Beranda / Romansa / Aku, istri kedua / Bab 11 - Bab 20

Semua Bab Aku, istri kedua : Bab 11 - Bab 20

96 Bab

bab. 10a Wejangan ibu

“Ehem...,” deheman itu membuat tak sengaja menyentuh gelas kaca hingga terjatuh.Pyarr ....“Astagfirullah,”Wajahku pucat pasi, ketika melihat Mas Zul kini berdiri di ambang pintu, tangannya membawa piring dan gelas yang kotor. Segera ia meletakkan barang tersebut ke bak cucian. “Au ...,” kurasakan jari manisku tersayat serpihan kaca. Perih. Mas Zul menghampiriku dan memasukkan jari itu ke mulutnya, setelah itu ia membilas dengan air keran dan membalutnya dengan plaster. “Ada apa, Mas?” Mbak Zahra menghampiri saat aku dan Mas Zulkifli tak sengaja saling beradu pandang. Mendadak tubuhnya terlihat gemetar, hingga tubuhnya terlihat terhuyung tak kuat menahan berat badannya. “ Mbak Zahra,” ucapku kagetMas Zul dengan sigapnya mengangkat tubuh itu ke dalam pelukannya.“Sudah aku bilang, istirahat dulu di kamar.” Mas Zul membopong tubuh Mbak Zahra ke kamar sedangkan aku bergegas membersihkan serpihan kaca dengan sapu. ‘Apa yang terjadi dengan Mbak Zahra? Ia tampak tak sehat!’“Buat
Baca selengkapnya

bab. 10b wejangan ibu

Mas Zul mencoba membujuk kekasih hatinya itu untuk ikut, namun Mbak Zahra terus menolak dengan alasan fisiknya yang masih lemah, hingga ia pun menurut demi kebaikan Mbak Zahra. Sore hari setelah solat berjamaah bersama, Mbak Zahra langsung kembali ke kamar, ia diminta untuk banyak istirahat. Alhamdulillah kondisinya pun mulai membaik, wajahnya sudah terlihat segar serta tubuhnya nampak sudah sehat seperti biasanya. “Mengaji bersama ya, Dek!” Kulafalkan kata demi kata dari kitab suci ku ini, Al Qur’an. Mas Zul tampak menyimak serta mengingatkan beberapa bacaanku yang masih salah. Tak kupingkiri masa laluku begitu kelam, bahkan saat aku terus di uji dengan masalah yang bertubi keimanan ku mulai memudar, aku bahkan pernah menyalahkan Tuhan hingga aku meninggalkan rokaatku dan tak pernah lagi melafalkan namaNya.Dibalik itu semua, aku malu dengan diriku. Aku di beri takdir kebahagiaan seperti ini, memiliki keluarga yang begitu menyayangiku. Bahkan aku yang mengira nasib buruk ku akan k
Baca selengkapnya

bab. 11 Masjid Agung

“Mas ini masih pukul 03.00 kenapa ke sini? Kasihan kalau Mbak Zahra mencarimu!’“Ia yang memintaku untuk ke sini!”‘Ya Tuhan, ternyata wanita sebaik Mbak Zahra benar-benar ada, wanita Solehah yang membuat aku selalu kagum kepadanya.’“Jangan, Mas. Kamu harus adil terhadap kedua istrimu.” Aku mendorong tubuhnya melewati pintu kayu yang berukuran indah, kembali menutupnya rapat. Aku tertunduk duduk di lantai di bawah pintu tersebut, tak mampu lagi aku menahan air mata yang ingin segera luruh melihat bumi. Tak kupingkiri aku pun wanita biasa yang ingin bisa selalu bersama suamiku, Namun, aku lebih ingin suamiku adil, aku ingin aku tetap bersamanya hingga ke jannahNya kelak. **Mas Zul memasukkan dua koper ke dalam bagasi mobilnya, sedangkan dua wanita berparas ayu itu mengantar kami hingga di halaman depan, aku berpamitan kepada ibu, mencium punggung tangannya, dan dibalas dengan pelukan hangat oleh tubuh paruh baya itu. Akupun melayangkan pelukan ke tubuh mbak Zahra, nampak senyuman i
Baca selengkapnya

