Home / Romansa / Aku, istri kedua / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Aku, istri kedua : Chapter 41 - Chapter 50

96 Chapters

bab.29b kerayan

“Maaf, Zahra kelupaan kalau sedang menggoreng tempe.” Bola mata Mbak Zahra kini menatap ke arahku, sepertinya wanita itu menangkap raut mata kesedihan di dalamnya. Sedangkan Randi berada di belakangnya mengekori tubuh semampai itu.“Zahra yang salah, Bu! Tadi ninggalin dapur begitu saja.”“Jangan terus nyalahin dirimu, Nak. Kan di dapur ada Aisyah, harusnya wanita ini yang bertanggung jawab. Jangan di buat manja, nanti kebiasaan.”“Lagian Zulkifli apa-apaan, ambil istri kok yang tidak jelas bibit, bobot dan bebetnya,” ucap ibu lirih sambil melangkah ke luar dari dapur. Sedangkan cucu yang di gendongnya masih tampak pulas setelah kenyang kuberikan asi tadi.Ucapan itu memang pelan, tapi aku mendengarnya begitu jelas kalimat yang keluar dari bibir ibu. Rasanya benar-benar sesak, hingga Mbak Zahra mendekat dan mengusap pelan punggungku. Mencoba memberi kekuatan. Aku melihat Randi, sepertinya lelaki itu melihatku dengan penuh iba. Ibu bahkan tak memiliki rasa sungkan mengeluarkan omongan
Read more

bab.30a Mitos

“Aisyah,” teriakan ibu di sertai tangisan Zafran yang tampak kesakitan itu membuatku terkaget. Tanpa pikir panjang aku segera meninggalkan pekerjaanku dan berlari menghampiri mereka. Aku menghampiri ibu di teras, ia tampak ketakutan dengan perilaku cucunya yang nangis tanpa henti itu, bahkan air mata bayi ikut luruh dengan sendirinya. Aku mengambil tubuh kecilku, menggendongnya secara vertikal dan sedikit mengayunkan dan menepuk pantatnya. Zafran tampak tenang, meskipun tangisan itu masih belum mereda. ‘Astagfirullah,' batinku. Aku teringat belum melepas koin yang di pasang ibu dari tadi pagi. Biasanya aku hanya menurut ketika ibu selesai memandikan, menaruh koin di atas pusar Zafran dan melilitkan dengan gurita yang di kenakannya. Aku tak protes. Bagiku menyangkal ucapan ibu pun percuma, beliau selalu membandingkan ilmu nya yang telah merawat Mas Zul sendirian dan suamiku itu sehat sampai sekarang. Namun, tiap usai Zafran di mandikan. Aku selalu melonggarkan guritanya dan meng
Read more

bab 30b Mitos

“Sudah makan dulu,” Mbak Zahra mengambilkan ku piring dan sendok, memintaku duduk di bangku sedangkan di atas meja sudah tersaji menu-menu sederhana yang bakal menggoyang lidah. Semua sudah siap, hanya tinggal menunggu dingin untuk di masukkan ke kardus makanan. “Tapi, Mbak? Ibu belum makan. Aku gak enak kalau nanti gak ikut makan bersama.”“Beliau sudah makan, Mbak dan Randi juga sudah. Cuman tinggal kamu saja.” Aku melirik ke arah wastafel memang beberapa tumpuk piring berada di situ. Mungkin memang benar ucapan wanita cantik ini.“Mbak tinggal dulu, mau mandi.” Mbak Zahra meninggalkan dapur seusai tumpukan piring itu di bersihkan. Hanya ada aku dan Randi. Canggung. Aku duduk mematung sambil menyuap mulutku dengan suapan terakhir. Kurasakan tanganku bergetar, peluhku mulai datang, dan bulu kudukku meremang. Ingatan tentang lelaki bersuara serak itu kembali muncul. Aku di liputi ketakutan saat ia duduk di bangku depanku. Memori masa lalu meninggalkan trauma yang begitu mendalam.
Read more

