Komen dan vote
Terlambat! Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan permintaan Mas Yoga. Setelah berkali-kali menyakiti diriku, kata cinta itu tidak pantas untuk keluar dari mulutnya. Orang yang tulus dalam mencintai tidak akan pernah berbohong apalagi berkhianat. Jelas sudah bahwa perasaan Mas Yoga kepadaku hanya berdasarkan syarat dan kondisi tertentu. Dahulu saat aku tidak berpenghasilan dan kurang bisa merawat diri, dia tak pernah mengacuhkan aku. Namun, giliran aku memiliki pekerjaan dan berpenampilan cantik, dia ingin rujuk denganku. Bisa dipastikan jika aku nanti menjadi ibu rumah tangga, maka dia akan kembali bersikap dingin. Atau dia akan menjadi wanita lain yang lebih bening bagi penglihatannya di luar sana. Walaupun Mas Yoga menggunakan Zidan sebagai alasan untuk membuatku luluh, pendirianku tidak akan goyah. Aku tidak bisa memaksakan diri untuk bersamanya, sementara hatiku sudah dimiliki oleh lelaki lain. Terlebih, aku sangat yakin lelaki itu bisa menjadi ayah sambung yang baik
Melihat Mas Reindra sudah berada di depanku, aku tersentak kaget. Tak kusangka dia tiba-tiba menyusulku ke sini, padahal seharusnya Mas Reindra masih berada di ruang rapat. Mungkinkah dia mempercepat pekerjaannya karena mencemaskan kondisiku? Mas Yoga juga sama terkejutnya denganku. Sontak, dia melepaskan tanganku yang sejak tadi ditariknya secara paksa. Memanfaatkan kesempatan itu, Mas Reindra segera mengambil alih dan menarikku ke sisinya. Seakan mendapatkan tempat perlindungan paling aman, aku pun bersembunyi di balik punggungnya yang kekar. Dalam beberapa detik, Mas Reindra dan Mas Yoga saling bersitatap, seolah sedang mengenali dan mengukur kekuatan masing-masing. Entah mengapa suasana hening yang tercipta justru terasa mencekam dan mendebarkan. Aku sangat takut bila akan terjadi adu mulut atau perkelahian sengit di antara mereka berdua. Dari jarak dekat, sangat jelas perbedaan dari kedua pria yang telah ditakdirkan ada di dalam hidupku. Bukan hanya soal postur tubuh, tetapi ju
Tubuhku sampai menggigil karena menahan rasa jengkel yang kian membuncah. Untung saja ada Mas Reindra di sampingku, bila tidak entah apa yang akan terjadi. Mungkin saja aku dan Mas Yoga akan menjadi tontonan orang banyak dan viral di media sosial. Begitu kami sampai di dalam mobil, Mas Reindra langsung memelukku. Menjadikan bahunya yang lebar sebagai tempat bersandarku, supaya perasaanku lebih nyaman. Segera, ia meminta supir kantor untuk melajukan mobilnya meninggalkan lokasi kafe. Melewati Mas Yoga yang masih berdiri di pinggir jalan. Lewat jendela, aku bisa melihat pria itu seperti sedang memukul udara kosong. Barangkali, ia merasa kesal karena usahanya untuk merendahkan martabatku telah gagal. “Tenanglah, Rista, jangan pikirkan omong kosong dari laki-laki brengsek itu,” tutur Mas Reindra dengan lembut. “Iya, Mas, maaf aku terlalu terbawa perasaan.” Aku menghela napas panjang untuk mengembalikan kewarasanku yang sempat terkikis. “Tidak apa-apa, aku mengerti apa yang kamu rasaka
