POV Zahra.Aku berdiri di sebuah Padang yang begitu besar, netraku terus menjelajahi tempat tersebut, tak ada pepohonan ataupun tumbuhan lainnya. Hanya Padang pasir. Aku mencari Mas Zul ataupun Dek Aisyah, sejauh aku melangkah tak kudapati mereka.Kini aku terfokus dengan antrian yang begitu panjang, mereka mengenakan pakaian serba putih. Namun di antara mereka tak kudapati seorang pun yang aku kenal. Aku mencoba memberanikan diri untuk mendekat antrian. Sekadar bertanya di mana aku berada dan bagaimana caranya untuk bisa sampai ke sini. Baru beberapa langkah aku melangkah terdengar teriakan ibu dan bapak. Mereka pun memakai pakaian serba putih seperti yang lainnya. Ikut berdiri di salah satu antrian panjang. “Zahra....” Wajah ibu dan bapak tampak tersenyum melihatku. Hendak aku melangkah menghampiri mereka, tiba-tiba ada teriakan Mas Zul di sisi lainnya.“Dek Zahra, Dek!” Suara itu terdengar parau dengan Isak tangis di dalamnya. Aku menoleh ke sisi itu, tak ku dapati Mas Zul. Ha
“Mbak boleh tinggal di sini sementara kan, Ra?” “Ya Allah, Mbak. Ini kan rumah Mbak Zahra juga. Justru aku senang kalau Mbak Zahra menemani Rara. Tapi, apa Mas Zul mengijinkan?” Aku mengangguk. Belum siap aku menceritakan semua yang terjadi kepadaku. Tentang rumah tanggaku yang kini sedang tidak baik-baik saja. Aku mengangkat kedua tanganku. Menuangkan gemuruh rasa sesak yang bersemayam di dadaku. Hanya kepadaNya semua akan kembali. “Astagfirullah,” ucapku ketika mengingat tentang Mas Zul. Biasanya seusai solat magrib, ia menyimak mengajiku dan Aisyah. Bahkan sampai saat ini aku lupa memberinya kabar. Ia pasti akan kelimpungan mencari ku. Ku lepas mukena yang kupakai dan segera mencari Rara untuk meminjam ponselnya. Aku kembali ke kamar membawa ponsel berwarna merah muda ini. Aku tak ingin Rara mendengar percakapanku.Ku tekan nomer Mas Zul yang terpatri kuat di ingatanku.“Assalamualaikum. Mas, ini Zahra. Zahra sedang di rumah Rara.”“Waalaikumsalam, aku jemput kamu ketika har
“Jangan, Ra. Mbak masih pengen tinggal di sini lebih lama bersama mu.”Sehari, dua hari dan kembali mengulangi Minggu. Semua tampak begitu menyiksa. Namun ketika diri ini ingin menyerah dan kembali pulang ke rumah. Bayangan ibu turut hadir, duduk bersimpuh dengan wajah yang mengiba membuatku tak tega menolak permintaan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu. “Astagfirullah, Mbak,” teriakan itu terdengar jelas. Sayup-sayup ku lihat seseorang menghampiriku.“Mbak, Mbak Zahra, Mbak.” Terdengar beberapa kali namaku di sebut, tanganku terasa di genggam erat. Perlahan ku buka mata yang terasa memberat ini. “Alhamdulillah, Mbak Zahra sudah sadar.” Rara tersenyum melihatku, baru ku sadari adikku memang sudah sebesar ini. Kuamati ruangan ini, begitu berbeda. Bahkan ada jarum infus yang menempel di punggung tanganku. “Mbak Zahra sedang di rumah sakit. Tadi seusai solat dhuhur Mbak tak sadarkan diri.”Aku melihat jam dinding yang tertempel di dinding kamar ini, menunjukkan waktu asha
