Home / Pernikahan / Ketika Suami Tak Lagi Peduli / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Ketika Suami Tak Lagi Peduli: Chapter 41 - Chapter 50

123 Chapters

Lima Ratus Ribu Sebulan

Bingung, itulah yang terlintas di pikiranku. Aku tidak tahu Pak Reindra berterima kasih atas dasar apa. Karena tidak ada prestasi besar yang aku capai di awal masa kerjaku."Maaf, Bapak berterima kasih untuk apa?" tanyaku memberanikan diri. Pak Reindra menatapku dengan kedua mata elangnya yang menawan sekaligus penuh misteri."Karena kamu sudah menolong Maura dari kecelakaan. Maura adalah putriku.”Aku menahan napas ketika mendengar ucapan Pak Reindra. Ingatakanku langsung terdampar kepada gadis kecil berwajah imut yang kutemui kemarin. Jadi Maura adalah anak dari Pak Reindra? Kenapa kebetulan seperti ini bisa terjadi?“Saya…tidak tahu kalau Maura anak Bapak,” jawabku tidak enak hati. Aku memberikan penjelasan itu untuk menghindari kesalahpahaman. Aku tidak mau dianggap mencari muka demi menarik simpati Pak Reindra.“Itu artinya kamu menolong Maura dengan tulus. Besok jam berapa kamu berangkat dengan Elden ke Supermarket Serba Murah?” tanya Pak Reindra.“Jam sepuluh, Pak.”“Bagus, be
Read more

Ke mana Suamiku

Esok harinya, aku berangkat bersama Elden ke supermarket. Aku tidak memikirkan lagi soal uang lima ratus ribu yang diberikan Mas Yoga. Saat ini, aku harus berkonsentrasi penuh untuk menjalankan tugas dari atasanku."Akan saya ajukan pembayaran lima puluh persen. Sisanya paling lambat bulan Juni, Bu," janji Pak Helmi, sang manajer keuangan Supermarket Serba Murah."Baik, terima kasih, Pak, akan saya tunggu kabar baiknya," jawabku bersalaman dengannya.Aku pun keluar dari kantor dengan perasaan lega. Meskipun belum terbayar sepenuhnya paling tidak ada sedikit pelunasan.Selesai dengan tugas pertama, aku lanjut pergi aku pergi ke Karya Market. Di sana aku ditemui oleh supervisornya yang berusia empat puluhan, namanya Bu Susan. Sikapnya ketus dan nada bicaranya angkuh, berbeda dengan Pak Helmi. Nampaknya dia meremehkan aku sebagai karyawan baru di PT. Sejahtera. Lebih parahnya lagi, dia tidak mau menjanjikan pembayaran dalam waktu dekat. Namun dalam hal ini, aku tetap berusaha sabar demi
Read more

Hadiah Manis dari Maura

Saat bangun tidur, aku masih merasa gundah memikirkan Mas Yoga. Kucoba mengecek ponselku untuk melihat apakah ada pesan balasan. Namun ternyata tidak ada. Dengan memendam rasa kecewa, aku pun berangkat ke kantor seperti biasa. Sekitar jam sepuluh, barulah aku mendapat pesan dari nomer yang tak dikenal. Aku mengkerutkan kening ketika membaca isi pesan tersebut.[Rista, ini aku Yoga. Aku pakai nomer teman kerjaki. Kemarin handphoneku jatuh di jalan dan rusak. Aku mau membawanya ke counter hari ini. Jadi untuk sementara aku tidak bisa menelponmu.]Aku tercengang melihat pesan yang ditinggalkan Mas Yoga. Ternyata dia sedang mengalami musibah, pantas saja semalam ponselnya tidak bisa dihubungi. Aku menyesal karena terlalu berpikiran buruk dan menuduhnya sembarangan.[Iya, Mas. Nanti kabari aku kalau handphonemu sudah selesai diperbaiki]jawabku singkat.Usai meletakkan ponsel, aku refleks menyentuh dahi. Jika begini sudah tentu aku tidak bisa berdiskusi dengannya soal kepergianku ke Sukab
Read more

