Semua Bab Ketika Suami Tak Lagi Peduli: Bab 81 - Bab 90

123 Bab

Terjerat Pinjaman Online

Meski penasaran, aku tidak berani bertanya kepada Pak Reindra mengenai sosok wanita yang disinggungnya tadi. Biarlah itu menjadi rahasianya sendiri, karena bagaimanapun aku tidak berhak mengorek isi hati orang lain. Aku harus sadar di mana posisiku saat ini. Apalagi di antara kami terbentang sebuah jurang pemisah yang sangat sulit untuk diseberangi. Selepas puding yang aku makan habis, Pak Reindra pun mengajakku pulang. Di dalam mobil, kami tidak banyak mengobrol karena hari sudah cukup malam. Bahkan aku hampir saja tertidur saat perjalanan kami terhenti akibat kemacetan ibu kota. Namun, aku berusaha membuka bola mataku lebar-lebar supaya jangan sampai ketiduran. Sekitar jam sembilan malam, aku baru tiba di kos. Untung saja jam malam di Kos Kartika adalah pukul sepuluh, sehingga aku tidak takut akan terkunci di luar gerbang. “Pak, terima kasih sudah mentraktir saya makan dan mengantarkan saya sampai di kos,” ucapku sebelum membuka pintu mobil. “Hanya berterima kasih saja?” tanya Pa
Baca selengkapnya

Lempar Batu Sembunyi Tangan

Perkataan lelaki itu bak suara sirine yang berdengung-dengung di indera pendengaranku, membuat kepalaku terasa berdenyut seperti dihantam oleh batu besar. Belum selesai masalah yang satu, sudah timbul masalah lain yang menghadang. Bahkan setelah kami berpisah, Mas Yoga masih melibatkan aku dalam lingkaran masalahnya. Aku jadi bertanya-tanya apakah Mas Yoga memang bentuk cobaan yang diberikan alam semesta kepadaku. Ataukah aku sedang diuji secara kekuatan dan kesabaran, hingga harus selalu terkena imbas dari perbuatannya. “Maaf, Pak, sudah saya tegaskan sejak tadi bahwa saya tidak berurusan lagi dengan mantan suami saya. Segala utangnya di luaran sana sama sekali bukan tanggung-jawab saya. Jadi, percuma saja Bapak menghubungi saya terus-menerus, karena saya tidak bisa memberikan solusi apa-apa. Setelah ini, tolong jangan pernah mengganggu saya lagi.” Tanpa berbasa-basi, aku memutuskan sambungan telepon itu secara sepihak. Aku sudah tidak peduli dengan tata krama, karena pria ini telah
Baca selengkapnya

Merawat Seperti Seorang Ibu

Sesudah taksi online yang kupesan datang, aku buru-buru berangkat menuju ke rumah Pak Reindra. Sempat terbersit di pikiranku bahwa tidaklah pantas aku bertandang ke rumah seorang pria di malam hari, sementara aku akan menyandang status janda. Namun, aku segera mengabaikannya, karena kesehatan Maura adalah yang terpenting saat ini. Taksi yang kutumpangi pun membelah jalanan ibu kota yang padat merayap. Geliat aktivitas di kota metropolitan memang tak pernah padam meski siang telah berganti malam. Justru suasana tampak lebih hidup dengan kerlap-kerlip lampu yang menghiasi berbagai tempat hiburan. Sesekali aku memandang keluar jendela untuk melihat antrian mobil yang ada di depan sana. Dalam kondisi begini, aku bahkan berkhayal bisa naik taksi terbang agar segera sampai di rumah Maura. Untung saja kemacetan yang menghadangku lekas terurai, sehingga taksiku bisa melaju lebih cepat. Begitu sampai di kompleks perumahan Pak Reindra, aku melihat Pak Sam sudah menunggu kedatanganku di gerban
Baca selengkapnya

