarga Istana

Aku mendengar Kinanti terbahak-bahak mendengar permintaanku. Tentu saja, aku antara malu dan sedikit merasa tersinggung dengan caranya tertawa—seolah sengaja meledekku. Rupanya kebiasaan mengoloknya memang tidak hilang begitu saja. Tapi, aku sama sekali tidak menunjukkan ketersinggunganku, ini semua demi memuaskan rasa ingin tahuku. “Bagaimana? Malam ini? Apa kalian akan melakukannya?” “Aku akan membuatnya melakukannya,” kata Kinanti baru saja berhenti tertawa. “Kau benar-benar selalu membuatku terkejut. Baiklah, aku akan memenuhi kemauanmu. Kusarankan kau jangan bersuara saat sedang bermasturbasi.” “Tidak. Tidak bisa kujamin maksudku.” Kinanti kembali tertawa terbahak-bahak. Perempuan itu akhirnya mematikan sinyal telepatinya, dan karena itu pula aku lantas merasakan aliran darahku bergejolak di dalam, kendati aku tahu saat ini wujudku hanyalah sukma dan tidak membutuhkan darah sebagaimana yang bisa kurasakan di dunia manusia. Meski begitu, aku masih bisa merasakan degup jantung
Read more
PREV
1
...
101112131415
DMCA.com Protection Status