“Sekarang, kalian harus berhemat ya? Keuangan suamimu.sedang menipis.” Aku menengok ke sumber suara, begitu pun Mas Zul dan Mbak Zahra.“Bu, bukan saatnya.” Mas Zul menggeleng ke arah wanita yang melahirkannya.“Mau sampai kapan kamu tutupi, Zul? Keuanganmu memang sedang tidak baik-baik saja kan? Bahkan kamu berniat menjual mobil peninggalan bapakmu.”Mas Zul tampak terheran mendengar perkataan ibu. Aku dan Mbak Zahra pun ikut ternganga. “Bu,” ucap lembut Mas Zul kepada ibu. “Aku yakin berobat istrimu tidak murah, Zul! Apalagi usahamu lagi di ambang kebangkrutan. Kamu kepala keluarga harusnya tegas. Bisa bicara jujur kepada istri, saling mencari solusi. Bukan malah memendam sendiri seperti ini.”Aku dan Mbak Zahra kini memandang kekasih halal bersamaan. Wajah Mas Zul terlihat malu, sepertinya ia belum siap semua rahasianya di bongkar ibu. Aku tak menyalahkan ucapan wanita yang telah melahirkannya, aku justru bahagia setidaknya aku tahu bagaimana keadaan suamiku saat ini. Meskipun a
“Aisyah.” Suara serak khas lelaki itu memanggil namaku, sontak aku melihat ke sumber suara. Mataku membulat sempurna dan mengucek netraku yang tak perih ini. Hatiku kembali berkecamuk, terasa sakit kembali melihatnya.Lelaki yang dulu menghadirkan trauma begitu mendalam, lelaki yang dulu membuatku di caci dan di hina. Serta di anggap sebagai wanita murahan. Dengan seenaknya ia kembali hadir menampakkan mukanya di hadapku. Tidak malukah dia? “Untuk apa kamu ke sini?” tanyaku dengan nada tinggi.“Jangan galak-galak dong, Aisyah. Benar kan nama kamu Aisyah?”Aku memilih diam dari pada menjawab pertanyaan lelaki ini. Netranya kini mengarah ke perutku yang berisi.“I-inj anak kita?” tanyanya dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Senyum yang membuatku risih dan kembali mengingat masa-masa silam sebelum aku mengenal Mas Zul.“Bukan. Jangan bicara yang tidak-tidak.” “Ada apa, Dek.” Kekasih halalku itu menghampiri, sepertinya ia menyadari kalau saat ini aku sedang tidak baik-baik saj
“Ada yang lihat ponsel ku tidak? Apa ketinggalan di rumah tadi ya?” tanya Mas Zul. Netraku membulat sempurna, kalau Mas Zul tak membawa ponsel, lantas siapa yang mengirim pesan kepadaku? Berarti bukan ia yang mengirim bunga untukku? “Bukannya tadi ... E ...” Aku tak mampu melanjutkan ucapanku. “Iya, Mas. Tadi ketinggalan di rumah. Ini sekalian, Zahra bawakan. Takutnya nanti ada yang penting.”Mbak Zahra mengambil sebuah ponsel dari tas nya. Mas Zul menerima dan terus melihat layar pipih itu, di susurinya beberapa notif di dalamnya. “Ada tawaran tausiyah luar kota, Dek! Bagaimana?” ucap Mas Zul setelah membaca pesan di dalamnya.Aku dan Mbak Zahra saling beradu pandang. “Jangan, Mas! “ jawab Mbak Zahra.“Terima, Mas!” jawabku bersamaan dengan Mbak Zahra.Kini Mas Zul menatap kami bergantian. “Terima saja, Mas. Ini kesempatan Mas Zul biar karirnya kembali naik. Biar toko saya urus dengan Mbak Zahra.” Aku sengaja memamerkan pendapatku yang berlian, memberi ruang luas untuk suamik
Maaf? Mudah sekali ia mengucapnya. Apakah ia tak berpikir panjang tentang perbuatan yang ia lakukan kepadaku? Apa tak pernah berpikir tentang tekanan moralku? Tentang mentalku? Aku mengernyitkan dahi, memicingkan mataku sambil tersenyum kecut ke arahnya.“Aku akan tanggung jawab dengan perbuatan yang pernah aku lakukan, maaf kala itu aku sedang mabuk berat. Tak mampu berpikir dengan jernih.”Berulang kali ucapan maaf terdengar dari bibirnya. Namun, kalimat itu justru terus mengguratkan luka di setiap inci hatiku. Aku kembali mengingat kejadian setahun silam. Di saat ia dengan bengisnya mengambil harga diriku, meskipun mulutku penuh kata permohonan untuk melepaskan nyatanya lelaki itu seakan tak punya nurani dan menodai tubuhku. Tak berhenti di situ saja, aku bahkan mengandung anaknya. Anak yang tak pernah tahu siapa bapaknya. Anak yang tak pernah tahu siapa nasabnya, aku di kucilkan, di asingkan bahkan di jauhi warga. Mereka menganggapku sampah yang layak di buang. Hingga dua bulan
