Beranda / Romansa / Aku, istri kedua / bab. 13a POV Zahra

Share

bab. 13a POV Zahra

Penulis: Fida Yaumil Fitri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

POV. Zahra

“Bu Awi, itu menantunya belum isi juga?” Beberapa warga yang hadir mengarahkan pandangan ke arahku. Mereka menatapku penuh selidik, aku hanya berpura-pura tak mendengar dan terus membagikan teh hangat untuk mereka. Hanya itulah yang mampu kulakukan.

Hari ini ibu mendapat giliran acara tahlilan keluarga. Kegiatan rutin yang di lakukan warga.. Di tiap dua Minggu sekali acara itu akan di gelar dari rumah warga satu ke keluarga lainnya, mereka mengirimkan doa untuk para keluarga yang telah almarhum. Jika acara telah selesai, tuan tamu biasanya menjamu dengan minuman dan cemilan untuk para warga yang telah datang.

Ibu tak menjawab, hanya terlihat senyum mengembang di bibirnya.

“Coba periksa ke Dr. Alif, SpOG. Mantu saya dulu juga begitu, setelah rutin periksa Alhamdulillah di karuniai momongan.”

“Atau mungkin karena faktor keturunan, Mas Zul kan tak punya saudara. Jadi biasanya memang agak susah.”

“Nah, makanya, Bu. Minta anak dan mantu ibu ke Dokter, ikut program hamil.”

Nada-
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Aku, istri kedua    bab. 13b POV Zahra

    “Sudah Zahra lakukan, Bu. Tapi Mas Zul selalu menolak,”Percakapan itu terasa getir. Sakit memang. Namun, kalimat yang di ucap mertuaku itu memang benar. Ia juga wanita biasa, seorang ibu yang ingin menimang cucu dari anaknya. Aku tak boleh egois, apalagi beliau begitu menyayangiku.Beberapa kali aku membujuk Mas Zul, namun selalu jawaban yang sama ia lontarkan. “Baiklah, baik. Jika aku sudah menemukannya, aku akan menikah.” Kalimat itu terdengar jelas, entah itu memang dari hatinya atau sekedar basa-basi agar tak lagi meributkan masalah ini. Beberapa nama wanita sudah ku pilihkan untuknya, beberapa adalah teman kuliah dulu dan beberapanya lagi teman ku di kampung. Ia menolak, lelaki itu akan menikah jika Allah sendiri yang mempertemukan mereka. Kala itu aku sujud dalam sajadahku, memanjatkan semua hajatku, ingin rasanya memberikan kebahagiaan dengan menghadirkan anak di pangkuan ibu. Tak selang lama ponselku berbunyi, tertulis nama Mas Zul di dalamnya. Mas Zul memberikan kabar kal

  • Aku, istri kedua    bab. 14a testpack

    Aku memasukkan beberapa sayur yang sudah aku cuci bersih, menjadikannya capcay kuah dengan wangi yang menggoda. Wajan satunya ku taruh di tungku kompor sebelah capjay ini, kumasukkan minyak goreng dan ikan bandeng yang telah di siangi itu Tiba-tiba dari dalam perutku seakan mau ke luar, kurasakan sensasi bau yang begitu berbeda. Bau amis ikan ini membuatku mual, padahal ikan tadi masih begitu segar. “Kamu kenapa, Nduk?”Ibu sepertinya mengetahui aku tak nyaman dengan bau ikan ini.“Gak, Bu. Aku gak apa.”Aku berdusta dan kembali melanjutkan tugasku. Namun, kini dalam perutku rasanya semakin tak karuan. Hoek ... Hoek ...Cairan kuning pekat keluar dari dalam mulutku, rasanya pahit. Sangat pahit. Aku meneguk air putih dan duduk menyandarkan tubuhku di bangku kayu dapur. Namun bau ikan itu masih terus memasuki rongga hidungku. Aku di buat lemas tak berdaya.“Istirahat dulu, Nduk!” Ibu memapahku untuk masuk ke kamar, di sana ada Mas Zul yang yang masih bersimpuh di atas sajadahnya. M