Aku Mencintaimu, Arista

Antara sadar dan tidak, aku merasakan tangan seseorang menyentuh lenganku. Disusul dengan sebuah suara yang memanggil-manggilku dari alam penuh ilusi. Dengan susah payah, aku berusaha mengumpulkan nyawa yang belum terkumpul seluruhnya. Sambil menggeliatkan tubuh, aku membuka kelopak mata perlahan-lahan untuk melihat siapa yang telah membangunkan aku. “Mbak Ratna…,” lirihku seraya menajamkan pandangan. “Maaf, saya terpaksa mengganggu istirahat Ibu karena ada masalah.” Melihat ekspresi Mbak Ratna yang cemas, aku berusaha untuk bangun meski saraf-sarafku masih terasa lemas. Yang pertama terlintas di benakku tentu saja adalah Maura. Lekas saja aku menoleh ke samping untuk mengecek bagaimana kondisinya. Melihat gadis kecil itu masih terlelap, aku langsung menarik napas lega. Terlebih saat kusentuh keningnya, suhu tubuh Maura sudah tidak panas lagi. “Maura baik-baik saja, kok, Mbak,” jawabku dengan suara serak khas bangun tidur. “Masalahnya bukan pada Maura, Bu. Tuan Reindra baru saj
Baca selengkapnya

Kita Perlu Bicara Empat Mata

“Hmppthh!” Aku berusaha memberontak, tetapi Pak Reindra malah semakin menekan bibirnya untuk memperdalam ciuman kami. Pengaruh alkohol membuatnya seakan tuli terhadap semua permohonanku. Bahkan ia menggigit bibir bawahku, agar aku membuka mulut dan memberikan akses yang lebih kepadanya. Ketika mulutku terbuka, dia langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk membelitkan lidah kami. Lambat laun, aku menjadi lemah dan terbuai oleh ciuman yang diberikan Pak Reindra. Entah mengapa semua ini terasa begitu indah, hingga mampu menggetarkan seluruh saraf di tubuhku. Aku pernah menjadi seorang istri dan ini bukanlah pengalaman pertamaku dicium oleh seorang pria. Namun, aku tidak pernah merasakan kehangatan semacam ini selama menikah dengan Mas Yoga. Kami memang jarang bermesraan. Bahkan di saat dia meminta hak sebagai suami, kerap kali dia hanya mencari kenikmatan sendiri tanpa memikirkan perasaanku. Hal ini sangat berbeda dengan yang aku alami sekarang. Meski Pak Reindra dalam kondisi mabuk,
Baca selengkapnya

Perhatikan Aku Mulai Sekarang

“Bagaimana, Dok, kondisi Maura?” tanyaku kepada dokter Noval. Menurut Mbak Ratna, dokter spesialis anak yang masih terbilang muda itu adalah dokter langganan Maura. Dokter Noval mengetikkan sesuatu, lantas memutar laptopnya menghadap ke arahku. “Tenggorokan Maura berwarna merah dan ada bintik-bintik putih seperti ini, Bu. Maura mengalami infeksi bakteri. Saya akan memberikan antibiotik yang harus diminum selama lima hari, obat racikan untuk mengurangi gejala pilek, dan obat semprot untuk hidung.” “Apa ada pantangan makan untuk Maura, Dok?” tanyaku ingin memastikan. “Untuk sementara, Maura tidak boleh makan makanan yang berminyak, dan harus istirahat yang cukup.” “Baik, Dok. Boleh saya minta surat keterangan sakit untuk Maura, supaya bisa diberikan ke sekolahnya?” pintaku. “Bisa, Bu, saya akan membuat surat istirahat selama tiga hari. Nanti Ibu bisa memintanya kepada perawat yang bertugas di depan.” Aku menunggu dokter itu selesai menuliskan resep, kemudian mengucapkan terima kas
Baca selengkapnya

Pesona Wanita

Aku serasa bermimpi ketika mendengar Pak Reindra mengucapkan hal itu. Hingga detik ini, aku masih belum mengerti alasannya menyuruhku untuk tidak bersikap formal. Bahkan sikapnya yang meminta perhatian dariku, seperti seorang laki-laki yang sedang cemburu karena tidak diperhatikan oleh kekasihnya. Sungguhkah ia menjadi begini karena mengingat kejadian semalam?“Lagi-lagi kamu melamun dan tidak mau menjawabku,” tegur Pak Reindra.Aku pun gelagapan dan memandang Pak Reindra dengan rasa kikuk.“Maaf, saya belum bisa mengikuti kemauan Bapak. Karena Bapak adalah atasan saya, dan saya tidak mungkin bicara dengan Bapak seperti bicara dengan seorang teman,” kilahku memberikan alasan.“Rista, kenapa kamu pura-pura bodoh begini? Sudahlah, kita lanjutkan pembahasan ini saat makan malam. Tunggu sebentar, aku lupa mengambil sesuatu.”Ketika Pak Reindra berbalik menuju ke mobilnya, aku buru-buru mengikutinya dari belakang.“Pak, saya minta izin pulang sekarang dan kembali ke kos,” ujarku. Aku mema
Baca selengkapnya