Aku tidak tahu kenapa Mas Reindra tiba-tiba berbicara seyakin itu. Namun, aku juga tidak berani untuk menanyakan lebih lanjut. Bagiku keberadaannya saja sudah cukup menghiburku, sehingga aku tidak ingin merusak suasana.“Mas, sudah jam delapan, lebih baik kita pulang. Maura pasti sudah menunggumu di rumah,” ujarku. Bukannya menjawab, Mas Reindra malah membalikkan kata-kataku.“Maka dari itu, Maura harus segera mendapatkan seorang ibu yang bisa selalu menemaninya. Dan calon ibunya sudah ada di depan mata,” tuturnya sambil tersenyum kepadaku.Mas Reindra memang selalu bisa membuatku tersipu oleh kalimat rayuannya yang manis. Andai Tuhan mengizinkan kami untuk menjadi suami istri, aku berharap agar dia selalu bersikap seperti ini hingga kami menua bersama.“Besok jam berapa pengacaramu akan datang?” tanya Mas Reindra.“Mungkin sekitar jam sebelas atau dua belas siang. Aku akan menghubunginya nanti,” jawabku seraya mengintip ke layar ponsel.“Telepon saja sekarang, supaya aku tahu jam ber
Mungkin karena terlalu banyak beban pikiran, netraku sudah terbuka pada pukul enam pagi. Padahal, hari ini aku ingin bangun lebih siang karena sedang libur bekerja. Terlebih lagi, aku membutuhkan kondisi fisik dan mental yang sehat agar bisa menghadapi sang raja drama, yaitu Mas Yoga. Aku pun berjalan ke dapur untuk mengambil sarapan pagi yang disediakan oleh Narti, si penjaga kos. Hampir setiap pagi, aku memesan sarapan darinya, supaya tidak perlu repot-repot membeli sarapan di luar sana. “Mbak Arista, sudah bangun? Hari Sabtu tetap masuk kerja, Mbak?” tanya Narti. “Aku libur, Nar, tetapi setelah ini aku mau pergi.” Narti yang sedang bersantai lantas duduk di depanku seraya bertopang dagu. “Wah, mau kencan dengan pacarnya, ya? Saya doakan Mbak Arista cepat-cepat nikah. Lagian Mbak Arista beruntung banget punya pacar yang ganteng, kaya lagi. Saya pengennya juga punya calon suami yang mirip seperti itu,” ujar Narti tersenyum simpul. Aku hanya terkekeh mendengar perkataan Narti. Ta
Aku duduk di samping Mas Yoga dengan menjaga jarak agar kami tidak terlalu dekat. Agar kepentingan utama hari ini tidak terganggu, aku memutuskan untuk mengabaikan pria itu dan mengarahkan atensi kepada Pak Ridwan. Aku pun berjabat tangan dengan pengacaraku itu, karena ini adalah pertama kalinya kami bertemu muka. Untuk mempersingkat waktu, aku segera menyerahkan map tebal yang berisi semua dokumen yang diminta oleh Pak Ridwan. Aku tidak menoleh sedikit pun kepada Mas Yoga, meski aku tahu dia sedang memperhatikan setiap tindakanku. Aku hanya ingin pertemuan ini cepat berakhir. “Silakan diperiksa, Pak, apakah ada yang kurang?” tanyaku ketika Pak Ridwan memeriksa isi map tersebut. “Tidak ada, Bu, semuanya sudah lengkap. Silakan baca dan tanda tangan di sini.” Sesuai dengan instruksi dari Pak Ridwan, aku menandatangani beberapa dokumen yang ditunjukkan olehnya. Aku percaya sepenuhnya kepada Pak Ridwan, karena dia adalah pengacara handal yang dipilih oleh ibuku. Setelah aku selesai, P
Aku menatap punggung Mas Yoga dengan dada yang bergemuruh. Aku tidak mengerti mengapa pria itu terus saja membuatku naik darah. Bukan hanya saat kami masih menjadi suami istri, tetapi bahkan setelah kami berpisah pun, dia masih saja memancing emosiku. Namun, aku berusaha untuk berpikir positif. Toh, aku tidak akan sering berkomunikasi dengan pria menyebalkan itu lagi. Yang penting, aku sudah mendapatkan tanda tangan darinya untuk mengesahkan perceraian kami. Di kala aku berusaha menenangkan diri, terdengar suara klakson mobil yang memanggilku. Dengan kepala yang tertoleh ke samping, aku melihat ke arah sumber suara itu. Rasa dongkol di hatiku seketika lenyap saat memandang wajah manis Maura yang melongokkan kepala dari jendela mobil. Tak kusangka Mas Reindra dan Maura sudah datang untuk menjemputku. “Tante, ayo masuk!” seru Maura seraya melambaikan tangan. Sembari membalas lambaian tangannya, aku menghampiri mobil Mas Reindra. Aku pun duduk di bagian tengah bersama Mbak Ratna, karen