  • Aku, istri kedua    bab. 14b testpack

    “Alhamdulillah ya Allah.”Mas Zul segera berwudhu dan melakukan sujud syukur. Sedangkan aku melangkah keluar hendak memberi tahu ibu. Tak ada henti-hentinya ibu mengucapkan syukur, di peluknya tubuhku sambil mengelus perutku. Air mata kebahagiaannya pun tak mampu di bendung hingga terlihat beberapa kali menetes. “Di jaga baik-baik ya, Nduk!”“Iya, Bu.”Semenjak kejadian itu aku tak pernah di ijinkan ibu membantu memasak. Tak pernah di ijinkan kerja berat, hanya istirahat, makan, dan melayani suami. Mas Zulkifli pun lebih sering di rumah dari pada pergi kerja. Selama ini ia berjualan pakaian Muslim dan alat-alat untuk ibadah ke tanah suci, yang kini sudah memiliki beberapa cabang. Sedangkan dakwahnya hanya karena lillahitaala. “Biar saya buatkan, Dek Aisyah di sini saja.”“Tapi, Mas. Aku capek kalau terus istirahat tanpa melakukan apa-apa,”“Demi anak kita, Sayang. Kamu juga belum terlalu sehat.” Mas Zul mengelus perutku dan mencium lembut keningku, ia melangkah keluar kamar.Hoek,

  • Aku, istri kedua    bab. 15a Cemburu

    “Kamu nanti jagain Aisyah ya, Nak Zahra! Ia telah mengandung, akan memberi keturunan untuk Zulkifli, jadi kamu yang berkewajiban menjaga Aisyah dan janinnya,”Kami mengarahkan pandangan ke sumber suara.“Baik, Bu,” ucap Mbah Zahra.Aku merasa iba kepada wanita itu, sepertinya Mbak Zahra begitu tersudutkan oleh ucapan ibu tadi. Bahkan ia lebih memilih diam dari pada menanggapi ucapannya. Mbak Zahra yang menyiapkan baju ganti ku, bahkan ia juga yang membantuku ke kamar mandi saat perutku kembali mual. “Kamu jangan kecapekan, Dek! Takutnya nanti kamu sakit, apalagi habis dari perjalanan jauh.” “Gak capek kok, Mas. Ini tanggung jawab aku.”Entah kenapa aku semakin tersiksa dengan sikap mereka, apakah Mbak Zahra hanya berpura-pura baik kepadaku? Setelah anakku hadir, mereka akan membuang ku begitu saja?HoekAku kembalikan memuntahkan isi perutku, rasanya perih. Sedikit makanan yang masuk namun begitu banyak yang keluar. Kali ini aku sengaja memuntahkannya di lantai kayu kamar ini, aku

  • Aku, istri kedua    bab. 15b cemburu

    Perawat dan dokter itu menatapku dengan penuh seksama.“Ini istriku, Dok. Namanya Aisyah.”“Saya Aisyah, Dokter.”“Mbak Zahra di mana? Sehat kan?” Dokter memandangku penuh arti, sepertinya wanita berbaju putih itu mengenali Mas Zul dan Mbak Zahra.“Alhamdulillah, sehat.”Seorang perawat memintaku berbaring, di buka nya kemeja yang kini aku pakai. Canggung. Aku merasa malu bagian tubuhku terekspose dan di lihat selain suamiku. Di tuangkannya gel di atasnya, lalu di sentuhnya gel itu dengan alat yang tersambung ke monitor. Aku di minta dokter melihat layar pipih yang terletak di depanku, Mas Zulkifli pun memandang ke arah yang sama. Terlihat bayangan hitam saja, yang aku sendiri belum paham dengan gambar itu “Usia kehamilan ibu sekitar enam Minggu,” Terdengar ketukan pintu, dan mbak Zahra muncul dari balik pintu ruangan itu.“Boleh aku masuk?”“Silahkan, Dek. Ini Dek Aisyah lagi di USG sama Dokter Indri.” Mas Zul mengarahkan tangan kanannya ke Mbak Zahra. Dan di sambutnya tangan i

