Jangan lupa tinggalkan komentar untuk mendukung author.
Sungguh aku merasa terkejut dengan pertanyaan Pak Reindra yang tanpa basa-basi. Nampaknya ia sudah membaca profil beserta daftar riwayat pekerjaanku secara lengkap. Dari matanya yang menyorot tanpa jeda, aku bisa merasakan bahwa dia sedang meragukan kemampuanku. Wajar memang jika Pak Reindra berpikir demikian mengingat jabatan supervisor merupakan kedudukan yang cukup penting. Sebagai atasan, pastilah dia ingin memastikan para staf finance dipimpin oleh orang yang kompeten. "Iya, Pak, setelah menikah saya menjadi ibu rumah tangga," jawabku dengan suara nyaris bergetar. Bukan maksudku untuk cengeng atau terlalu sensitif. Hanya saja perkataan yang dilemparkan Pak Reindra telah meruntuhkan benteng kepercayaan diri yang baru saja kubangun. "Ini hari keduamu bekerja, apakah kamu bisa menyesuaikan diri?" lanjut Pak Reindra. Belum sempat aku menjawab Pak Yanuar sudah menyahut lebih dulu. "Bapak bisa melihat hasil kerja Arista. Kemarin dia saya beri tugas untuk melakukan revisi terhada
Tanpa pikir panjang, aku berlari dan menyambar tubuh mungil gadis kecil itu. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam diriku. Aku membayangkan jika Zidan yang berada dalam posisi bahaya, aku juga akan mempertaruhkan nyawaku demi dia. Karena gerakanku yang tiba-tiba, aku hilang keseimbangan. Aku tersandung kemudian jatuh dalam posisi duduk. Namun aku bersyukur karena gadis kecil itu baik-baik saja. Rasa takut bercampur terkejut membuat gadis kecil itu gemetaran dalam dekapanku. Sementara pengasuhnya segera berlari menghampiri kami. Wajahnya nampak pucat pasi melihat kejadian yang hampir mencelakakan anak asuhnya. "Ya ampun, Maura, untung saja kamu masih disayang Tuhan!" ucapnya sambil mengelus dada. Ternyata gadis kecil ini bernama Maura. Nama yang sangat cantik sesuai dengan wajahnya. "Makasih ya Bu," lanjut pengasuh itu membantuku berdiri. "Sama-sama, Mbak," jawabku melepaskan tanganku dari Maura. Namun Maura malah kembali memelukku sambil mendongakkan kepala. "Makasih, Tante," u
"Rista, kok jalan kaki? Ke mana Yoga?" tanya Bu Siti melihatku menggendong Zidan dengan berjalan kaki."Mas Yoga sudah berangkat ke Sukabumi, Bu," jawabku seraya menyerahkan tas yang berisi makanan Zidan."Kepergian Yoga dipercepat?""Iya, Bu, dia harus berangkat hari ini."Zidan segera kupindahkan ke gendongan Bu Siti. Dia tidak lagi rewel atau merengek saat harus berpisah dariku. Mungkin karena Zidan sudah terbiasa melihatku pergi meninggalkannya untuk bekerja."Lalu kamu naik apa ke kantor, Rista?""Naik motor sendiri, Bu. Saya bisa.""Ya sudah, hati-hati, Rista. Jangan pulang terlalu malam dari kantor. Sekarang sedang marak tindak kejahatan.""Pasti, Bu, saya usahakan menjemput Zidan sebelum jam tujuh."Kukecup pipi putraku sebanyak dua kali lantas berpamitan kepada Bu Siti.Pagi ini, aku mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Beruntung jarak kantor dengan kontrakanku tidak terlampau jauh. Karena cukup lama aku tidak berkendara sendiri, sehingga aku harus lebih berhati-hati. A
Bingung, itulah yang terlintas di pikiranku. Aku tidak tahu Pak Reindra berterima kasih atas dasar apa. Karena tidak ada prestasi besar yang aku capai di awal masa kerjaku."Maaf, Bapak berterima kasih untuk apa?" tanyaku memberanikan diri. Pak Reindra menatapku dengan kedua mata elangnya yang menawan sekaligus penuh misteri."Karena kamu sudah menolong Maura dari kecelakaan. Maura adalah putriku.”Aku menahan napas ketika mendengar ucapan Pak Reindra. Ingatakanku langsung terdampar kepada gadis kecil berwajah imut yang kutemui kemarin. Jadi Maura adalah anak dari Pak Reindra? Kenapa kebetulan seperti ini bisa terjadi?“Saya…tidak tahu kalau Maura anak Bapak,” jawabku tidak enak hati. Aku memberikan penjelasan itu untuk menghindari kesalahpahaman. Aku tidak mau dianggap mencari muka demi menarik simpati Pak Reindra.“Itu artinya kamu menolong Maura dengan tulus. Besok jam berapa kamu berangkat dengan Elden ke Supermarket Serba Murah?” tanya Pak Reindra.“Jam sepuluh, Pak.”“Bagus, be