“Apa ada masalah di divisi finance, Mas?” tanyaku kepada Mas Reindra. Pria tampan itu duduk di sampingku seraya meletakkan ponselnya. “Bukan, Om Darmawan akan menempatkan seorang sekretaris baru untukku sebagai pengganti Novi. Dia adalah cucu perempuan dari salah satu sahabatnya semasa kuliah. Besok, Om Darmawan juga mengundangku dan Maura untuk makan siang di rumahnya. Rencana kita untuk membeli baju terpaksa harus ditunda dulu,” ujar Mas Reindra. Terlihat jelas gurat kekecewaan di wajahnya. Andai Mas Reindra tahu, bahwa aku juga sama kecewanya dengan dia. Sudah bukan rahasia umum, bila kedua insan yang tengah jatuh cinta selalu ingin menghabiskan waktu bersama. Begitu pula dengan aku dan Mas Reindra, yang baru saja meresmikan hubungan kami sebagai pasangan kekasih. “Nikmati saja makan siangmu bersama Pak Darmawan, Mas. Kita masih punya waktu sampai hari Jumat untuk berbelanja baju,” ujarku memberinya nasihat. “Tetapi besok adalah momen yang paling tepat untuk family time. Bagaima
Masih dilanda kebingungan, aku melangkah ke ruang tamu beriringan dengan Maura dan Zidan. Melihat Pak Darmawan dan Bu Alya tengah duduk melingkar di sofa, aku hanya bisa berdiri mematung. Perasaanku menjadi campur aduk saat tatapan mataku terkunci dengan sorot mata Mas Reindra. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pria itu seolah-olah ingin mengirimkan pesan kepadaku melalui tatapan matanya. Dan entah mengapa aku bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Aku tahu Mas Reindra ingin kejutan darinya bisa membuatku bahagia, bukan malah gugup seperti ini. “Arista, akhirnya kamu datang juga. Pak Darmawan dan Bu Alya sudah menunggu dari tadi,” tegur Ibu. Dengan menepis rasa canggung, aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Pak Darmawan dan Bu Alya. “Pak Darmawan, Bu Alya, maaf saya tidak menyambut Anda dan malah pergi ke luar rumah,” kataku tidak enak hati. “Tidak apa-apa, Arista. Ini bukan salahmu, karena kami datang mendadak tanpa pemberitahuan,” jawab Pak Darmawan sembari
Aku mendesak Mas Reindra untuk memberitahukan kejutan apa yang dimaksud olehnya. Namun, ia tidak mau mengatakan apa-apa dengan alasan belum tiba waktunya.Sempat aku berpikir bahwa dia akan menyusul aku ke Jogja. Namun, hal itu sepertinya mustahil karena Mas Reindra masih berada di Sulawesi. Lagi pula setiap kali dia melakukan perjalanan di luar urusan bisnis, dia pasti akan mengajak Maura. Padahal saat ini, Maura sedang menginap selama satu minggu di rumah Pak Darmawan.Usai menelepon Mas Reindra, aku pun mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Aku melihat sebentar ke arah koper yang akan kubawa ke Jogja besok pagi. Akhirnya, aku akan bertemu dengan putra kecilku setelah berbulan-bulan kami tidak bertemu. Meski hanya tiga hari, aku akan berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin.Tak terasa, aku pun terlelap dalam tidur hingga alarm di ponselku berbunyi. Seperti mesin otomatis, kelopak mataku langsung terbuka lebar. Lantaran aku tidak sabar untuk melepas rindu kepada p
