Jangan lupa cek IG author : inspirasi.riscaame untuk melihat visual Arista dan Reindra. Ditunggu komen dan likenya
Lidahku menjadi kelu seketika, apalagi saat Elden juga ikut menatap lamat pada jari manisku. Pastilah kedua sejoli itu bisa mengambil kesimpulan sendiri atas apa yang terjadi antara aku dan Mas Reindra.“Malam, Davina, Elden, apa kalian jalan-jalan di sekitaran taman?” balas Mas Reindra tanpa beban. Sekilas aku melirik kepadanya yang nampak begitu santai saat berbicara.“Iya, Pak, kami mencari udara segar karena belum bisa tidur,” jawab Elden mewakili kekasihnya.“Sama kalau begitu, saya dan Arista juga belum mengantuk. Tetapi karena ini sudah hampir tengah malam, lebih baik kita istirahat. Kami duluan, ya,” ujar Mas Reindra.Tanpa mempedulikan Davina dan Elden, Mas Reindra menyentuh bahuku dan mengajakku ke kamar. Sungguh, tindakan Mas Reindra kali ini sangat berani sampai aku tidak habis pikir. Ketika kami menaiki anak tangga, aku berusaha menegurnya supaya besok dia tidak berbuat lebih jauh lagi di depan para staf.“Kenapa Mas berbuat seperti itu?”“Berbuat apa, melamarmu?” tanyany
Aku hanya berdiri mematung saat melihat seseorang berjalan menghampiri kami. Awalnya, aku mengira sedang berhalusinasi, tetapi kemudian aku sadar bahwa ini adalah sebuah kenyataan. Ya, sosok yang berjalan menghampiriku saat ini adalah Pak Darmawan, direktur utama sekaligus pemilik PT. Sejahtera. Bak melihat hantu, seketika kurasakan hawa dingin menjalar dari kepala hingga ke sekujur tubuhku. Aku tidak tahu ada apakah gerangan hingga Pak Darmawan sampai datang Sukabumi untuk melihat acara outbond divisi finance. Mungkinkah dia hanya ingin memantau pelaksanaan outbond atau dia datang kemari dengan tujuan tertentu? Bila memang benar, pastilah ini berkaitan denganku dan Mas Reindra. Bisa jadi Pak Darmawan telah mendengar selentingan mengenai hubungan kami berdua yang lebih dari sekadar atasan dan bawahan. Melihat kedatangan Pak Darmawan, semua yang ada di tempat itu langsung terdiam, tidak ada yang berani bergerak atau berbicara. Kecanggungan semacam ini selalu terjadi ketika bos besar d
Dengan perasaaan was-was, aku mengikuti Bu Alya menuju ke taman villa. Aku tidak berani berjalan sejajar dengan Beliau, tetapi memilih untuk berada di belakangnya. Bagaimanapun aku merasa sungkan dan segan jika harus sejajar dengan istri seorang pemilik perusahaan.Bu Alya nampaknya mengerti dengan sikapku, sehingga ia menghentikan langkah untuk sejenak. Wanita yang memiliki pembawaan seperti ningrat itu lantas menoleh kepadaku.“Arista, kamu jalan saja di depan saya. Tolong carikan tempat yang cocok untuk kita bicara,” pinta Bu Alya.“Baik, Bu,” jawabku menyanggupi.Sesuai dengan perintahnya, aku beralih posisi menjadi di depan. Sengaja aku memperlambat langkah agar Bu Alya tidak ketinggalan di belakangku. Tanpa ragu, aku berjalan lurus menuju ke bangku yang semalam aku pergunakan bersama Mas Reindra. Aku rasa tempat inilah yang paling cocok untuk berbincang dari hati ke hati. Selain suasananya rindang dan serba hijau, dari situ terdengar suara gemericik kolam yang menenangkan jiwa.
