Perjalanan menuju istana terasa cepat. Padahal aku ingin segalanya terlihat lambat. Barangkali ini karena sihir yang digunakan oleh Gandarakala—yang sudah sangat ingin menikahiku dalam sebuah rangkaian upacara sakral bangsa Gandarawa. Setibanya kami di halaman istana, suasana sudah ramai seperti pasar tumpah. Mahluk-mahluk Gandarawa itu berjubelan di sekitar alun-alun menyambut kedatangan kami dengan gegap gempita dan sorak-sorai—seolah-olah kami adalah sekelompok prajurit yang baru saja pulang menang perang. Kulihat beberapa pemuda gandarawa melambaikan kedua tangannya sembari pada jemari mereka tampak kain besar seperti spanduk bergambarkan lukisan wajahku. “Kau sudah sangat dicintai di sini, kekasihku... kaulah satu-satunya permaisuriku yang akan membawa kedamaian di dunia ini... di bangsa kami...” begitu kata Gandarakala—yang agaknya tak mengerti bahwa sikapnya ini hanyalah menjadikan diriku sebagai alat politik untuknya, agar kepemimipinannya bisa dihargai di kerajaan ini. “Tu
Upacara itu terasa cepat. Juga perjamuan makan antar keluarga, berlangsung cukup cepat, kendati sebenarnya lama. Entah kenapa, apakah ini karena sihir Gandarakala? Aku tak tahu, yang jelas, sehabis kami melakukan tradisi memakan daging mentah segar—yang mana itu semua adalah daging-daging bayi manusia yang dikorbankan, aku lantas dituntun oleh keluarga sepupu mereka, pergi ke sebuah kamar pengantin yang telah disiapkan.Tampak saat Gandarakala membuka pintu berdaun dua, sebuah ruangan seperti griya tawang hotel paling mahal pun bisa kulihat. Kuhirup pula aroma bebungaan yang berguna untuk mengundang hasrat kami, agar malam pertama kami dihabiskan dengan sangat indah. Kendati sebenarnya, aku merasa sudah melakukannya, jadi kupikir pernikahan ini hanyalah sebuah formalitas dan seremonial belaka.“Kau pasti lelah, wahai permaisuriku,” kata Gandarakala terdengar lembut seraya membelai punggungku, dan di saat yang sama Gandarakala segera memerintahkan semua sepupunya untuk kembali ke pesta
Setelah menjalani kehidupan bersama Gandarakala, aku merasa de javu. Merasakan sesuatu yang sama dengan kehidupan di masa yang telah lalu. Masa di mana aku menjalani kehidupan bersama seorang manusia bernama Budiman. Kupikir masa-masa seperti itu telah lalu, namun apa yang kurasakan sekarang seakan menarikku kembali ke kehidupan yang bahkan baru beberapa bulan saja kutinggalkan. Saat baru saja aku menyelesaikan rangkaian acara pernikahan, sejujurnya aku sempat ingin pergi mengunjungi rumahku yang kini keadaannya sudah berbeda alam. Tapi, aku malah mendapatkan sesuatu telepati dari Kinanti. “Kau tidak perlu datang ke dunia manusia lagi, setidaknya selama pemagaran di rumah dan sekitar lingkungan rumah masih terjadi. Apalagi kendati kau bisa menembusnya, kau tidak akan bisa mendekati tubuhmu sendiri, karena dokter forensik itu telah menanamkan beberapa mantera di tubuh manusiamu, sehingga kau hanya akan terlempar kembali ke duniamu saat ini hanya dengan menyentuhnya saja,” kata Kinanti
Berbulan-bulan kami sudah hidup. Mungkin di dunia manusia sudah beberapa tahun. Ya, ini semua karena perbedaan ruang dan waktu. Teori relativitas memang benar-benar terjadi di dunia ini. Di dunia ini pula, lambat hari perasaan de javuku makin kental. Setiap hari aku ditinggal oleh sang raja bangsa gandarawa demi mengontrol pasukannya di beberapa wilayah terluar. Kupikir, ia masih muda, dan mudah terpikat dengan energi perempuan manusia di luar sana. Aku sempat berpikir Raja Gandarakala telah kepincut dengan perempuan lain, dan menyetubuhi mereka selayaknya menyetubuhiku. Memberikan mantera lebih dulu agar perempuan-perempuan itu kelepek-kelepek, lalu secara perlahan tapi pasti ia menarik hatinya hingga hati dan akalnya kacau-balau. Begitulah caranya bekerja hingga perempuan-perempuan itu tak punya pikiran lagi selain merindukan belaiannya. Entah, aku sendiri merasa heran, apa yang membuatku bisa tersadar dari mantera-mantera itu. Dan aku bisa sadar bila lelaki itu telah meresapkan
