Aku menurut saja ketika Pak Reindra mengajakku ke ruang makan, kendati aku tidak tahu apa yang dimaksud olehnya dengan situasi tidak biasa. Dalam sekejap, rasa penasaranku telah terjawab. Aku terkesima saat melihat ruang makan yang hanya diterangi oleh sinar lilin. Pencahayaan yang temaram membuat kami serasa berada di sebuah restoran dan akan melakukan dinner romantis. Ada empat buah lilin yang dipasang di setiap sudut meja, sedangkan di bagian tengah dihiasi enam tangkai mawar yang tertata rapi di dalam vas bunga. Bukan hanya itu, di meja telah berjajar berbagai hidangan. Jika dilihat dari tampilannya, makanan tersebut pasti berasal dari restoran ternama, bukan masakan rumahan buatan Bi Eni. Yang lebih mengejutkan lagi, hanya ada dua buah kursi di sana. Pak Reindra pun melepaskan tautan tangan kami, lalu menarik salah satu kursi. Sikapnya yang sangat gentleman ini membuatku merasa dihargai sebagai seorang wanita. “Duduklah, Rista, kita makan dulu sebelum bicara.” Aku mengira dia
Hatiku bergetar hebat ketika mendengar pertanyaan Pak Reindra. Aku tak menyangka peristiwa bak cerita dongeng ini akan terjadi dalam hidupku. Seorang pria tampan dengan mawar merah di tangannya sedang menawarkan sebuah cinta yang baru. Dan di detik ini juga ia sedang mengharapkan jawaban dariku. Oh, Tuhan, rasanya aku ingin pingsan sekarang juga. Aku masih terombang-ambing antara menjawab dengan jujur atau menyembunyikan saja perasaanku terhadapnya. Sungguh dilema ini telah menyiksa batinku berkali-kali. Ingin rasanya aku mencetuskan sebuah kalimat, tetapi tidak ada vibrasi suara yang keluar dari tenggorokanku. Dalam pendar cahaya lilin yang menyinari ruang makan, Pak Reindra menatapku sekali lagi. Seberkas sinar lilin terpantul dari iris matanya yang hitam pekat, membuatku jiwaku serasa tersesat ke dalamnya. “Rista, jawablah dengan jujur. Apa pun jawabanmu, aku tidak akan marah, dan itu tidak akan mengganggu pekerjaan kita di kantor.” Baru kali ini aku melihat sisi lain dari diri
Mas Reindra mengetatkan rahangnya ketika mendengar berita yang aku sampaikan. Terlihat jelas bahwa dia sedang cemburu. Melihat sikapnya ini, aku justru semakin yakin bahwa ia sungguh-sungguh mencintaiku. “Kamu tidak boleh membiarkan dia datang ke kantor, karena aku yakin Yoga memiliki maksud terselubung,” ujar Mas Reindra. “Iya, Mas, aku juga berpikir begitu. Tetapi aku harus bisa membuat alasan yang masuk akal, supaya dia batal menjemputku ke kantor.” Mas Reindra mengerutkan keningnya dalam-dalam, seolah sedang berpikir keras. Beberapa saat kemudian, ia mencetuskan sebuah gagasan untuk melindungi aku. “Katakan saja kepadanya bahwa kamu menghadiri meeting di luar kantor. Besok aku akan bertemu dengan Pak Wilmar dari Bank Sentosa, kamu bisa ikut denganku.” Mendengar ide Mas Reindra yang beresiko, aku pun menggeleng perlahan. “Jangan, Mas, nanti orang-orang kantor akan curiga. Aku hanya seorang supervisor yang tidak selayaknya menemani direktur untuk meeting dengan pihak bank. Ki
