Home / Pernikahan / Ketika Suami Tak Lagi Peduli / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Ketika Suami Tak Lagi Peduli: Chapter 61 - Chapter 70

123 Chapters

Ambil Saja Suamiku Lengkap dengan Utangnya

Raut muka Mas Yoga berubah drastis ketika Safa mempertanyakan hal itu. Ia memandang wanita selingkuhannya sejenak, lantas mencuri pandang ke arahku. Sengaja aku diam untuk melihat reaksi Mas Yoga. Aku ingin tahu apakah suami itu berani mengakui kesalahannya atau dia kembali berkelit seperti seorang pengecut. Melihat Mas Yoga masih ragu-ragu dalam memberikan jawaban, aku pun maju ke depan. Sudah tiba waktunya, aku bangkit untuk menunjukkan taringku di depan para pengkhianat. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku hanya bisa mengandalkan diri sendiri untuk mengubah nasibku. Aku tak ingin lagi mengalah, jika itu hanya akan melukai hatiku lebih dalam. Bagaimanapun aku harus berani mengambil langkah besar, supaya bisa terbebas dari belenggu pernikahan yang beracun. “Oh, jadi begitu pendapatmu selama ini tentangku, Mas. Kalau begitu, aku juga akan mengungkapkan pendapatku tentangmu di hadapan…wanita yang tidak tahu malu ini,” ujarku sembari mendekat kepada Safa. Tak ada keinginan untuk menitikkan
Read more

Mendapat Ancaman

Peringatan bernada ancaman itu membuatku terperanjat. Entah apa maksudnya Mas Yoga berbicara tentang pernikahanku dengan laki-laki lain, padahal dia baru saja menjatuhkan talak. Yang lebih mengherankan lagi, dia sendiri yang berencana untuk menikahi Safa, tetapi dia malah menuduhku yang bukan-bukan. Andai suatu hari aku benar-benar membuka hati untuk pria lain, bukankah dia tidak berhak melarangnya? Kami sudah sepakat untuk berpisah, dan dia tidak memiliki hak atas diriku lagi. Lantas untuk apa dia menghalang-halangi perjalananku di masa depan? Dari ucapannya ini saja terlihat jelas bahwa dia memiliki sikap egois, iri hati, dan mau menang sendiri. Tak ingin terusik lebih lama, aku memilih untuk meninggalkan kos itu. Aku bahkan tak menghiraukan belasan pasang mata yang tertuju ke arahku. Dilihat dari beragam ekspresi mereka, aku yakin ada yang mengasihani aku sebagai istri yang diselingkuhi suami. Namun aku tak ingin ambil pusing. Toh, urusan pribadiku tak ada sangkut pautnya dengan p
Read more

Makanan Manis

Napasku serasa berhenti tatkala Pak Reindra menatap layar ponselku. Karena panik, lekas saja aku menghampiri Pak Reindra, lalu merampas ponsel itu dari tangannya. "Pak, maaf, ponsel saya," ujarku tanpa basa-basi. Bosku itu nampak terkejut melihat sikapku yang kurang sopan. Barangkali dia berpikir kenapa aku tidak menunggu hingga dia yang mengembalikan. Toh, dia juga tidak akan menahan ponselku lebih lama. Sebelum Pak Reindra memberikan respon, aku buru-buru menimpali ucapanku tadi. "Terima kasih karena sudah menyelamatkan ponsel saya, Pak." Pak Reindra tidak mengatakan apa pun. Dia malah melenggang pergi, meninggalkan aku yang masih terpaku di tempat. Melihat Pak Reindra menuruni anak tangga, aku pun mengikutinya dari belakang. Entah apa yang ada di pikiran Pak Reindra saat ini. Apakah dia sedang kesal karena tingkahku yang tidak sopan, atau dia sempat membaca isi pesan Mas Yoga tadi? Setibanya di lantai satu, aku berjalan lebih cepat dari Pak Reindra agar tiba terlebih dulu di k
Read more