Raja Gandarakala kembali pergi ke teritori lain dan pergi ke Alas Purwo atas panggilan para sesepuh bangsa Gandarawa. Hal itu membuatku sendirian lagi di istana. Hanya Ibu Athania saja yang kerap menemaniku dan berbagi kisah denganku di istana ini. Ia menjelaskan tentang segala hal yang pernah terjadi di kawasan istana kerajaan ini. Mulai dari hal yang cukup menggemparkan seperti kisah Ratna, sepupu dari Gandarakala yang kawin dengan bangsa siluman banteng, dan ia melahirkan anak mutan yang bahkan berbeda dari kedua orangtua mereka. Dan hal itu menjadi yang pertama kali terjadi dalam kehidupan istana. Lepas dari itu, sebenarnya aku benar-benar merasa bosan setengah mati dalam kehidupan istana yang menyebalkan—karena meskipun kehidupan di sini begitu mewah dan segala yang kuminta akan segera tersedia—entah kenapa aku tak bisa melenyapkan rasa de javuku. Dan entah pula kenapa ini begitu menyiksaku. “Aku sendiri tak tahu, Bu... aku ingin melakukan sesuatu yang membuatku tidak merasa bo
Sudah hampir tiga tahun berlalu, dan mungkin hampir sekitar sepuluh tahun berlalu di dunia manusia. Kinanti sesekali mengabarkan padaku bahwa anak mereka sudah berusia sepuluh tahun, dan anak keduanya tahun ini tepat berusia enam tahun. “Aku ingin mendengar suara mereka,” kataku. “Baiklah... aku akan menajamkan sinyal telepatinya. Dengarlah baik-baik. Yang paling gede namanya Rifan, dan yang paling kecil namanya Susanti. Dan ada satu lagi masih dalam kandungan.” “Kau hamil lagi?” “Ya,” kata Kinanti sembari terkekeh. Mereka benar-benar telah menjadi selayaknya pasangan normal seorang manusia. “Baik... sekarang kau juga fokuskan dirimu.. Aku akan membuat kau bisa mendengar percakapan biasa yang kami lakukan sebelum mengantar kedua anak ini pergi sekolah.” “Baik.” Tak lama, bisa kudengar sayup-sayup suara dua anak yang sedang meributkan soal sarapan mereka yang tak kunjung datang karena ibunya sedang bertelepati denganku. Tentu saja mendengar anak-anak itu berdebat dengan suara ria
Aku mendengar Kinanti terbahak-bahak mendengar permintaanku. Tentu saja, aku antara malu dan sedikit merasa tersinggung dengan caranya tertawa—seolah sengaja meledekku. Rupanya kebiasaan mengoloknya memang tidak hilang begitu saja. Tapi, aku sama sekali tidak menunjukkan ketersinggunganku, ini semua demi memuaskan rasa ingin tahuku. “Bagaimana? Malam ini? Apa kalian akan melakukannya?” “Aku akan membuatnya melakukannya,” kata Kinanti baru saja berhenti tertawa. “Kau benar-benar selalu membuatku terkejut. Baiklah, aku akan memenuhi kemauanmu. Kusarankan kau jangan bersuara saat sedang bermasturbasi.” “Tidak. Tidak bisa kujamin maksudku.” Kinanti kembali tertawa terbahak-bahak. Perempuan itu akhirnya mematikan sinyal telepatinya, dan karena itu pula aku lantas merasakan aliran darahku bergejolak di dalam, kendati aku tahu saat ini wujudku hanyalah sukma dan tidak membutuhkan darah sebagaimana yang bisa kurasakan di dunia manusia. Meski begitu, aku masih bisa merasakan degup jantung
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant
Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K