Home / Pernikahan / Ketika Suami Tak Lagi Peduli / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Ketika Suami Tak Lagi Peduli: Chapter 31 - Chapter 40

123 Chapters

Membungkam Benalu di Keluargaku

Dian, kata-katamu tidak sopan! Tahu apa kamu soal rumah tanggaku? Jangan asal menuduh kalau kamu tidak tahu apa yang terjadi," sentakku tersulut emosi. "Tapi aku kenal Kak Yoga lebih lama dari Mbak Rista. Mas Yoga itu selalu menjaga harga diri," kilah Dian."Kamu pikir manusia tidak bisa berubah? Kalau kamu mau bukti aku merongrong kakakmu atau tidak, tanyakan saja pada Mas Yoga. Dan tanyakan sekalian apa dia pernah meminjam uang kepada orang lain."Daripada sibuk membela diri, lebih baik aku menantang Dian untuk bicara dengan kakaknya. Apabila nantinya aku terbukti tidak bersalah, dia pasti akan malu sendiri. Dian kembali menanggapi perkataanku tetapi kini dengan nada yang lebih rendah. "Andaikata benar Kak Yoga sampai nekat berbuat begitu, pasti karena desakan kebutuhan. Mbak Rista harusnya bantu Kak Yoga dong. Kerja apa kek gitu, jangan diam saja di rumah. Istri zaman sekarang harus bisa cari duit juga, Mbak, jangan cuma minta uang terus kepada suami."Lidah anak ini benar-benar
Read more

Bertemu Atasanku

Tanpa menghiraukan intimidasi yang diberikan Mas Yoga, aku memeluk Zidan. Aku sangat menyayangi putra semata wayangku ini. Namun aku sadar bahwa rasa sayang saja tidak cukup. Apabila aku terus berada di rumah, bagaimana aku bisa memberikan makanan bergizi dan pendidikan yang bagus untuk Zidan? Tidak, aku tidak boleh menyerah sebelum bertanding. Untuk sementara waktu, aku harus belajar mengesampingkan perasaanku. "Kita ke rumah Bu Siti sekarang, Mas," ujarku mantap. "Kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini?" "Iya, aku yakin," jawabku berjalan menuju pintu. Melihat pendirianku yang tidak bisa lagi digoyahkan, Mas Yoga akhirnya menyerah. Ia pun mengantarkan aku ke rumah Bu Siti dengan motornya. "Bu, titip Zidan ya. Ini untuk makan siang dan makan malam Zidan," ucapku menyerahkan tas besar berisi makanan dan camilan. Aku sengaja bangun di saat subuh untuk memasak makanan bagi Zidan. Aku harus menyiapkan semua keperluan putraku agar Bu Siti tidak kerepotan. "Iya, Rista. Jangan khaw
Read more

Ada Apa dengan Zidan

Begitu pintu lift terbuka, Pak Yanuar mendahului aku keluar dari lift. Aku mengekor dari belakang hingga sampai di sebuah ruangan dengan pintu berwarna putih. Dengan sekali dorong, Pak Yanuar berhasil membuka pintu yang terlihat berat itu.Ketika kami masuk, sontak semua mata memandang ke arah kami. Dan tentu saja yang paling diperhatikan adalah aku."Selamat pagi, Pak," seru beberapa orang staf."Pagi," jawab Pak Yanuar tergesa-gesa.Dari ekor mata, kulirik sekilas wajah para staf yang akan menjadi anak buahku. Mereka rata-rata masih muda dan berpembawaan tenang. Barangkali karena ini belum terhitung akhir bulan, sehingga mereka tidak terlalu tegang. Berbeda bila nanti menuju ke akhir bulan yang pastinya penuh dengan deadline yang mencekik."Saya mohon perhatian sebentar," ujar Pak Yanuar mendadak berhenti di tengah ruangan. Untung saja aku menjaga jarak dengannya. Bila tidak mungkin aku akan menabrak punggung Pak Yanuar.Para staf yang berjumlah tujuh orang itu langsung berdiri di m
Read more

