“Apa? Cesar?” jawab ibu dengan nada tinggi, tampaknya ia tak suka dengan kalimat yang baru ku ucap.“Iya, Bu. Aisyah sendiri tidak tahu, tiba-tiba Aisyah tersadar dan Zafran di gendong Mbak Zahra.”“Ini pasti kamu gak pinter mengejan, makanya di lakukan tindakan Cesar. Tahu kan, kalau operasi itu biayanya mahal, berkali-kali lipat dari lahiran normal.”Aku mengangguk, sambil menahan buliran air mata yang hendak jatuh.Ku tatap mereka yang mengisi ruangan, wajahnya tampak nanar menatapku.“Bu, yang penting Zafran lahir selamat, Aisyah juga selamat. Masalah biaya kan bisa di cari.” Mas Zul bersuara dan menyorotkan kamera di wajahnya, sepertinya ia mengerti dengan raut mukaku yang menyimpan kepedihan. “Kamu itu kebiasaan, sukanya manjain istri, Zul!” **Mbak Zahra dan Mas Zul tampak bahagia dengan Zafran di gendongan wanita cantik itu sedangkan lelaki sempurna itu tampak menemani sambil mengelus rambut bayi lelaki itu. Mereka tampak seperti keluarga bahagia sedangkan aku hanya mampu t
Aku terus menatap pintu kamar yang dari tadi terbuka, berharap ada seseorang yang menjenguk dan sekedar tanya kabarku saat ini. Lama aku menunggu hingga netraku kini disambangi rasa kantuk.“Nduk, jangan tidur. Ini Zafran pengen asi. Lagian gak baik ibu melahirkan tiduran pagi-pagi.” Suara dengan volume aagj tinggi itu membuatku terkejut. Wanita paruh baya itu sudah berdiri di sebelahku, menyerahkan Zafran yang terus membuka mulutnya seperti mencari sumber air untuknya. Aku raih lelaki kecilku itu. Memberikan kepuasan untuk Zafran yang kini di liputi kehausan. Kuciumi bayi kecilku itu, sambil kudendangkan sholawatan agar ia terus nyaman bersamaku. Sesekali aku meringis menahan sayatan pisau di area perutku. “Aduh,” aku mengaduh hingga sumber asi itu terlepas dari bibir Zafran. Zafran yang hendak tertidur kini terbangun dan mengeluarkan suara tangisannya. “Gimana sih, Nduk! Jangan buat Zafran menangis, mengasihi itu yang benar,” ucapan pedas ibu membuat batinku yang terluka meng
“Sebenarnya siapa Aisyah, Zul? Bagaimana kondisi keluarganya sebelumnya?” “Bukankah Zul sudah pernah jawab, Bu! Aisyah itu wanita sebatang kara. Ia tak memiliki keluarga, dan ia orang yang kurang berada.”“Apa Cuma itu? Gak ada yang kamu tutupi? Ingat ibu selalu tahu jika kamu berbohong, dan ibu gak suka di bohongi.”‘Ya Allah, apakah ini menjadi akhir dari menjadi bagian keluarga ini? Apakah ibu bisa menerimaku dengan masa lalu ku yang begitu kelam.’Mas Zul tampak terdiam, ia seperti berpikir jawaban apa yang harus di ucapkan kepada wanita yang telah melahirkannya itu. Oek ... Oek ...Terdengar tangisan Zafran yang melengking, dengan tergopoh aku menghampiri tubuhnya yang tidur di atas kasur kamarku. Tak lama kemudian, ayah serta neneknya itu pun datang. “Astagfirullah,” ucapku sambil mengambil semut di leher Zafran. Tampaknya binatang kecil itu telah menggigit kulit pangeran kecilku, terlihat dari warnanya yang memerah dan sedikit benjol di sekitar binatang kecil itu ditemukan.
