Yuk, komen dan vote untuk mendukung novel ini.
Aku mendengar suara Mas Reindra yang menegur Maura dari balik telepon. “Maura, tidak boleh membicarakan hal yang buruk tentang orang lain.” “Sorry, Daddy,” jawab Maura patuh. Gadis kecil itu lantas beralih lagi kepadaku. “Tante, tunggu, ya, sebentar lagi aku dan Daddy sampai.” “Iya, Sayang,” jawabku sebelum Maura mematikan teleponnya. Setelah Maura menyinggung soal “Tante” di rumah Pak Darmawan, entah kenapa aku jadi kepikiran. Mungkinkah wanita itu adalah sekretaris baru yang akan menggantikan kedudukan Bu Novi? Jika iya, kenapa dia diundang secara pribadi oleh Pak Darmawan untuk makan siang di rumahnya? Kenyataan ini menimbulkan tanda tanya besar bagiku. Mendadak aku merasa khawatir bila Pak Darmawan memiliki maksud lain, seperti hendak menjodohkan sekretaris itu dengan Mas Reindra. Ya, wajar saja jika Pak Darmawan menginginkan keponakannya yang sudah lama menduda memiliki pasangan baru. Terlebih, wanita itu adalah cucu dari sahabat lamanya, yang sudah diketahui bibit, bobot,
“I-iya, Pak, saya sedang jalan-jalan,” jawabku singkat. Hawa dingin serasa merayap di seluruh punggungku. Aku tidak menduga akan bertemu dengan Pak Yanuar di tempat umum seperti ini. Entah semua ini kebetulan semata atau merupakan garis takdir yang telah ditentukan dari atas. Dalam beberapa detik, aku hanya bengong seperti orang linglung. Aku tidak tahu apa yang harus dikatakan lagi setelah kepergok oleh Pak Yanuar. Untung saja, sentuhan tangan Maura menyadarkan aku dari lamunan. “Tante, kita nggak jadi cobain baju?” “Oh, iya, sebentar, Sayang.” Pak Yanuar langsung mengernyitkan dahi saat melihat gadis kecil yang bergandengan tangan denganku. “Lho, ini bukannya Maura, anaknya Pak Reindra? Apa Pak Reindra juga ada di sini, Rista?” tanya Pak Yanuar melihat ke kiri dan ke kanan. Sungguh aku bingung harus menjawab bagaimana. Jika mengatakan tidak, rasanya sangat mustahil karena Maura selalu pergi bersama dengan ayahnya. Namun bila aku mengatakan iya, aku takut Pak Yanuar akan tahu b
Hari ini, aku berangkat lebih pagi ke kantor untuk mempersiapkan meeting. Aku sudah bertekad untuk melaksanakan tugasku dengan baik, karena aku akan menjadi wakil dari divisi finance. Terlebih lagi, Mas Reindra yang akan menerima laporanku. Untuk itu, aku harus memastikan tidak ada kesalahan atau ketelodoran yang akan mengecewakannya apalagi membuatnya malu. Sebagai bawahan, aku harus bisa menopang Mas Reindra dalam menjalankan tanggung-jawabnya. Aku tiba pertama kali di kantor sebelum Pak Yanuar dan para staf yang lain. Suasana yang masih sepi justru membuatku lebih leluasa memulai pekerjaan. “Rista, kamu datang jam berapa?” tanya Pak Yanuar merasa heran. “Jam setengah tujuh, Pak.” “Oh, pantas saja, kamu sudah selesai mencetak laporan. Saya pikir saya yang datang paling pagi ke kantor. Kalau begitu lima belas menit lagi kita briefing, lalu segera berkumpul di ruang meeting.” “Baik, Pak.” Beberapa menit kemudian, para staf sudah berdatangan. Pak Yanuar pun memimpin briefing pagi,
Ruangan meeting mendadak sunyi senyap saat Mas Reindra mengambil alih pekerjaanku. Kurang lebih, aku bisa menebak apa yang terlintas dalam pikiran mereka semua. Saat ini, mereka pasti curiga jika ada sesuatu antara aku dan Mas Reindra. Dengan ekor mata, aku melirik Pak Yanuar dan Davina yang berhadapan denganku. Terlihat bahwa mereka berusaha memasang wajah datar tanpa ekspresi, meski tersirat ketegangan di sana. Tentu saja tidak ada yang berani berkomentar atau mempertanyakan tindakan Mas Reindra, karena mereka semua takut dipecat.“Pak, biar saya saja yang melakukannya,” kataku dengan canggung. Aku berupaya memberikan kode kepada Mas Reindra agar berhenti menolongku, tetapi dia malah pura-pura tidak tahu.“Nah, sekarang sudah bisa terlihat di layar LCD. Kamu bisa mulai presentasinya, Rista,” ujar Mas Reindra dengan tenang.“Baik, Pak, terima kasih sudah membantu saya,” jawabku menggunakan bahasa formal.Tanpa merasa berdosa, Mas Reindra duduk di dekat Pak Yanuar, lalu memberikan se
