Share

Atasan yang Dingin

Penulis: Risca Amelia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Rista, kok jalan kaki? Ke mana Yoga?" tanya Bu Siti melihatku menggendong Zidan dengan berjalan kaki.

"Mas Yoga sudah berangkat ke Sukabumi, Bu," jawabku seraya menyerahkan tas yang berisi makanan Zidan.

"Kepergian Yoga dipercepat?"

"Iya, Bu, dia harus berangkat hari ini."

Zidan segera kupindahkan ke gendongan Bu Siti. Dia tidak lagi rewel atau merengek saat harus berpisah dariku. Mungkin karena Zidan sudah terbiasa melihatku pergi meninggalkannya untuk bekerja.

"Lalu kamu naik apa ke kantor, Rista?"

"Naik motor sendiri, Bu. Saya bisa."

"Ya sudah, hati-hati, Rista. Jangan pulang terlalu malam dari kantor. Sekarang sedang marak tindak kejahatan."

"Pasti, Bu, saya usahakan menjemput Zidan sebelum jam tujuh."

Kukecup pipi putraku sebanyak dua kali lantas berpamitan kepada Bu Siti.

Pagi ini, aku mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Beruntung jarak kantor dengan kontrakanku tidak terlampau jauh. Karena cukup lama aku tidak berkendara sendiri, sehingga aku harus lebih berhati-hati. A
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Erdian Septiana
makin kesini makin seru ceritanya....update lagi kak...yang banyak.......️
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Lima Ratus Ribu Sebulan

    Bingung, itulah yang terlintas di pikiranku. Aku tidak tahu Pak Reindra berterima kasih atas dasar apa. Karena tidak ada prestasi besar yang aku capai di awal masa kerjaku."Maaf, Bapak berterima kasih untuk apa?" tanyaku memberanikan diri. Pak Reindra menatapku dengan kedua mata elangnya yang menawan sekaligus penuh misteri."Karena kamu sudah menolong Maura dari kecelakaan. Maura adalah putriku.”Aku menahan napas ketika mendengar ucapan Pak Reindra. Ingatakanku langsung terdampar kepada gadis kecil berwajah imut yang kutemui kemarin. Jadi Maura adalah anak dari Pak Reindra? Kenapa kebetulan seperti ini bisa terjadi?“Saya…tidak tahu kalau Maura anak Bapak,” jawabku tidak enak hati. Aku memberikan penjelasan itu untuk menghindari kesalahpahaman. Aku tidak mau dianggap mencari muka demi menarik simpati Pak Reindra.“Itu artinya kamu menolong Maura dengan tulus. Besok jam berapa kamu berangkat dengan Elden ke Supermarket Serba Murah?” tanya Pak Reindra.“Jam sepuluh, Pak.”“Bagus, be

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Ke mana Suamiku

    Esok harinya, aku berangkat bersama Elden ke supermarket. Aku tidak memikirkan lagi soal uang lima ratus ribu yang diberikan Mas Yoga. Saat ini, aku harus berkonsentrasi penuh untuk menjalankan tugas dari atasanku."Akan saya ajukan pembayaran lima puluh persen. Sisanya paling lambat bulan Juni, Bu," janji Pak Helmi, sang manajer keuangan Supermarket Serba Murah."Baik, terima kasih, Pak, akan saya tunggu kabar baiknya," jawabku bersalaman dengannya.Aku pun keluar dari kantor dengan perasaan lega. Meskipun belum terbayar sepenuhnya paling tidak ada sedikit pelunasan.Selesai dengan tugas pertama, aku lanjut pergi aku pergi ke Karya Market. Di sana aku ditemui oleh supervisornya yang berusia empat puluhan, namanya Bu Susan. Sikapnya ketus dan nada bicaranya angkuh, berbeda dengan Pak Helmi. Nampaknya dia meremehkan aku sebagai karyawan baru di PT. Sejahtera. Lebih parahnya lagi, dia tidak mau menjanjikan pembayaran dalam waktu dekat. Namun dalam hal ini, aku tetap berusaha sabar demi