Turuti Aku

“Dav, sebentar ya aku angkat telpon dulu,” ucapku pada Davina.“Iya, Bu, silakan.”Sebenarnya aku merasa tak enak hati karena harus menyela pembicaraan Davina. Namun aku tidak bisa mengabaikan telpon dari Bu Siti. Aku tidak mau menyesal di kemudian hari karena lebih mementingkan pekerjaan daripada putraku sendiri.Aku berjalan menjauh dari meja menuju ke sudut ruangan. Di sana ada rak tinggi yang sepertinya berisi dokumen-dokumen lama. Aku pun memilih tempat itu supaya percakapanku tidak didengarkan oleh staf yang lain.“Halo, Bu, maaf saya lama mengangkat telpon. Ada apa dengan Zidan? Apa dia sakit?” tanyaku was-was.“Justru Ibu yang minta maaf karena mengganggumu, Rista. Zidan sedang rewel.”Samar-samar kudengar suara tangisan Zidan dari balik telpon.“Rewel kenapa, Bu?”“Ibu sedang beli minyak goreng di warung sambil gendong Zidan. Dia nunjuk-nunjuk biskuit cokelat terus nangis. Boleh tidak Ibu membelikannya? Ibu takut kamu marah kalau Zidan jajan sembarangan,” tutur Bu Siti. Nada
Read more

Tidak Ada Simpati

Dadaku serasa tertusuk duri ketika mendengar ucapan Mas Yoga. Istri mana yang tidak akan terluka mendengar suaminya memberikan ultimatum sekeras itu. Apakah aku yang sudah keterlaluan kepada Mas Yoga sampai dia tersulut emosi?Aku sendiri dihadapkan pada pilihan yang sulit. Pekerjaan ini mendesak untuk diselesaikan tetapi aku juga tidak bisa membiarkan Mas Yoga menunggu.“Rista, cepat putuskan!”“Aku pulang sendiri, Mas. Nanti aku naik ojek online. Tolong jemput Zidan di rumah Bu Siti,” jawabku tanpa ragu.Aku tidak ingin terbebani lagi oleh gertakan suamiku. Lebih baik pulang sendiri daripada makan hati. Lagipula tidak lama lagi aku juga harus terbiasa hidup mandiri tanpa kehadiran Mas Yoga.“Ya sudah, aku pulang sekarang.”Terdengar suara sambungan telpon yang dimatikan secara sepihak. Kembali hati ini berdenyut nyeri karena kelakukan suamiku. Di hari pertama, dia sudah uring-uringan apalagi nanti bila aku harus lembur sampai malam.Kucoba mengembalikan mood yang buruk dengan berkon
Read more

Mesra Jika Ada Maunya

Walaupun tubuhku lelah, aku membantu Mas Yoga mengemasi barang-barangnya. Tak kusangka waktu kebersamaan dengan suamiku hanya tersisa dua hari lagi.Mengingat hal ini, aku merasa sedih. Hubungan kami berdua akhir-akhir ini memang memburuk. Terlebih hatiku juga seringkali tersakiti oleh sikap dan perkataan Mas Yoga. Namun bukan berarti aku ingin hidup terpisah dari suamiku. Bagaimanapun kami tetaplah pasangan suami istri yang seharusnya tinggal satu atap. "Mas, coba dicek apa yang masih kurang?" tanyaku kepada Mas Yoga.Ia terlihat kurang peduli dengan barang yang akan dibawanya. Matanya malah terpaku pada layar laptop untuk membaca berita."Sebentar lagi tanggung.""Mas, aku sudah ngantuk, mau tidur. Cek dulu kopermu," desakku kepadanya.Sambil mendengkus, Mas Yoga beranjak dari posisinya yang duduk bersila di karpet. Dia berdiri lantas memeriksa isi kopernya."Sudah cukup. Yang di rumah sisakan empat atau lima baju saja," ujarnya menarik ritsleting koper itu hingga tertutup rapat."
Read more

Kedatangan Bos Besar

Tentu saja aku kelabakan mendengar perintah dari Pak Yanuar. Sekarang aku mengerti mengapa rata-rata karyawan disini harus berjalan cepat. Ternyata sewaktu-waktu bisa saja ada pekerjaan dadakan yang harus ditangani dengan segera. Aku bergegas mengambil laporan yang sudah kucetak kemarin. Kemudian aku mengetuk pintu ruangan Pak Yanuar walaupun pintu tersebut dibiarkan terbuka. Itu sebagai pertanda sopan santunku terhadap atasan. "Permisi, Pak, ini laporannya," ucapku memberitahu. "Letakkan saja di meja. Jangan lupa minta Elden untuk membantumu mengerjakan laporan piutang." "Baik, Pak." Selepas keluar dari ruangan manajer, aku menuju ke meja Elden. Aku memberitahukan kepadanya perihal instruksi yang diberikan oleh Pak Yanuar. Ekspresi Elden nampak terkejut. Ia langsung mengambil setumpuk file dan flash disk untuk bekerja di mejaku. Waktu yang berlalu sampai tak terasa karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Tak dapat kusembunyikan rasa tegang yang juga menyertai setiap tindak
Read more