Haruskah Berpisah dari Putraku

"Halo, Rista, tumben kamu menelpon Ibu malam-malam?" tanya Ibu keheranan. Untung saja Beliau belum tertidur padahal ini hampir jam sembilan malam."Maaf, kalau aku mengganggu Ibu. Aku sedang bingung.""Bingung soal apa? Apa Yoga membuat ulah lagi?" tanya Ibu dengan suara tinggi."Bukan, Bu, Mas Yoga sudah berangkat ke Sukabumi. Ini tentang pekerjaanku. Sabtu depan aku diajak oleh atasanku survey ke Sukabumi, karena akan ada acara keakraban antar karyawan. Aku bingung siapa yang akan menjaga Zidan, terutama saat aku harus menginap di Sukabumi selama tiga hari.""Apa kamu tidak bisa minta izin kepada bosmu supaya tidak mengikuti acara itu?""Tidak bisa, Bu. Aku dipilih menjadi ketua panitia.""Kamu sudah meminta pendapat si Yoga? Kamu kerja begini kan gara-gara dia tidak bertanggung jawab sebagai suami," ketus Ibu."Ponsel Mas Yoga sedang rusak, Bu. Lagipula belum tentu dia bisa memberikan jalan keluar," keluhku.Bisa kudengar helaan napas berat dari seberang telepon. Aku jadi menyesal
Read more

Akibat Salah Memilih Pasangan

Hari yang kutakuti itu akhirnya tiba. Di depan gerbang, aku melihat Ibu datang bersama dengan Martha, karyawan kepercayaannya. Sungguh hatiku berdenyut nyeri setiap kali mengingat Zidan akan berpisah dariku. Namun aku sadar bahwa aku tak punya pilihan lain. Ini adalah keputusan terbaik yang bisa kuambil. Memang lebih baik putraku diasuh oleh neneknya daripada terlantar di rumah ini. “Zidan, anak ganteng,” sapa Ibu langsung mengelus pipi Zidan. Putra kecilku itu tersenyum sembari mengulurkan tangannya untuk meminta gendong. Meski mereka lama tidak berjumpa, nampaknya Zidan sangat mengenali wajah neneknya. “Nanti minta gendongnya, Zidan. Eyang masih capek dari perjalanan,” ucapku melarang Zidan. “Mbak, Rista, apa kabar?” tanya Martha menyapaku. “Baik, Mar, ayo masuk,” ajakku sambil menggendong Zidan. Kami bertiga masuk ke kontrakan petak milikku. Aku mempersilakan Ibu dan Martha duduk di kursi ruang tamu, lalu kuletakkan Zidan di keretanya. Setelah itu, aku ke dapur untuk membuatkan
Read more

Tak Sanggup Lagi

Esok harinya aku masuk kantor dengan wajah yang lesu. Aku tahu bahwa pekerjaanku di kantor hari ini sangat banyak, apalagi Pak Yanuar tidak masuk. Namun, di sisi lain hatiku sedang merana karena berpisah dengan Zidan. Ternyata sebesar ini penderitaan seorang ibu bila harus terpisah jauh dari anaknya. “Bu, tolong periksa laporan saya,” ucap Davina menyodorkan setumpuk file di mejaku. “Oke, letakkan saja, Dav, nanti aku periksa,” jawabku tersadar dari lamunan. “Apa Bu Rista sakit? Wajah Ibu agak pucat,” tanya Davina mengamati wajahku dari dekat. “Aku baik-baik saja, Dav, hanya agak kurang tidur semalam.” Baru saja aku selesai bicara dengan Davina, interkom di mejaku berdering. Aku mengangkat panggilan itu dengan segera, karena aku bisa menebak siapa yang menghubungiku. “Rista, kamu ke kantor saya sekarang. Bawakan saya mutasi rekening koran tiga bulan terakhir dan rekap penjualan per produk.” Terdengar suara tegas Pak Reindra dari balik telepon. “Ba-ik, Pak, saya akan ke sana,” ja
Read more

Malu Setengah Mati

Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Namun, kala aku membuka mata, yang pertama kali kulihat adalah wajah seorang pria. Alangkah terkejutnya aku saat menyadari siapa sosok pria tersebut.“Pak Reindra….”Suaraku terdengar begitu lemah, lebih mirip gumaman daripada sebuah pernyataan.Pria yang kusebut namanya itu langsung menempelkan punggung tangannya di dahiku. Ekspresi yang tergambar di wajahnya sedikit berbeda, tidak sedatar biasanya.“Baguslah, kamu sudah sadar. Badanku juga tidak demam,” ucap Pak Reindra. Ternyata dia sedang berusaha untuk memeriksa suhu tubuhku.Segera aku menegakkan punggung meski kepalaku masih terasa pening. Saat kesadaranku telah terkumpul, aku baru menyadari bahwa saat ini aku berada di dalam mobil mewah milik atasanku.“Pak, maaf, apa saya tadi pingsan?” tanyaku masih bingung dengan apa yang terjadi.“Apa perlu saya menjawabnya? Jelas-jelas kamu limbung sewaktu mengunci pintu ruangan finance. Untung saja saya masih ada di sana, jika tidak entah siapa
Read more

