“Aisyah.” Suara serak khas lelaki itu memanggil namaku, sontak aku melihat ke sumber suara. Mataku membulat sempurna dan mengucek netraku yang tak perih ini. Hatiku kembali berkecamuk, terasa sakit kembali melihatnya.Lelaki yang dulu menghadirkan trauma begitu mendalam, lelaki yang dulu membuatku di caci dan di hina. Serta di anggap sebagai wanita murahan. Dengan seenaknya ia kembali hadir menampakkan mukanya di hadapku. Tidak malukah dia? “Untuk apa kamu ke sini?” tanyaku dengan nada tinggi.“Jangan galak-galak dong, Aisyah. Benar kan nama kamu Aisyah?”Aku memilih diam dari pada menjawab pertanyaan lelaki ini. Netranya kini mengarah ke perutku yang berisi.“I-inj anak kita?” tanyanya dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Senyum yang membuatku risih dan kembali mengingat masa-masa silam sebelum aku mengenal Mas Zul.“Bukan. Jangan bicara yang tidak-tidak.” “Ada apa, Dek.” Kekasih halalku itu menghampiri, sepertinya ia menyadari kalau saat ini aku sedang tidak baik-baik saj
“Ada yang lihat ponsel ku tidak? Apa ketinggalan di rumah tadi ya?” tanya Mas Zul. Netraku membulat sempurna, kalau Mas Zul tak membawa ponsel, lantas siapa yang mengirim pesan kepadaku? Berarti bukan ia yang mengirim bunga untukku? “Bukannya tadi ... E ...” Aku tak mampu melanjutkan ucapanku. “Iya, Mas. Tadi ketinggalan di rumah. Ini sekalian, Zahra bawakan. Takutnya nanti ada yang penting.”Mbak Zahra mengambil sebuah ponsel dari tas nya. Mas Zul menerima dan terus melihat layar pipih itu, di susurinya beberapa notif di dalamnya. “Ada tawaran tausiyah luar kota, Dek! Bagaimana?” ucap Mas Zul setelah membaca pesan di dalamnya.Aku dan Mbak Zahra saling beradu pandang. “Jangan, Mas! “ jawab Mbak Zahra.“Terima, Mas!” jawabku bersamaan dengan Mbak Zahra.Kini Mas Zul menatap kami bergantian. “Terima saja, Mas. Ini kesempatan Mas Zul biar karirnya kembali naik. Biar toko saya urus dengan Mbak Zahra.” Aku sengaja memamerkan pendapatku yang berlian, memberi ruang luas untuk suamik
Maaf? Mudah sekali ia mengucapnya. Apakah ia tak berpikir panjang tentang perbuatan yang ia lakukan kepadaku? Apa tak pernah berpikir tentang tekanan moralku? Tentang mentalku? Aku mengernyitkan dahi, memicingkan mataku sambil tersenyum kecut ke arahnya.“Aku akan tanggung jawab dengan perbuatan yang pernah aku lakukan, maaf kala itu aku sedang mabuk berat. Tak mampu berpikir dengan jernih.”Berulang kali ucapan maaf terdengar dari bibirnya. Namun, kalimat itu justru terus mengguratkan luka di setiap inci hatiku. Aku kembali mengingat kejadian setahun silam. Di saat ia dengan bengisnya mengambil harga diriku, meskipun mulutku penuh kata permohonan untuk melepaskan nyatanya lelaki itu seakan tak punya nurani dan menodai tubuhku. Tak berhenti di situ saja, aku bahkan mengandung anaknya. Anak yang tak pernah tahu siapa bapaknya. Anak yang tak pernah tahu siapa nasabnya, aku di kucilkan, di asingkan bahkan di jauhi warga. Mereka menganggapku sampah yang layak di buang. Hingga dua bulan