“Maaf, Zahra kelupaan kalau sedang menggoreng tempe.” Bola mata Mbak Zahra kini menatap ke arahku, sepertinya wanita itu menangkap raut mata kesedihan di dalamnya. Sedangkan Randi berada di belakangnya mengekori tubuh semampai itu.“Zahra yang salah, Bu! Tadi ninggalin dapur begitu saja.”“Jangan terus nyalahin dirimu, Nak. Kan di dapur ada Aisyah, harusnya wanita ini yang bertanggung jawab. Jangan di buat manja, nanti kebiasaan.”“Lagian Zulkifli apa-apaan, ambil istri kok yang tidak jelas bibit, bobot dan bebetnya,” ucap ibu lirih sambil melangkah ke luar dari dapur. Sedangkan cucu yang di gendongnya masih tampak pulas setelah kenyang kuberikan asi tadi.Ucapan itu memang pelan, tapi aku mendengarnya begitu jelas kalimat yang keluar dari bibir ibu. Rasanya benar-benar sesak, hingga Mbak Zahra mendekat dan mengusap pelan punggungku. Mencoba memberi kekuatan. Aku melihat Randi, sepertinya lelaki itu melihatku dengan penuh iba. Ibu bahkan tak memiliki rasa sungkan mengeluarkan omongan
“Aisyah,” teriakan ibu di sertai tangisan Zafran yang tampak kesakitan itu membuatku terkaget. Tanpa pikir panjang aku segera meninggalkan pekerjaanku dan berlari menghampiri mereka. Aku menghampiri ibu di teras, ia tampak ketakutan dengan perilaku cucunya yang nangis tanpa henti itu, bahkan air mata bayi ikut luruh dengan sendirinya. Aku mengambil tubuh kecilku, menggendongnya secara vertikal dan sedikit mengayunkan dan menepuk pantatnya. Zafran tampak tenang, meskipun tangisan itu masih belum mereda. ‘Astagfirullah,' batinku. Aku teringat belum melepas koin yang di pasang ibu dari tadi pagi. Biasanya aku hanya menurut ketika ibu selesai memandikan, menaruh koin di atas pusar Zafran dan melilitkan dengan gurita yang di kenakannya. Aku tak protes. Bagiku menyangkal ucapan ibu pun percuma, beliau selalu membandingkan ilmu nya yang telah merawat Mas Zul sendirian dan suamiku itu sehat sampai sekarang. Namun, tiap usai Zafran di mandikan. Aku selalu melonggarkan guritanya dan meng
“Sudah makan dulu,” Mbak Zahra mengambilkan ku piring dan sendok, memintaku duduk di bangku sedangkan di atas meja sudah tersaji menu-menu sederhana yang bakal menggoyang lidah. Semua sudah siap, hanya tinggal menunggu dingin untuk di masukkan ke kardus makanan. “Tapi, Mbak? Ibu belum makan. Aku gak enak kalau nanti gak ikut makan bersama.”“Beliau sudah makan, Mbak dan Randi juga sudah. Cuman tinggal kamu saja.” Aku melirik ke arah wastafel memang beberapa tumpuk piring berada di situ. Mungkin memang benar ucapan wanita cantik ini.“Mbak tinggal dulu, mau mandi.” Mbak Zahra meninggalkan dapur seusai tumpukan piring itu di bersihkan. Hanya ada aku dan Randi. Canggung. Aku duduk mematung sambil menyuap mulutku dengan suapan terakhir. Kurasakan tanganku bergetar, peluhku mulai datang, dan bulu kudukku meremang. Ingatan tentang lelaki bersuara serak itu kembali muncul. Aku di liputi ketakutan saat ia duduk di bangku depanku. Memori masa lalu meninggalkan trauma yang begitu mendalam.