Hanya Kamu yang Aku Inginkan

Aku menurut saja ketika Pak Reindra mengajakku ke ruang makan, kendati aku tidak tahu apa yang dimaksud olehnya dengan situasi tidak biasa. Dalam sekejap, rasa penasaranku telah terjawab. Aku terkesima saat melihat ruang makan yang hanya diterangi oleh sinar lilin. Pencahayaan yang temaram membuat kami serasa berada di sebuah restoran dan akan melakukan dinner romantis. Ada empat buah lilin yang dipasang di setiap sudut meja, sedangkan di bagian tengah dihiasi enam tangkai mawar yang tertata rapi di dalam vas bunga. Bukan hanya itu, di meja telah berjajar berbagai hidangan. Jika dilihat dari tampilannya, makanan tersebut pasti berasal dari restoran ternama, bukan masakan rumahan buatan Bi Eni. Yang lebih mengejutkan lagi, hanya ada dua buah kursi di sana. Pak Reindra pun melepaskan tautan tangan kami, lalu menarik salah satu kursi. Sikapnya yang sangat gentleman ini membuatku merasa dihargai sebagai seorang wanita. “Duduklah, Rista, kita makan dulu sebelum bicara.” Aku mengira dia
Baca selengkapnya

Aku adalah Priamu

Hatiku bergetar hebat ketika mendengar pertanyaan Pak Reindra. Aku tak menyangka peristiwa bak cerita dongeng ini akan terjadi dalam hidupku. Seorang pria tampan dengan mawar merah di tangannya sedang menawarkan sebuah cinta yang baru. Dan di detik ini juga ia sedang mengharapkan jawaban dariku. Oh, Tuhan, rasanya aku ingin pingsan sekarang juga. Aku masih terombang-ambing antara menjawab dengan jujur atau menyembunyikan saja perasaanku terhadapnya. Sungguh dilema ini telah menyiksa batinku berkali-kali. Ingin rasanya aku mencetuskan sebuah kalimat, tetapi tidak ada vibrasi suara yang keluar dari tenggorokanku. Dalam pendar cahaya lilin yang menyinari ruang makan, Pak Reindra menatapku sekali lagi. Seberkas sinar lilin terpantul dari iris matanya yang hitam pekat, membuatku jiwaku serasa tersesat ke dalamnya. “Rista, jawablah dengan jujur. Apa pun jawabanmu, aku tidak akan marah, dan itu tidak akan mengganggu pekerjaan kita di kantor.” Baru kali ini aku melihat sisi lain dari diri
Baca selengkapnya

Butuh Kasih Sayang

Mas Reindra mengetatkan rahangnya ketika mendengar berita yang aku sampaikan. Terlihat jelas bahwa dia sedang cemburu. Melihat sikapnya ini, aku justru semakin yakin bahwa ia sungguh-sungguh mencintaiku. “Kamu tidak boleh membiarkan dia datang ke kantor, karena aku yakin Yoga memiliki maksud terselubung,” ujar Mas Reindra. “Iya, Mas, aku juga berpikir begitu. Tetapi aku harus bisa membuat alasan yang masuk akal, supaya dia batal menjemputku ke kantor.” Mas Reindra mengerutkan keningnya dalam-dalam, seolah sedang berpikir keras. Beberapa saat kemudian, ia mencetuskan sebuah gagasan untuk melindungi aku. “Katakan saja kepadanya bahwa kamu menghadiri meeting di luar kantor. Besok aku akan bertemu dengan Pak Wilmar dari Bank Sentosa, kamu bisa ikut denganku.” Mendengar ide Mas Reindra yang beresiko, aku pun menggeleng perlahan. “Jangan, Mas, nanti orang-orang kantor akan curiga. Aku hanya seorang supervisor yang tidak selayaknya menemani direktur untuk meeting dengan pihak bank. Ki
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
7891011
...
13
DMCA.com Protection Status