“Perempuan hina, perempuan kotor.”“Bukan, aku bukan wanita seperti itu.” Aku duduk menyandarkan tubuhku di dinding kayu tua itu, tanganku ku telungkupkan ke dua Indra pendengaran ku. Menahan suara-suara yang begitu menyakitkan. “Dek, bangun, Dek! Dek Aisyah!”“Astagfirullah,” ucapku ketika membuka mata. Mas Zul tepat berada di pelupuk mataku, wajahnya penuh khawatir dan tangan kanannya mengelap peluhku.“Kamu kenapa, Dek?”Kini justru tangisan yang keluar dari mataku. Entah kenapa masih terasa sakit meskipun aku sudah di alam sadarku. Kenangan masa lalu membuatku terperangkap dengan perasaan tak percaya diri dan selalu menghantui.“Aku wanita hina, Mas. Aku tak pantas kamu miliki,” tangisku kini semakin pecah, hingga nafasku terasa memberat. “Kamu istri, Mas. Kamu wanita baik-baik. Sudah, lupakan mimpi buruknya.” Mas Zul menenggelamkanku ke dalam pelukannya, membuatku sedikit tenang.Aku kini bahkan melupakan rasa marahku, semua melebur begitu saja ketika aku kembali mendapatkan pe
“Jangan-jangan kamu sengaja ya?” ibu mengarahkan pandangan ke arah Mbak Zahra.“Astagfirullah, untuk apa Zahra sengaja, Bu!” Terdengar Isak tangis dari mulut wanita cantik itu. Tampaknya Mbak Zahra terlalu sakit dengan kalimat-kalimat pedas yang selalu menyudutkannya itu. “Kamu cemburu kan sama Aisyah, kamu tidak bisa mengandung sedangkan ia normal tak sepertimu.”“Astagfirullah,” ucapku lirih. Aku tak percaya ibu Setega itu menghujani Mbak Zahra dengan kalimat yang menyakitkan. Ibu tak seperti biasanya, ia selalu hangat dan bijak baik kepadaku ataupun Mbak zahra. Kenapa beliau tiba-tiba berubah? “Assalamualaikum,” terdengar salam dari balik pintu. Ibu bergegas menghampiri, sepertinya itu tukang urut yang di undang ibu via telepon. Sedangkan Mbak Zahra menghapus air mata yang telah membasahi pipinya. Ia terlihat menegarkan hatinya yang kini hancur lebur. Aku bahkan tak bisa membayangkan jika aku berada di posisinya. Aku yang salah. Justru ia lah yang kena getahnya. Seorang wanita
“Kenapa Mbak Zahra begitu baik kepadaku, Mas?”Mas Zul kini tersenyum, memamerkan lesung pipitnya yang tertumpuk oleh luka lebam.“Karena, Dek Aisyah wanita baik. Jadi layak untuk di perlakukan baik juga.”“Astagfirullah,” teriakan itu membuat kami mengarah ke sumber suara. Wanita paruh baya berbalut gamis panjangnya itu menghampiri kami dengan sempoyongan. “Kamu kenapa, Nak? Kenapa bisa seperti ini? Kamu gak lagi punya musuh kan?” Ibu menatap Mas Zul dengan raut muka khawatir. Netranya penuh selidik memandangi seluruh tubuh anak semata wayangnya itu. “Gak apa, Bu! Zul sudah enakan.”“Enakan bagaimana? Wong tubuh memar semua di bilang enakan!”“Tadi Zul sudah minum obat, ini sudah enakan, Bu. Nyeri nya sudah hilang.”Wanita itu terus menghujani Mas Zul dengan kata-kata bijak khas Ibu dan Mas Zul hanya menjawab dengan anggukan.**Dua hari Mas Zul tidak bekerja, ia benar-benar bedrest untuk menyembuhkan lukanya. Selama itu juga ia tidur di kamar Mbak Zahra. Ia tak mau merepotiku. Ka