bab.31a Kado tanpa nama

Aku melihat ke jam dinding, pukul 05.30. sudah sepagi ini, pasti Mas Zul sudah ke toko. Kenapa ia tak menghampiri Zafran dan pamitan kepadaku? Apakah aku tak sepenting ini? Apakah setelah bermalaman di kamar Mbak Zahra membuatnya melupakan kami begitu saja?Seusai memandikan Zafran, aku membawa ia ke teras. Menikmati udara pagi sambil menunggu secercah kehangatan dari mentari pagi ini. Rumah tampak sepi, sedangkan belum juga aku mendengar suara atau melihat senyuman khas Mbak Zahra. Biasanya wanita cantik itu, menggantikan ku menggendong Zafran dan memintaku untuk sarapan. “Nduk, ibu berangkat pengajian dulu. Kamu tunggu rumah ya?”“Mbak Zahra di mana, Bu?” “Ia ikut Zul ke toko. Tokonya lagi ramai, jadi ia membantu di sana.”Ku cium punggung tangan ibu, sedangkan ibu membalas ciuman hangat ke Zafran. Membelai rambutnya sambil mengucap doa untuk anakku ini. Pantas saja Mbak Zahra tak terlihat, Mas Zul pun tak berpamitan. Ternyata mereka berangkat bersama. Aku melangkahkan kaki untu
Read more

bab.31b Kado tanpa nama

“Makan dulu, Mas.” Suara Mbak Zahra terdengar di ikuti Mas Zul yang membuka mulut dan di suapi Mbak Zahra. Kenapa lagi-lagi mereka memamerkan kemesraan kepadaku. Tidak ingatkah aku ada di sini? Sedangkan Mas Zul menyuapiku makan pun jarang, hanya dulu saat aku tengah hamil dan bedrest total. Apakah sampai saat ini aku belum juga masuk dan menjadi bagian dari hati Mas Zul suamiku.’Ya Allah, berikan aku hati yang lapang bagai Padang Mahsyar mu dan luas seperti lautan, hingga aku tak akan terus tersakiti hanya karena rasa cemburuku.’Sampai sore tiba, aku hanya menghabiskan waktu bersama Zafran, tak sedikit pun aku meninggalkan anak lelaki itu. “Assalamualaikum, Nduk Aisyah ini bingkisan dari siapa? Kenapa di taruh di luar pintu?”Aku yang seusai memandikan Zafran kini menghampiri tubuh ibu. Ia membawa tas besar pemberian dari Randi. “Ini milik siapa? Kenapa di taruh di depan pintu.”Aku gagap untuk menjawab, tak mungkin aku bilang itu dari Randi, sedangkan posisi rumah sedang koson
Read more

bab. 32a Orang tua Randi

Aku tak berani memandang, hanya menunduk. Sepertinya ibu sudah tahu siapa aku sebenarnya, hanya belum berani untuk mengungkap. Karena itulah, perlakuannya kepadaku benar-benar berbeda.“Assalamualaikum,” terdengar salam dari balik pintu. Mbak Zahra segera membuka pintu utama itu. Sedangkan aku mengekori ya sambil menggendong Zafran.“Waalaikumsalam, Bude, Pak De kapan datang?” Terlihat Mbak Zahra mencium punggung tangan mereka. Aku menatap sepasang kekasih itu, mereka berpakaian begitu islami, hampir sama seperti Mbak Zahra dan Mas Zul. Hanya saja mereka terlihat lebih mapan dalam umurnya, bahkan sangat berwibawa. “Siapa, Nak?” teriak ibu dari ruang keluarga. Ruang yang hanya di sekat dengan bupet itu membuat semua obrolan nyaris terdengar. Kini ibu dan Mas Zul pun ikut keluar, menyambut tamu yang tiba. Netraku membalak sempurna ketika lelaki di belakangnya tamoak. Ia tersenyum tak bersalah. “Perkenalkan ini Bu de dan Pak De,” ucap Mbak Zahra. “Aku tidak di perkenalkan, Mbak.”
Read more

bab. 32b Orang tua Randi

Aku yang seperti pendengar sejati ini, segera masuk ke kamar dan mengasihi Zafran.“Aku masuk ya, Dek!” ucap Mas Zul sambil membuka daun pintu dengan pelan. Ia tahu betul kalau Zafran begitu peka, mendengar bunyi sedikit saja ia akan terbangun.Seperti biasanya, tiap kali masuk kamar ia mencium ujung kepalaku serta menghujani ciuman kepada Zafran. “Yang pelan, Mas. Kasihan kalau Zafran terbangun.”“Iya, Dek! Habis Mas gemas dengan bayi gemoy ini.” Zafran memang begitu menggemaskan, tubuhnya yang bulat dan tangan bak roti sobek itu membuat yang melihatnya ingin mencomot dirinya. Apalagi kalau dia tersenyum menampakkan gigi ompong dan lesung pipitnya. Gantenya melebihi artis-artis Korea di tv.Mas Zul tidur di sebelah Zafran, ya kami bertiga tidur di ranjang yang sama, lelaki kecilku itu tidur di tengah, agar Ayahnya bisa dengan mudah menatao para tampannya. “Dek, apa Ibu pernah bertanya sesuatu tentangmu?”Aku menggeleng.“Aoa ia pernah bertanya tentang masa lalumu?” Aku menggeleng
Read more