“Permisi, Pak, selamat pagi,” ucapku ketika memasuki ruangan Pak Yanuar. “Pagi Arista, silakan duduk. Apa kamu sudah merasa sehat hari ini?” tanya Pak Yanuar sembari memasang kaca matanya. “Iya, Pak,” jawabku singkat. Aku merasa bersalah karena sudah membohongi manajerku itu. Mana mungkin aku mengatakan kepadanya bahwa aku tidak masuk akibat terlibat perasaan dengan pimpinan tertinggi divisi keuangan. “Kamu mendapat tugas khusus dari Pak Reindra. Dia meminta laporan stok opname produk nugget dari beberapa outlet kita. Ini daftar outlet yang harus kamu kunjungi,” ujar Pak Yanuar menyodorkan selembar kertas ke tanganku. Aku menerima kertas tersebut, lalu membacanya dengan seksama. Ternyata Mas Reindra sudah menyusun jalur perjalananku sedemikian rupa, hingga pada kunjungan terakhir aku akan berada di Berlian Mart yang dekat dengan area kuliner. Dengan begitu, akan lebih mudah untukku mengatur pertemuan dengan Mas Yoga di salah satu kafe atau restoran. “Kamu akan diantar dan dibantu
Aku meminta Pak Eki untuk segera mengantarku ke Kafe Pleasure. Sengaja aku memilih kafe tersebut karena lokasinya berada di pinggir jalan, dekat dengan kawasan pertokoan. Dengan begitu, Mas Yoga tidak akan berani bertindak sembarangan terhadapku. Setelah sampai di kafe tersebut, aku bermaksud mentraktir Pak Eki untuk sekadar minum kopi atau membeli camilan. Sekaligus sebagai ucapan terima kasih, karena dia sudah membantu aku seharian ini. Akan tetapi, Pak Eki lebih memilih untuk menunggu di mobil sembari menikmati kepulan asap rokok. Sambil mengirimkan lokasiku kepada Mas Reindra, aku berjalan memasuki kafe. Sepertinya ponsel Mas Reindra sedang tidak aktif, sehingga pesanku belum terkirim. Namun, aku tidak mempermasalahkan hal itu, sebab aku tahu dia sedang menjalani sebuah rapat penting. Di dalam kafe, aku memilih meja paling belakang agar nanti percakapan kami tidak didengar oleh pengunjung lain. Bagaimanapun aku harus bersiap-siap apabila Mas Yoga menyulut pertengkaran di antara
Terlambat! Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan permintaan Mas Yoga. Setelah berkali-kali menyakiti diriku, kata cinta itu tidak pantas untuk keluar dari mulutnya. Orang yang tulus dalam mencintai tidak akan pernah berbohong apalagi berkhianat. Jelas sudah bahwa perasaan Mas Yoga kepadaku hanya berdasarkan syarat dan kondisi tertentu. Dahulu saat aku tidak berpenghasilan dan kurang bisa merawat diri, dia tak pernah mengacuhkan aku. Namun, giliran aku memiliki pekerjaan dan berpenampilan cantik, dia ingin rujuk denganku. Bisa dipastikan jika aku nanti menjadi ibu rumah tangga, maka dia akan kembali bersikap dingin. Atau dia akan menjadi wanita lain yang lebih bening bagi penglihatannya di luar sana. Walaupun Mas Yoga menggunakan Zidan sebagai alasan untuk membuatku luluh, pendirianku tidak akan goyah. Aku tidak bisa memaksakan diri untuk bersamanya, sementara hatiku sudah dimiliki oleh lelaki lain. Terlebih, aku sangat yakin lelaki itu bisa menjadi ayah sambung yang baik
Melihat Mas Reindra sudah berada di depanku, aku tersentak kaget. Tak kusangka dia tiba-tiba menyusulku ke sini, padahal seharusnya Mas Reindra masih berada di ruang rapat. Mungkinkah dia mempercepat pekerjaannya karena mencemaskan kondisiku? Mas Yoga juga sama terkejutnya denganku. Sontak, dia melepaskan tanganku yang sejak tadi ditariknya secara paksa. Memanfaatkan kesempatan itu, Mas Reindra segera mengambil alih dan menarikku ke sisinya. Seakan mendapatkan tempat perlindungan paling aman, aku pun bersembunyi di balik punggungnya yang kekar. Dalam beberapa detik, Mas Reindra dan Mas Yoga saling bersitatap, seolah sedang mengenali dan mengukur kekuatan masing-masing. Entah mengapa suasana hening yang tercipta justru terasa mencekam dan mendebarkan. Aku sangat takut bila akan terjadi adu mulut atau perkelahian sengit di antara mereka berdua. Dari jarak dekat, sangat jelas perbedaan dari kedua pria yang telah ditakdirkan ada di dalam hidupku. Bukan hanya soal postur tubuh, tetapi ju
