Selesai mandi dan meminum obat sakit kepala, aku ingin sekali menghubungi Ibu dan Zidan. Namun melihat waktu yang hampir menunjukkan pukul sebelas malam, aku urung melakukan niatku itu. Mana mungkin aku menelepon mereka pada jam istirahat seperti sekarang. Aku naik ke atas tempat tidur sambil menghembuskan napas pelan. Rasanya begitu sunyi berada di kamar ini sendirian tanpa Zidan dan Mas Yoga. Kadang aku berpikir bahwa aku satu-satunya wanita yang kesepian setelah menikah. Karena setahuku wanita yang sudah menikah selalu disibukkan oleh berbagai kegiatan bersama suami dan anaknya. Aku meletakkan bantal di atas kepala sambil memejamkan mata. Meski aku menangis darah sekalipun, kondisi ini tidak akan berubah. Terlebih sampai detik ini, Mas Yoga tidak memberikan kabar. Padahal bisa saja ia meminjam ponsel temannya sebentar atau menghubungiku lewat telepon kantor. Nampaknya Mas Yoga memang enggan untuk berusaha, karena menganggapku bukanlah prioritas utama dalam hidupnya. Ah, sudahlah,
Berusaha mengabaikan tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang, aku memilih untuk menuruti perintah Pak Reindra. Bosku itu menyuruhku duduk di kursi bagian tengah, sedangkan dia duduk di kursi kemudi. Begitu sampai di dalam mobil, aku disambut oleh wajah cantik Maura. Dengan dress berwarna merah muda dan pita rambut yang senada, Maura benar-benar terlihat seperti seorang princess. Melihatnya, aku jadi membayangkan betapa manisnya bila aku juga memiliki seorang putri. Aku melihat sorot mata gadis kecil itu berbinar tatkala melihat kedatanganku. “Tante Arista, aku senang bisa ketemu Tante lagi,” ucapnya lantas memeluk pinggangku. Aku terkesiap untuk sesaat, merasa terharu dengan reaksi yang ditunjukkan Maura. Ternyata masih ada orang yang merindukan aku setelah sekian lama aku merasa terabaikan. “Iya, Tante juga senang bisa bertemu Maura,” jawabku balas membelai rambut tebalnya. “Kenapa Maura datang ke sini malam-malam? Maura belum ngantuk?” tanyaku keheranan. “Belum, Tante. Tadi
Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Mas Yoga, meski aku sangat ingin menimpali ucapannya. Tak mungkin aku berdebat dengannya di hadapan semua rekan kerjaku. Aku menjauhkan ponsel yang kupegang dari telinga untuk berbicara dengan Maura. “Maura, Tante ke toilet dulu ya. Tante sudah kebelet dari tadi,” ucapku meminta izin darinya. “Oke, Tante. Cepat aja ke toilet supaya Tante nggak ngompol di jalan,” celetuknya. Aku melihat Mbak Ratna dan Davina mengulum senyuman saat mendengar ucapan Maura. Sambil menahan sedikit rasa malu, aku mengangguk kepada gadis kecil itu sebelum meninggalkan meja. “Halo, Rista, kenapa kamu diam saja? Sebenarnya kamu keluyuran ke mana?” Terdengar suara berat Mas Yoga yang menuntut jawaban dari seberang telepon. “Sebentar, Mas,” jawabku jengah. Sepantasnya aku yang mempertanyakan keberadaannya setelah beberapa hari menghilang tanpa kabar. Namun justru dia yang lebih dulu menuduhku keluyuran. Memang sungguh ajaib kelakuan suamiku yang satu ini. Dengan