Aku melihat ke jam dinding, pukul 05.30. sudah sepagi ini, pasti Mas Zul sudah ke toko. Kenapa ia tak menghampiri Zafran dan pamitan kepadaku? Apakah aku tak sepenting ini? Apakah setelah bermalaman di kamar Mbak Zahra membuatnya melupakan kami begitu saja?Seusai memandikan Zafran, aku membawa ia ke teras. Menikmati udara pagi sambil menunggu secercah kehangatan dari mentari pagi ini. Rumah tampak sepi, sedangkan belum juga aku mendengar suara atau melihat senyuman khas Mbak Zahra. Biasanya wanita cantik itu, menggantikan ku menggendong Zafran dan memintaku untuk sarapan. “Nduk, ibu berangkat pengajian dulu. Kamu tunggu rumah ya?”“Mbak Zahra di mana, Bu?” “Ia ikut Zul ke toko. Tokonya lagi ramai, jadi ia membantu di sana.”Ku cium punggung tangan ibu, sedangkan ibu membalas ciuman hangat ke Zafran. Membelai rambutnya sambil mengucap doa untuk anakku ini. Pantas saja Mbak Zahra tak terlihat, Mas Zul pun tak berpamitan. Ternyata mereka berangkat bersama. Aku melangkahkan kaki untu
“Makan dulu, Mas.” Suara Mbak Zahra terdengar di ikuti Mas Zul yang membuka mulut dan di suapi Mbak Zahra. Kenapa lagi-lagi mereka memamerkan kemesraan kepadaku. Tidak ingatkah aku ada di sini? Sedangkan Mas Zul menyuapiku makan pun jarang, hanya dulu saat aku tengah hamil dan bedrest total. Apakah sampai saat ini aku belum juga masuk dan menjadi bagian dari hati Mas Zul suamiku.’Ya Allah, berikan aku hati yang lapang bagai Padang Mahsyar mu dan luas seperti lautan, hingga aku tak akan terus tersakiti hanya karena rasa cemburuku.’Sampai sore tiba, aku hanya menghabiskan waktu bersama Zafran, tak sedikit pun aku meninggalkan anak lelaki itu. “Assalamualaikum, Nduk Aisyah ini bingkisan dari siapa? Kenapa di taruh di luar pintu?”Aku yang seusai memandikan Zafran kini menghampiri tubuh ibu. Ia membawa tas besar pemberian dari Randi. “Ini milik siapa? Kenapa di taruh di depan pintu.”Aku gagap untuk menjawab, tak mungkin aku bilang itu dari Randi, sedangkan posisi rumah sedang koson
Dalam kebingungan aku menatap wajah lelaki yang kini berada di sampingku. Dia tersenyum manis menyimpulkan kebahagiaan di dalamnya. Apa maksudnya? Ia membiarkan Arini pergi begitu saja dalam keadaan hamil? Bukankah Mas Zul itu suaminya? Ia wajib menafkahi lahir batin kepada dua istrinya secara adil.“Alhamdulillah, Dek! Satu persatu masalah keluarga kita telah menghilang.”“Apa maksudmu, Mas? Masalah? Arini itu istrimu, Mas! Istigfar, Mas. Jangan sampai kamu menyesal dengan membuang Arini begitu saja. Ia seorang wanita, dan ia tengah hamil, Mas.”“Nanti Mas jelaskan sambil makan bakwan hangat buatanmu.”Mas Zul mengalungkan lengannya ke pundakku.“Bakwan?” Aku melepas pelukan itu dan berlari menuju dapur, benar seperti dugaanku. Bakwan di penggorengan sudah berkepul asap dengan warna gelap. “Gosong, Mas,” ucapku sambil melirik ke arah Mas Zul yang kini berdiri di sebelahku.Ia tertawa dan diikuti Zafran yang turut serta memamerkan gigi dengan tawa riangnya.**Aku menatap luar dari
Brangkar rumah sakit menyambut kami, segera dibawanya tubuh tak berdaya itu memasuki ruang IGD, sedangkan aku berdiri mematung menunggu kabar Randi. “Maaf, Bu. Ini ponsel bapak Randi.” Seorang perawat berseragam putih itu memberikan sebuah ponsel serta dompet kepadaku.Aku melihat layar pipih itu hendak memberi kabar keluarganya. Sementara ponselku tertinggal di kamar, aku lupa membawanya. Aku memencet tombol on untuk mengaktifkan handphone yang mati ini, berharap layar pipih ini kembali menyala. Ada sebuah sandi di dalamnya. Ya Tuhan, bagaimana aku mengisi sandi itu. Beberapa kali aku mencoba memasukkan kode umum seperti 123456 dan yang lainnya. Namun, selalu sandi salah tertulis di dalamnya. Apa aku harus kembali menuju gedung tadi untuk memberi tahu keadaan Randi? Ditambah lagi hujan deras masih enggan untuk berhenti. Aku kembali memasukkan sandi yang bagiku tak masuk akal. Hari kelahiranku. Ponsel itu terbuka memasuki beranda depan. Ada rasa sakit di dalamnya, apakah sampai se
