Yuk, jangan ragu berikan komentar untuk author, karena komentar itu gratis.
Aku tidak tahu kenapa Mas Reindra tiba-tiba berbicara seyakin itu. Namun, aku juga tidak berani untuk menanyakan lebih lanjut. Bagiku keberadaannya saja sudah cukup menghiburku, sehingga aku tidak ingin merusak suasana.“Mas, sudah jam delapan, lebih baik kita pulang. Maura pasti sudah menunggumu di rumah,” ujarku. Bukannya menjawab, Mas Reindra malah membalikkan kata-kataku.“Maka dari itu, Maura harus segera mendapatkan seorang ibu yang bisa selalu menemaninya. Dan calon ibunya sudah ada di depan mata,” tuturnya sambil tersenyum kepadaku.Mas Reindra memang selalu bisa membuatku tersipu oleh kalimat rayuannya yang manis. Andai Tuhan mengizinkan kami untuk menjadi suami istri, aku berharap agar dia selalu bersikap seperti ini hingga kami menua bersama.“Besok jam berapa pengacaramu akan datang?” tanya Mas Reindra.“Mungkin sekitar jam sebelas atau dua belas siang. Aku akan menghubunginya nanti,” jawabku seraya mengintip ke layar ponsel.“Telepon saja sekarang, supaya aku tahu jam ber
Mungkin karena terlalu banyak beban pikiran, netraku sudah terbuka pada pukul enam pagi. Padahal, hari ini aku ingin bangun lebih siang karena sedang libur bekerja. Terlebih lagi, aku membutuhkan kondisi fisik dan mental yang sehat agar bisa menghadapi sang raja drama, yaitu Mas Yoga. Aku pun berjalan ke dapur untuk mengambil sarapan pagi yang disediakan oleh Narti, si penjaga kos. Hampir setiap pagi, aku memesan sarapan darinya, supaya tidak perlu repot-repot membeli sarapan di luar sana. “Mbak Arista, sudah bangun? Hari Sabtu tetap masuk kerja, Mbak?” tanya Narti. “Aku libur, Nar, tetapi setelah ini aku mau pergi.” Narti yang sedang bersantai lantas duduk di depanku seraya bertopang dagu. “Wah, mau kencan dengan pacarnya, ya? Saya doakan Mbak Arista cepat-cepat nikah. Lagian Mbak Arista beruntung banget punya pacar yang ganteng, kaya lagi. Saya pengennya juga punya calon suami yang mirip seperti itu,” ujar Narti tersenyum simpul. Aku hanya terkekeh mendengar perkataan Narti. Ta
Aku duduk di samping Mas Yoga dengan menjaga jarak agar kami tidak terlalu dekat. Agar kepentingan utama hari ini tidak terganggu, aku memutuskan untuk mengabaikan pria itu dan mengarahkan atensi kepada Pak Ridwan. Aku pun berjabat tangan dengan pengacaraku itu, karena ini adalah pertama kalinya kami bertemu muka. Untuk mempersingkat waktu, aku segera menyerahkan map tebal yang berisi semua dokumen yang diminta oleh Pak Ridwan. Aku tidak menoleh sedikit pun kepada Mas Yoga, meski aku tahu dia sedang memperhatikan setiap tindakanku. Aku hanya ingin pertemuan ini cepat berakhir. “Silakan diperiksa, Pak, apakah ada yang kurang?” tanyaku ketika Pak Ridwan memeriksa isi map tersebut. “Tidak ada, Bu, semuanya sudah lengkap. Silakan baca dan tanda tangan di sini.” Sesuai dengan instruksi dari Pak Ridwan, aku menandatangani beberapa dokumen yang ditunjukkan olehnya. Aku percaya sepenuhnya kepada Pak Ridwan, karena dia adalah pengacara handal yang dipilih oleh ibuku. Setelah aku selesai, P
Aku menatap punggung Mas Yoga dengan dada yang bergemuruh. Aku tidak mengerti mengapa pria itu terus saja membuatku naik darah. Bukan hanya saat kami masih menjadi suami istri, tetapi bahkan setelah kami berpisah pun, dia masih saja memancing emosiku. Namun, aku berusaha untuk berpikir positif. Toh, aku tidak akan sering berkomunikasi dengan pria menyebalkan itu lagi. Yang penting, aku sudah mendapatkan tanda tangan darinya untuk mengesahkan perceraian kami. Di kala aku berusaha menenangkan diri, terdengar suara klakson mobil yang memanggilku. Dengan kepala yang tertoleh ke samping, aku melihat ke arah sumber suara itu. Rasa dongkol di hatiku seketika lenyap saat memandang wajah manis Maura yang melongokkan kepala dari jendela mobil. Tak kusangka Mas Reindra dan Maura sudah datang untuk menjemputku. “Tante, ayo masuk!” seru Maura seraya melambaikan tangan. Sembari membalas lambaian tangannya, aku menghampiri mobil Mas Reindra. Aku pun duduk di bagian tengah bersama Mbak Ratna, karen
