Home / Romansa / Aku, istri kedua / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Aku, istri kedua : Chapter 21 - Chapter 30

96 Chapters

bab. 15b cemburu

Perawat dan dokter itu menatapku dengan penuh seksama.“Ini istriku, Dok. Namanya Aisyah.”“Saya Aisyah, Dokter.”“Mbak Zahra di mana? Sehat kan?” Dokter memandangku penuh arti, sepertinya wanita berbaju putih itu mengenali Mas Zul dan Mbak Zahra.“Alhamdulillah, sehat.”Seorang perawat memintaku berbaring, di buka nya kemeja yang kini aku pakai. Canggung. Aku merasa malu bagian tubuhku terekspose dan di lihat selain suamiku. Di tuangkannya gel di atasnya, lalu di sentuhnya gel itu dengan alat yang tersambung ke monitor. Aku di minta dokter melihat layar pipih yang terletak di depanku, Mas Zulkifli pun memandang ke arah yang sama. Terlihat bayangan hitam saja, yang aku sendiri belum paham dengan gambar itu “Usia kehamilan ibu sekitar enam Minggu,” Terdengar ketukan pintu, dan mbak Zahra muncul dari balik pintu ruangan itu.“Boleh aku masuk?”“Silahkan, Dek. Ini Dek Aisyah lagi di USG sama Dokter Indri.” Mas Zul mengarahkan tangan kanannya ke Mbak Zahra. Dan di sambutnya tangan i
Read more

bab. 16a cemburu buta

“Mbak Zahra.”Aku melihat Mbak Zahra berdiri tepat di depan pintu, tangannya membawa nampan yang berisi makanan malamku. Semenjak kapan ia berada di situ? Apakah ia mendengar perbincangan ibu kepada Mas Zul? “Ayo masuk, Mbak!” ucapku lirih.Mbak Zahra masuk, Mas Zul nampak canggung sedangkan ibu terlihat biasa saja. “Ibu tadi masak capjay kesukaanmu, Nduk!” ucap ibu sambil menyerahkan piring ke tangan Mas Zul. Arah bola mata suamiku dan Mbak Zahra saling bertemu.“Aisyah istrimu di suapi dulu,” ucap Ibu.“Aku bisa makan sendiri kok, Bu,” jawabku sambil meraih piring di tangan Mas Zul “Jangan, Nduk. Biar suamimu yang nyuapi kamu. Biar dia tanggung jawab sama istrinya.”Mas Zul menyendok nasi dan beberapa sayur di atasnya, menyuapkan makanan tersebut ke mulutku.Kulirik ekspresi Mbak Zahra. Ia tampak kikuk. Dia cemburu atau mungkin merasa gak enak sama ibu. Entahlah? Yang penting aku menikmati semua kebahagiaan ini. Merasakan kasih sayang dari suami dan mertuaku. “Nak Zahra, ayo iku
Read more

bab. 16b cemburu buta

Aku di minta ibu kembali ke kamar. Ia bahkan terus menemani aku, memberi wejangan kepadaku. Dan memintaku untuk sabar. “Yang sabar ya, Nduk. Memang dari dulu Zulkifli begitu mencintai Zahra. Aku sendiri tak tahu penyebabnya. Meskipun dari awal aku tak merestui karena kondisinya, ia terus bersikukuh untuk menikah.”Bersabar memang mudah di ucapkan, namun nyatanya begitu susah untuk di jalankan.“Tugasmu adalah mengambil hati Zulkifli, ambil hatinya. Jangan justru menyerah. Kamu memiliki sesuatu yang tak bisa diberikan Nak Zahra kepada Zulkifli!” Aku terdiam mendengar wejangan itu, memang benar adanya, aku tak boleh menyerah. Aisyah itu kuat, Aisyah mampu menjalani ini semua. Aisyah pernah mengalami masa sulit yang lebih dari ini. Aku terus berusaha menguatkan diriku sendiri. Ibu kembali ke kamar untuk mengistirahatkan tubuhnya karena malam pun sudah mulai larut.Terdengar suara knalpot mobil dari dalam kamar, pasti Mas Zul dan Mbak Zahra tiba. Ku intip mereka dari balik pintu kamark
Read more