Permintaan Maura

Usai berbelanja di toko mochi, aku dan Pak Reindra langsung meluncur ke jalan tol. Kami akan menempuh perjalanan cukup lama, sehingga aku memilih untuk menikmati saja musik instrumen yang diputar oleh Pak Reindra di dalam mobil. “Rista, perjalanan kita masih sekitar dua jam lagi. Kamu boleh tidur kalau memang mengantuk, nanti saya bangunkan,” ujar Pak Reindra tiba-tiba. “Iya, Pak,” jawabku bersandar pada kursi mobil. Mana mungkin aku bisa tidur jika pikiranku masih runyam begini. Lebih baik aku menatap ke jalan sambil mendengarkan alunan musik. Terkadang mendengarkan musik justru bisa membuat jiwa dan pikiranku menjadi lebih tenang. Sedangkan Pak Reindra nampak mengarahkan atensi secara penuh kepada jalan tol di hadapannya. Di kala aku tengah memandangi jalan, aku merasakan ponselku bergetar-getar. Entah mengapa aku malas untuk mengangkatnya, karena aku yakin itu adalah Mas Yoga. Barangkali dia masih penasaran karena aku belum memberikan respon atas pesan yang dikirimnya tadi. Nya
Read more

Bukan Wanita Lemah

Dalam kondisi terdesak, aku memaksa otakku untuk berpikir lebih cepat. Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan alasan klasik, agar aku bisa menolak keinginan Maura secara halus. “Maura, hari ini Tante nggak bisa ikut makan malam dengan Maura karena Tante ngantuk. Tante ingin cepat-cepat bobok di rumah Tante. Maaf ya, Sayang.” “Oh, Tante ngantuk ya. Kalau begitu besok aja kita main di Fantasia, setelah itu kita makan pizza dan spaghetti. Aku akan menemani Tante selama liburan supaya Tante nggak sendirian di rumah.” Kali ini aku mati kutu karena tidak bisa mencari alasan. Jika aku mengatakan akan pergi ke suatu tempat, pasti Maura tidak akan percaya. Aku pun melirik kepada Pak Reindra, mencoba mencari bantuan darinya. Namun bosku itu malah mengedikkan bahu, seolah cuci tangan dengan keadaanku. Bila sudah begini aku jadi bingung bagaimana menghindari ajakan Maura. “Tante kok diem? Aku jemput Tante besok jam sebelas ya. See you tomorrow, Tante Rista.” Sebelum aku menjawab, Maura sud
Read more

Langkah untuk Perpisahan

Dalam suasana hati yang masih pilu, aku teringat perkataan Pak Reindra mengenai makanan manis. Netraku otomatis menatap ke arah kue mochi yang masih terbungkus di dalam kotak. Mungkin dengan menuruti saran dari Pak Reindra, perasaanku akan menjadi lebih baik. Tanpa berpikir dua kali, aku meraih kotak mochi itu lantas membuka penutupnya. Dengan menggunakan telunjuk dan ibu jari, aku mengambil satu buah mochi. Begitu menyentuh lidah, kue yang kenyal itu langsung lumer dan menyebarkan rasa manis ke seluruh indera perasaku. Ternyata memakan kue mochi di kala sedih justru terasa lebih nikmat dibandingkan dalam keadaan biasa. Tak terasa, aku sudah menghabiskan empat buah kue mochi berukuran mungil. Anehnya, hatiku kini terasa lebih ringan dari sebelumnya. Seingatku makanan manis memang memicu produksi hormon serotonin yang dapat memperbaiki suasana hati. Dan itu sudah terbukti pada diriku sendiri. Selesai menikmati mochi, aku menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Rasanya begitu m
Read more

Gugup Bila Berdekatan Dengannya

Aku berpikir untuk mengirimkan motor ini ke Sukabumi, tetapi biayanya pasti lumayan mahal. Mungkin akan lebih baik jika aku menunggu sampai mendapatkan tempat tinggal yang baru. Setelah itu, aku akan meninggalkan barang kepunyaan Mas Yoga di kontrakan supaya dia bisa mengambilnya. Terlebih barang milik Mas Yoga hanyalah sepeda motor, televisi, dan kipas angin, sehingga aku tidak akan kesulitan untuk memisahkannya. Merasa mantap dengan keputusanku sendiri, aku lantas memanaskan mesin motor. Aku akan menggunakan motor Mas Yoga untuk terakhir kalinya hari ini. Rencanaku usai menemani Maura, aku akan berkeliling mencari kontrakan atau kos yang bisa disewa per bulan. Jika memungkinkan aku ingin yang lokasinya berdekatan dengan kantorku. Sambil menunggu jam sebelas, aku mampir ke rumah Bu Siti untuk memberinya kue mochi. Mengingat Bu Siti sudah belasan tahun tinggal di daerah sini, siapa tahu dia juga memiliki informasi mengenai rumah petak atau kos-kosan khusus wanita. Ketika sampai di r
Read more

