Yuk, vote dan like untuk mendukung Arista dan Reindra
Selama jam kerja, aku berusaha untuk tidak mengingat adegan di dalam lift antara Linda dan Mas Reindra. Setelah pernah gagal mengarungi bahtera rumah tangga, aku tahu bahwa kepercayaan adalah kunci utama dalam menjalin hubungan. Karenanya, aku mencoba untuk percaya kepada Mas Reindra. Justru inilah waktu yang tepat bagiku untuk menguji seberapa kuat cinta kami. Jika Mas Reindra mencintaiku, dia tidak akan mudah tergoda oleh bujuk rayu wanita lain. Paling tidak prinsip itulah yang aku pegang saat ini. Detik demi detik berlalu, hingga akhirnya jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Melihat semua pekerjaan telah selesai, aku mematikan laptop dan membersihkan meja. Sesekali aku juga perlu pulang tepat waktu setelah mengikuti meeting hari ini. Di samping itu, aku ingin melakukan healing dengan cara berbelanja dan memasak makan malamku sendiri. Ya, sepulang dari kantor aku akan mampir sebentar ke supermarket untuk berbelanja bahan masakan. Jujur, aku sedang merindukan aktivitasku sebagai ib
“Maksudnya Mas Reindra akan dijodohkan oleh Pak Darmawan? Apa wanita itu adalah Linda?” tanyaku berterus terang. Mas Reindra menaikkan alisnya, seolah terkejut dengan tebakanku yang mengarah kepada sekretarisnya. Alih-alih menjawab pertanyaanku, Mas Reindra malah tersenyum simpul. “Benar kan apa yang kupikirkan? Kamu sedang cemburu dengan Linda. Percayalah, aku tidak akan tertarik dengan wanita yang masih labil seperti dia. Aku lebih suka wanita yang matang dan keibuan seperti kamu.” “Mas belum menjawab pertanyaanku tentang Linda,” timpalku kembali ke topik utama. Sambil tetap fokus ke arah jalan raya, Mas Reindra menganggukkan kepala. Namun kemudian, dia menatap kepadaku lewat kaca spion. “Om Darmawan tidak mengatakannya secara langsung, tetapi dia menyebutkan soal Linda yang menyukai anak-anak. Dan dia mengatakan bahwa Linda sangat cocok menjadi sekretaris maupun teman bagi Maura.” “Mungkin kata-kata Pak Darmawan ada benarnya, Mas,” ucapku jadi merasa rendah diri. “Ck, aku tid
“Halo, Dian, ada apa?” sapaku lebih dulu di telepon. Jujur, aku enggan untuk berkomunikasi dengan mantan adik iparku itu karena kami tidak pernah akur. Selalu saja ada bibit pertengkaran dan salah paham yang muncul di antara kami berdua. “Aku mau minta pertanggung-jawaban dari Mbak Arista,” ketus Dian. “Tanggung-jawab apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti. Bila tidak berhati-hati, berkomunikasi dengan gadis ini selalu saja menyulut emosiku. “Ayah barusan pingsan karena mendengar berita perceraian Mbak Arista dan Mas Yoga. Untung saja aku ada di rumah, karena sedang liburan semester. Kalau tidak, siapa yang akan menolong Ayah?” sembur Dian. “Tunggu dulu, siapa yang memberitahukan soal perceraian kami? Aku tidak pernah sekali pun menelepon Ayah,” tanyaku kepada Dian. “Mas Yoga yang mengatakannya, Mbak. Mas Yoga bilang Mbak Arista yang memaksanya untuk menjatuhkan talak, karena Mbak Arista tertarik dengan laki-laki lain. Padahal Mas Yoga masih berusaha mempertahankan pernikahan kalia
Setelah kejadian telepon dari Dian, jujur aku masih kepikiran tentang kondisi Ayah. Aku merasa khawatir jika dia jatuh sakit akibat tertekan dengan perceraian kami. Namun, apalah dayaku di sini. Aku tidak bisa membantu apa-apa, kecuali mendoakan mantan mertuaku itu agar ikhlas menerima kenyataan. Toh, aku tidak mungkin kembali lagi ke sisi putranya.Sempat terbersit di pikiranku untuk memberikan peringatan kepada Mas Yoga agar tidak memancing di air keruh. Toh, kali ini ayah kandungnya sendiri yang telah menjadi korban dari fitnah yang ia lemparkan. Namun kemudian, aku mengurungkan niat tersebut. Tidak ada gunanya aku bicara dengan laki-laki itu. Di samping dia tak akan menghiraukan ucapanku, mungkin aku justru akan tersulut emosi bila harus beradu argumen dengannya.Beruntung malam ini, aku bisa terhibur dengan kehadiran Mas Reindra dan Maura. Makan malam kami berlangsung hangat dengan diiringi obrolan dan canda tawa yang ringan. Aku begitu senang melihat Maura menikmati steak salmon