P Y U H H ...Kurasakan perutku seperti meletus. Bau anyir keluar dari organ vital ku“Egh....”Kini sensasi rasa ingin mengejan menghampiri. Kutarik nafas panjang lanjut kuhempaskan dengan pelan, mencoba mengatur nafas yang kini tersengal.“Jangan mengejan dulu, Dek! Di tahan,” ucap Mbak Zahra sambil memegang erat lenganku. Randi sepertinya menekan pedal gas lebih dalam, roda mobil kini berjalan lebih cepat. Hingga tubuh seperti terhuyung dan sensasi mengejan terus hadir. Kontraksi pun kini datang semakin cepat, aku terus mencoba mengatur napas yang sedang tidak karuan. Daerah pinggul dan sekitarnya kini rasanya semakin tak tertahan, tulang seperti di koyak hingga aku meringis tak berdaya. Tubuhku terasa lunglai, menahan sakit yang semakin intens menghampiri. Tak selang lama, mobil ini pun berhenti. Aku bernapas lega, mungkin saja ini sudah sampai halaman rumah sakit. Namun naas di sela kesakitanku yang terus menghampiri, mobil itu berhenti karena ada kecelakaan lalu lintas. “Arg
Mbak Zahra kini mendekat, menggendong sebuah bayi yang terbalut dengan kain warna biru.“Zafran telah lahir, Dek! Alhamdulillah sehat.”Aku sudah lahiran? Kapan aku melakukannya? Argh, apakah tadi aku kena bius dan di laksanakan operasi Cesar? Kenapa Mbak Zahra yang kini menggendong Zafran lebih dulu, harusnya aku. Bukankah aku yang ibu kandungnya.Pintu kamar terbuka, dan kini seorang wanita paruh baya berbaju putih dan berkulit sawo matang itu mendekat. Di belakangnya ada Mas Zul yang mengekori.“IMD dulu ya, Bu!” Perawat itu mengambil Zafran dari tangan Mbak Zahra kemudian di letakkan di atas dadaku. Aku di minta untuk menyusui bayi merah itu. “Zafran, anakku sayang!” Aku mengecup dahi bayi mungil ini sedangkan ia masih terus mengenyot asinya. Ada sensasi rasa tersendiri, aku bagaikan wanita yang sempurna. Mas Zul mendekat dan kini mengelus ujung kepala yang tertutup jilbabku.“Selamat ya, Dek. Sekarang sudah menjadi ibu.” Kini Mas Zul mengusap rambut Zafran yang tipis, lanjut
“Apa? Cesar?” jawab ibu dengan nada tinggi, tampaknya ia tak suka dengan kalimat yang baru ku ucap.“Iya, Bu. Aisyah sendiri tidak tahu, tiba-tiba Aisyah tersadar dan Zafran di gendong Mbak Zahra.”“Ini pasti kamu gak pinter mengejan, makanya di lakukan tindakan Cesar. Tahu kan, kalau operasi itu biayanya mahal, berkali-kali lipat dari lahiran normal.”Aku mengangguk, sambil menahan buliran air mata yang hendak jatuh.Ku tatap mereka yang mengisi ruangan, wajahnya tampak nanar menatapku.“Bu, yang penting Zafran lahir selamat, Aisyah juga selamat. Masalah biaya kan bisa di cari.” Mas Zul bersuara dan menyorotkan kamera di wajahnya, sepertinya ia mengerti dengan raut mukaku yang menyimpan kepedihan. “Kamu itu kebiasaan, sukanya manjain istri, Zul!” **Mbak Zahra dan Mas Zul tampak bahagia dengan Zafran di gendongan wanita cantik itu sedangkan lelaki sempurna itu tampak menemani sambil mengelus rambut bayi lelaki itu. Mereka tampak seperti keluarga bahagia sedangkan aku hanya mampu t
Aku terus menatap pintu kamar yang dari tadi terbuka, berharap ada seseorang yang menjenguk dan sekedar tanya kabarku saat ini. Lama aku menunggu hingga netraku kini disambangi rasa kantuk.“Nduk, jangan tidur. Ini Zafran pengen asi. Lagian gak baik ibu melahirkan tiduran pagi-pagi.” Suara dengan volume aagj tinggi itu membuatku terkejut. Wanita paruh baya itu sudah berdiri di sebelahku, menyerahkan Zafran yang terus membuka mulutnya seperti mencari sumber air untuknya. Aku raih lelaki kecilku itu. Memberikan kepuasan untuk Zafran yang kini di liputi kehausan. Kuciumi bayi kecilku itu, sambil kudendangkan sholawatan agar ia terus nyaman bersamaku. Sesekali aku meringis menahan sayatan pisau di area perutku. “Aduh,” aku mengaduh hingga sumber asi itu terlepas dari bibir Zafran. Zafran yang hendak tertidur kini terbangun dan mengeluarkan suara tangisannya. “Gimana sih, Nduk! Jangan buat Zafran menangis, mengasihi itu yang benar,” ucapan pedas ibu membuat batinku yang terluka meng