Ku tempelkan punggung tanganku di dahinya, dingin. “Mas Zul, Mbak Zahra, Mas ....” teriakku.Mas Zul datang menghampiri masih dengan sarung dan pecinya, ibu pun mengekori masih terbalut dengan mukena putihnya. “Astagfirullah,” ucap Mas Zul sambil mengangkat tubuh Mbak Zahra. Ia meletakkan tubuhnya di Jok tengah mobil, sedangkan ia bergegas menyetir mesin beroda empat itu. “Mas, aku ikut ya?”“Gak usah, Dek. Di rumah sakit gak bagus buat ibu hamil. Dek Aisyah istirahat saja di rumah.” Ia mengelus pucuk kepalaku dan melayangkan kecupan di dahiku. Tak berapa lama sosoknya telah menghilang dari pandangan. “Semoga Nak Zahra tidak apa-apa.” Ibu berjalan mondar mandir di depan tv bak setrikaan yang sedang melaju bolak balik karena kain yang begitu kusut. “Nak Zahra kenapa. Nduk?” Netra ibu kini mengarah kepadaku.“Gak tahu, Bu. Saat Aisyah ke kamar Mbak Zahra, ia sama sekali tak bergerak tubuhnya dingin.” “Kasihan wanita itu,” ujar ibu.Aku harap-harap cemas menunggu berita dari Mas Zu
“Nduk, tolong bantu ibu mengangkat jemuran. Bentar lagi hujan.” Teriak ibu membuat panggilanku terputus sebelum Mbak Zahra menjawab. Aku pun bergegas melakukan perintah ibu. **“Sore ini Zahra pulang, Dek!” Mas Zul mencium keningku seperti biasanya saat tiba di rumah.“Alhamdulillah, Mas. Saya siapkan baju ganti Mbak Zahra dulu.”Seperti biasanya tiap Mas Zul pulang, ia akan membawa baju kotor yang di pakai Mbak Zahra kemarin dan aku menggantinya dengan baju bersih. “Biar, Mas saja. Mas minta tolong buatkan kopi. Aku kangen kopi buatanmu.”Tanpa menunggu lama, aku bergegas melaksanan perintah dari Mas Zul. Menyeduh kopi dengan air mendidih seperti favoritnya. Kulihat Mas Zul termangu duduk di kasur kamar Mbak Zahra sambil menatap buku kecil ditangannya. Raut muka gelisah begitu tampak. “Ini, Mas, kopinya.” Aku menyerahkan kopi hitam yang ku alasi dengan cawannya. Mas Zul yang terkaget segera menjauhkan buku itu dari pandanganku. Sepertinya itu buku rekening tabungan. “Apa yang
POV Zahra.Aku berdiri di sebuah Padang yang begitu besar, netraku terus menjelajahi tempat tersebut, tak ada pepohonan ataupun tumbuhan lainnya. Hanya Padang pasir. Aku mencari Mas Zul ataupun Dek Aisyah, sejauh aku melangkah tak kudapati mereka.Kini aku terfokus dengan antrian yang begitu panjang, mereka mengenakan pakaian serba putih. Namun di antara mereka tak kudapati seorang pun yang aku kenal. Aku mencoba memberanikan diri untuk mendekat antrian. Sekadar bertanya di mana aku berada dan bagaimana caranya untuk bisa sampai ke sini. Baru beberapa langkah aku melangkah terdengar teriakan ibu dan bapak. Mereka pun memakai pakaian serba putih seperti yang lainnya. Ikut berdiri di salah satu antrian panjang. “Zahra....” Wajah ibu dan bapak tampak tersenyum melihatku. Hendak aku melangkah menghampiri mereka, tiba-tiba ada teriakan Mas Zul di sisi lainnya.“Dek Zahra, Dek!” Suara itu terdengar parau dengan Isak tangis di dalamnya. Aku menoleh ke sisi itu, tak ku dapati Mas Zul. Ha
“Mbak boleh tinggal di sini sementara kan, Ra?” “Ya Allah, Mbak. Ini kan rumah Mbak Zahra juga. Justru aku senang kalau Mbak Zahra menemani Rara. Tapi, apa Mas Zul mengijinkan?” Aku mengangguk. Belum siap aku menceritakan semua yang terjadi kepadaku. Tentang rumah tanggaku yang kini sedang tidak baik-baik saja. Aku mengangkat kedua tanganku. Menuangkan gemuruh rasa sesak yang bersemayam di dadaku. Hanya kepadaNya semua akan kembali. “Astagfirullah,” ucapku ketika mengingat tentang Mas Zul. Biasanya seusai solat magrib, ia menyimak mengajiku dan Aisyah. Bahkan sampai saat ini aku lupa memberinya kabar. Ia pasti akan kelimpungan mencari ku. Ku lepas mukena yang kupakai dan segera mencari Rara untuk meminjam ponselnya. Aku kembali ke kamar membawa ponsel berwarna merah muda ini. Aku tak ingin Rara mendengar percakapanku.Ku tekan nomer Mas Zul yang terpatri kuat di ingatanku.“Assalamualaikum. Mas, ini Zahra. Zahra sedang di rumah Rara.”“Waalaikumsalam, aku jemput kamu ketika har
