Beranda / Romansa / Aku, istri kedua / Bab 61 - Bab 70

Semua Bab Aku, istri kedua : Bab 61 - Bab 70

96 Bab

bab.39b

Meskipun aku terheran , aku tetap nurut apa yang di perintah, membaca surat All Fatihah hingga kurang lebih 7x.Para santriwati kini memandang ke arahku, hanya aku yang di perintah Ustadzah membaca surat yang sama hingga beberapa kali. Apakah bacaanku terlalu buruk? Aku malu menatap tatapan-tatapan wanita itu ke arahku.“Surat Al Fatihah adalah induknya Al Qur’an, di surat tersebut mencakup banyak keutamaan-keutamaan. Bahkan Surat Al Fatihah di wajibkan dalam tiap bacaan sholat.” Ustadzah cantik itu bersuara, hingga para santriwati memandang ke arah yang sama sepertiku.“Bahkan, dalam hadis yang di riwayat kan Imam Bukhori, seagung-agungnya surat dalam Al Quran ialah Alhamdulillahi robbil Alamin.”Para santriwati mendengar ucapan Ustadzah dengan seksama.“Dalam Al Fatihah, meliputi prinsip Agama Islam. Aqidah, ibadah, syariah, keyakinan atas hari akhir,keimanan, keesaan serta permohonan pertolongan. Maka dari itulah Ustadzah minta kalian semua memperbanyak bacaan Al Quran, terutama S
Baca selengkapnya

bab 40a

POV. Zulkifli“Mas, kenapa perasaanku tidak enak ya? Apa sebaiknya Mas tanya kabar, Dek Aisyah dulu.”Aku yang kini fokus menyetir, merasakan hal yang sama seperti Zahra. Apalagi saat kami berangkat, ia masih di liputi kesedihan. Aku berjanji membawanya pergi tapi meninggalkannya begitu saja. Aku menghentikan laju mobilku, melipir ke tepi jalan dan mematikan Mesin kendaraan beroda empat ini. Ku pegang layar pipihku, menghubungi Aisyah. Tak ada jawaban. Memang kebiasaan Aisyah membiarkan ponselnya begitu saja hingga terkadang ia tak sadar ponselnya mati kehabisan baterai. “Bagaimana, Mas?” tanya Zahra yang tampak khawatir.Aku menggeleng.“Coba hubungi ibu, Mas!”Benar juga ucapan Zahra, aku bahkan sampai lupa jika di rumah ada ibu. Kembali ku sentuh layar pipihku, mencari nama ibu dalam kontak panggilan dan segera kulayangkan panggilan. Tak ada jawaban. Kenapa mereka kompakan tak angkat telfon ku? Baru saja kuletakkan ponsel itu di dashboard mobil, terdengar dering menyapaku.
Baca selengkapnya

bab 40b

“Mas, kita cari Dek Aisyah pelan-pelan. Yang terpenting Mas Zul tenang dulu, jangan sambil emosi,” ucap Zahra sambil memegang pundakku. “Bagaimana aku bisa tenang, Dek? Aisyah pergi? Ia bahkan tak pernah tahu jalan sini, ia juga tak memiliki keluarga selain kita. Mau ke mana dia? “ Aku semakin frustasi kala mengingat istri kedua ku itu. Aku seperti lelaki yang paling gagal tak pernah mampu menjaga istri-istriku. Terlalu sering aku menyiratkan luka di hatinya dan kini ia pergi tanpa ku tahu ada di mana.“Mas, sebaiknya kamu ambil air wudhu dulu. Tenangin diri dulu, biar Zafran bersamaku. Mas Zul tak akan bisa mengambil keputusan dengan emosi seperti ini.” Aku menurut dengan ucapan Zahra, aku serahkan Zafran ke pangkuannya dan kini aku membasuh muka ku dengan air wudhu. “Astagfirullah,” ucapku sambil memegang dadaku, berharap emosi ku yang menggebu kini semakin meredam.“ini, Mas. Minum teh hangatnya dulu.” Zahra meletakkan secangkir teh di atas meja di depanku. “Mas mau cari Aisya
Baca selengkapnya