“Akadnya apa belum mulai, Umi?”“Randi, Syah. Randi ....”“Randi kenapa, Umi?”“Randi pergi.”Aku menatap Anisa yang masih duduk menunggu pengantin lelakinya datang. Aku tak tahu bagaimana perasaan wanita cantik itu saat ini, namun kuyakin pasti hatinya hancur berkeping menerima kenyataan pahit yang hampir tak terpikir oleh logika. Bagaimana mungkin lelaki itu pergi? Kenapa Randi begitu tega memberikan noda gelap dalam keluarga Anisa, wanita baik nan cantik itu.Seorang wanita paruh baya mendekati tubuh Anisa yang dari tadi duduk mematung di depan meja akadnya, sepertinya perempuan itu meminta Anisa berdiri meninggalkan ruangan. Namun, wanita cantik itu tampak enggan. Ia menggeleng dan tetap bertahan di posisinya, membuat hati ini pilu melihat kejadian itu. Kulihat beberapa kali ia mengusap matanya. Aku yakin saat ini air bening keluar dari sudut matanya. ‘Maafkan aku, Anisa!’Beberapa jam yang lalu.“Abi mana, Umi?’“Abi di kamar Umi Arini, Sayang.”“Umi Arini lagi. Ya sudah, Zafran
Suara adan saling bertaut antar mushola, kupanjatkan doa kepada sang pemilik semesta, tak lupa syukur atas nikmat sehat, nikmat anak Soleh, nikmat kebahagiaan dan nikmat rejeki. Aku kembali berkutat dengan meja dapur yang terus menemaniku beberapa tahun ini. Tak lupa seusai itu aku selalu membawa bekal untuk makan siang di tempat kerja dan untuk Zafran di kelasnya.“Dek, besok pagi kan akadnya Randi. Apa Mas pantas memakai pakaian ini?” Mas Zul mengenakan salah satu kemeja yang di ambilnya dari toko, ia mengenakan pakaian baru itu sambil menatap cermin datar yang memantul ke arahnya. Mengenakan kemeja berwarna coklat muda serta celana panjang berwarna coklat tua, membuat lelaki itu begitu sempurna.Tak sepeti biasanya, lelaki itu biasanya selalu cuek masalah penampilan, baik saat menghadiri pengajian maupun undangan pernikahan, biasanya aku atau Mbak Zahra lah yang dulu sering rusuh sendiri memilih pakaian untuk lelaki yang kita sayang. “Bagus, Mas,” ucapku sambil mengacungkan jemp
“Aisyah,” teriakan itu membuatku bergidik ngeri. Suara dari lelaki yang begitu aku kenal. Aku mendongakkan wajahku ke sumber suara.“Mas Zul,” ucapku lirih.Ia berjalan bersama wanita yang akan menjadi pendamping hidup Randi.“Ini istriku, namanya Aisyah,” ucapnya sambil menatap wanita yang mengekorinya. Mas Zul memegang pundakku dan mendekatkan tubuhku ke dalam pelukannya. Aku menatapnya dengan heran. Ada hubungan apa ia dengan Anisa, kenapa ia tiba-tiba berubah dan kembali hangat. Atau ini hanya penutup hubungan yang sudah tak harmonis lagi.“Ka – kalian saling kenal?” tanya Randi yang tak kalah kaget dariku.Wanita itu hanya tersenyum, tanpa jawaban. Setelah Anisa melihat baju yang kupilih, ia langsung mengiyakan tanpa terlebih dulu mencobanya, hingga akhirnya beberapa menit kemudian mereka pamit pulang.Aku duduk di ruang Mas Zul sambil mengibaskan kertas kecil di meja Mas Zul, AC ruangan ini belum mampu mendinginkan hatiku yang masih terasa kacau balau. Mas Zul yang terkadang b