“Jangan, Ra. Mbak masih pengen tinggal di sini lebih lama bersama mu.”Sehari, dua hari dan kembali mengulangi Minggu. Semua tampak begitu menyiksa. Namun ketika diri ini ingin menyerah dan kembali pulang ke rumah. Bayangan ibu turut hadir, duduk bersimpuh dengan wajah yang mengiba membuatku tak tega menolak permintaan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu. “Astagfirullah, Mbak,” teriakan itu terdengar jelas. Sayup-sayup ku lihat seseorang menghampiriku.“Mbak, Mbak Zahra, Mbak.” Terdengar beberapa kali namaku di sebut, tanganku terasa di genggam erat. Perlahan ku buka mata yang terasa memberat ini. “Alhamdulillah, Mbak Zahra sudah sadar.” Rara tersenyum melihatku, baru ku sadari adikku memang sudah sebesar ini. Kuamati ruangan ini, begitu berbeda. Bahkan ada jarum infus yang menempel di punggung tanganku. “Mbak Zahra sedang di rumah sakit. Tadi seusai solat dhuhur Mbak tak sadarkan diri.”Aku melihat jam dinding yang tertempel di dinding kamar ini, menunjukkan waktu asha
Dalam kebingungan aku menatap wajah lelaki yang kini berada di sampingku. Dia tersenyum manis menyimpulkan kebahagiaan di dalamnya. Apa maksudnya? Ia membiarkan Arini pergi begitu saja dalam keadaan hamil? Bukankah Mas Zul itu suaminya? Ia wajib menafkahi lahir batin kepada dua istrinya secara adil.“Alhamdulillah, Dek! Satu persatu masalah keluarga kita telah menghilang.”“Apa maksudmu, Mas? Masalah? Arini itu istrimu, Mas! Istigfar, Mas. Jangan sampai kamu menyesal dengan membuang Arini begitu saja. Ia seorang wanita, dan ia tengah hamil, Mas.”“Nanti Mas jelaskan sambil makan bakwan hangat buatanmu.”Mas Zul mengalungkan lengannya ke pundakku.“Bakwan?” Aku melepas pelukan itu dan berlari menuju dapur, benar seperti dugaanku. Bakwan di penggorengan sudah berkepul asap dengan warna gelap. “Gosong, Mas,” ucapku sambil melirik ke arah Mas Zul yang kini berdiri di sebelahku.Ia tertawa dan diikuti Zafran yang turut serta memamerkan gigi dengan tawa riangnya.**Aku menatap luar dari
Brangkar rumah sakit menyambut kami, segera dibawanya tubuh tak berdaya itu memasuki ruang IGD, sedangkan aku berdiri mematung menunggu kabar Randi. “Maaf, Bu. Ini ponsel bapak Randi.” Seorang perawat berseragam putih itu memberikan sebuah ponsel serta dompet kepadaku.Aku melihat layar pipih itu hendak memberi kabar keluarganya. Sementara ponselku tertinggal di kamar, aku lupa membawanya. Aku memencet tombol on untuk mengaktifkan handphone yang mati ini, berharap layar pipih ini kembali menyala. Ada sebuah sandi di dalamnya. Ya Tuhan, bagaimana aku mengisi sandi itu. Beberapa kali aku mencoba memasukkan kode umum seperti 123456 dan yang lainnya. Namun, selalu sandi salah tertulis di dalamnya. Apa aku harus kembali menuju gedung tadi untuk memberi tahu keadaan Randi? Ditambah lagi hujan deras masih enggan untuk berhenti. Aku kembali memasukkan sandi yang bagiku tak masuk akal. Hari kelahiranku. Ponsel itu terbuka memasuki beranda depan. Ada rasa sakit di dalamnya, apakah sampai se