bab 41

Aku segera berlalu, tak sabar bertemu Aisyahku.Baru saja aku melajukan motor ini, kulihat kerumunan yang membawa seseorang memasuki mobil. Ya, sudahlah. Orang itu sudah banyak yang menolong, aku tak ingin membuang waktuku untuk menemukan istriku. Ku tarik gas di motor matic ku lebih kencang. Laju motorku berhenti di sebelah mushola kecil yang di sebutkan Rahman temanku, aku menatap sekitar mencari keberadaan Aisyah. “Assalamualaikum, Ustad Zulkifli.” “Waalaikumsalam,” ucapku. Ku arahkan pandangan ke sumber suara. Wanita berkulit sawo matang dan berjilbab hitam ini menyapa dan menghampiriku. “Maaf anda siapa? Kenal saya dari mana?” “Siapa yang tidak kenal ustad kondang seperti, Ustad. Jika Ustad ke sini untuk menjemput Mbak Aisyah, ustad telat. Ia sudah pamit beberapa waktu yang lalu.”‘Ya Allah, Ya Robbi. Kenapa kamu harus pergi, Dek? Kenapa kamu tak menunggu lebih lama?’“Kalau boleh tahu, ke mana istriku pergi?” “Pamitnya, ia mau pulang menemui Ustad.” Lantas kenapa sampai
Baca selengkapnya

bab 42a

Aku memutar gagang pintu kayu itu. Membuka nya perlahan , kulihat Umi Syafaah duduk bersama Abi Maimun. Di depannya ada ...Aku mematung, tak mampu berucap.Lelaki berkulit putih dengan janggut tipis ini berdiri tepat di hadapku, ia memangku Zafran. Dua lelaki yang begitu ku cintai, dua lelaki yang menjadi pemilik hatiku ini.“Dek Aisyah,” ucap Mas Zul.Aku tersenyum tipis, menampakkan kerinduan ku kepada mereka berdua.Oek.. Oek ... Tangisan Zafran mengisi ruangan, pipi chubby dan tubuh gemoy yang begitu kurindukan. Kamu terlihat sedikit lebih kurus, Nak.“Zafran.” Mas Zul memberikan bayi itu kepadaku, kupeluk ia, ku ciumi ia. Air mata yang dari tadi ku tahan kini tumpah, merasakan keharuan dalam situasi ini. Aku masih tak percaya bisa kembali melihat mereka kembali.“Abah sama Umi permisi dulu ya, Nak.” Ucap Abah Maimun dan istrinya meninggalkan ruangan.Perasaan takut menyelimuti tubuhku, bagaimana mungkin Mas Zul bisa ke sini bersama Zafran? Apa ia akan menghardik ku seperti yang
Baca selengkapnya

bab 42b

Aku mengasihi Zafran dan Mas Zul terus saja menemaniku dan turut serta mengelus rambut Zafran. “Mbak Zahra mana, Mas? Apa dia tidak ikut?” tanyaku sesaat setelah menyadari tidak adanya wanita cantik bertubuh semampai itu. “Pamitnya ke belakang, kenapa lama sekali.” Mas Zul memandang lorong jalan menuju ke kamar kecil. Mbak Zahra berjalan maju dengan hidung dan mata yang memerah. Entah sejak kapan wanita cantik itu berdiri di situ. “Alhamdulillah, Dek. Kamu baik-baik saja,” ucap Mbak Zahra sambil memelukku. “Kamu tahu bagaimana khawatirnya Mas Zul tanpamu? Ia bahkan jarang tidur hanya untuk memintamu dalam sudutnya.”Aku melirik ke arah Mas Zul, tampaknya lelaki itu memang kelelahan dan kurang tidur. “Zafran pun tak kalah rewel tanpamu,” Mbak Zahra mengusap lembut rambut lelaki kecil itu. Aku tersenyum mendengar ucapan Mbak Zahra. Begitupun aku yang merindukan mereka.Zafran kini tertidur dan melepas sumber asinya, seperti nya lelaki kecilku itu memang sudah kekenyangan.“Mari,
Baca selengkapnya

bab 43a

“Jadi kamu pikir ibu sengaja menjebakmu?” Wanita paruh baya itu menatapku dengan sengit sambil menunjuk ke arahku. “Bukan, Bu. Maksud Aisyah tidak seperti itu.” Aku menggeleng, menolak prasangka ibuku.“Ya Allah Gusti, Nduk. Kenapa kamu tega sekali menuduh ibu seperti itu. Ibu memang kurang suka kamu karena masa lalu mu buruk. Tapi bukan berarti ibu buat fitnahan sekejam itu.”‘Dari perkataan ibu justru membuatku yakin, mungkin ini semua adalah perbuatan beliau. Ibu yang sengaja mengunciku dari luar, dan ia mendatangkan lelaki itu, serta masuk ke kamarku di waktu yang tepat. Kalau bukan ibu siapa lagi? Aku bahkan tak memiliki teman ataupun musuh di sini. ‘‘Astagfirullah, kenapa prasangka buruk itu datang, ibu telah bilang kalau ini semua bukan perbuatannya. Kenapa kamu harus memutar balik fakta, Aisyah. Kamu hidup di pesantren selama seminggu. Kenapa rasa ikhlas dan jiwa dengkiku tidak juga berkurang.’Hatiku kini saling bertaut. Mengungkap opini masing-masing. “Bukan mencari sia
Baca selengkapnya