  • Aku, istri kedua    bab. 16a cemburu buta

    “Mbak Zahra.”Aku melihat Mbak Zahra berdiri tepat di depan pintu, tangannya membawa nampan yang berisi makanan malamku. Semenjak kapan ia berada di situ? Apakah ia mendengar perbincangan ibu kepada Mas Zul? “Ayo masuk, Mbak!” ucapku lirih.Mbak Zahra masuk, Mas Zul nampak canggung sedangkan ibu terlihat biasa saja. “Ibu tadi masak capjay kesukaanmu, Nduk!” ucap ibu sambil menyerahkan piring ke tangan Mas Zul. Arah bola mata suamiku dan Mbak Zahra saling bertemu.“Aisyah istrimu di suapi dulu,” ucap Ibu.“Aku bisa makan sendiri kok, Bu,” jawabku sambil meraih piring di tangan Mas Zul “Jangan, Nduk. Biar suamimu yang nyuapi kamu. Biar dia tanggung jawab sama istrinya.”Mas Zul menyendok nasi dan beberapa sayur di atasnya, menyuapkan makanan tersebut ke mulutku.Kulirik ekspresi Mbak Zahra. Ia tampak kikuk. Dia cemburu atau mungkin merasa gak enak sama ibu. Entahlah? Yang penting aku menikmati semua kebahagiaan ini. Merasakan kasih sayang dari suami dan mertuaku. “Nak Zahra, ayo iku

  • Aku, istri kedua    bab. 16b cemburu buta

    Aku di minta ibu kembali ke kamar. Ia bahkan terus menemani aku, memberi wejangan kepadaku. Dan memintaku untuk sabar. “Yang sabar ya, Nduk. Memang dari dulu Zulkifli begitu mencintai Zahra. Aku sendiri tak tahu penyebabnya. Meskipun dari awal aku tak merestui karena kondisinya, ia terus bersikukuh untuk menikah.”Bersabar memang mudah di ucapkan, namun nyatanya begitu susah untuk di jalankan.“Tugasmu adalah mengambil hati Zulkifli, ambil hatinya. Jangan justru menyerah. Kamu memiliki sesuatu yang tak bisa diberikan Nak Zahra kepada Zulkifli!” Aku terdiam mendengar wejangan itu, memang benar adanya, aku tak boleh menyerah. Aisyah itu kuat, Aisyah mampu menjalani ini semua. Aisyah pernah mengalami masa sulit yang lebih dari ini. Aku terus berusaha menguatkan diriku sendiri. Ibu kembali ke kamar untuk mengistirahatkan tubuhnya karena malam pun sudah mulai larut.Terdengar suara knalpot mobil dari dalam kamar, pasti Mas Zul dan Mbak Zahra tiba. Ku intip mereka dari balik pintu kamark

  • Aku, istri kedua    BB. 17 Salah Sangka

    “Perempuan hina, perempuan kotor.”“Bukan, aku bukan wanita seperti itu.” Aku duduk menyandarkan tubuhku di dinding kayu tua itu, tanganku ku telungkupkan ke dua Indra pendengaran ku. Menahan suara-suara yang begitu menyakitkan. “Dek, bangun, Dek! Dek Aisyah!”“Astagfirullah,” ucapku ketika membuka mata. Mas Zul tepat berada di pelupuk mataku, wajahnya penuh khawatir dan tangan kanannya mengelap peluhku.“Kamu kenapa, Dek?”Kini justru tangisan yang keluar dari mataku. Entah kenapa masih terasa sakit meskipun aku sudah di alam sadarku. Kenangan masa lalu membuatku terperangkap dengan perasaan tak percaya diri dan selalu menghantui.“Aku wanita hina, Mas. Aku tak pantas kamu miliki,” tangisku kini semakin pecah, hingga nafasku terasa memberat. “Kamu istri, Mas. Kamu wanita baik-baik. Sudah, lupakan mimpi buruknya.” Mas Zul menenggelamkanku ke dalam pelukannya, membuatku sedikit tenang.Aku kini bahkan melupakan rasa marahku, semua melebur begitu saja ketika aku kembali mendapatkan pe