Ajakan Bos Besar

Selesai mandi dan meminum obat sakit kepala, aku ingin sekali menghubungi Ibu dan Zidan. Namun melihat waktu yang hampir menunjukkan pukul sebelas malam, aku urung melakukan niatku itu. Mana mungkin aku menelepon mereka pada jam istirahat seperti sekarang. Aku naik ke atas tempat tidur sambil menghembuskan napas pelan. Rasanya begitu sunyi berada di kamar ini sendirian tanpa Zidan dan Mas Yoga. Kadang aku berpikir bahwa aku satu-satunya wanita yang kesepian setelah menikah. Karena setahuku wanita yang sudah menikah selalu disibukkan oleh berbagai kegiatan bersama suami dan anaknya. Aku meletakkan bantal di atas kepala sambil memejamkan mata. Meski aku menangis darah sekalipun, kondisi ini tidak akan berubah. Terlebih sampai detik ini, Mas Yoga tidak memberikan kabar. Padahal bisa saja ia meminjam ponsel temannya sebentar atau menghubungiku lewat telepon kantor. Nampaknya Mas Yoga memang enggan untuk berusaha, karena menganggapku bukanlah prioritas utama dalam hidupnya. Ah, sudahlah,
Read more

Makan Malam yang Hangat

Berusaha mengabaikan tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang, aku memilih untuk menuruti perintah Pak Reindra. Bosku itu menyuruhku duduk di kursi bagian tengah, sedangkan dia duduk di kursi kemudi. Begitu sampai di dalam mobil, aku disambut oleh wajah cantik Maura. Dengan dress berwarna merah muda dan pita rambut yang senada, Maura benar-benar terlihat seperti seorang princess. Melihatnya, aku jadi membayangkan betapa manisnya bila aku juga memiliki seorang putri. Aku melihat sorot mata gadis kecil itu berbinar tatkala melihat kedatanganku. “Tante Arista, aku senang bisa ketemu Tante lagi,” ucapnya lantas memeluk pinggangku. Aku terkesiap untuk sesaat, merasa terharu dengan reaksi yang ditunjukkan Maura. Ternyata masih ada orang yang merindukan aku setelah sekian lama aku merasa terabaikan. “Iya, Tante juga senang bisa bertemu Maura,” jawabku balas membelai rambut tebalnya. “Kenapa Maura datang ke sini malam-malam? Maura belum ngantuk?” tanyaku keheranan. “Belum, Tante. Tadi
Read more

Tidak Pernah Akur

Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Mas Yoga, meski aku sangat ingin menimpali ucapannya. Tak mungkin aku berdebat dengannya di hadapan semua rekan kerjaku. Aku menjauhkan ponsel yang kupegang dari telinga untuk berbicara dengan Maura. “Maura, Tante ke toilet dulu ya. Tante sudah kebelet dari tadi,” ucapku meminta izin darinya. “Oke, Tante. Cepat aja ke toilet supaya Tante nggak ngompol di jalan,” celetuknya. Aku melihat Mbak Ratna dan Davina mengulum senyuman saat mendengar ucapan Maura. Sambil menahan sedikit rasa malu, aku mengangguk kepada gadis kecil itu sebelum meninggalkan meja. “Halo, Rista, kenapa kamu diam saja? Sebenarnya kamu keluyuran ke mana?” Terdengar suara berat Mas Yoga yang menuntut jawaban dari seberang telepon. “Sebentar, Mas,” jawabku jengah. Sepantasnya aku yang mempertanyakan keberadaannya setelah beberapa hari menghilang tanpa kabar. Namun justru dia yang lebih dulu menuduhku keluyuran. Memang sungguh ajaib kelakuan suamiku yang satu ini. Dengan
Read more
PREV
1
...
34567
...
13
DMCA.com Protection Status