bab 43b

“Kamu cantik, Dek. Sangat cantik.” Mas Zul kembali melingkarkan lengannya dari belakang, memelukku erat hingga kurasakan detakan jantungnya dari kulit tubuh kami yang menyatu, hanya berjarak pakaian yang kami kenakan. Aku memandangnya dari cermin, ia menampakkan senyum yang indah. Senyum yang begitu rindukan. Aku membalik tubuhku, mengarahkan pandangan ke arahnya. Ia mencium dahiku, terus turun ke pipi dan semua berlalu begitu saja. “Astagfirullah,” ucapku ketika mendengar tangisan Zafran. Aku terbangun dan mendapati tubuhku yang hanya tertutup dengan selimut, kupandang sisi satunya, Mas Zul tampak tertidur pulas. Aku mengasihi Zafran sambil mengingat kejadian beberapa menita yang lalu. Senyumku tersimpul indah. Aku merasa Mas Zul begitu berbeda, begitu mencintaiku. Seperti rasa cinta yang ia berikan kepada Mbak Zahra. “Allahu Akbar Allahu akbar.”Terdengar suara Adan yang saling bersaut antara mushola satu ke mushola lainnya. Ku lihat jam dinding di kamarku, jam tiga sore. Zafran
Baca selengkapnya

bab. 44a pov Randi

POV Randi“Bro, terima saja Napa cinta Nesa.” Amran yang ikut duduk di sebelahku memberikan sebuah coklat dan bunga mawar. Ini bukan kali pertama wanita semampai berpawakan menarik itu mengirimkan hadiah untukku, meskipun berulang kali aku menolak, ia tetap saja melakukan hal yang sama. “Kembalikan saja itu bunga dan coklatnya,” ucapku sambil meletakkan barang tersebut di meja Amran.“Wah, sayang lah Bro, lagian kasihan juga kalau Nesa tersinggung.”“Untukmu saja kalau begitu.”Amran menatapku dengan mata membulat sempurna dan penuh cahaya “ Benarkah?”Aku mengangguk.Tanpa menunggu lama lelaki itu membuka bungkusan coklat berbentuk hati itu, serta menciumi setangkai mawar merahnya.Nesa adalah primadona di kampus ini, parasnya cantik, pawakannya menarik, bahkan ia pun salah satu mahasiswi berprestasi. Entah kenapa, dengan kelebihan yang ia memiliki aku seperti tak tergugah untuk menerima cintanya. Ia selalu saja memberikan perhatian lebih kepadaku, memberi barang, kado nyatanya te
Baca selengkapnya

bab 45a pov Randi

“Apa semalam aku mimpi basah?” Aku bergegas mengguyur tubuhku, merasakan sensasi air pedesaan yang terasa menyejukkan. –sayup terlihat wanita bidadari yang kutemui tadi malam, itu mimpi ataukah kenyataan? Ah, mungkin saja wanita yang terlihat tadi malam hanyalah mimpiku belaka. Mana mungkin aku bisa berbuat senekat itu kepada wanita. “Randi.” Amran menatapku begitu tajam, memperhatikan seluruh anggota tubuhku. “Woy, jangan menatapku seperti itu. Jijik aku,” ucapku sambil melempar handuk basah yang usai ku kenakan. “Bro, tadi malam ... Kamu?” Amran menatapku dengan mulut yang menganga.Sepertinya Amran menyadari kalau aku mimpi basah, bermimpi bersama wanita itu membuatku kehilangan akal sehat. “Bro, keperjakaanmu hilang.” Ucapan Amran kini yang membuatku ternganga. Berarti tadi malam yang kulakukan bukanlah mimpi? Aku menodai seorang wanita? “Apa? Aku menodai seorang wanita?” ucapku yang masih tak percaya.Amran seketika menutup mulutku. “Jangan keras-keras, jangan sampai ada
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status