bab.12a Mbak Zahra Menghilang

“Pak Ustad poligami?” Aku berpura-pura tak mendengar dan terus memandang suamiku, mendengarkan setiap kalimat yang diucapnya, hingga tak ku sadari sebuah bidikan kamera mengarahku, flash yang tak sengaja menghampiriku indraku. Ingin rasanya aku menasehati para wanita-wanita itu, namun aku di sini sedang membawa nama suamiku. Aku hanya berusaha diam tak berkomentar, takut menjadikan masalah untuk kehidupan Mas Zul nantinya. Beberapa kali kudengar kalimat sumbang dari mereka, membuat hatiku terasa sesak, seperti inikah rasanya menjadi yang kedua? Hanya ada hinaan dan cibiran. Acara tersebut selesai dini hari, aku menunggu Mas Zul yang masih bercengkerama dengan sahabatnya. Menjatuhkan tubuhku di jok mobil sambil kugeser jok tersebut ke arah belakang, supaya kaki jenjangku ini hanya sedikit yang tertekuk. Sebenarnya beberapa jamaah dan panitia memintaku untuk beristirahat di tempatnya, aku menolak. Bukannya apa-apa, aku masih takut di ajak bercerita mengenai hal pribadi Mas Zul, apala
Baca selengkapnya

bab. 12b

“Zahra kemana, Bu?” Mas Zul nampak khawatir terhadap wanita yang melahirkannya itu. Tampaknya ia pun telah mencari kekasihnya di setiap bagian rumah ini.“Aku tidak tahu, Nang. Setelah memberikan sarapan ini, Nak Zahra tak lagi menjenguk ke kamar. Tadi saya pikir Nak Zahra sudah membukakan pintu, ternyata belum.”“Kenapa kalian pulang? Bukannya kalian bakal menginap beberapa hari di sana.”“Aku khawatir keadaan, Ibu. Dari pada hati Zul tidak tenang mending Zul pulang saja, Bu.”“Padahal aku sudah berpesan sama Nak Zahra jangan beri tahu kalian. Biarlah kalian bulan madu dulu.”“Bulan madunya di rumah saja, Bu. Sekalian bisa menemani ibu, “ jawabku.Kami berpikir Mbak Zahra ke pasar, namun hingga sinar matahari mulai surut, ia belum sampai ke rumah juga. Mas Zulkifli tampak begitu cemas, hampir se komplek perumahan ini telah ia kelilingi beberapa kali, Saat di hubungi ponselnya, justru suara dering itu terdengar dari ruang kamarnya. Ia meninggalkan layar pipih itu, tak seperti biasanya
Baca selengkapnya

bab. 13a POV Zahra

POV. Zahra“Bu Awi, itu menantunya belum isi juga?” Beberapa warga yang hadir mengarahkan pandangan ke arahku. Mereka menatapku penuh selidik, aku hanya berpura-pura tak mendengar dan terus membagikan teh hangat untuk mereka. Hanya itulah yang mampu kulakukan.Hari ini ibu mendapat giliran acara tahlilan keluarga. Kegiatan rutin yang di lakukan warga.. Di tiap dua Minggu sekali acara itu akan di gelar dari rumah warga satu ke keluarga lainnya, mereka mengirimkan doa untuk para keluarga yang telah almarhum. Jika acara telah selesai, tuan tamu biasanya menjamu dengan minuman dan cemilan untuk para warga yang telah datang.Ibu tak menjawab, hanya terlihat senyum mengembang di bibirnya.“Coba periksa ke Dr. Alif, SpOG. Mantu saya dulu juga begitu, setelah rutin periksa Alhamdulillah di karuniai momongan.”“Atau mungkin karena faktor keturunan, Mas Zul kan tak punya saudara. Jadi biasanya memang agak susah.”“Nah, makanya, Bu. Minta anak dan mantu ibu ke Dokter, ikut program hamil.”Nada-
Baca selengkapnya

bab. 13b POV Zahra

“Sudah Zahra lakukan, Bu. Tapi Mas Zul selalu menolak,”Percakapan itu terasa getir. Sakit memang. Namun, kalimat yang di ucap mertuaku itu memang benar. Ia juga wanita biasa, seorang ibu yang ingin menimang cucu dari anaknya. Aku tak boleh egois, apalagi beliau begitu menyayangiku.Beberapa kali aku membujuk Mas Zul, namun selalu jawaban yang sama ia lontarkan. “Baiklah, baik. Jika aku sudah menemukannya, aku akan menikah.” Kalimat itu terdengar jelas, entah itu memang dari hatinya atau sekedar basa-basi agar tak lagi meributkan masalah ini. Beberapa nama wanita sudah ku pilihkan untuknya, beberapa adalah teman kuliah dulu dan beberapanya lagi teman ku di kampung. Ia menolak, lelaki itu akan menikah jika Allah sendiri yang mempertemukan mereka. Kala itu aku sujud dalam sajadahku, memanjatkan semua hajatku, ingin rasanya memberikan kebahagiaan dengan menghadirkan anak di pangkuan ibu. Tak selang lama ponselku berbunyi, tertulis nama Mas Zul di dalamnya. Mas Zul memberikan kabar kal
Baca selengkapnya