“Apa ada masalah di divisi finance, Mas?” tanyaku kepada Mas Reindra. Pria tampan itu duduk di sampingku seraya meletakkan ponselnya. “Bukan, Om Darmawan akan menempatkan seorang sekretaris baru untukku sebagai pengganti Novi. Dia adalah cucu perempuan dari salah satu sahabatnya semasa kuliah. Besok, Om Darmawan juga mengundangku dan Maura untuk makan siang di rumahnya. Rencana kita untuk membeli baju terpaksa harus ditunda dulu,” ujar Mas Reindra. Terlihat jelas gurat kekecewaan di wajahnya. Andai Mas Reindra tahu, bahwa aku juga sama kecewanya dengan dia. Sudah bukan rahasia umum, bila kedua insan yang tengah jatuh cinta selalu ingin menghabiskan waktu bersama. Begitu pula dengan aku dan Mas Reindra, yang baru saja meresmikan hubungan kami sebagai pasangan kekasih. “Nikmati saja makan siangmu bersama Pak Darmawan, Mas. Kita masih punya waktu sampai hari Jumat untuk berbelanja baju,” ujarku memberinya nasihat. “Tetapi besok adalah momen yang paling tepat untuk family time. Bagaima
Aku mendengar suara Mas Reindra yang menegur Maura dari balik telepon. “Maura, tidak boleh membicarakan hal yang buruk tentang orang lain.” “Sorry, Daddy,” jawab Maura patuh. Gadis kecil itu lantas beralih lagi kepadaku. “Tante, tunggu, ya, sebentar lagi aku dan Daddy sampai.” “Iya, Sayang,” jawabku sebelum Maura mematikan teleponnya. Setelah Maura menyinggung soal “Tante” di rumah Pak Darmawan, entah kenapa aku jadi kepikiran. Mungkinkah wanita itu adalah sekretaris baru yang akan menggantikan kedudukan Bu Novi? Jika iya, kenapa dia diundang secara pribadi oleh Pak Darmawan untuk makan siang di rumahnya? Kenyataan ini menimbulkan tanda tanya besar bagiku. Mendadak aku merasa khawatir bila Pak Darmawan memiliki maksud lain, seperti hendak menjodohkan sekretaris itu dengan Mas Reindra. Ya, wajar saja jika Pak Darmawan menginginkan keponakannya yang sudah lama menduda memiliki pasangan baru. Terlebih, wanita itu adalah cucu dari sahabat lamanya, yang sudah diketahui bibit, bobot,
“I-iya, Pak, saya sedang jalan-jalan,” jawabku singkat. Hawa dingin serasa merayap di seluruh punggungku. Aku tidak menduga akan bertemu dengan Pak Yanuar di tempat umum seperti ini. Entah semua ini kebetulan semata atau merupakan garis takdir yang telah ditentukan dari atas. Dalam beberapa detik, aku hanya bengong seperti orang linglung. Aku tidak tahu apa yang harus dikatakan lagi setelah kepergok oleh Pak Yanuar. Untung saja, sentuhan tangan Maura menyadarkan aku dari lamunan. “Tante, kita nggak jadi cobain baju?” “Oh, iya, sebentar, Sayang.” Pak Yanuar langsung mengernyitkan dahi saat melihat gadis kecil yang bergandengan tangan denganku. “Lho, ini bukannya Maura, anaknya Pak Reindra? Apa Pak Reindra juga ada di sini, Rista?” tanya Pak Yanuar melihat ke kiri dan ke kanan. Sungguh aku bingung harus menjawab bagaimana. Jika mengatakan tidak, rasanya sangat mustahil karena Maura selalu pergi bersama dengan ayahnya. Namun bila aku mengatakan iya, aku takut Pak Yanuar akan tahu b
Hari ini, aku berangkat lebih pagi ke kantor untuk mempersiapkan meeting. Aku sudah bertekad untuk melaksanakan tugasku dengan baik, karena aku akan menjadi wakil dari divisi finance. Terlebih lagi, Mas Reindra yang akan menerima laporanku. Untuk itu, aku harus memastikan tidak ada kesalahan atau ketelodoran yang akan mengecewakannya apalagi membuatnya malu. Sebagai bawahan, aku harus bisa menopang Mas Reindra dalam menjalankan tanggung-jawabnya. Aku tiba pertama kali di kantor sebelum Pak Yanuar dan para staf yang lain. Suasana yang masih sepi justru membuatku lebih leluasa memulai pekerjaan. “Rista, kamu datang jam berapa?” tanya Pak Yanuar merasa heran. “Jam setengah tujuh, Pak.” “Oh, pantas saja, kamu sudah selesai mencetak laporan. Saya pikir saya yang datang paling pagi ke kantor. Kalau begitu lima belas menit lagi kita briefing, lalu segera berkumpul di ruang meeting.” “Baik, Pak.” Beberapa menit kemudian, para staf sudah berdatangan. Pak Yanuar pun memimpin briefing pagi,