P Y U H H ...Kurasakan perutku seperti meletus. Bau anyir keluar dari organ vital ku“Egh....”Kini sensasi rasa ingin mengejan menghampiri. Kutarik nafas panjang lanjut kuhempaskan dengan pelan, mencoba mengatur nafas yang kini tersengal.“Jangan mengejan dulu, Dek! Di tahan,” ucap Mbak Zahra sambil memegang erat lenganku. Randi sepertinya menekan pedal gas lebih dalam, roda mobil kini berjalan lebih cepat. Hingga tubuh seperti terhuyung dan sensasi mengejan terus hadir. Kontraksi pun kini datang semakin cepat, aku terus mencoba mengatur napas yang sedang tidak karuan. Daerah pinggul dan sekitarnya kini rasanya semakin tak tertahan, tulang seperti di koyak hingga aku meringis tak berdaya. Tubuhku terasa lunglai, menahan sakit yang semakin intens menghampiri. Tak selang lama, mobil ini pun berhenti. Aku bernapas lega, mungkin saja ini sudah sampai halaman rumah sakit. Namun naas di sela kesakitanku yang terus menghampiri, mobil itu berhenti karena ada kecelakaan lalu lintas. “Arg
Dalam kebingungan aku menatap wajah lelaki yang kini berada di sampingku. Dia tersenyum manis menyimpulkan kebahagiaan di dalamnya. Apa maksudnya? Ia membiarkan Arini pergi begitu saja dalam keadaan hamil? Bukankah Mas Zul itu suaminya? Ia wajib menafkahi lahir batin kepada dua istrinya secara adil.“Alhamdulillah, Dek! Satu persatu masalah keluarga kita telah menghilang.”“Apa maksudmu, Mas? Masalah? Arini itu istrimu, Mas! Istigfar, Mas. Jangan sampai kamu menyesal dengan membuang Arini begitu saja. Ia seorang wanita, dan ia tengah hamil, Mas.”“Nanti Mas jelaskan sambil makan bakwan hangat buatanmu.”Mas Zul mengalungkan lengannya ke pundakku.“Bakwan?” Aku melepas pelukan itu dan berlari menuju dapur, benar seperti dugaanku. Bakwan di penggorengan sudah berkepul asap dengan warna gelap. “Gosong, Mas,” ucapku sambil melirik ke arah Mas Zul yang kini berdiri di sebelahku.Ia tertawa dan diikuti Zafran yang turut serta memamerkan gigi dengan tawa riangnya.**Aku menatap luar dari
Brangkar rumah sakit menyambut kami, segera dibawanya tubuh tak berdaya itu memasuki ruang IGD, sedangkan aku berdiri mematung menunggu kabar Randi. “Maaf, Bu. Ini ponsel bapak Randi.” Seorang perawat berseragam putih itu memberikan sebuah ponsel serta dompet kepadaku.Aku melihat layar pipih itu hendak memberi kabar keluarganya. Sementara ponselku tertinggal di kamar, aku lupa membawanya. Aku memencet tombol on untuk mengaktifkan handphone yang mati ini, berharap layar pipih ini kembali menyala. Ada sebuah sandi di dalamnya. Ya Tuhan, bagaimana aku mengisi sandi itu. Beberapa kali aku mencoba memasukkan kode umum seperti 123456 dan yang lainnya. Namun, selalu sandi salah tertulis di dalamnya. Apa aku harus kembali menuju gedung tadi untuk memberi tahu keadaan Randi? Ditambah lagi hujan deras masih enggan untuk berhenti. Aku kembali memasukkan sandi yang bagiku tak masuk akal. Hari kelahiranku. Ponsel itu terbuka memasuki beranda depan. Ada rasa sakit di dalamnya, apakah sampai se