“Sebenarnya siapa Aisyah, Zul? Bagaimana kondisi keluarganya sebelumnya?” “Bukankah Zul sudah pernah jawab, Bu! Aisyah itu wanita sebatang kara. Ia tak memiliki keluarga, dan ia orang yang kurang berada.”“Apa Cuma itu? Gak ada yang kamu tutupi? Ingat ibu selalu tahu jika kamu berbohong, dan ibu gak suka di bohongi.”‘Ya Allah, apakah ini menjadi akhir dari menjadi bagian keluarga ini? Apakah ibu bisa menerimaku dengan masa lalu ku yang begitu kelam.’Mas Zul tampak terdiam, ia seperti berpikir jawaban apa yang harus di ucapkan kepada wanita yang telah melahirkannya itu. Oek ... Oek ...Terdengar tangisan Zafran yang melengking, dengan tergopoh aku menghampiri tubuhnya yang tidur di atas kasur kamarku. Tak lama kemudian, ayah serta neneknya itu pun datang. “Astagfirullah,” ucapku sambil mengambil semut di leher Zafran. Tampaknya binatang kecil itu telah menggigit kulit pangeran kecilku, terlihat dari warnanya yang memerah dan sedikit benjol di sekitar binatang kecil itu ditemukan.
Dalam kebingungan aku menatap wajah lelaki yang kini berada di sampingku. Dia tersenyum manis menyimpulkan kebahagiaan di dalamnya. Apa maksudnya? Ia membiarkan Arini pergi begitu saja dalam keadaan hamil? Bukankah Mas Zul itu suaminya? Ia wajib menafkahi lahir batin kepada dua istrinya secara adil.“Alhamdulillah, Dek! Satu persatu masalah keluarga kita telah menghilang.”“Apa maksudmu, Mas? Masalah? Arini itu istrimu, Mas! Istigfar, Mas. Jangan sampai kamu menyesal dengan membuang Arini begitu saja. Ia seorang wanita, dan ia tengah hamil, Mas.”“Nanti Mas jelaskan sambil makan bakwan hangat buatanmu.”Mas Zul mengalungkan lengannya ke pundakku.“Bakwan?” Aku melepas pelukan itu dan berlari menuju dapur, benar seperti dugaanku. Bakwan di penggorengan sudah berkepul asap dengan warna gelap. “Gosong, Mas,” ucapku sambil melirik ke arah Mas Zul yang kini berdiri di sebelahku.Ia tertawa dan diikuti Zafran yang turut serta memamerkan gigi dengan tawa riangnya.**Aku menatap luar dari
Brangkar rumah sakit menyambut kami, segera dibawanya tubuh tak berdaya itu memasuki ruang IGD, sedangkan aku berdiri mematung menunggu kabar Randi. “Maaf, Bu. Ini ponsel bapak Randi.” Seorang perawat berseragam putih itu memberikan sebuah ponsel serta dompet kepadaku.Aku melihat layar pipih itu hendak memberi kabar keluarganya. Sementara ponselku tertinggal di kamar, aku lupa membawanya. Aku memencet tombol on untuk mengaktifkan handphone yang mati ini, berharap layar pipih ini kembali menyala. Ada sebuah sandi di dalamnya. Ya Tuhan, bagaimana aku mengisi sandi itu. Beberapa kali aku mencoba memasukkan kode umum seperti 123456 dan yang lainnya. Namun, selalu sandi salah tertulis di dalamnya. Apa aku harus kembali menuju gedung tadi untuk memberi tahu keadaan Randi? Ditambah lagi hujan deras masih enggan untuk berhenti. Aku kembali memasukkan sandi yang bagiku tak masuk akal. Hari kelahiranku. Ponsel itu terbuka memasuki beranda depan. Ada rasa sakit di dalamnya, apakah sampai se