Tubuhku sampai menggigil karena menahan rasa jengkel yang kian membuncah. Untung saja ada Mas Reindra di sampingku, bila tidak entah apa yang akan terjadi. Mungkin saja aku dan Mas Yoga akan menjadi tontonan orang banyak dan viral di media sosial. Begitu kami sampai di dalam mobil, Mas Reindra langsung memelukku. Menjadikan bahunya yang lebar sebagai tempat bersandarku, supaya perasaanku lebih nyaman. Segera, ia meminta supir kantor untuk melajukan mobilnya meninggalkan lokasi kafe. Melewati Mas Yoga yang masih berdiri di pinggir jalan. Lewat jendela, aku bisa melihat pria itu seperti sedang memukul udara kosong. Barangkali, ia merasa kesal karena usahanya untuk merendahkan martabatku telah gagal. “Tenanglah, Rista, jangan pikirkan omong kosong dari laki-laki brengsek itu,” tutur Mas Reindra dengan lembut. “Iya, Mas, maaf aku terlalu terbawa perasaan.” Aku menghela napas panjang untuk mengembalikan kewarasanku yang sempat terkikis. “Tidak apa-apa, aku mengerti apa yang kamu rasaka
Masih dilanda kebingungan, aku melangkah ke ruang tamu beriringan dengan Maura dan Zidan. Melihat Pak Darmawan dan Bu Alya tengah duduk melingkar di sofa, aku hanya bisa berdiri mematung. Perasaanku menjadi campur aduk saat tatapan mataku terkunci dengan sorot mata Mas Reindra. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pria itu seolah-olah ingin mengirimkan pesan kepadaku melalui tatapan matanya. Dan entah mengapa aku bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Aku tahu Mas Reindra ingin kejutan darinya bisa membuatku bahagia, bukan malah gugup seperti ini. “Arista, akhirnya kamu datang juga. Pak Darmawan dan Bu Alya sudah menunggu dari tadi,” tegur Ibu. Dengan menepis rasa canggung, aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Pak Darmawan dan Bu Alya. “Pak Darmawan, Bu Alya, maaf saya tidak menyambut Anda dan malah pergi ke luar rumah,” kataku tidak enak hati. “Tidak apa-apa, Arista. Ini bukan salahmu, karena kami datang mendadak tanpa pemberitahuan,” jawab Pak Darmawan sembari
Aku mendesak Mas Reindra untuk memberitahukan kejutan apa yang dimaksud olehnya. Namun, ia tidak mau mengatakan apa-apa dengan alasan belum tiba waktunya.Sempat aku berpikir bahwa dia akan menyusul aku ke Jogja. Namun, hal itu sepertinya mustahil karena Mas Reindra masih berada di Sulawesi. Lagi pula setiap kali dia melakukan perjalanan di luar urusan bisnis, dia pasti akan mengajak Maura. Padahal saat ini, Maura sedang menginap selama satu minggu di rumah Pak Darmawan.Usai menelepon Mas Reindra, aku pun mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Aku melihat sebentar ke arah koper yang akan kubawa ke Jogja besok pagi. Akhirnya, aku akan bertemu dengan putra kecilku setelah berbulan-bulan kami tidak bertemu. Meski hanya tiga hari, aku akan berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin.Tak terasa, aku pun terlelap dalam tidur hingga alarm di ponselku berbunyi. Seperti mesin otomatis, kelopak mataku langsung terbuka lebar. Lantaran aku tidak sabar untuk melepas rindu kepada p