“Akadnya apa belum mulai, Umi?”“Randi, Syah. Randi ....”“Randi kenapa, Umi?”“Randi pergi.”Aku menatap Anisa yang masih duduk menunggu pengantin lelakinya datang. Aku tak tahu bagaimana perasaan wanita cantik itu saat ini, namun kuyakin pasti hatinya hancur berkeping menerima kenyataan pahit yang hampir tak terpikir oleh logika. Bagaimana mungkin lelaki itu pergi? Kenapa Randi begitu tega memberikan noda gelap dalam keluarga Anisa, wanita baik nan cantik itu.Seorang wanita paruh baya mendekati tubuh Anisa yang dari tadi duduk mematung di depan meja akadnya, sepertinya perempuan itu meminta Anisa berdiri meninggalkan ruangan. Namun, wanita cantik itu tampak enggan. Ia menggeleng dan tetap bertahan di posisinya, membuat hati ini pilu melihat kejadian itu. Kulihat beberapa kali ia mengusap matanya. Aku yakin saat ini air bening keluar dari sudut matanya. ‘Maafkan aku, Anisa!’Beberapa jam yang lalu.“Abi mana, Umi?’“Abi di kamar Umi Arini, Sayang.”“Umi Arini lagi. Ya sudah, Zafran
Suara adan saling bertaut antar mushola, kupanjatkan doa kepada sang pemilik semesta, tak lupa syukur atas nikmat sehat, nikmat anak Soleh, nikmat kebahagiaan dan nikmat rejeki. Aku kembali berkutat dengan meja dapur yang terus menemaniku beberapa tahun ini. Tak lupa seusai itu aku selalu membawa bekal untuk makan siang di tempat kerja dan untuk Zafran di kelasnya.“Dek, besok pagi kan akadnya Randi. Apa Mas pantas memakai pakaian ini?” Mas Zul mengenakan salah satu kemeja yang di ambilnya dari toko, ia mengenakan pakaian baru itu sambil menatap cermin datar yang memantul ke arahnya. Mengenakan kemeja berwarna coklat muda serta celana panjang berwarna coklat tua, membuat lelaki itu begitu sempurna.Tak sepeti biasanya, lelaki itu biasanya selalu cuek masalah penampilan, baik saat menghadiri pengajian maupun undangan pernikahan, biasanya aku atau Mbak Zahra lah yang dulu sering rusuh sendiri memilih pakaian untuk lelaki yang kita sayang. “Bagus, Mas,” ucapku sambil mengacungkan jemp
“Aisyah,” teriakan itu membuatku bergidik ngeri. Suara dari lelaki yang begitu aku kenal. Aku mendongakkan wajahku ke sumber suara.“Mas Zul,” ucapku lirih.Ia berjalan bersama wanita yang akan menjadi pendamping hidup Randi.“Ini istriku, namanya Aisyah,” ucapnya sambil menatap wanita yang mengekorinya. Mas Zul memegang pundakku dan mendekatkan tubuhku ke dalam pelukannya. Aku menatapnya dengan heran. Ada hubungan apa ia dengan Anisa, kenapa ia tiba-tiba berubah dan kembali hangat. Atau ini hanya penutup hubungan yang sudah tak harmonis lagi.“Ka – kalian saling kenal?” tanya Randi yang tak kalah kaget dariku.Wanita itu hanya tersenyum, tanpa jawaban. Setelah Anisa melihat baju yang kupilih, ia langsung mengiyakan tanpa terlebih dulu mencobanya, hingga akhirnya beberapa menit kemudian mereka pamit pulang.Aku duduk di ruang Mas Zul sambil mengibaskan kertas kecil di meja Mas Zul, AC ruangan ini belum mampu mendinginkan hatiku yang masih terasa kacau balau. Mas Zul yang terkadang b
Kepalaku teras semakin berat ketika Arini terus saja meminta haknya sebagai istri. Dari segi materi aku memang menyamakan ia dengan Aisyah tapi dari nafkah batin aku belum mampu melakukannya. “Aku belum bisa, Ar. Bukankah kamu pernah bilang kamu tak akan meminta hak istri dariku?”Arini tertawa dan menatapku sinis.“Aku ini istrimu, Mas. Aku punya hak atas dirimu dan kamu juga punya kewajiban kepadaku. Bukankah dalam Islam pernikahan itu tak boleh dijadikan permainan?”Ucapan wanita itu justru membuatku terasa di jebak olehnya. Tentang aksi bunuh dirinya, kehamilannya, dan permintaan dinikahi. Sekarang ia meminta lebih dari itu. “Ah, sudahlah,” ucapku melangkah keluar dari kamarnya. Aku memasuki kamar Aisyah yang kini sunyi, mencarinya di seluruh penjuru rumah namun tetap saja tak kudapati wanita Solehah ku itu! Apakah teguranku itu terlalu keras hingga membuatnya pergi? Aku mengambil ponselku dan mencoba melakukan panggilan ke ponselnya. Namun, lagi-lagi suara ponselnya terdengar