“Akadnya apa belum mulai, Umi?”“Randi, Syah. Randi ....”“Randi kenapa, Umi?”“Randi pergi.”Aku menatap Anisa yang masih duduk menunggu pengantin lelakinya datang. Aku tak tahu bagaimana perasaan wanita cantik itu saat ini, namun kuyakin pasti hatinya hancur berkeping menerima kenyataan pahit yang hampir tak terpikir oleh logika. Bagaimana mungkin lelaki itu pergi? Kenapa Randi begitu tega memberikan noda gelap dalam keluarga Anisa, wanita baik nan cantik itu.Seorang wanita paruh baya mendekati tubuh Anisa yang dari tadi duduk mematung di depan meja akadnya, sepertinya perempuan itu meminta Anisa berdiri meninggalkan ruangan. Namun, wanita cantik itu tampak enggan. Ia menggeleng dan tetap bertahan di posisinya, membuat hati ini pilu melihat kejadian itu. Kulihat beberapa kali ia mengusap matanya. Aku yakin saat ini air bening keluar dari sudut matanya. ‘Maafkan aku, Anisa!’Beberapa jam yang lalu.“Abi mana, Umi?’“Abi di kamar Umi Arini, Sayang.”“Umi Arini lagi. Ya sudah, Zafran
Suara adan saling bertaut antar mushola, kupanjatkan doa kepada sang pemilik semesta, tak lupa syukur atas nikmat sehat, nikmat anak Soleh, nikmat kebahagiaan dan nikmat rejeki. Aku kembali berkutat dengan meja dapur yang terus menemaniku beberapa tahun ini. Tak lupa seusai itu aku selalu membawa bekal untuk makan siang di tempat kerja dan untuk Zafran di kelasnya.“Dek, besok pagi kan akadnya Randi. Apa Mas pantas memakai pakaian ini?” Mas Zul mengenakan salah satu kemeja yang di ambilnya dari toko, ia mengenakan pakaian baru itu sambil menatap cermin datar yang memantul ke arahnya. Mengenakan kemeja berwarna coklat muda serta celana panjang berwarna coklat tua, membuat lelaki itu begitu sempurna.Tak sepeti biasanya, lelaki itu biasanya selalu cuek masalah penampilan, baik saat menghadiri pengajian maupun undangan pernikahan, biasanya aku atau Mbak Zahra lah yang dulu sering rusuh sendiri memilih pakaian untuk lelaki yang kita sayang. “Bagus, Mas,” ucapku sambil mengacungkan jemp
“Aisyah,” teriakan itu membuatku bergidik ngeri. Suara dari lelaki yang begitu aku kenal. Aku mendongakkan wajahku ke sumber suara.“Mas Zul,” ucapku lirih.Ia berjalan bersama wanita yang akan menjadi pendamping hidup Randi.“Ini istriku, namanya Aisyah,” ucapnya sambil menatap wanita yang mengekorinya. Mas Zul memegang pundakku dan mendekatkan tubuhku ke dalam pelukannya. Aku menatapnya dengan heran. Ada hubungan apa ia dengan Anisa, kenapa ia tiba-tiba berubah dan kembali hangat. Atau ini hanya penutup hubungan yang sudah tak harmonis lagi.“Ka – kalian saling kenal?” tanya Randi yang tak kalah kaget dariku.Wanita itu hanya tersenyum, tanpa jawaban. Setelah Anisa melihat baju yang kupilih, ia langsung mengiyakan tanpa terlebih dulu mencobanya, hingga akhirnya beberapa menit kemudian mereka pamit pulang.Aku duduk di ruang Mas Zul sambil mengibaskan kertas kecil di meja Mas Zul, AC ruangan ini belum mampu mendinginkan hatiku yang masih terasa kacau balau. Mas Zul yang terkadang b
Kepalaku teras semakin berat ketika Arini terus saja meminta haknya sebagai istri. Dari segi materi aku memang menyamakan ia dengan Aisyah tapi dari nafkah batin aku belum mampu melakukannya. “Aku belum bisa, Ar. Bukankah kamu pernah bilang kamu tak akan meminta hak istri dariku?”Arini tertawa dan menatapku sinis.“Aku ini istrimu, Mas. Aku punya hak atas dirimu dan kamu juga punya kewajiban kepadaku. Bukankah dalam Islam pernikahan itu tak boleh dijadikan permainan?”Ucapan wanita itu justru membuatku terasa di jebak olehnya. Tentang aksi bunuh dirinya, kehamilannya, dan permintaan dinikahi. Sekarang ia meminta lebih dari itu. “Ah, sudahlah,” ucapku melangkah keluar dari kamarnya. Aku memasuki kamar Aisyah yang kini sunyi, mencarinya di seluruh penjuru rumah namun tetap saja tak kudapati wanita Solehah ku itu! Apakah teguranku itu terlalu keras hingga membuatnya pergi? Aku mengambil ponselku dan mencoba melakukan panggilan ke ponselnya. Namun, lagi-lagi suara ponselnya terdengar