Menyelamatkan Gadis Kecil

Sungguh aku merasa terkejut dengan pertanyaan Pak Reindra yang tanpa basa-basi. Nampaknya ia sudah membaca profil beserta daftar riwayat pekerjaanku secara lengkap. Dari matanya yang menyorot tanpa jeda, aku bisa merasakan bahwa dia sedang meragukan kemampuanku. Wajar memang jika Pak Reindra berpikir demikian mengingat jabatan supervisor merupakan kedudukan yang cukup penting. Sebagai atasan, pastilah dia ingin memastikan para staf finance dipimpin oleh orang yang kompeten. "Iya, Pak, setelah menikah saya menjadi ibu rumah tangga," jawabku dengan suara nyaris bergetar. Bukan maksudku untuk cengeng atau terlalu sensitif. Hanya saja perkataan yang dilemparkan Pak Reindra telah meruntuhkan benteng kepercayaan diri yang baru saja kubangun. "Ini hari keduamu bekerja, apakah kamu bisa menyesuaikan diri?" lanjut Pak Reindra. Belum sempat aku menjawab Pak Yanuar sudah menyahut lebih dulu. "Bapak bisa melihat hasil kerja Arista. Kemarin dia saya beri tugas untuk melakukan revisi terhada
Read more

Perpisahan dengan Suamiku

Tanpa pikir panjang, aku berlari dan menyambar tubuh mungil gadis kecil itu. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam diriku. Aku membayangkan jika Zidan yang berada dalam posisi bahaya, aku juga akan mempertaruhkan nyawaku demi dia. Karena gerakanku yang tiba-tiba, aku hilang keseimbangan. Aku tersandung kemudian jatuh dalam posisi duduk. Namun aku bersyukur karena gadis kecil itu baik-baik saja. Rasa takut bercampur terkejut membuat gadis kecil itu gemetaran dalam dekapanku. Sementara pengasuhnya segera berlari menghampiri kami. Wajahnya nampak pucat pasi melihat kejadian yang hampir mencelakakan anak asuhnya. "Ya ampun, Maura, untung saja kamu masih disayang Tuhan!" ucapnya sambil mengelus dada. Ternyata gadis kecil ini bernama Maura. Nama yang sangat cantik sesuai dengan wajahnya. "Makasih ya Bu," lanjut pengasuh itu membantuku berdiri. "Sama-sama, Mbak," jawabku melepaskan tanganku dari Maura. Namun Maura malah kembali memelukku sambil mendongakkan kepala. "Makasih, Tante," u
Read more

Atasan yang Dingin

"Rista, kok jalan kaki? Ke mana Yoga?" tanya Bu Siti melihatku menggendong Zidan dengan berjalan kaki."Mas Yoga sudah berangkat ke Sukabumi, Bu," jawabku seraya menyerahkan tas yang berisi makanan Zidan."Kepergian Yoga dipercepat?""Iya, Bu, dia harus berangkat hari ini."Zidan segera kupindahkan ke gendongan Bu Siti. Dia tidak lagi rewel atau merengek saat harus berpisah dariku. Mungkin karena Zidan sudah terbiasa melihatku pergi meninggalkannya untuk bekerja."Lalu kamu naik apa ke kantor, Rista?""Naik motor sendiri, Bu. Saya bisa.""Ya sudah, hati-hati, Rista. Jangan pulang terlalu malam dari kantor. Sekarang sedang marak tindak kejahatan.""Pasti, Bu, saya usahakan menjemput Zidan sebelum jam tujuh."Kukecup pipi putraku sebanyak dua kali lantas berpamitan kepada Bu Siti.Pagi ini, aku mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Beruntung jarak kantor dengan kontrakanku tidak terlampau jauh. Karena cukup lama aku tidak berkendara sendiri, sehingga aku harus lebih berhati-hati. A
Read more
PREV
123456
...
13
DMCA.com Protection Status