Detik ini juga aku mengalami dilema yang berat karena permintaan Mas Yoga. Aku tahu dia sedang membutuhkan pekerjaan untuk menyambung biaya hidup. Namun, di PT. Sejahtera sedang tidak ada lowongan pekerjaan, kecuali di cabang baru yang berlokasi di Sulawesi.Sedangkan untuk Ibu, kemungkinan besar Beliau tidak akan mau menerima Mas Yoga karena terlanjur membenci lelaki itu. Siapa yang tidak akan antipati dengan seorang pencuri dan pembohong seperti Mas Yoga. Jangankan menjadi pegawainya, bertemu Mas Yoga saja Ibu pasti sudah enggan.“Rista, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak mau membantu aku? Kalau kamu masih dendam padaku, paling tidak ingatlah Zidan dan ayahku. Gara-gara kita berpisah, ayahku kepikiran dan sering jatuh sakit. Sebagai anak tertua, aku semestinya bertanggung jawab untuk membiayai pengobatan ayahku,” ungkap Mas Yoga.Tanpa sadar, aku menyentuh pelipisku sendiri karena ikut pusing memikirkan masalah Mas Yoga.“Iya, aku sudah mengetahuinya dari Dian. Sekitar dua bulan
Kini, aku melewati hari demi hari sebagai karyawan PT. Sejahtera. Tak terasa hampir dua bulan lamanya aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Mas Reindra. Bukan jauh dalam arti yang sebenarnya, tetapi kami sengaja tidak bertemu kecuali untuk urusan pekerjaan. Memang begitulah komitmen yang harus kami jalani sekarang. Walaupun secara fisik tidak bersama, kami masih berkomunikasi aktif lewat telepon untuk mengetahui kegiatan masing-masing.Terkadang di hari Minggu, Maura minta ditemani olehku untuk berbelanja atau sekadar bermain di mall, tetapi Mas Reindra tidak pernah ikut. Dia memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti berolah raga, bersepeda, atau mengurusi ikan peliharaannya. Akhir-akhir ini, dia memang memiliki hobi baru, yaitu mengoleksi berbagai jenis ikan laut di akuarium. Katanya dengan melihat ikan dia bisa sedikit terhibur saat merindukan aku.Melalui informasi yang diberikan Pak Ridwan, proses di pengadilan berjalan dengan lancar dan hampir mencapai tahap akhir. Selama
“Mas, aku sedang serius kamu malah bercanda,” ucapku berdecak sebal. Mas Reindra hanya terkekeh sambil memelukku kembali.“Siapa bilang aku bercanda? Aku bisa berubah menjadi penculik jika itu menyangkut kamu,” katanya memasang ekspresi serius.“Sudah, jangan merayuku lagi. Kita pulang sekarang, Mas.”Buru-buru aku melepaskan diri dari Mas Reindra sambil merapikan baju dan rambutku yang berantakan. Kemudian, aku berpindah dari kursi belakang menuju ke depan. Beban yang ada di pundakku serasa terangkat, karena kami berdua mencapai kata sepakat.Tak sampai sepuluh menit, kami telah sampai di villa. Sebelum keluar dari mobil, aku pun bercermin di kaca spion. Aku ingin mengecek sekiranya ada tanda merah atau bekas yang ditinggalkan Mas Reindra. Bila memang ada, aku harus menutupinya agar tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di villa.“Tenang saja, Sayang, aku tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bibirmu yang sedikit bengkak,” ucap Mas Reindra dengan wajah tanpa dosa.Aku mencebik
Mas Reindra terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sungguh cemas dia akan gelap mata dan mengajakku ke tempat yang berbahaya. Namun, aku segera menepis pikiran itu karena aku tahu bahwa Mas Reindra adalah orang yang bijak dan dewasa. Tidak mungkin ia melakukan sesuatu yang membahayakan aku dan dirinya sendiri. Apalagi, dia masih punya tanggung-jawab untuk mendidik dan membesarkan Maura.Mas Reindra menghentikan mobilnya di sebuah kawasan mirip hutan kecil. Tidak ada satu kendaraan pun yang lewat di lokasi itu, sehingga suasana di sekitar kami sangat sepi. Meski demikian, aku tahu lokasi ini dekat dengan villa tempat kami menginap.“Mas, untuk apa kita berhenti di sini? Kita harus pulang karena ini hampir tengah malam. Bagaimana jika Pak Darmawan dan Bu Alya tahu kita masih berduaan di luar?” tanyaku gugup.Mas Reindra tidak menjawab, tetapi ia malah memiringkan wajahnya untuk menatapku. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh pada sinar matanya.“Kamu selalu saja mencema