Perjalanan ke Sukabumi kali ini terasa sangat menyenangkan. Bukan hanya karena kami akan berlibur, tetapi juga karena aku berkumpul dengan rekan kerjaku di divisi finance dalam suasana yang berbeda. Sesekali, aku juga berbincang dengan Pak Yanuar mengenai makanan khas di Sukabumi. Terlihat jelas bahwa Pak Yanuar sudah tidak sabar untuk menikmati wisata kuliner. Ketika kami hampir sampai di tempat tujuan, Pak Yanuar dan sebagian staf wanita tertidur. Maklumlah mereka nampaknya kelelahan setelah bekerja seharian. Berbeda denganku yang tidak mengantuk sama sekali. Jujur, aku merasa sangat penasaran dengan apa yang akan dibicarakan oleh Mas Reindra nanti malam. Mengingat Mas Reindra, aku jadi bertanya-tanya dia sampai di mana saat ini. Apakah dia sudah sampai duluan atau malah tertinggal di belakang. Andai memungkinkan aku ingin bertanya melalui sambungan telepon. Akan tetapi, aku tidak mungkin melakukannya karena Mas Reindra sedang mengemudikan mobil. Apalagi, di sebelahku ada Pak Yanua
Tubuhku masih membeku ketika melihat cincin yang tersemat di jari manisku. Sungguh, aku tidak menyangka jika akan mendapatkan surprise yang seindah ini dari Mas Reindra. Melihat ukuran cincin yang begitu pas di jariku, aku yakin Mas Reindra sudah mempersiapkan semuanya sejak beberapa hari lalu. Seketika aku kehilangan kata-kata saking bahagianya. Aku tidak tahu harus merespon Mas Reindra seperti apa. Namun kedua bola mataku mulai berkaca-kaca karena terharu oleh perlakuan manisnya. “Rista, kenapa diam saja? Apa kamu tidak suka dengan cincin ini?” tanya Mas Reindra terlihat khawatir. Sungguh reaksinya yang penuh kasih sayang membuat aku semakin ingin menitikkan air mata. “Justru ini sangat bagus, Mas. Terima kasih,” lirihku dengan suara tertahan. “Apakah ini artinya kamu bersedia melangkah ke jenjang yang lebih serius denganku?” tanya Mas Reindra meminta kepastian. Aku mengangguk pelan, tetapi kemudian aku teringat bahwa sekarang aku belum sepenuhnya terbebas dari Mas Yoga. “Iya,
Lidahku menjadi kelu seketika, apalagi saat Elden juga ikut menatap lamat pada jari manisku. Pastilah kedua sejoli itu bisa mengambil kesimpulan sendiri atas apa yang terjadi antara aku dan Mas Reindra.“Malam, Davina, Elden, apa kalian jalan-jalan di sekitaran taman?” balas Mas Reindra tanpa beban. Sekilas aku melirik kepadanya yang nampak begitu santai saat berbicara.“Iya, Pak, kami mencari udara segar karena belum bisa tidur,” jawab Elden mewakili kekasihnya.“Sama kalau begitu, saya dan Arista juga belum mengantuk. Tetapi karena ini sudah hampir tengah malam, lebih baik kita istirahat. Kami duluan, ya,” ujar Mas Reindra.Tanpa mempedulikan Davina dan Elden, Mas Reindra menyentuh bahuku dan mengajakku ke kamar. Sungguh, tindakan Mas Reindra kali ini sangat berani sampai aku tidak habis pikir. Ketika kami menaiki anak tangga, aku berusaha menegurnya supaya besok dia tidak berbuat lebih jauh lagi di depan para staf.“Kenapa Mas berbuat seperti itu?”“Berbuat apa, melamarmu?” tanyany
Aku hanya berdiri mematung saat melihat seseorang berjalan menghampiri kami. Awalnya, aku mengira sedang berhalusinasi, tetapi kemudian aku sadar bahwa ini adalah sebuah kenyataan. Ya, sosok yang berjalan menghampiriku saat ini adalah Pak Darmawan, direktur utama sekaligus pemilik PT. Sejahtera. Bak melihat hantu, seketika kurasakan hawa dingin menjalar dari kepala hingga ke sekujur tubuhku. Aku tidak tahu ada apakah gerangan hingga Pak Darmawan sampai datang Sukabumi untuk melihat acara outbond divisi finance. Mungkinkah dia hanya ingin memantau pelaksanaan outbond atau dia datang kemari dengan tujuan tertentu? Bila memang benar, pastilah ini berkaitan denganku dan Mas Reindra. Bisa jadi Pak Darmawan telah mendengar selentingan mengenai hubungan kami berdua yang lebih dari sekadar atasan dan bawahan. Melihat kedatangan Pak Darmawan, semua yang ada di tempat itu langsung terdiam, tidak ada yang berani bergerak atau berbicara. Kecanggungan semacam ini selalu terjadi ketika bos besar d