“Akadnya apa belum mulai, Umi?”“Randi, Syah. Randi ....”“Randi kenapa, Umi?”“Randi pergi.”Aku menatap Anisa yang masih duduk menunggu pengantin lelakinya datang. Aku tak tahu bagaimana perasaan wanita cantik itu saat ini, namun kuyakin pasti hatinya hancur berkeping menerima kenyataan pahit yang hampir tak terpikir oleh logika. Bagaimana mungkin lelaki itu pergi? Kenapa Randi begitu tega memberikan noda gelap dalam keluarga Anisa, wanita baik nan cantik itu.Seorang wanita paruh baya mendekati tubuh Anisa yang dari tadi duduk mematung di depan meja akadnya, sepertinya perempuan itu meminta Anisa berdiri meninggalkan ruangan. Namun, wanita cantik itu tampak enggan. Ia menggeleng dan tetap bertahan di posisinya, membuat hati ini pilu melihat kejadian itu. Kulihat beberapa kali ia mengusap matanya. Aku yakin saat ini air bening keluar dari sudut matanya. ‘Maafkan aku, Anisa!’Beberapa jam yang lalu.“Abi mana, Umi?’“Abi di kamar Umi Arini, Sayang.”“Umi Arini lagi. Ya sudah, Zafran
Suara adan saling bertaut antar mushola, kupanjatkan doa kepada sang pemilik semesta, tak lupa syukur atas nikmat sehat, nikmat anak Soleh, nikmat kebahagiaan dan nikmat rejeki. Aku kembali berkutat dengan meja dapur yang terus menemaniku beberapa tahun ini. Tak lupa seusai itu aku selalu membawa bekal untuk makan siang di tempat kerja dan untuk Zafran di kelasnya.“Dek, besok pagi kan akadnya Randi. Apa Mas pantas memakai pakaian ini?” Mas Zul mengenakan salah satu kemeja yang di ambilnya dari toko, ia mengenakan pakaian baru itu sambil menatap cermin datar yang memantul ke arahnya. Mengenakan kemeja berwarna coklat muda serta celana panjang berwarna coklat tua, membuat lelaki itu begitu sempurna.Tak sepeti biasanya, lelaki itu biasanya selalu cuek masalah penampilan, baik saat menghadiri pengajian maupun undangan pernikahan, biasanya aku atau Mbak Zahra lah yang dulu sering rusuh sendiri memilih pakaian untuk lelaki yang kita sayang. “Bagus, Mas,” ucapku sambil mengacungkan jemp
“Aisyah,” teriakan itu membuatku bergidik ngeri. Suara dari lelaki yang begitu aku kenal. Aku mendongakkan wajahku ke sumber suara.“Mas Zul,” ucapku lirih.Ia berjalan bersama wanita yang akan menjadi pendamping hidup Randi.“Ini istriku, namanya Aisyah,” ucapnya sambil menatap wanita yang mengekorinya. Mas Zul memegang pundakku dan mendekatkan tubuhku ke dalam pelukannya. Aku menatapnya dengan heran. Ada hubungan apa ia dengan Anisa, kenapa ia tiba-tiba berubah dan kembali hangat. Atau ini hanya penutup hubungan yang sudah tak harmonis lagi.“Ka – kalian saling kenal?” tanya Randi yang tak kalah kaget dariku.Wanita itu hanya tersenyum, tanpa jawaban. Setelah Anisa melihat baju yang kupilih, ia langsung mengiyakan tanpa terlebih dulu mencobanya, hingga akhirnya beberapa menit kemudian mereka pamit pulang.Aku duduk di ruang Mas Zul sambil mengibaskan kertas kecil di meja Mas Zul, AC ruangan ini belum mampu mendinginkan hatiku yang masih terasa kacau balau. Mas Zul yang terkadang b
Kepalaku teras semakin berat ketika Arini terus saja meminta haknya sebagai istri. Dari segi materi aku memang menyamakan ia dengan Aisyah tapi dari nafkah batin aku belum mampu melakukannya. “Aku belum bisa, Ar. Bukankah kamu pernah bilang kamu tak akan meminta hak istri dariku?”Arini tertawa dan menatapku sinis.“Aku ini istrimu, Mas. Aku punya hak atas dirimu dan kamu juga punya kewajiban kepadaku. Bukankah dalam Islam pernikahan itu tak boleh dijadikan permainan?”Ucapan wanita itu justru membuatku terasa di jebak olehnya. Tentang aksi bunuh dirinya, kehamilannya, dan permintaan dinikahi. Sekarang ia meminta lebih dari itu. “Ah, sudahlah,” ucapku melangkah keluar dari kamarnya. Aku memasuki kamar Aisyah yang kini sunyi, mencarinya di seluruh penjuru rumah namun tetap saja tak kudapati wanita Solehah ku itu! Apakah teguranku itu terlalu keras hingga membuatnya pergi? Aku mengambil ponselku dan mencoba melakukan panggilan ke ponselnya. Namun, lagi-lagi suara ponselnya terdengar