BB. 17 Salah Sangka

“Perempuan hina, perempuan kotor.”“Bukan, aku bukan wanita seperti itu.” Aku duduk menyandarkan tubuhku di dinding kayu tua itu, tanganku ku telungkupkan ke dua Indra pendengaran ku. Menahan suara-suara yang begitu menyakitkan. “Dek, bangun, Dek! Dek Aisyah!”“Astagfirullah,” ucapku ketika membuka mata. Mas Zul tepat berada di pelupuk mataku, wajahnya penuh khawatir dan tangan kanannya mengelap peluhku.“Kamu kenapa, Dek?”Kini justru tangisan yang keluar dari mataku. Entah kenapa masih terasa sakit meskipun aku sudah di alam sadarku. Kenangan masa lalu membuatku terperangkap dengan perasaan tak percaya diri dan selalu menghantui.“Aku wanita hina, Mas. Aku tak pantas kamu miliki,” tangisku kini semakin pecah, hingga nafasku terasa memberat. “Kamu istri, Mas. Kamu wanita baik-baik. Sudah, lupakan mimpi buruknya.” Mas Zul menenggelamkanku ke dalam pelukannya, membuatku sedikit tenang.Aku kini bahkan melupakan rasa marahku, semua melebur begitu saja ketika aku kembali mendapatkan pe
Read more

bab. 18 Astagfirullah

“Jangan-jangan kamu sengaja ya?” ibu mengarahkan pandangan ke arah Mbak Zahra.“Astagfirullah, untuk apa Zahra sengaja, Bu!” Terdengar Isak tangis dari mulut wanita cantik itu. Tampaknya Mbak Zahra terlalu sakit dengan kalimat-kalimat pedas yang selalu menyudutkannya itu. “Kamu cemburu kan sama Aisyah, kamu tidak bisa mengandung sedangkan ia normal tak sepertimu.”“Astagfirullah,” ucapku lirih. Aku tak percaya ibu Setega itu menghujani Mbak Zahra dengan kalimat yang menyakitkan. Ibu tak seperti biasanya, ia selalu hangat dan bijak baik kepadaku ataupun Mbak zahra. Kenapa beliau tiba-tiba berubah? “Assalamualaikum,” terdengar salam dari balik pintu. Ibu bergegas menghampiri, sepertinya itu tukang urut yang di undang ibu via telepon. Sedangkan Mbak Zahra menghapus air mata yang telah membasahi pipinya. Ia terlihat menegarkan hatinya yang kini hancur lebur. Aku bahkan tak bisa membayangkan jika aku berada di posisinya. Aku yang salah. Justru ia lah yang kena getahnya. Seorang wanita
Read more

bab. 19 ponsel baru

“Kenapa Mbak Zahra begitu baik kepadaku, Mas?”Mas Zul kini tersenyum, memamerkan lesung pipitnya yang tertumpuk oleh luka lebam.“Karena, Dek Aisyah wanita baik. Jadi layak untuk di perlakukan baik juga.”“Astagfirullah,” teriakan itu membuat kami mengarah ke sumber suara. Wanita paruh baya berbalut gamis panjangnya itu menghampiri kami dengan sempoyongan. “Kamu kenapa, Nak? Kenapa bisa seperti ini? Kamu gak lagi punya musuh kan?” Ibu menatap Mas Zul dengan raut muka khawatir. Netranya penuh selidik memandangi seluruh tubuh anak semata wayangnya itu. “Gak apa, Bu! Zul sudah enakan.”“Enakan bagaimana? Wong tubuh memar semua di bilang enakan!”“Tadi Zul sudah minum obat, ini sudah enakan, Bu. Nyeri nya sudah hilang.”Wanita itu terus menghujani Mas Zul dengan kata-kata bijak khas Ibu dan Mas Zul hanya menjawab dengan anggukan.**Dua hari Mas Zul tidak bekerja, ia benar-benar bedrest untuk menyembuhkan lukanya. Selama itu juga ia tidur di kamar Mbak Zahra. Ia tak mau merepotiku. Ka
Read more

Bab. 20a Sakitnya Mbak Zahra?

Ku tempelkan punggung tanganku di dahinya, dingin. “Mas Zul, Mbak Zahra, Mas ....” teriakku.Mas Zul datang menghampiri masih dengan sarung dan pecinya, ibu pun mengekori masih terbalut dengan mukena putihnya. “Astagfirullah,” ucap Mas Zul sambil mengangkat tubuh Mbak Zahra. Ia meletakkan tubuhnya di Jok tengah mobil, sedangkan ia bergegas menyetir mesin beroda empat itu. “Mas, aku ikut ya?”“Gak usah, Dek. Di rumah sakit gak bagus buat ibu hamil. Dek Aisyah istirahat saja di rumah.” Ia mengelus pucuk kepalaku dan melayangkan kecupan di dahiku. Tak berapa lama sosoknya telah menghilang dari pandangan. “Semoga Nak Zahra tidak apa-apa.” Ibu berjalan mondar mandir di depan tv bak setrikaan yang sedang melaju bolak balik karena kain yang begitu kusut. “Nak Zahra kenapa. Nduk?” Netra ibu kini mengarah kepadaku.“Gak tahu, Bu. Saat Aisyah ke kamar Mbak Zahra, ia sama sekali tak bergerak tubuhnya dingin.” “Kasihan wanita itu,” ujar ibu.Aku harap-harap cemas menunggu berita dari Mas Zu
Read more

bab. 20b sakitnya Mbak Zahra?