Bab terbaru

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 Bab.17

    Dalam kebingungan aku menatap wajah lelaki yang kini berada di sampingku. Dia tersenyum manis menyimpulkan kebahagiaan di dalamnya. Apa maksudnya? Ia membiarkan Arini pergi begitu saja dalam keadaan hamil? Bukankah Mas Zul itu suaminya? Ia wajib menafkahi lahir batin kepada dua istrinya secara adil.“Alhamdulillah, Dek! Satu persatu masalah keluarga kita telah menghilang.”“Apa maksudmu, Mas? Masalah? Arini itu istrimu, Mas! Istigfar, Mas. Jangan sampai kamu menyesal dengan membuang Arini begitu saja. Ia seorang wanita, dan ia tengah hamil, Mas.”“Nanti Mas jelaskan sambil makan bakwan hangat buatanmu.”Mas Zul mengalungkan lengannya ke pundakku.“Bakwan?” Aku melepas pelukan itu dan berlari menuju dapur, benar seperti dugaanku. Bakwan di penggorengan sudah berkepul asap dengan warna gelap. “Gosong, Mas,” ucapku sambil melirik ke arah Mas Zul yang kini berdiri di sebelahku.Ia tertawa dan diikuti Zafran yang turut serta memamerkan gigi dengan tawa riangnya.**Aku menatap luar dari

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 bab.16

    Brangkar rumah sakit menyambut kami, segera dibawanya tubuh tak berdaya itu memasuki ruang IGD, sedangkan aku berdiri mematung menunggu kabar Randi. “Maaf, Bu. Ini ponsel bapak Randi.” Seorang perawat berseragam putih itu memberikan sebuah ponsel serta dompet kepadaku.Aku melihat layar pipih itu hendak memberi kabar keluarganya. Sementara ponselku tertinggal di kamar, aku lupa membawanya. Aku memencet tombol on untuk mengaktifkan handphone yang mati ini, berharap layar pipih ini kembali menyala. Ada sebuah sandi di dalamnya. Ya Tuhan, bagaimana aku mengisi sandi itu. Beberapa kali aku mencoba memasukkan kode umum seperti 123456 dan yang lainnya. Namun, selalu sandi salah tertulis di dalamnya. Apa aku harus kembali menuju gedung tadi untuk memberi tahu keadaan Randi? Ditambah lagi hujan deras masih enggan untuk berhenti. Aku kembali memasukkan sandi yang bagiku tak masuk akal. Hari kelahiranku. Ponsel itu terbuka memasuki beranda depan. Ada rasa sakit di dalamnya, apakah sampai se

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 bab.15

    “Akadnya apa belum mulai, Umi?”“Randi, Syah. Randi ....”“Randi kenapa, Umi?”“Randi pergi.”Aku menatap Anisa yang masih duduk menunggu pengantin lelakinya datang. Aku tak tahu bagaimana perasaan wanita cantik itu saat ini, namun kuyakin pasti hatinya hancur berkeping menerima kenyataan pahit yang hampir tak terpikir oleh logika. Bagaimana mungkin lelaki itu pergi? Kenapa Randi begitu tega memberikan noda gelap dalam keluarga Anisa, wanita baik nan cantik itu.Seorang wanita paruh baya mendekati tubuh Anisa yang dari tadi duduk mematung di depan meja akadnya, sepertinya perempuan itu meminta Anisa berdiri meninggalkan ruangan. Namun, wanita cantik itu tampak enggan. Ia menggeleng dan tetap bertahan di posisinya, membuat hati ini pilu melihat kejadian itu. Kulihat beberapa kali ia mengusap matanya. Aku yakin saat ini air bening keluar dari sudut matanya. ‘Maafkan aku, Anisa!’Beberapa jam yang lalu.“Abi mana, Umi?’“Abi di kamar Umi Arini, Sayang.”“Umi Arini lagi. Ya sudah, Zafran