Seperti orang yang mengalami hipnosis, aku terdiam tanpa berucap apa-apa. Serangan telak yang aku terima dari Bu Alya membuat daya pikirku seakan melemah. Rasanya aku bagai terhantam oleh palu gada dan terjebak ke dalam lapisan kabut yang tebal.Tak hanya gagal berpikir, seluruh sarafku juga serasa sulit untuk digerakkan. Aku pun mematung layaknya orang yang baru saja terkena kutuk. Kesadaranku baru kembali saat suara Bu Alya menggema di telingaku.“Arista, saat ini Pak Darmawan juga sedang bicara dengan Reindra. Kami ingin meminta pengertian dari kalian berdua. Sebelum hubungan kalian bertambah dalam, lebih baik berpisah sekarang. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk saling melupakan,” kata Bu Alya berusaha mempertahankan nada suaranya. Terlihat jelas bahwa dia tak ingin mengumbar emosi yang berlebihan di hadapanku.Entah dari mana sumbernya, mendadak setitik keberanian bangkit dari dalam diriku. Aku merasa perlu membela diri dan mengatakan kebenaran kepada Bu Alya mengenai kondisik
Dengan menerima arloji tersebut, aku berhasil menyelesaikan tantangan terakhir. Tidak ada yang berani berkomentar mengenai aku dan Mas Reindra, khususnya saat aku mengembalikan arloji itu ke tangan pemiliknya. Tanpa bicara sekalipun, mereka pasti sudah mengetahui bahwa aku bukanlah sekadar bawahan untuk Mas Reindra. Mana mungkin seorang pria yang memiliki jabatan tinggi mau memberikan barang pribadinya kepada wanita yang bukan siapa-siapa.Permainan pun berlanjut satu putaran lagi dan aku-lah yang bertugas memutar botol. Ketika botol itu berhenti, aku terperanjat karena Mas Reindra yang terpilih. Seolah-olah benang takdir selalu mengikat kami berdua.Aku pun merasakan suasana di sekitarku mendadak tegang. Sepertinya semua menahan napas, termasuk diriku sendiri. Entah aku harus bagaimana sekarang, karena aku yang harus memberikan pertanyaan kepada Mas Reindra. Seketika mulutku terasa kering, sehingga aku harus menelan ludah beberapa kali.“Wah, Bapak baru datang langsung dapat giliran.
Membaca pesan itu, debaran jantungku jadi tak menentu. Aku merasa was-was untuk menemui dan mendengarkan apa yang dikatakan Mas Reindra. Jujur, aku takut bila Pak Darmawan juga meminta Mas Reindra untuk mengakhiri hubungan kami.Untuk meredakan rasa gelisah yang membuncah, aku berbaring sambil menunggu jam sepuluh tiba. Tiba-tiba aku teringat pada ibu kandungku dan juga mantan ayah mertuaku. Aku baru menyadari bahwa pernikahan dan perceraian selalu melibatkan orang tua. Jika anak mereka bermasalah, maka orang tua yang akan terkena imbasnya. Pantas saja Pak Darmawan dan Bu Alya sangat menaruh perhatian kepada pasangan hidup Mas Reindra. Terlebih dari pengalamanku yang pernah gagal berumah tangga, mungkin mereka akan semakin meragukan karakterku.Memikirkan semua ini membuat hatiku serasa ditusuk oleh duri-duri tajam. Gara-gara masalah rumah tanggaku, banyak orang tua yang terlibat di dalamnya. Padahal semestinya di usia senja, mereka bisa hidup dengan tenang tanpa harus terbebani oleh
Mas Reindra terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sungguh cemas dia akan gelap mata dan mengajakku ke tempat yang berbahaya. Namun, aku segera menepis pikiran itu karena aku tahu bahwa Mas Reindra adalah orang yang bijak dan dewasa. Tidak mungkin ia melakukan sesuatu yang membahayakan aku dan dirinya sendiri. Apalagi, dia masih punya tanggung-jawab untuk mendidik dan membesarkan Maura.Mas Reindra menghentikan mobilnya di sebuah kawasan mirip hutan kecil. Tidak ada satu kendaraan pun yang lewat di lokasi itu, sehingga suasana di sekitar kami sangat sepi. Meski demikian, aku tahu lokasi ini dekat dengan villa tempat kami menginap.“Mas, untuk apa kita berhenti di sini? Kita harus pulang karena ini hampir tengah malam. Bagaimana jika Pak Darmawan dan Bu Alya tahu kita masih berduaan di luar?” tanyaku gugup.Mas Reindra tidak menjawab, tetapi ia malah memiringkan wajahnya untuk menatapku. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh pada sinar matanya.“Kamu selalu saja mencema
“Mas, aku sedang serius kamu malah bercanda,” ucapku berdecak sebal. Mas Reindra hanya terkekeh sambil memelukku kembali.“Siapa bilang aku bercanda? Aku bisa berubah menjadi penculik jika itu menyangkut kamu,” katanya memasang ekspresi serius.“Sudah, jangan merayuku lagi. Kita pulang sekarang, Mas.”Buru-buru aku melepaskan diri dari Mas Reindra sambil merapikan baju dan rambutku yang berantakan. Kemudian, aku berpindah dari kursi belakang menuju ke depan. Beban yang ada di pundakku serasa terangkat, karena kami berdua mencapai kata sepakat.Tak sampai sepuluh menit, kami telah sampai di villa. Sebelum keluar dari mobil, aku pun bercermin di kaca spion. Aku ingin mengecek sekiranya ada tanda merah atau bekas yang ditinggalkan Mas Reindra. Bila memang ada, aku harus menutupinya agar tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di villa.“Tenang saja, Sayang, aku tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bibirmu yang sedikit bengkak,” ucap Mas Reindra dengan wajah tanpa dosa.Aku mencebik