bab. 33a Aku lelah

“Astagfirullah, pusar Zafran kenapa, Dek?” Mataku membulat sempurna ketika melihat pusar anak lelaki itu, pantas saja beberapa hari ini Zafran lebih rewel dari biasanya. “Ini sudah puput namanya, Mas.” Aku melihat secuil daging itu terlepas dengan kasa yang melilitnya, sedangkan Pusar Zafran tampak rapi dan tak lagi memerah seperti kemarin. “Alhamdulillah, Dek. Jangan lupa buat bubur merah dan di bagi ke tetangga untuk syukuran.”“Iya, Mas.”“Nanti Zahra ikut ke toko, kamu tidak apakan kalau masak sendiri.”“Gak apa, Mas. Buat bubur merah kan gak ribet. Main cemplung-cemplung sama aduk-aduk saja.”“Alhamdulillah, kalau begitu.”“Anak ayah udah gede. Zafran tambah pinter,” ucap Mas Zul sambil mengangkat tubuh Zafran. Ia menggendong dan membawanya ke kamar mandi, memasukkan ke bak yang sudah ku isi dengan air hangat. Ia mengelap lembut tubuh Zafran dan mengusap nya dengan sabun bayi. Zafran tertawa memperlihatkan senyum ompongnya, tampaknya lelaki kecil itu kegelian ketika tubuh se
Read more

bab.33b Aku Lelah

“Waalaikumsalam,” jawabku menunduk, menolak tatapan matanya. “Ada perlu apalagi datang kemari?” tanyaku ketus. “A ... Aku.”“Lo, Nak Randi ke sini toh. Ayo silahkan masuk.” Suara melengking ibu terdengar meskipun jarak antara kami masih beberapa meter. Wanita paruh baya itu begitu bahagia dan memperlakukan Randi begitu istimewa. “Nduk, buatkan teh anget untuk Randi,” perintah ibu menatap ke arahku. “Ada apa ke sinii pagi-pagi, Nang? Bagaimana kabar bapak ibu?” Ibu begitu antusias mengobrol, entah sejak kapan mereka terlihat akrab, bahkan sebelumnya hubungan mereka biasa saja. Tak banyak bicara, apalagi mengobrol seperti itu. Aku menaruh dua gelas yang berisi teh hangat di atas meja. Randi tampak melirik ke arahku dan kembali melanjutkan obrolan bersama ibu. Randi memberikan sebuah gelang plastik dan beberapa jajan, katanya oleh-oleh dari bapak ibunya untuk ibu mertuaku. “Ini juga ada beberapa baju untuk Zafran, Mbak Aisyah. Oleh-oleh dari umi dan Abi.” Lelaki itu memberikan t
Read more

bab.34a obrolan rahasia

Tak seperti biasanya, Mbak Zahra dan Mas Zul kini mampir ke kamarku. Biasanya seusai pulang mereka merebahkan diri ke kamar, apalagi ini adalah malamnya Mbak Zahra. Mereka bermain dengan Zafran sedangkan aku menghabiskan makan malam, walaupun semua kue Bandung itu habis di perutku. Tetap saja perut seperti berdendang tak karuan. Mungkin karena Zafran kuat menyusu hingga nutrisi dalam tubuhku ikut di serap juga.“Nak Zahra, ibu mau bicara sebentar.” Ibu menggandeng lengan wanita cantik itu yang tertutup dengan gamis panjangnya. Ia menurut dan berlalu pergi. Mas Zul masih tampak ngobrol dengan Zafran, apalagi lelaki kecilku kini sudah mulai mengerti jika di ajak bicara. Ia akan tersenyum dan memamerkan gigi ompongnya. “Aku tinggal bentar ya, Mas. Mau membersihkan piring kotorku,” ucapku dengan membawa piring dan gelas yang baru saja ku pakai.Mas Zul mengangguk. Langkahku tiba-tiba berhenti di depan kamar Mbak Zahra. Entah kenapa perasaanku tidak enak. Aku mengintip dari celah pintu
Read more
PREV
1
...
34567
...
10
DMCA.com Protection Status