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Hadiah Manis dari Maura

    Saat bangun tidur, aku masih merasa gundah memikirkan Mas Yoga. Kucoba mengecek ponselku untuk melihat apakah ada pesan balasan. Namun ternyata tidak ada. Dengan memendam rasa kecewa, aku pun berangkat ke kantor seperti biasa. Sekitar jam sepuluh, barulah aku mendapat pesan dari nomer yang tak dikenal. Aku mengkerutkan kening ketika membaca isi pesan tersebut.[Rista, ini aku Yoga. Aku pakai nomer teman kerjaki. Kemarin handphoneku jatuh di jalan dan rusak. Aku mau membawanya ke counter hari ini. Jadi untuk sementara aku tidak bisa menelponmu.]Aku tercengang melihat pesan yang ditinggalkan Mas Yoga. Ternyata dia sedang mengalami musibah, pantas saja semalam ponselnya tidak bisa dihubungi. Aku menyesal karena terlalu berpikiran buruk dan menuduhnya sembarangan.[Iya, Mas. Nanti kabari aku kalau handphonemu sudah selesai diperbaiki]jawabku singkat.Usai meletakkan ponsel, aku refleks menyentuh dahi. Jika begini sudah tentu aku tidak bisa berdiskusi dengannya soal kepergianku ke Sukab

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Haruskah Berpisah dari Putraku

    "Halo, Rista, tumben kamu menelpon Ibu malam-malam?" tanya Ibu keheranan. Untung saja Beliau belum tertidur padahal ini hampir jam sembilan malam."Maaf, kalau aku mengganggu Ibu. Aku sedang bingung.""Bingung soal apa? Apa Yoga membuat ulah lagi?" tanya Ibu dengan suara tinggi."Bukan, Bu, Mas Yoga sudah berangkat ke Sukabumi. Ini tentang pekerjaanku. Sabtu depan aku diajak oleh atasanku survey ke Sukabumi, karena akan ada acara keakraban antar karyawan. Aku bingung siapa yang akan menjaga Zidan, terutama saat aku harus menginap di Sukabumi selama tiga hari.""Apa kamu tidak bisa minta izin kepada bosmu supaya tidak mengikuti acara itu?""Tidak bisa, Bu. Aku dipilih menjadi ketua panitia.""Kamu sudah meminta pendapat si Yoga? Kamu kerja begini kan gara-gara dia tidak bertanggung jawab sebagai suami," ketus Ibu."Ponsel Mas Yoga sedang rusak, Bu. Lagipula belum tentu dia bisa memberikan jalan keluar," keluhku.Bisa kudengar helaan napas berat dari seberang telepon. Aku jadi menyesal

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Akibat Salah Memilih Pasangan

    Hari yang kutakuti itu akhirnya tiba. Di depan gerbang, aku melihat Ibu datang bersama dengan Martha, karyawan kepercayaannya. Sungguh hatiku berdenyut nyeri setiap kali mengingat Zidan akan berpisah dariku. Namun aku sadar bahwa aku tak punya pilihan lain. Ini adalah keputusan terbaik yang bisa kuambil. Memang lebih baik putraku diasuh oleh neneknya daripada terlantar di rumah ini. “Zidan, anak ganteng,” sapa Ibu langsung mengelus pipi Zidan. Putra kecilku itu tersenyum sembari mengulurkan tangannya untuk meminta gendong. Meski mereka lama tidak berjumpa, nampaknya Zidan sangat mengenali wajah neneknya. “Nanti minta gendongnya, Zidan. Eyang masih capek dari perjalanan,” ucapku melarang Zidan. “Mbak, Rista, apa kabar?” tanya Martha menyapaku. “Baik, Mar, ayo masuk,” ajakku sambil menggendong Zidan. Kami bertiga masuk ke kontrakan petak milikku. Aku mempersilakan Ibu dan Martha duduk di kursi ruang tamu, lalu kuletakkan Zidan di keretanya. Setelah itu, aku ke dapur untuk membuatkan

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Tak Sanggup Lagi

    Esok harinya aku masuk kantor dengan wajah yang lesu. Aku tahu bahwa pekerjaanku di kantor hari ini sangat banyak, apalagi Pak Yanuar tidak masuk. Namun, di sisi lain hatiku sedang merana karena berpisah dengan Zidan. Ternyata sebesar ini penderitaan seorang ibu bila harus terpisah jauh dari anaknya. “Bu, tolong periksa laporan saya,” ucap Davina menyodorkan setumpuk file di mejaku. “Oke, letakkan saja, Dav, nanti aku periksa,” jawabku tersadar dari lamunan. “Apa Bu Rista sakit? Wajah Ibu agak pucat,” tanya Davina mengamati wajahku dari dekat. “Aku baik-baik saja, Dav, hanya agak kurang tidur semalam.” Baru saja aku selesai bicara dengan Davina, interkom di mejaku berdering. Aku mengangkat panggilan itu dengan segera, karena aku bisa menebak siapa yang menghubungiku. “Rista, kamu ke kantor saya sekarang. Bawakan saya mutasi rekening koran tiga bulan terakhir dan rekap penjualan per produk.” Terdengar suara tegas Pak Reindra dari balik telepon. “Ba-ik, Pak, saya akan ke sana,” ja