“Umi, kenapa Abi marah-marah? Bukankah sebelum kita berangkat Umi sudah berpesan kepada nenek untuk ijin ke luar memberi brownies!” “Abi enggak marah, Sayang! Abi Cuma salah paham.”“Abi itu marah, Umi. Abi sekarang sering marah-marah.”Aku membenamkan tubuh kecilnya ke dalam pelukan, memintanya untuk menunaikan empat rakaatnya dan kemudian tidur. Mas Zul dari tadi tak masuk ke kamar, sedangkan aku belum berani keluar, nyaliku masih ciut jika harus kembali melihat amarah suamiku. Apalagi malam ini adalah jadwalnya bersama Arini, tak mungkin juga aku meminta waktunya untuk bersamaku. Terdengar adzan subuh, aku lebih memilih berjamaah dengan Zafran di kamar. Entah kenapa hatiku masih sakit dengan suara sumbang Mas Zul yang diutarakan kepadaku. Aisyah? Ia mudah sekali memanggilku dengan nama saja tanpa ada kata dek di depannya. Seusai berjamaah, Zafran seperti biasanya mandi dan bersiap untuk sekolah sedangkan aku berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi ini.“Tumben gak ikut
“Ehem...,” deheman itu membuat tak sengaja menyentuh gelas kaca hingga terjatuh.Pyarr ....“Astagfirullah,”Wajahku pucat pasi, ketika melihat Mas Zul kini berdiri di ambang pintu, tangannya membawa piring dan gelas yang kotor. Segera ia meletakkan barang tersebut ke bak cucian. “Au ...,” kurasakan jari manisku tersayat serpihan kaca. Perih. Mas Zul menghampiriku dan memasukkan jari itu ke mulutnya, setelah itu ia membilas dengan air keran dan membalutnya dengan plaster. “Ada apa, Mas?” Mbak Zahra menghampiri saat aku dan Mas Zulkifli tak sengaja saling beradu pandang. Mendadak tubuhnya terlihat gemetar, hingga tubuhnya terlihat terhuyung tak kuat menahan berat badannya. “ Mbak Zahra,” ucapku kagetMas Zul dengan sigapnya mengangkat tubuh itu ke dalam pelukannya.“Sudah aku bilang, istirahat dulu di kamar.” Mas Zul membopong tubuh Mbak Zahra ke kamar sedangkan aku bergegas membersihkan serpihan kaca dengan sapu. ‘Apa yang terjadi dengan Mbak Zahra? Ia tampak tak sehat!’“Buat
"Ini juga kenapa brownis panggang, Mbak. Aku pengennya brownis kukus," ucap wanita itu lagi.'Sabar, Aisyah. Kamu wanita yang kuat,' batinku sambil memegang dada yang terasa sesakAku menaruh brownis itu di meja di dekatnya dan berlalu begitu saja. Rasa di hatiku sedang tidak baik, pertengkaran dengan Mas Zul, tentang pernikahan Randi dan kini Arini menambah beban di pikiranku.Aku bergegas ke kamar dan memasuki kamar mandi mengguyur tubuhku dengan dinginnya air keran saat ini. Aku menangis sejadinya, meluapkan emosiku yang terus saja aku tahan. Setelah aku menemukan bahagia kini kembali lara dengan munculnya orang ketiga. Bahkan Mas Zul lelaki yang selalu menjadi panutan ku sekarang berubah acuh dan dingin. Aku Aisyah, wanita yang dulunya jadi yang kedua dan sekarang merasakan bagaimana namanya diduakan. Aku bukan Mbah Zahra yang memiliki hati lapang untuk menerima madunya. Aku belum bisa!Tangisku semakin pecah seiring dengan gemericik air yang kini menjadi peredam suara tangisan.