Aku membeku sejenak, bingung harus bagaimana untuk mengatasi situasi ini. Pak Reindra juga terkejut karena Maura mengigau dan menyebut aku sebagai ibunya. Aku melihat Pak Reindra berjalan mendekatiku untuk membangunkan Maura. Namun sebelum dia sampai, aku lebih dulu bertindak untuk menyadarkan gadis kecil itu.“Maura, bangun sebentar, Sayang. Ini Tante Arista,” lirihku lembut.Maura menggeliat perlahan sambil bergumam tidak jelas. Gadis kecil itu masih terpejam, tidak terlihat tanda-tanda bahwa ia akan bangun atau membuka mata. Nampaknya ia benar-benar lelah dan mengantuk, sehingga enggan untuk terjaga.Melihat usahaku tidak membuahkan hasil, Pak Reindra segera mengambil alih. Ia masuk ke mobil lewat pintu yang berseberangan denganku, lalu duduk di samping Maura.“Maura, bobok sama Daddy ya. Tante Arista mau pulang,” bisik Pak Reindra. Karena ia mendekat ke telinga Maura, otomatis jarak kami hanya terpaut beberapa senti. Bahkan aku bisa mendengar hembusan napas Pak Reindra yang hangat
Terus terang aku merasa terkejut sekaligus kesal mendengar pertanyaan Ayah. Ketika anaknya membuat masalah besar dalam hidupku, dia tidak bertanya sama sekali. Sekadar menghubungiku untuk menanyakan kabar cucunya pun tidak. Namun kala anak lelakinya mengadu, yang mana itu belum dipastikan kebenarannya, Ayah langsung memojokkan aku seperti ini. “Aku belum minta izin kepada Mas Yoga, karena beberapa hari ini dia tidak bisa dihubungi, Yah. Alasannya karena ponselnya rusak dan sedang diperbaiki di counter. Baru semalam Mas Yoga menelepon, dan itu juga memakai nomer baru,” jelasku apa adanya. Ayah berdehem sebentar di telepon sebelum merespon ucapanku. “Mungkin Yoga sedang kesulitan di sana, Rista. Tetapi Ayah yakin keputusanmu untuk menitipkan Zidan, tidak terjadi dalam waktu singkat. Seharusnya kamu bisa meminta pertimbangan Yoga sebelum dia ke Sukabumi.” Nampaknya ayah mertuaku itu menyindirku secara halus. Ingin sekali aku menjelaskan bahwa keputusan itu kuambil secara mendadak, kar
“Kamu menyuruhku ke Jogja hanya untuk menjemput Zidan? Apa kamu sengaja supaya aku dipecat oleh kantor?!” bentak Mas Yoga dari balik telepon. Aku sama sekali tidak terkejut mendengar nada bicaranya yang meninggi. Dibentak oleh Mas Yoga bukanlah hal yang baru bagiku, meski tetap saja hatiku terasa berdenyut nyeri. “Pertanyaan yang sama aku ajukan untukmu, Mas. Apa Mas juga ingin aku dipecat karena tidak mengikuti acara kantor? Lalu kalau aku tidak punya pekerjaan, Mas sanggup memberikan nafkah yang selayaknya? Atau Mas akan membiarkan aku dan Zidan kelaparan?” balasku. “Rista, masalah kebutuhan keluarga harus kita pikirkan berdua. Jangan aku saja yang kamu bebani. Berapapun yang diberikan suami, harus bisa disyukuri oleh istri,” bantahnya. Sungguh cerdas suamiku ini dalam memberikan jawaban, tetapi aku juga belajar untuk lebih cerdik dalam memberikan serangan balik. “Kalau begitu suami juga patut bersyukur di kala istri mau turut bekerja untuk mencukupkan kebutuhan keluarga. Dan ras
Begitu vibrasi ponselku bergetar pada jam tujuh pagi, aku langsung menerima panggilan tersebut.“Halo, Pak, selamat pagi,” sapaku penuh sopan santun.“Pagi, Rista, saya sudah ada di depan gang rumahmu,” jawab Pak Reindra.“Baik, Pak, saya keluar sekarang,” jawabku.Setelah mematikan panggilan itu, buru-buru aku mendorong koperku keluar dari pekarangan. Di depan gerbang, aku berpapasan dengan Mbak Santi dan Bu Siti yang tengah berbincang-bincang.“Rista, pagi-pagi begini kamu sudah pergi. Mau ke Jogja menyusul Zidan?” tanya Bu Siti menatap koper yang kubawa.“Bukan, Bu, saya ada tugas dinas ke luar kota.”“Dinas ke mana dan berapa hari?” timpal Mbak Santi. Dia memang tak sungkan mengorek privasi seseorang demi memuaskan rasa ingin tahunya.“Ke Bogor dan Sukabumi, sekita dua harian, Mbak.”“Oh, kalau begitu selamat bekerja,” jawab Mbak Santi tersenyum lebar.“Hati-hati, Rista,” tambah Bu Siti.“Terima kasih, Bu Siti, Mbak Santi, saya pamit.”Dengan tergesa-gesa, aku menarik koperku mele