“Memangnya kenapa kalau aku bersuami?” tanyaku balik kepada Linda. Aku merasa tersinggung dengan pertanyaannya yang menyinggung ranah privasiku. Terlebih, nada bicara Linda juga terdengar ketus dan tidak sopan. Bahkan, dia tidak berbasa-basi sama sekali sebelum melontarkan pertanyaan itu. Entah apa tujuan Linda, yang jelas aku merasa ini ada hubungannya dengan Mas Reindra. “Aku hanya bertanya, Mbak, karena aku lihat Mbak Arista cukup dekat dengan Pak Reindra. Suami Mbak Arista bisa salah paham kalau melihatnya,” jawab Linda berterus terang. Ternyata firasatku memang benar. Dia sepertinya cemburu melihat Mas Reindra yang begitu perhatian kepadaku. Mungkinkah di awal masa kerjanya, Linda sudah menyimpan perasaan kepada bosnya? Atau jangan-jangan pertemuan Linda dengan Mas Reindra di rumah Pak Darmawan tak hanya menyangkut soal pekerjaan, tetapi juga mengarah kepada perjodohan. Ya, bisa jadi Pak Darmawan bermaksud untuk menjadikan Linda sebagai calon istri Mas Reindra. Karenanya, Linda
Selama jam kerja, aku berusaha untuk tidak mengingat adegan di dalam lift antara Linda dan Mas Reindra. Setelah pernah gagal mengarungi bahtera rumah tangga, aku tahu bahwa kepercayaan adalah kunci utama dalam menjalin hubungan. Karenanya, aku mencoba untuk percaya kepada Mas Reindra. Justru inilah waktu yang tepat bagiku untuk menguji seberapa kuat cinta kami. Jika Mas Reindra mencintaiku, dia tidak akan mudah tergoda oleh bujuk rayu wanita lain. Paling tidak prinsip itulah yang aku pegang saat ini. Detik demi detik berlalu, hingga akhirnya jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Melihat semua pekerjaan telah selesai, aku mematikan laptop dan membersihkan meja. Sesekali aku juga perlu pulang tepat waktu setelah mengikuti meeting hari ini. Di samping itu, aku ingin melakukan healing dengan cara berbelanja dan memasak makan malamku sendiri. Ya, sepulang dari kantor aku akan mampir sebentar ke supermarket untuk berbelanja bahan masakan. Jujur, aku sedang merindukan aktivitasku sebagai ib
“Maksudnya Mas Reindra akan dijodohkan oleh Pak Darmawan? Apa wanita itu adalah Linda?” tanyaku berterus terang. Mas Reindra menaikkan alisnya, seolah terkejut dengan tebakanku yang mengarah kepada sekretarisnya. Alih-alih menjawab pertanyaanku, Mas Reindra malah tersenyum simpul. “Benar kan apa yang kupikirkan? Kamu sedang cemburu dengan Linda. Percayalah, aku tidak akan tertarik dengan wanita yang masih labil seperti dia. Aku lebih suka wanita yang matang dan keibuan seperti kamu.” “Mas belum menjawab pertanyaanku tentang Linda,” timpalku kembali ke topik utama. Sambil tetap fokus ke arah jalan raya, Mas Reindra menganggukkan kepala. Namun kemudian, dia menatap kepadaku lewat kaca spion. “Om Darmawan tidak mengatakannya secara langsung, tetapi dia menyebutkan soal Linda yang menyukai anak-anak. Dan dia mengatakan bahwa Linda sangat cocok menjadi sekretaris maupun teman bagi Maura.” “Mungkin kata-kata Pak Darmawan ada benarnya, Mas,” ucapku jadi merasa rendah diri. “Ck, aku tid
“Halo, Dian, ada apa?” sapaku lebih dulu di telepon. Jujur, aku enggan untuk berkomunikasi dengan mantan adik iparku itu karena kami tidak pernah akur. Selalu saja ada bibit pertengkaran dan salah paham yang muncul di antara kami berdua. “Aku mau minta pertanggung-jawaban dari Mbak Arista,” ketus Dian. “Tanggung-jawab apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti. Bila tidak berhati-hati, berkomunikasi dengan gadis ini selalu saja menyulut emosiku. “Ayah barusan pingsan karena mendengar berita perceraian Mbak Arista dan Mas Yoga. Untung saja aku ada di rumah, karena sedang liburan semester. Kalau tidak, siapa yang akan menolong Ayah?” sembur Dian. “Tunggu dulu, siapa yang memberitahukan soal perceraian kami? Aku tidak pernah sekali pun menelepon Ayah,” tanyaku kepada Dian. “Mas Yoga yang mengatakannya, Mbak. Mas Yoga bilang Mbak Arista yang memaksanya untuk menjatuhkan talak, karena Mbak Arista tertarik dengan laki-laki lain. Padahal Mas Yoga masih berusaha mempertahankan pernikahan kalia