“Umi, kenapa Abi marah-marah? Bukankah sebelum kita berangkat Umi sudah berpesan kepada nenek untuk ijin ke luar memberi brownies!” “Abi enggak marah, Sayang! Abi Cuma salah paham.”“Abi itu marah, Umi. Abi sekarang sering marah-marah.”Aku membenamkan tubuh kecilnya ke dalam pelukan, memintanya untuk menunaikan empat rakaatnya dan kemudian tidur. Mas Zul dari tadi tak masuk ke kamar, sedangkan aku belum berani keluar, nyaliku masih ciut jika harus kembali melihat amarah suamiku. Apalagi malam ini adalah jadwalnya bersama Arini, tak mungkin juga aku meminta waktunya untuk bersamaku. Terdengar adzan subuh, aku lebih memilih berjamaah dengan Zafran di kamar. Entah kenapa hatiku masih sakit dengan suara sumbang Mas Zul yang diutarakan kepadaku. Aisyah? Ia mudah sekali memanggilku dengan nama saja tanpa ada kata dek di depannya. Seusai berjamaah, Zafran seperti biasanya mandi dan bersiap untuk sekolah sedangkan aku berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi ini.“Tumben gak ikut
“Ehem...,” deheman itu membuat tak sengaja menyentuh gelas kaca hingga terjatuh.Pyarr ....“Astagfirullah,”Wajahku pucat pasi, ketika melihat Mas Zul kini berdiri di ambang pintu, tangannya membawa piring dan gelas yang kotor. Segera ia meletakkan barang tersebut ke bak cucian. “Au ...,” kurasakan jari manisku tersayat serpihan kaca. Perih. Mas Zul menghampiriku dan memasukkan jari itu ke mulutnya, setelah itu ia membilas dengan air keran dan membalutnya dengan plaster. “Ada apa, Mas?” Mbak Zahra menghampiri saat aku dan Mas Zulkifli tak sengaja saling beradu pandang. Mendadak tubuhnya terlihat gemetar, hingga tubuhnya terlihat terhuyung tak kuat menahan berat badannya. “ Mbak Zahra,” ucapku kagetMas Zul dengan sigapnya mengangkat tubuh itu ke dalam pelukannya.“Sudah aku bilang, istirahat dulu di kamar.” Mas Zul membopong tubuh Mbak Zahra ke kamar sedangkan aku bergegas membersihkan serpihan kaca dengan sapu. ‘Apa yang terjadi dengan Mbak Zahra? Ia tampak tak sehat!’“Buat
"Ini juga kenapa brownis panggang, Mbak. Aku pengennya brownis kukus," ucap wanita itu lagi.'Sabar, Aisyah. Kamu wanita yang kuat,' batinku sambil memegang dada yang terasa sesakAku menaruh brownis itu di meja di dekatnya dan berlalu begitu saja. Rasa di hatiku sedang tidak baik, pertengkaran dengan Mas Zul, tentang pernikahan Randi dan kini Arini menambah beban di pikiranku.Aku bergegas ke kamar dan memasuki kamar mandi mengguyur tubuhku dengan dinginnya air keran saat ini. Aku menangis sejadinya, meluapkan emosiku yang terus saja aku tahan. Setelah aku menemukan bahagia kini kembali lara dengan munculnya orang ketiga. Bahkan Mas Zul lelaki yang selalu menjadi panutan ku sekarang berubah acuh dan dingin. Aku Aisyah, wanita yang dulunya jadi yang kedua dan sekarang merasakan bagaimana namanya diduakan. Aku bukan Mbah Zahra yang memiliki hati lapang untuk menerima madunya. Aku belum bisa!Tangisku semakin pecah seiring dengan gemericik air yang kini menjadi peredam suara tangisan.