Dalam situasi ini aku masih bimbang harus menjawab apa. Namun setelah kupikir lebih lanjut, lebih baik aku jujur saja terhadap Pak Reindra. Toh, bila Mas Yoga memang bekerja di Sukabumi, hal itu juga tidak akan berdampak bagi pekerjaanku.“Suami saya bekerja di Sukabumi, Pak,” jawabku dengan jujur.Pak Reindra sedikit melebarkan kelopak matanya, nampak terkejut dengan apa yang kuucapkan.“Sukabumi? Kenapa kebetulan sekali? Apa kamu berencana bertemu dengan suamimu saat outbond nanti?”“Tidak, Pak. Justru besok saya berencana untuk menemuinya sebentar, setelah kita selesai menyewa tempat outbond. Saya ingin minta izin kepada Bapak,” ucapku menunduk, tidak berani menatap langsung ke mata Pak Reindra.Pak Reindra menghembuskan napas sambil menyenderkan setengah tubuhnya ke kursi.“Tentu saja saya mengizinkan. Saya tidak berhak melarang suami istri untuk bertemu, apalagi di luar jam kerja. Tetapi kamu harus kembali sebelum jam empat sore, supaya kita tidak kemalaman saat pulang ke Jakarta
Masih dilanda kebingungan, aku melangkah ke ruang tamu beriringan dengan Maura dan Zidan. Melihat Pak Darmawan dan Bu Alya tengah duduk melingkar di sofa, aku hanya bisa berdiri mematung. Perasaanku menjadi campur aduk saat tatapan mataku terkunci dengan sorot mata Mas Reindra. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pria itu seolah-olah ingin mengirimkan pesan kepadaku melalui tatapan matanya. Dan entah mengapa aku bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Aku tahu Mas Reindra ingin kejutan darinya bisa membuatku bahagia, bukan malah gugup seperti ini. “Arista, akhirnya kamu datang juga. Pak Darmawan dan Bu Alya sudah menunggu dari tadi,” tegur Ibu. Dengan menepis rasa canggung, aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Pak Darmawan dan Bu Alya. “Pak Darmawan, Bu Alya, maaf saya tidak menyambut Anda dan malah pergi ke luar rumah,” kataku tidak enak hati. “Tidak apa-apa, Arista. Ini bukan salahmu, karena kami datang mendadak tanpa pemberitahuan,” jawab Pak Darmawan sembari
Aku mendesak Mas Reindra untuk memberitahukan kejutan apa yang dimaksud olehnya. Namun, ia tidak mau mengatakan apa-apa dengan alasan belum tiba waktunya.Sempat aku berpikir bahwa dia akan menyusul aku ke Jogja. Namun, hal itu sepertinya mustahil karena Mas Reindra masih berada di Sulawesi. Lagi pula setiap kali dia melakukan perjalanan di luar urusan bisnis, dia pasti akan mengajak Maura. Padahal saat ini, Maura sedang menginap selama satu minggu di rumah Pak Darmawan.Usai menelepon Mas Reindra, aku pun mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Aku melihat sebentar ke arah koper yang akan kubawa ke Jogja besok pagi. Akhirnya, aku akan bertemu dengan putra kecilku setelah berbulan-bulan kami tidak bertemu. Meski hanya tiga hari, aku akan berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin.Tak terasa, aku pun terlelap dalam tidur hingga alarm di ponselku berbunyi. Seperti mesin otomatis, kelopak mataku langsung terbuka lebar. Lantaran aku tidak sabar untuk melepas rindu kepada p