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 bab.14

    Suara adan saling bertaut antar mushola, kupanjatkan doa kepada sang pemilik semesta, tak lupa syukur atas nikmat sehat, nikmat anak Soleh, nikmat kebahagiaan dan nikmat rejeki. Aku kembali berkutat dengan meja dapur yang terus menemaniku beberapa tahun ini. Tak lupa seusai itu aku selalu membawa bekal untuk makan siang di tempat kerja dan untuk Zafran di kelasnya.“Dek, besok pagi kan akadnya Randi. Apa Mas pantas memakai pakaian ini?” Mas Zul mengenakan salah satu kemeja yang di ambilnya dari toko, ia mengenakan pakaian baru itu sambil menatap cermin datar yang memantul ke arahnya. Mengenakan kemeja berwarna coklat muda serta celana panjang berwarna coklat tua, membuat lelaki itu begitu sempurna.Tak sepeti biasanya, lelaki itu biasanya selalu cuek masalah penampilan, baik saat menghadiri pengajian maupun undangan pernikahan, biasanya aku atau Mbak Zahra lah yang dulu sering rusuh sendiri memilih pakaian untuk lelaki yang kita sayang. “Bagus, Mas,” ucapku sambil mengacungkan jemp

  • Aku, istri kedua    sesion 2 bab.13

    “Aisyah,” teriakan itu membuatku bergidik ngeri. Suara dari lelaki yang begitu aku kenal. Aku mendongakkan wajahku ke sumber suara.“Mas Zul,” ucapku lirih.Ia berjalan bersama wanita yang akan menjadi pendamping hidup Randi.“Ini istriku, namanya Aisyah,” ucapnya sambil menatap wanita yang mengekorinya. Mas Zul memegang pundakku dan mendekatkan tubuhku ke dalam pelukannya. Aku menatapnya dengan heran. Ada hubungan apa ia dengan Anisa, kenapa ia tiba-tiba berubah dan kembali hangat. Atau ini hanya penutup hubungan yang sudah tak harmonis lagi.“Ka – kalian saling kenal?” tanya Randi yang tak kalah kaget dariku.Wanita itu hanya tersenyum, tanpa jawaban. Setelah Anisa melihat baju yang kupilih, ia langsung mengiyakan tanpa terlebih dulu mencobanya, hingga akhirnya beberapa menit kemudian mereka pamit pulang.Aku duduk di ruang Mas Zul sambil mengibaskan kertas kecil di meja Mas Zul, AC ruangan ini belum mampu mendinginkan hatiku yang masih terasa kacau balau. Mas Zul yang terkadang b

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 bab.12 Pov. Zulkifli

    Kepalaku teras semakin berat ketika Arini terus saja meminta haknya sebagai istri. Dari segi materi aku memang menyamakan ia dengan Aisyah tapi dari nafkah batin aku belum mampu melakukannya. “Aku belum bisa, Ar. Bukankah kamu pernah bilang kamu tak akan meminta hak istri dariku?”Arini tertawa dan menatapku sinis.“Aku ini istrimu, Mas. Aku punya hak atas dirimu dan kamu juga punya kewajiban kepadaku. Bukankah dalam Islam pernikahan itu tak boleh dijadikan permainan?”Ucapan wanita itu justru membuatku terasa di jebak olehnya. Tentang aksi bunuh dirinya, kehamilannya, dan permintaan dinikahi. Sekarang ia meminta lebih dari itu. “Ah, sudahlah,” ucapku melangkah keluar dari kamarnya. Aku memasuki kamar Aisyah yang kini sunyi, mencarinya di seluruh penjuru rumah namun tetap saja tak kudapati wanita Solehah ku itu! Apakah teguranku itu terlalu keras hingga membuatnya pergi? Aku mengambil ponselku dan mencoba melakukan panggilan ke ponselnya. Namun, lagi-lagi suara ponselnya terdengar