Membaca pesan itu, debaran jantungku jadi tak menentu. Aku merasa was-was untuk menemui dan mendengarkan apa yang dikatakan Mas Reindra. Jujur, aku takut bila Pak Darmawan juga meminta Mas Reindra untuk mengakhiri hubungan kami.Untuk meredakan rasa gelisah yang membuncah, aku berbaring sambil menunggu jam sepuluh tiba. Tiba-tiba aku teringat pada ibu kandungku dan juga mantan ayah mertuaku. Aku baru menyadari bahwa pernikahan dan perceraian selalu melibatkan orang tua. Jika anak mereka bermasalah, maka orang tua yang akan terkena imbasnya. Pantas saja Pak Darmawan dan Bu Alya sangat menaruh perhatian kepada pasangan hidup Mas Reindra. Terlebih dari pengalamanku yang pernah gagal berumah tangga, mungkin mereka akan semakin meragukan karakterku.Memikirkan semua ini membuat hatiku serasa ditusuk oleh duri-duri tajam. Gara-gara masalah rumah tanggaku, banyak orang tua yang terlibat di dalamnya. Padahal semestinya di usia senja, mereka bisa hidup dengan tenang tanpa harus terbebani oleh
Dengan menerima arloji tersebut, aku berhasil menyelesaikan tantangan terakhir. Tidak ada yang berani berkomentar mengenai aku dan Mas Reindra, khususnya saat aku mengembalikan arloji itu ke tangan pemiliknya. Tanpa bicara sekalipun, mereka pasti sudah mengetahui bahwa aku bukanlah sekadar bawahan untuk Mas Reindra. Mana mungkin seorang pria yang memiliki jabatan tinggi mau memberikan barang pribadinya kepada wanita yang bukan siapa-siapa.Permainan pun berlanjut satu putaran lagi dan aku-lah yang bertugas memutar botol. Ketika botol itu berhenti, aku terperanjat karena Mas Reindra yang terpilih. Seolah-olah benang takdir selalu mengikat kami berdua.Aku pun merasakan suasana di sekitarku mendadak tegang. Sepertinya semua menahan napas, termasuk diriku sendiri. Entah aku harus bagaimana sekarang, karena aku yang harus memberikan pertanyaan kepada Mas Reindra. Seketika mulutku terasa kering, sehingga aku harus menelan ludah beberapa kali.“Wah, Bapak baru datang langsung dapat giliran.
Seperti orang yang mengalami hipnosis, aku terdiam tanpa berucap apa-apa. Serangan telak yang aku terima dari Bu Alya membuat daya pikirku seakan melemah. Rasanya aku bagai terhantam oleh palu gada dan terjebak ke dalam lapisan kabut yang tebal.Tak hanya gagal berpikir, seluruh sarafku juga serasa sulit untuk digerakkan. Aku pun mematung layaknya orang yang baru saja terkena kutuk. Kesadaranku baru kembali saat suara Bu Alya menggema di telingaku.“Arista, saat ini Pak Darmawan juga sedang bicara dengan Reindra. Kami ingin meminta pengertian dari kalian berdua. Sebelum hubungan kalian bertambah dalam, lebih baik berpisah sekarang. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk saling melupakan,” kata Bu Alya berusaha mempertahankan nada suaranya. Terlihat jelas bahwa dia tak ingin mengumbar emosi yang berlebihan di hadapanku.Entah dari mana sumbernya, mendadak setitik keberanian bangkit dari dalam diriku. Aku merasa perlu membela diri dan mengatakan kebenaran kepada Bu Alya mengenai kondisik