Detik ini juga aku mengalami dilema yang berat karena permintaan Mas Yoga. Aku tahu dia sedang membutuhkan pekerjaan untuk menyambung biaya hidup. Namun, di PT. Sejahtera sedang tidak ada lowongan pekerjaan, kecuali di cabang baru yang berlokasi di Sulawesi.Sedangkan untuk Ibu, kemungkinan besar Beliau tidak akan mau menerima Mas Yoga karena terlanjur membenci lelaki itu. Siapa yang tidak akan antipati dengan seorang pencuri dan pembohong seperti Mas Yoga. Jangankan menjadi pegawainya, bertemu Mas Yoga saja Ibu pasti sudah enggan.“Rista, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak mau membantu aku? Kalau kamu masih dendam padaku, paling tidak ingatlah Zidan dan ayahku. Gara-gara kita berpisah, ayahku kepikiran dan sering jatuh sakit. Sebagai anak tertua, aku semestinya bertanggung jawab untuk membiayai pengobatan ayahku,” ungkap Mas Yoga.Tanpa sadar, aku menyentuh pelipisku sendiri karena ikut pusing memikirkan masalah Mas Yoga.“Iya, aku sudah mengetahuinya dari Dian. Sekitar dua bulan
Kini, aku melewati hari demi hari sebagai karyawan PT. Sejahtera. Tak terasa hampir dua bulan lamanya aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Mas Reindra. Bukan jauh dalam arti yang sebenarnya, tetapi kami sengaja tidak bertemu kecuali untuk urusan pekerjaan. Memang begitulah komitmen yang harus kami jalani sekarang. Walaupun secara fisik tidak bersama, kami masih berkomunikasi aktif lewat telepon untuk mengetahui kegiatan masing-masing.Terkadang di hari Minggu, Maura minta ditemani olehku untuk berbelanja atau sekadar bermain di mall, tetapi Mas Reindra tidak pernah ikut. Dia memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti berolah raga, bersepeda, atau mengurusi ikan peliharaannya. Akhir-akhir ini, dia memang memiliki hobi baru, yaitu mengoleksi berbagai jenis ikan laut di akuarium. Katanya dengan melihat ikan dia bisa sedikit terhibur saat merindukan aku.Melalui informasi yang diberikan Pak Ridwan, proses di pengadilan berjalan dengan lancar dan hampir mencapai tahap akhir. Selama
“Mas, aku sedang serius kamu malah bercanda,” ucapku berdecak sebal. Mas Reindra hanya terkekeh sambil memelukku kembali.“Siapa bilang aku bercanda? Aku bisa berubah menjadi penculik jika itu menyangkut kamu,” katanya memasang ekspresi serius.“Sudah, jangan merayuku lagi. Kita pulang sekarang, Mas.”Buru-buru aku melepaskan diri dari Mas Reindra sambil merapikan baju dan rambutku yang berantakan. Kemudian, aku berpindah dari kursi belakang menuju ke depan. Beban yang ada di pundakku serasa terangkat, karena kami berdua mencapai kata sepakat.Tak sampai sepuluh menit, kami telah sampai di villa. Sebelum keluar dari mobil, aku pun bercermin di kaca spion. Aku ingin mengecek sekiranya ada tanda merah atau bekas yang ditinggalkan Mas Reindra. Bila memang ada, aku harus menutupinya agar tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di villa.“Tenang saja, Sayang, aku tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bibirmu yang sedikit bengkak,” ucap Mas Reindra dengan wajah tanpa dosa.Aku mencebik
Mas Reindra terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sungguh cemas dia akan gelap mata dan mengajakku ke tempat yang berbahaya. Namun, aku segera menepis pikiran itu karena aku tahu bahwa Mas Reindra adalah orang yang bijak dan dewasa. Tidak mungkin ia melakukan sesuatu yang membahayakan aku dan dirinya sendiri. Apalagi, dia masih punya tanggung-jawab untuk mendidik dan membesarkan Maura.Mas Reindra menghentikan mobilnya di sebuah kawasan mirip hutan kecil. Tidak ada satu kendaraan pun yang lewat di lokasi itu, sehingga suasana di sekitar kami sangat sepi. Meski demikian, aku tahu lokasi ini dekat dengan villa tempat kami menginap.“Mas, untuk apa kita berhenti di sini? Kita harus pulang karena ini hampir tengah malam. Bagaimana jika Pak Darmawan dan Bu Alya tahu kita masih berduaan di luar?” tanyaku gugup.Mas Reindra tidak menjawab, tetapi ia malah memiringkan wajahnya untuk menatapku. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh pada sinar matanya.“Kamu selalu saja mencema