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Malu Setengah Mati

    Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Namun, kala aku membuka mata, yang pertama kali kulihat adalah wajah seorang pria. Alangkah terkejutnya aku saat menyadari siapa sosok pria tersebut.“Pak Reindra….”Suaraku terdengar begitu lemah, lebih mirip gumaman daripada sebuah pernyataan.Pria yang kusebut namanya itu langsung menempelkan punggung tangannya di dahiku. Ekspresi yang tergambar di wajahnya sedikit berbeda, tidak sedatar biasanya.“Baguslah, kamu sudah sadar. Badanku juga tidak demam,” ucap Pak Reindra. Ternyata dia sedang berusaha untuk memeriksa suhu tubuhku.Segera aku menegakkan punggung meski kepalaku masih terasa pening. Saat kesadaranku telah terkumpul, aku baru menyadari bahwa saat ini aku berada di dalam mobil mewah milik atasanku.“Pak, maaf, apa saya tadi pingsan?” tanyaku masih bingung dengan apa yang terjadi.“Apa perlu saya menjawabnya? Jelas-jelas kamu limbung sewaktu mengunci pintu ruangan finance. Untung saja saya masih ada di sana, jika tidak entah siapa

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Ajakan Bos Besar

    Selesai mandi dan meminum obat sakit kepala, aku ingin sekali menghubungi Ibu dan Zidan. Namun melihat waktu yang hampir menunjukkan pukul sebelas malam, aku urung melakukan niatku itu. Mana mungkin aku menelepon mereka pada jam istirahat seperti sekarang. Aku naik ke atas tempat tidur sambil menghembuskan napas pelan. Rasanya begitu sunyi berada di kamar ini sendirian tanpa Zidan dan Mas Yoga. Kadang aku berpikir bahwa aku satu-satunya wanita yang kesepian setelah menikah. Karena setahuku wanita yang sudah menikah selalu disibukkan oleh berbagai kegiatan bersama suami dan anaknya. Aku meletakkan bantal di atas kepala sambil memejamkan mata. Meski aku menangis darah sekalipun, kondisi ini tidak akan berubah. Terlebih sampai detik ini, Mas Yoga tidak memberikan kabar. Padahal bisa saja ia meminjam ponsel temannya sebentar atau menghubungiku lewat telepon kantor. Nampaknya Mas Yoga memang enggan untuk berusaha, karena menganggapku bukanlah prioritas utama dalam hidupnya. Ah, sudahlah,

Bab terbaru

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Cinta Sejati di Waktu yang Tepat (END)

    Masih dilanda kebingungan, aku melangkah ke ruang tamu beriringan dengan Maura dan Zidan. Melihat Pak Darmawan dan Bu Alya tengah duduk melingkar di sofa, aku hanya bisa berdiri mematung. Perasaanku menjadi campur aduk saat tatapan mataku terkunci dengan sorot mata Mas Reindra. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pria itu seolah-olah ingin mengirimkan pesan kepadaku melalui tatapan matanya. Dan entah mengapa aku bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Aku tahu Mas Reindra ingin kejutan darinya bisa membuatku bahagia, bukan malah gugup seperti ini. “Arista, akhirnya kamu datang juga. Pak Darmawan dan Bu Alya sudah menunggu dari tadi,” tegur Ibu. Dengan menepis rasa canggung, aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Pak Darmawan dan Bu Alya. “Pak Darmawan, Bu Alya, maaf saya tidak menyambut Anda dan malah pergi ke luar rumah,” kataku tidak enak hati. “Tidak apa-apa, Arista. Ini bukan salahmu, karena kami datang mendadak tanpa pemberitahuan,” jawab Pak Darmawan sembari

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Berpisah dengan Baik-baik

    Aku mendesak Mas Reindra untuk memberitahukan kejutan apa yang dimaksud olehnya. Namun, ia tidak mau mengatakan apa-apa dengan alasan belum tiba waktunya.Sempat aku berpikir bahwa dia akan menyusul aku ke Jogja. Namun, hal itu sepertinya mustahil karena Mas Reindra masih berada di Sulawesi. Lagi pula setiap kali dia melakukan perjalanan di luar urusan bisnis, dia pasti akan mengajak Maura. Padahal saat ini, Maura sedang menginap selama satu minggu di rumah Pak Darmawan.Usai menelepon Mas Reindra, aku pun mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Aku melihat sebentar ke arah koper yang akan kubawa ke Jogja besok pagi. Akhirnya, aku akan bertemu dengan putra kecilku setelah berbulan-bulan kami tidak bertemu. Meski hanya tiga hari, aku akan berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin.Tak terasa, aku pun terlelap dalam tidur hingga alarm di ponselku berbunyi. Seperti mesin otomatis, kelopak mataku langsung terbuka lebar. Lantaran aku tidak sabar untuk melepas rindu kepada p