“Umi, kenapa Abi marah-marah? Bukankah sebelum kita berangkat Umi sudah berpesan kepada nenek untuk ijin ke luar memberi brownies!” “Abi enggak marah, Sayang! Abi Cuma salah paham.”“Abi itu marah, Umi. Abi sekarang sering marah-marah.”Aku membenamkan tubuh kecilnya ke dalam pelukan, memintanya untuk menunaikan empat rakaatnya dan kemudian tidur. Mas Zul dari tadi tak masuk ke kamar, sedangkan aku belum berani keluar, nyaliku masih ciut jika harus kembali melihat amarah suamiku. Apalagi malam ini adalah jadwalnya bersama Arini, tak mungkin juga aku meminta waktunya untuk bersamaku. Terdengar adzan subuh, aku lebih memilih berjamaah dengan Zafran di kamar. Entah kenapa hatiku masih sakit dengan suara sumbang Mas Zul yang diutarakan kepadaku. Aisyah? Ia mudah sekali memanggilku dengan nama saja tanpa ada kata dek di depannya. Seusai berjamaah, Zafran seperti biasanya mandi dan bersiap untuk sekolah sedangkan aku berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi ini.“Tumben gak ikut
“Ehem...,” deheman itu membuat tak sengaja menyentuh gelas kaca hingga terjatuh.Pyarr ....“Astagfirullah,”Wajahku pucat pasi, ketika melihat Mas Zul kini berdiri di ambang pintu, tangannya membawa piring dan gelas yang kotor. Segera ia meletakkan barang tersebut ke bak cucian. “Au ...,” kurasakan jari manisku tersayat serpihan kaca. Perih. Mas Zul menghampiriku dan memasukkan jari itu ke mulutnya, setelah itu ia membilas dengan air keran dan membalutnya dengan plaster. “Ada apa, Mas?” Mbak Zahra menghampiri saat aku dan Mas Zulkifli tak sengaja saling beradu pandang. Mendadak tubuhnya terlihat gemetar, hingga tubuhnya terlihat terhuyung tak kuat menahan berat badannya. “ Mbak Zahra,” ucapku kagetMas Zul dengan sigapnya mengangkat tubuh itu ke dalam pelukannya.“Sudah aku bilang, istirahat dulu di kamar.” Mas Zul membopong tubuh Mbak Zahra ke kamar sedangkan aku bergegas membersihkan serpihan kaca dengan sapu. ‘Apa yang terjadi dengan Mbak Zahra? Ia tampak tak sehat!’“Buat
"Ini juga kenapa brownis panggang, Mbak. Aku pengennya brownis kukus," ucap wanita itu lagi.'Sabar, Aisyah. Kamu wanita yang kuat,' batinku sambil memegang dada yang terasa sesakAku menaruh brownis itu di meja di dekatnya dan berlalu begitu saja. Rasa di hatiku sedang tidak baik, pertengkaran dengan Mas Zul, tentang pernikahan Randi dan kini Arini menambah beban di pikiranku.Aku bergegas ke kamar dan memasuki kamar mandi mengguyur tubuhku dengan dinginnya air keran saat ini. Aku menangis sejadinya, meluapkan emosiku yang terus saja aku tahan. Setelah aku menemukan bahagia kini kembali lara dengan munculnya orang ketiga. Bahkan Mas Zul lelaki yang selalu menjadi panutan ku sekarang berubah acuh dan dingin. Aku Aisyah, wanita yang dulunya jadi yang kedua dan sekarang merasakan bagaimana namanya diduakan. Aku bukan Mbah Zahra yang memiliki hati lapang untuk menerima madunya. Aku belum bisa!Tangisku semakin pecah seiring dengan gemericik air yang kini menjadi peredam suara tangisan.