Saling Membutuhkan Antara Ibu dan Anak

Aku sungguh terkejut mendengar perkataan Pak Reindra. Diam-diam aku mencubit lenganku sendiri tanpa sepengetahuannya, sekadar memastikan bahwa aku sedang tidak bermimpi. Karena lenganku terasa sakit, artinya apa yang diucapkan oleh bosku itu adalah nyata, bukan ilusi. “Ck, di keramaian seperti ini sempat-sempatnya kamu melamun,” tegur Pak Reindra menoleh ke arahku. Mendapat teguran darinya, sontak pipiku memanas. Entah sudah keberapa kalinya aku kepergok melamun di depan pria ini. “Maaf, Pak,” sahutku gelagapan. “Saya tidak butuh permintaan maaf, yang saya tanyakan kamu mau boneka yang mana. Kalau kamu tidak menjawab, saya akan mengambil sekenanya,” decih Pak Reindra. Saat ini, aku merasa seperti orang bodoh di hadapan bosku sendiri. Barangkali di dalam hatinya, Pak Reindra merasa heran kenapa putrinya bisa menyukai wanita sepertiku. “Terserah Bapak saja,” jawabku cepat. Menurutku semua boneka di dalam kotak kaca itu bagus, sehingga aku bingung untuk memilihnya. Mendengar jawaba
Read more

Dewa Penolongku

Aku masih berdiri mematung di depan pintu keluar. Melihat derasnya air hujan yang turun, aku memutuskan untuk menunggu saja. Karena meskipun aku memakai jas hujan, aku yakin jika tubuhku akan tetap basah. Saat sedang menunggu, aku terkejut karena sebuah tangan menyentuhku dari belakang. Sontak aku menoleh dan bertukar pandang dengan manik mata bulat yang begitu jernih. “Tante belum pulang?” tanya Maura. “Eh, belum, Maura. Tante masih menunggu hujan reda.” “Kalau begitu Tante ikut aku aja. Aku dan Daddy akan mengantar Tante ke mana pun Tante mau,” ujar Maura. “Nggak bisa, Sayang. Bagaimana dengan motor Tante kalau Tante ikut Maura?” Gadis kecil itu nampak berpikir sebentar, kemudian ia menggoyangkan lengan ayahnya. “Dad, panggil saja Pak Sam untuk mengambilkan motor Tante Arista nanti. Bisa ‘kan, Dad? Kasihan Tante Arista kalau kita tinggal sendirian,” tanya Maura penuh harap. Pak Reindra malah melirik kepadaku dengan wajah datar. “Bisa saja, tapi jika Tante Arista setuju. Teta
Read more

Milik Mantan Suami

Dengan tergesa-gesa, aku berjalan menuju ke pintu sebelah timur yang dimaksud oleh Pak Reindra. Aku berteduh di sana bersama dengan beberapa orang pengunjung, sembari menunggu kedatangan Pak Reindra. Entah mengapa aku merasa gelisah setiap kali melihat mobil yang lewat. Aku berharap bahwa itu adalah mobil Pak Reindra yang akan segera datang untuk menjemputku. Menanti di tengah hujan, membuat aku sadar bahwa aku hanya sendirian di kota ini. Aku tidak punya siapa-siapa, baik itu keluarga, sanak saudara, maupun sahabat yang bisa berbagi cerita. Aku merasa bagaikan seorang wanita asing yang tersesat di tengah hiruk pikuk kota metropolitan. Di saat rasa sepi mendera jiwaku, terdengar bunyi klakson dari arah depan. Sontak, aku menoleh dan melihat mobil Pak Reindra sudah tiba. Dari kejauhan, aku juga melihat Maura menempelkan wajahnya di jendela mobil sambil melambaikan tangan kepadaku. Bak seorang musafir yang menemukan oase, aku hendak berlari menuju ke mobil. Namun Mbak Ratna sudah kelu
Read more
PREV
1
...
56789
...
13
DMCA.com Protection Status