Detik ini juga aku mengalami dilema yang berat karena permintaan Mas Yoga. Aku tahu dia sedang membutuhkan pekerjaan untuk menyambung biaya hidup. Namun, di PT. Sejahtera sedang tidak ada lowongan pekerjaan, kecuali di cabang baru yang berlokasi di Sulawesi.Sedangkan untuk Ibu, kemungkinan besar Beliau tidak akan mau menerima Mas Yoga karena terlanjur membenci lelaki itu. Siapa yang tidak akan antipati dengan seorang pencuri dan pembohong seperti Mas Yoga. Jangankan menjadi pegawainya, bertemu Mas Yoga saja Ibu pasti sudah enggan.“Rista, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak mau membantu aku? Kalau kamu masih dendam padaku, paling tidak ingatlah Zidan dan ayahku. Gara-gara kita berpisah, ayahku kepikiran dan sering jatuh sakit. Sebagai anak tertua, aku semestinya bertanggung jawab untuk membiayai pengobatan ayahku,” ungkap Mas Yoga.Tanpa sadar, aku menyentuh pelipisku sendiri karena ikut pusing memikirkan masalah Mas Yoga.“Iya, aku sudah mengetahuinya dari Dian. Sekitar dua bulan
Kini, aku melewati hari demi hari sebagai karyawan PT. Sejahtera. Tak terasa hampir dua bulan lamanya aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Mas Reindra. Bukan jauh dalam arti yang sebenarnya, tetapi kami sengaja tidak bertemu kecuali untuk urusan pekerjaan. Memang begitulah komitmen yang harus kami jalani sekarang. Walaupun secara fisik tidak bersama, kami masih berkomunikasi aktif lewat telepon untuk mengetahui kegiatan masing-masing.Terkadang di hari Minggu, Maura minta ditemani olehku untuk berbelanja atau sekadar bermain di mall, tetapi Mas Reindra tidak pernah ikut. Dia memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti berolah raga, bersepeda, atau mengurusi ikan peliharaannya. Akhir-akhir ini, dia memang memiliki hobi baru, yaitu mengoleksi berbagai jenis ikan laut di akuarium. Katanya dengan melihat ikan dia bisa sedikit terhibur saat merindukan aku.Melalui informasi yang diberikan Pak Ridwan, proses di pengadilan berjalan dengan lancar dan hampir mencapai tahap akhir. Selama
“Mas, aku sedang serius kamu malah bercanda,” ucapku berdecak sebal. Mas Reindra hanya terkekeh sambil memelukku kembali.“Siapa bilang aku bercanda? Aku bisa berubah menjadi penculik jika itu menyangkut kamu,” katanya memasang ekspresi serius.“Sudah, jangan merayuku lagi. Kita pulang sekarang, Mas.”Buru-buru aku melepaskan diri dari Mas Reindra sambil merapikan baju dan rambutku yang berantakan. Kemudian, aku berpindah dari kursi belakang menuju ke depan. Beban yang ada di pundakku serasa terangkat, karena kami berdua mencapai kata sepakat.Tak sampai sepuluh menit, kami telah sampai di villa. Sebelum keluar dari mobil, aku pun bercermin di kaca spion. Aku ingin mengecek sekiranya ada tanda merah atau bekas yang ditinggalkan Mas Reindra. Bila memang ada, aku harus menutupinya agar tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di villa.“Tenang saja, Sayang, aku tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bibirmu yang sedikit bengkak,” ucap Mas Reindra dengan wajah tanpa dosa.Aku mencebik
Mas Reindra terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sungguh cemas dia akan gelap mata dan mengajakku ke tempat yang berbahaya. Namun, aku segera menepis pikiran itu karena aku tahu bahwa Mas Reindra adalah orang yang bijak dan dewasa. Tidak mungkin ia melakukan sesuatu yang membahayakan aku dan dirinya sendiri. Apalagi, dia masih punya tanggung-jawab untuk mendidik dan membesarkan Maura.Mas Reindra menghentikan mobilnya di sebuah kawasan mirip hutan kecil. Tidak ada satu kendaraan pun yang lewat di lokasi itu, sehingga suasana di sekitar kami sangat sepi. Meski demikian, aku tahu lokasi ini dekat dengan villa tempat kami menginap.“Mas, untuk apa kita berhenti di sini? Kita harus pulang karena ini hampir tengah malam. Bagaimana jika Pak Darmawan dan Bu Alya tahu kita masih berduaan di luar?” tanyaku gugup.Mas Reindra tidak menjawab, tetapi ia malah memiringkan wajahnya untuk menatapku. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh pada sinar matanya.“Kamu selalu saja mencema