“Nduk, tolong bantu ibu mengangkat jemuran. Bentar lagi hujan.” Teriak ibu membuat panggilanku terputus sebelum Mbak Zahra menjawab. Aku pun bergegas melakukan perintah ibu. **“Sore ini Zahra pulang, Dek!” Mas Zul mencium keningku seperti biasanya saat tiba di rumah.“Alhamdulillah, Mas. Saya siapkan baju ganti Mbak Zahra dulu.”Seperti biasanya tiap Mas Zul pulang, ia akan membawa baju kotor yang di pakai Mbak Zahra kemarin dan aku menggantinya dengan baju bersih. “Biar, Mas saja. Mas minta tolong buatkan kopi. Aku kangen kopi buatanmu.”Tanpa menunggu lama, aku bergegas melaksanan perintah dari Mas Zul. Menyeduh kopi dengan air mendidih seperti favoritnya. Kulihat Mas Zul termangu duduk di kasur kamar Mbak Zahra sambil menatap buku kecil ditangannya. Raut muka gelisah begitu tampak. “Ini, Mas, kopinya.” Aku menyerahkan kopi hitam yang ku alasi dengan cawannya. Mas Zul yang terkaget segera menjauhkan buku itu dari pandanganku. Sepertinya itu buku rekening tabungan. “Apa yang
Read more

bab. 21 POV Zahra (menjauh)

POV Zahra.Aku berdiri di sebuah Padang yang begitu besar, netraku terus menjelajahi tempat tersebut, tak ada pepohonan ataupun tumbuhan lainnya. Hanya Padang pasir. Aku mencari Mas Zul ataupun Dek Aisyah, sejauh aku melangkah tak kudapati mereka.Kini aku terfokus dengan antrian yang begitu panjang, mereka mengenakan pakaian serba putih. Namun di antara mereka tak kudapati seorang pun yang aku kenal. Aku mencoba memberanikan diri untuk mendekat antrian. Sekadar bertanya di mana aku berada dan bagaimana caranya untuk bisa sampai ke sini. Baru beberapa langkah aku melangkah terdengar teriakan ibu dan bapak. Mereka pun memakai pakaian serba putih seperti yang lainnya. Ikut berdiri di salah satu antrian panjang. “Zahra....” Wajah ibu dan bapak tampak tersenyum melihatku. Hendak aku melangkah menghampiri mereka, tiba-tiba ada teriakan Mas Zul di sisi lainnya.“Dek Zahra, Dek!” Suara itu terdengar parau dengan Isak tangis di dalamnya. Aku menoleh ke sisi itu, tak ku dapati Mas Zul. Ha
Read more

bab. 22a POV Zahra (rindu)

“Mbak boleh tinggal di sini sementara kan, Ra?” “Ya Allah, Mbak. Ini kan rumah Mbak Zahra juga. Justru aku senang kalau Mbak Zahra menemani Rara. Tapi, apa Mas Zul mengijinkan?” Aku mengangguk. Belum siap aku menceritakan semua yang terjadi kepadaku. Tentang rumah tanggaku yang kini sedang tidak baik-baik saja. Aku mengangkat kedua tanganku. Menuangkan gemuruh rasa sesak yang bersemayam di dadaku. Hanya kepadaNya semua akan kembali. “Astagfirullah,” ucapku ketika mengingat tentang Mas Zul. Biasanya seusai solat magrib, ia menyimak mengajiku dan Aisyah. Bahkan sampai saat ini aku lupa memberinya kabar. Ia pasti akan kelimpungan mencari ku. Ku lepas mukena yang kupakai dan segera mencari Rara untuk meminjam ponselnya. Aku kembali ke kamar membawa ponsel berwarna merah muda ini. Aku tak ingin Rara mendengar percakapanku.Ku tekan nomer Mas Zul yang terpatri kuat di ingatanku.“Assalamualaikum. Mas, ini Zahra. Zahra sedang di rumah Rara.”“Waalaikumsalam, aku jemput kamu ketika har
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status