Kepalaku teras semakin berat ketika Arini terus saja meminta haknya sebagai istri. Dari segi materi aku memang menyamakan ia dengan Aisyah tapi dari nafkah batin aku belum mampu melakukannya. “Aku belum bisa, Ar. Bukankah kamu pernah bilang kamu tak akan meminta hak istri dariku?”Arini tertawa dan menatapku sinis.“Aku ini istrimu, Mas. Aku punya hak atas dirimu dan kamu juga punya kewajiban kepadaku. Bukankah dalam Islam pernikahan itu tak boleh dijadikan permainan?”Ucapan wanita itu justru membuatku terasa di jebak olehnya. Tentang aksi bunuh dirinya, kehamilannya, dan permintaan dinikahi. Sekarang ia meminta lebih dari itu. “Ah, sudahlah,” ucapku melangkah keluar dari kamarnya. Aku memasuki kamar Aisyah yang kini sunyi, mencarinya di seluruh penjuru rumah namun tetap saja tak kudapati wanita Solehah ku itu! Apakah teguranku itu terlalu keras hingga membuatnya pergi? Aku mengambil ponselku dan mencoba melakukan panggilan ke ponselnya. Namun, lagi-lagi suara ponselnya terdengar
“Umi, kenapa Abi marah-marah? Bukankah sebelum kita berangkat Umi sudah berpesan kepada nenek untuk ijin ke luar memberi brownies!” “Abi enggak marah, Sayang! Abi Cuma salah paham.”“Abi itu marah, Umi. Abi sekarang sering marah-marah.”Aku membenamkan tubuh kecilnya ke dalam pelukan, memintanya untuk menunaikan empat rakaatnya dan kemudian tidur. Mas Zul dari tadi tak masuk ke kamar, sedangkan aku belum berani keluar, nyaliku masih ciut jika harus kembali melihat amarah suamiku. Apalagi malam ini adalah jadwalnya bersama Arini, tak mungkin juga aku meminta waktunya untuk bersamaku. Terdengar adzan subuh, aku lebih memilih berjamaah dengan Zafran di kamar. Entah kenapa hatiku masih sakit dengan suara sumbang Mas Zul yang diutarakan kepadaku. Aisyah? Ia mudah sekali memanggilku dengan nama saja tanpa ada kata dek di depannya. Seusai berjamaah, Zafran seperti biasanya mandi dan bersiap untuk sekolah sedangkan aku berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi ini.“Tumben gak ikut
“Ehem...,” deheman itu membuat tak sengaja menyentuh gelas kaca hingga terjatuh.Pyarr ....“Astagfirullah,”Wajahku pucat pasi, ketika melihat Mas Zul kini berdiri di ambang pintu, tangannya membawa piring dan gelas yang kotor. Segera ia meletakkan barang tersebut ke bak cucian. “Au ...,” kurasakan jari manisku tersayat serpihan kaca. Perih. Mas Zul menghampiriku dan memasukkan jari itu ke mulutnya, setelah itu ia membilas dengan air keran dan membalutnya dengan plaster. “Ada apa, Mas?” Mbak Zahra menghampiri saat aku dan Mas Zulkifli tak sengaja saling beradu pandang. Mendadak tubuhnya terlihat gemetar, hingga tubuhnya terlihat terhuyung tak kuat menahan berat badannya. “ Mbak Zahra,” ucapku kagetMas Zul dengan sigapnya mengangkat tubuh itu ke dalam pelukannya.“Sudah aku bilang, istirahat dulu di kamar.” Mas Zul membopong tubuh Mbak Zahra ke kamar sedangkan aku bergegas membersihkan serpihan kaca dengan sapu. ‘Apa yang terjadi dengan Mbak Zahra? Ia tampak tak sehat!’“Buat
"Ini juga kenapa brownis panggang, Mbak. Aku pengennya brownis kukus," ucap wanita itu lagi.'Sabar, Aisyah. Kamu wanita yang kuat,' batinku sambil memegang dada yang terasa sesakAku menaruh brownis itu di meja di dekatnya dan berlalu begitu saja. Rasa di hatiku sedang tidak baik, pertengkaran dengan Mas Zul, tentang pernikahan Randi dan kini Arini menambah beban di pikiranku.Aku bergegas ke kamar dan memasuki kamar mandi mengguyur tubuhku dengan dinginnya air keran saat ini. Aku menangis sejadinya, meluapkan emosiku yang terus saja aku tahan. Setelah aku menemukan bahagia kini kembali lara dengan munculnya orang ketiga. Bahkan Mas Zul lelaki yang selalu menjadi panutan ku sekarang berubah acuh dan dingin. Aku Aisyah, wanita yang dulunya jadi yang kedua dan sekarang merasakan bagaimana namanya diduakan. Aku bukan Mbah Zahra yang memiliki hati lapang untuk menerima madunya. Aku belum bisa!Tangisku semakin pecah seiring dengan gemericik air yang kini menjadi peredam suara tangisan.