bab. 14a testpack

Aku memasukkan beberapa sayur yang sudah aku cuci bersih, menjadikannya capcay kuah dengan wangi yang menggoda. Wajan satunya ku taruh di tungku kompor sebelah capjay ini, kumasukkan minyak goreng dan ikan bandeng yang telah di siangi itu Tiba-tiba dari dalam perutku seakan mau ke luar, kurasakan sensasi bau yang begitu berbeda. Bau amis ikan ini membuatku mual, padahal ikan tadi masih begitu segar. “Kamu kenapa, Nduk?”Ibu sepertinya mengetahui aku tak nyaman dengan bau ikan ini.“Gak, Bu. Aku gak apa.”Aku berdusta dan kembali melanjutkan tugasku. Namun, kini dalam perutku rasanya semakin tak karuan. Hoek ... Hoek ...Cairan kuning pekat keluar dari dalam mulutku, rasanya pahit. Sangat pahit. Aku meneguk air putih dan duduk menyandarkan tubuhku di bangku kayu dapur. Namun bau ikan itu masih terus memasuki rongga hidungku. Aku di buat lemas tak berdaya.“Istirahat dulu, Nduk!” Ibu memapahku untuk masuk ke kamar, di sana ada Mas Zul yang yang masih bersimpuh di atas sajadahnya. M
Baca selengkapnya

bab. 14b testpack

“Alhamdulillah ya Allah.”Mas Zul segera berwudhu dan melakukan sujud syukur. Sedangkan aku melangkah keluar hendak memberi tahu ibu. Tak ada henti-hentinya ibu mengucapkan syukur, di peluknya tubuhku sambil mengelus perutku. Air mata kebahagiaannya pun tak mampu di bendung hingga terlihat beberapa kali menetes. “Di jaga baik-baik ya, Nduk!”“Iya, Bu.”Semenjak kejadian itu aku tak pernah di ijinkan ibu membantu memasak. Tak pernah di ijinkan kerja berat, hanya istirahat, makan, dan melayani suami. Mas Zulkifli pun lebih sering di rumah dari pada pergi kerja. Selama ini ia berjualan pakaian Muslim dan alat-alat untuk ibadah ke tanah suci, yang kini sudah memiliki beberapa cabang. Sedangkan dakwahnya hanya karena lillahitaala. “Biar saya buatkan, Dek Aisyah di sini saja.”“Tapi, Mas. Aku capek kalau terus istirahat tanpa melakukan apa-apa,”“Demi anak kita, Sayang. Kamu juga belum terlalu sehat.” Mas Zul mengelus perutku dan mencium lembut keningku, ia melangkah keluar kamar.Hoek,
Baca selengkapnya

bab. 15a Cemburu

“Kamu nanti jagain Aisyah ya, Nak Zahra! Ia telah mengandung, akan memberi keturunan untuk Zulkifli, jadi kamu yang berkewajiban menjaga Aisyah dan janinnya,”Kami mengarahkan pandangan ke sumber suara.“Baik, Bu,” ucap Mbah Zahra.Aku merasa iba kepada wanita itu, sepertinya Mbak Zahra begitu tersudutkan oleh ucapan ibu tadi. Bahkan ia lebih memilih diam dari pada menanggapi ucapannya. Mbak Zahra yang menyiapkan baju ganti ku, bahkan ia juga yang membantuku ke kamar mandi saat perutku kembali mual. “Kamu jangan kecapekan, Dek! Takutnya nanti kamu sakit, apalagi habis dari perjalanan jauh.” “Gak capek kok, Mas. Ini tanggung jawab aku.”Entah kenapa aku semakin tersiksa dengan sikap mereka, apakah Mbak Zahra hanya berpura-pura baik kepadaku? Setelah anakku hadir, mereka akan membuang ku begitu saja?HoekAku kembalikan memuntahkan isi perutku, rasanya perih. Sedikit makanan yang masuk namun begitu banyak yang keluar. Kali ini aku sengaja memuntahkannya di lantai kayu kamar ini, aku
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status