  • Aku, istri kedua    sesion 2 bab 11

    “Umi, kenapa Abi marah-marah? Bukankah sebelum kita berangkat Umi sudah berpesan kepada nenek untuk ijin ke luar memberi brownies!” “Abi enggak marah, Sayang! Abi Cuma salah paham.”“Abi itu marah, Umi. Abi sekarang sering marah-marah.”Aku membenamkan tubuh kecilnya ke dalam pelukan, memintanya untuk menunaikan empat rakaatnya dan kemudian tidur. Mas Zul dari tadi tak masuk ke kamar, sedangkan aku belum berani keluar, nyaliku masih ciut jika harus kembali melihat amarah suamiku. Apalagi malam ini adalah jadwalnya bersama Arini, tak mungkin juga aku meminta waktunya untuk bersamaku. Terdengar adzan subuh, aku lebih memilih berjamaah dengan Zafran di kamar. Entah kenapa hatiku masih sakit dengan suara sumbang Mas Zul yang diutarakan kepadaku. Aisyah? Ia mudah sekali memanggilku dengan nama saja tanpa ada kata dek di depannya. Seusai berjamaah, Zafran seperti biasanya mandi dan bersiap untuk sekolah sedangkan aku berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi ini.“Tumben gak ikut

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 bab.10

    “Ehem...,” deheman itu membuat tak sengaja menyentuh gelas kaca hingga terjatuh.Pyarr ....“Astagfirullah,”Wajahku pucat pasi, ketika melihat Mas Zul kini berdiri di ambang pintu, tangannya membawa piring dan gelas yang kotor. Segera ia meletakkan barang tersebut ke bak cucian. “Au ...,” kurasakan jari manisku tersayat serpihan kaca. Perih. Mas Zul menghampiriku dan memasukkan jari itu ke mulutnya, setelah itu ia membilas dengan air keran dan membalutnya dengan plaster. “Ada apa, Mas?” Mbak Zahra menghampiri saat aku dan Mas Zulkifli tak sengaja saling beradu pandang. Mendadak tubuhnya terlihat gemetar, hingga tubuhnya terlihat terhuyung tak kuat menahan berat badannya. “ Mbak Zahra,” ucapku kagetMas Zul dengan sigapnya mengangkat tubuh itu ke dalam pelukannya.“Sudah aku bilang, istirahat dulu di kamar.” Mas Zul membopong tubuh Mbak Zahra ke kamar sedangkan aku bergegas membersihkan serpihan kaca dengan sapu. ‘Apa yang terjadi dengan Mbak Zahra? Ia tampak tak sehat!’“Buat

  • Aku, istri kedua    sesion 2 bab.9

    "Ini juga kenapa brownis panggang, Mbak. Aku pengennya brownis kukus," ucap wanita itu lagi.'Sabar, Aisyah. Kamu wanita yang kuat,' batinku sambil memegang dada yang terasa sesakAku menaruh brownis itu di meja di dekatnya dan berlalu begitu saja. Rasa di hatiku sedang tidak baik, pertengkaran dengan Mas Zul, tentang pernikahan Randi dan kini Arini menambah beban di pikiranku.Aku bergegas ke kamar dan memasuki kamar mandi mengguyur tubuhku dengan dinginnya air keran saat ini. Aku menangis sejadinya, meluapkan emosiku yang terus saja aku tahan. Setelah aku menemukan bahagia kini kembali lara dengan munculnya orang ketiga. Bahkan Mas Zul lelaki yang selalu menjadi panutan ku sekarang berubah acuh dan dingin. Aku Aisyah, wanita yang dulunya jadi yang kedua dan sekarang merasakan bagaimana namanya diduakan. Aku bukan Mbah Zahra yang memiliki hati lapang untuk menerima madunya. Aku belum bisa!Tangisku semakin pecah seiring dengan gemericik air yang kini menjadi peredam suara tangisan.

DMCA.com Protection Status