Membaca pesan itu, debaran jantungku jadi tak menentu. Aku merasa was-was untuk menemui dan mendengarkan apa yang dikatakan Mas Reindra. Jujur, aku takut bila Pak Darmawan juga meminta Mas Reindra untuk mengakhiri hubungan kami.Untuk meredakan rasa gelisah yang membuncah, aku berbaring sambil menunggu jam sepuluh tiba. Tiba-tiba aku teringat pada ibu kandungku dan juga mantan ayah mertuaku. Aku baru menyadari bahwa pernikahan dan perceraian selalu melibatkan orang tua. Jika anak mereka bermasalah, maka orang tua yang akan terkena imbasnya. Pantas saja Pak Darmawan dan Bu Alya sangat menaruh perhatian kepada pasangan hidup Mas Reindra. Terlebih dari pengalamanku yang pernah gagal berumah tangga, mungkin mereka akan semakin meragukan karakterku.Memikirkan semua ini membuat hatiku serasa ditusuk oleh duri-duri tajam. Gara-gara masalah rumah tanggaku, banyak orang tua yang terlibat di dalamnya. Padahal semestinya di usia senja, mereka bisa hidup dengan tenang tanpa harus terbebani oleh
Dengan menerima arloji tersebut, aku berhasil menyelesaikan tantangan terakhir. Tidak ada yang berani berkomentar mengenai aku dan Mas Reindra, khususnya saat aku mengembalikan arloji itu ke tangan pemiliknya. Tanpa bicara sekalipun, mereka pasti sudah mengetahui bahwa aku bukanlah sekadar bawahan untuk Mas Reindra. Mana mungkin seorang pria yang memiliki jabatan tinggi mau memberikan barang pribadinya kepada wanita yang bukan siapa-siapa.Permainan pun berlanjut satu putaran lagi dan aku-lah yang bertugas memutar botol. Ketika botol itu berhenti, aku terperanjat karena Mas Reindra yang terpilih. Seolah-olah benang takdir selalu mengikat kami berdua.Aku pun merasakan suasana di sekitarku mendadak tegang. Sepertinya semua menahan napas, termasuk diriku sendiri. Entah aku harus bagaimana sekarang, karena aku yang harus memberikan pertanyaan kepada Mas Reindra. Seketika mulutku terasa kering, sehingga aku harus menelan ludah beberapa kali.“Wah, Bapak baru datang langsung dapat giliran.
Seperti orang yang mengalami hipnosis, aku terdiam tanpa berucap apa-apa. Serangan telak yang aku terima dari Bu Alya membuat daya pikirku seakan melemah. Rasanya aku bagai terhantam oleh palu gada dan terjebak ke dalam lapisan kabut yang tebal.Tak hanya gagal berpikir, seluruh sarafku juga serasa sulit untuk digerakkan. Aku pun mematung layaknya orang yang baru saja terkena kutuk. Kesadaranku baru kembali saat suara Bu Alya menggema di telingaku.“Arista, saat ini Pak Darmawan juga sedang bicara dengan Reindra. Kami ingin meminta pengertian dari kalian berdua. Sebelum hubungan kalian bertambah dalam, lebih baik berpisah sekarang. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk saling melupakan,” kata Bu Alya berusaha mempertahankan nada suaranya. Terlihat jelas bahwa dia tak ingin mengumbar emosi yang berlebihan di hadapanku.Entah dari mana sumbernya, mendadak setitik keberanian bangkit dari dalam diriku. Aku merasa perlu membela diri dan mengatakan kebenaran kepada Bu Alya mengenai kondisik