Esok harinya, aku berangkat bersama Elden ke supermarket. Aku tidak memikirkan lagi soal uang lima ratus ribu yang diberikan Mas Yoga. Saat ini, aku harus berkonsentrasi penuh untuk menjalankan tugas dari atasanku."Akan saya ajukan pembayaran lima puluh persen. Sisanya paling lambat bulan Juni, Bu," janji Pak Helmi, sang manajer keuangan Supermarket Serba Murah."Baik, terima kasih, Pak, akan saya tunggu kabar baiknya," jawabku bersalaman dengannya.Aku pun keluar dari kantor dengan perasaan lega. Meskipun belum terbayar sepenuhnya paling tidak ada sedikit pelunasan.Selesai dengan tugas pertama, aku lanjut pergi aku pergi ke Karya Market. Di sana aku ditemui oleh supervisornya yang berusia empat puluhan, namanya Bu Susan. Sikapnya ketus dan nada bicaranya angkuh, berbeda dengan Pak Helmi. Nampaknya dia meremehkan aku sebagai karyawan baru di PT. Sejahtera. Lebih parahnya lagi, dia tidak mau menjanjikan pembayaran dalam waktu dekat. Namun dalam hal ini, aku tetap berusaha sabar demi
Saat bangun tidur, aku masih merasa gundah memikirkan Mas Yoga. Kucoba mengecek ponselku untuk melihat apakah ada pesan balasan. Namun ternyata tidak ada. Dengan memendam rasa kecewa, aku pun berangkat ke kantor seperti biasa. Sekitar jam sepuluh, barulah aku mendapat pesan dari nomer yang tak dikenal. Aku mengkerutkan kening ketika membaca isi pesan tersebut.[Rista, ini aku Yoga. Aku pakai nomer teman kerjaki. Kemarin handphoneku jatuh di jalan dan rusak. Aku mau membawanya ke counter hari ini. Jadi untuk sementara aku tidak bisa menelponmu.]Aku tercengang melihat pesan yang ditinggalkan Mas Yoga. Ternyata dia sedang mengalami musibah, pantas saja semalam ponselnya tidak bisa dihubungi. Aku menyesal karena terlalu berpikiran buruk dan menuduhnya sembarangan.[Iya, Mas. Nanti kabari aku kalau handphonemu sudah selesai diperbaiki]jawabku singkat.Usai meletakkan ponsel, aku refleks menyentuh dahi. Jika begini sudah tentu aku tidak bisa berdiskusi dengannya soal kepergianku ke Sukab
"Halo, Rista, tumben kamu menelpon Ibu malam-malam?" tanya Ibu keheranan. Untung saja Beliau belum tertidur padahal ini hampir jam sembilan malam."Maaf, kalau aku mengganggu Ibu. Aku sedang bingung.""Bingung soal apa? Apa Yoga membuat ulah lagi?" tanya Ibu dengan suara tinggi."Bukan, Bu, Mas Yoga sudah berangkat ke Sukabumi. Ini tentang pekerjaanku. Sabtu depan aku diajak oleh atasanku survey ke Sukabumi, karena akan ada acara keakraban antar karyawan. Aku bingung siapa yang akan menjaga Zidan, terutama saat aku harus menginap di Sukabumi selama tiga hari.""Apa kamu tidak bisa minta izin kepada bosmu supaya tidak mengikuti acara itu?""Tidak bisa, Bu. Aku dipilih menjadi ketua panitia.""Kamu sudah meminta pendapat si Yoga? Kamu kerja begini kan gara-gara dia tidak bertanggung jawab sebagai suami," ketus Ibu."Ponsel Mas Yoga sedang rusak, Bu. Lagipula belum tentu dia bisa memberikan jalan keluar," keluhku.Bisa kudengar helaan napas berat dari seberang telepon. Aku jadi menyesal
Hari yang kutakuti itu akhirnya tiba. Di depan gerbang, aku melihat Ibu datang bersama dengan Martha, karyawan kepercayaannya. Sungguh hatiku berdenyut nyeri setiap kali mengingat Zidan akan berpisah dariku. Namun aku sadar bahwa aku tak punya pilihan lain. Ini adalah keputusan terbaik yang bisa kuambil. Memang lebih baik putraku diasuh oleh neneknya daripada terlantar di rumah ini. “Zidan, anak ganteng,” sapa Ibu langsung mengelus pipi Zidan. Putra kecilku itu tersenyum sembari mengulurkan tangannya untuk meminta gendong. Meski mereka lama tidak berjumpa, nampaknya Zidan sangat mengenali wajah neneknya. “Nanti minta gendongnya, Zidan. Eyang masih capek dari perjalanan,” ucapku melarang Zidan. “Mbak, Rista, apa kabar?” tanya Martha menyapaku. “Baik, Mar, ayo masuk,” ajakku sambil menggendong Zidan. Kami bertiga masuk ke kontrakan petak milikku. Aku mempersilakan Ibu dan Martha duduk di kursi ruang tamu, lalu kuletakkan Zidan di keretanya. Setelah itu, aku ke dapur untuk membuatkan