Membaca pesan itu, debaran jantungku jadi tak menentu. Aku merasa was-was untuk menemui dan mendengarkan apa yang dikatakan Mas Reindra. Jujur, aku takut bila Pak Darmawan juga meminta Mas Reindra untuk mengakhiri hubungan kami.Untuk meredakan rasa gelisah yang membuncah, aku berbaring sambil menunggu jam sepuluh tiba. Tiba-tiba aku teringat pada ibu kandungku dan juga mantan ayah mertuaku. Aku baru menyadari bahwa pernikahan dan perceraian selalu melibatkan orang tua. Jika anak mereka bermasalah, maka orang tua yang akan terkena imbasnya. Pantas saja Pak Darmawan dan Bu Alya sangat menaruh perhatian kepada pasangan hidup Mas Reindra. Terlebih dari pengalamanku yang pernah gagal berumah tangga, mungkin mereka akan semakin meragukan karakterku.Memikirkan semua ini membuat hatiku serasa ditusuk oleh duri-duri tajam. Gara-gara masalah rumah tanggaku, banyak orang tua yang terlibat di dalamnya. Padahal semestinya di usia senja, mereka bisa hidup dengan tenang tanpa harus terbebani oleh
Dengan menerima arloji tersebut, aku berhasil menyelesaikan tantangan terakhir. Tidak ada yang berani berkomentar mengenai aku dan Mas Reindra, khususnya saat aku mengembalikan arloji itu ke tangan pemiliknya. Tanpa bicara sekalipun, mereka pasti sudah mengetahui bahwa aku bukanlah sekadar bawahan untuk Mas Reindra. Mana mungkin seorang pria yang memiliki jabatan tinggi mau memberikan barang pribadinya kepada wanita yang bukan siapa-siapa.Permainan pun berlanjut satu putaran lagi dan aku-lah yang bertugas memutar botol. Ketika botol itu berhenti, aku terperanjat karena Mas Reindra yang terpilih. Seolah-olah benang takdir selalu mengikat kami berdua.Aku pun merasakan suasana di sekitarku mendadak tegang. Sepertinya semua menahan napas, termasuk diriku sendiri. Entah aku harus bagaimana sekarang, karena aku yang harus memberikan pertanyaan kepada Mas Reindra. Seketika mulutku terasa kering, sehingga aku harus menelan ludah beberapa kali.“Wah, Bapak baru datang langsung dapat giliran.
Seperti orang yang mengalami hipnosis, aku terdiam tanpa berucap apa-apa. Serangan telak yang aku terima dari Bu Alya membuat daya pikirku seakan melemah. Rasanya aku bagai terhantam oleh palu gada dan terjebak ke dalam lapisan kabut yang tebal.Tak hanya gagal berpikir, seluruh sarafku juga serasa sulit untuk digerakkan. Aku pun mematung layaknya orang yang baru saja terkena kutuk. Kesadaranku baru kembali saat suara Bu Alya menggema di telingaku.“Arista, saat ini Pak Darmawan juga sedang bicara dengan Reindra. Kami ingin meminta pengertian dari kalian berdua. Sebelum hubungan kalian bertambah dalam, lebih baik berpisah sekarang. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk saling melupakan,” kata Bu Alya berusaha mempertahankan nada suaranya. Terlihat jelas bahwa dia tak ingin mengumbar emosi yang berlebihan di hadapanku.Entah dari mana sumbernya, mendadak setitik keberanian bangkit dari dalam diriku. Aku merasa perlu membela diri dan mengatakan kebenaran kepada Bu Alya mengenai kondisik