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Mantan Suamiku Meminta Pekerjaan

    Detik ini juga aku mengalami dilema yang berat karena permintaan Mas Yoga. Aku tahu dia sedang membutuhkan pekerjaan untuk menyambung biaya hidup. Namun, di PT. Sejahtera sedang tidak ada lowongan pekerjaan, kecuali di cabang baru yang berlokasi di Sulawesi.Sedangkan untuk Ibu, kemungkinan besar Beliau tidak akan mau menerima Mas Yoga karena terlanjur membenci lelaki itu. Siapa yang tidak akan antipati dengan seorang pencuri dan pembohong seperti Mas Yoga. Jangankan menjadi pegawainya, bertemu Mas Yoga saja Ibu pasti sudah enggan.“Rista, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak mau membantu aku? Kalau kamu masih dendam padaku, paling tidak ingatlah Zidan dan ayahku. Gara-gara kita berpisah, ayahku kepikiran dan sering jatuh sakit. Sebagai anak tertua, aku semestinya bertanggung jawab untuk membiayai pengobatan ayahku,” ungkap Mas Yoga.Tanpa sadar, aku menyentuh pelipisku sendiri karena ikut pusing memikirkan masalah Mas Yoga.“Iya, aku sudah mengetahuinya dari Dian. Sekitar dua bulan

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Karma Atas Perselingkuhan

    Kini, aku melewati hari demi hari sebagai karyawan PT. Sejahtera. Tak terasa hampir dua bulan lamanya aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Mas Reindra. Bukan jauh dalam arti yang sebenarnya, tetapi kami sengaja tidak bertemu kecuali untuk urusan pekerjaan. Memang begitulah komitmen yang harus kami jalani sekarang. Walaupun secara fisik tidak bersama, kami masih berkomunikasi aktif lewat telepon untuk mengetahui kegiatan masing-masing.Terkadang di hari Minggu, Maura minta ditemani olehku untuk berbelanja atau sekadar bermain di mall, tetapi Mas Reindra tidak pernah ikut. Dia memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti berolah raga, bersepeda, atau mengurusi ikan peliharaannya. Akhir-akhir ini, dia memang memiliki hobi baru, yaitu mengoleksi berbagai jenis ikan laut di akuarium. Katanya dengan melihat ikan dia bisa sedikit terhibur saat merindukan aku.Melalui informasi yang diberikan Pak Ridwan, proses di pengadilan berjalan dengan lancar dan hampir mencapai tahap akhir. Selama

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Masa Penantian Cinta

    “Mas, aku sedang serius kamu malah bercanda,” ucapku berdecak sebal. Mas Reindra hanya terkekeh sambil memelukku kembali.“Siapa bilang aku bercanda? Aku bisa berubah menjadi penculik jika itu menyangkut kamu,” katanya memasang ekspresi serius.“Sudah, jangan merayuku lagi. Kita pulang sekarang, Mas.”Buru-buru aku melepaskan diri dari Mas Reindra sambil merapikan baju dan rambutku yang berantakan. Kemudian, aku berpindah dari kursi belakang menuju ke depan. Beban yang ada di pundakku serasa terangkat, karena kami berdua mencapai kata sepakat.Tak sampai sepuluh menit, kami telah sampai di villa. Sebelum keluar dari mobil, aku pun bercermin di kaca spion. Aku ingin mengecek sekiranya ada tanda merah atau bekas yang ditinggalkan Mas Reindra. Bila memang ada, aku harus menutupinya agar tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di villa.“Tenang saja, Sayang, aku tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bibirmu yang sedikit bengkak,” ucap Mas Reindra dengan wajah tanpa dosa.Aku mencebik

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Berpisah untuk Bersatu

    Mas Reindra terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sungguh cemas dia akan gelap mata dan mengajakku ke tempat yang berbahaya. Namun, aku segera menepis pikiran itu karena aku tahu bahwa Mas Reindra adalah orang yang bijak dan dewasa. Tidak mungkin ia melakukan sesuatu yang membahayakan aku dan dirinya sendiri. Apalagi, dia masih punya tanggung-jawab untuk mendidik dan membesarkan Maura.Mas Reindra menghentikan mobilnya di sebuah kawasan mirip hutan kecil. Tidak ada satu kendaraan pun yang lewat di lokasi itu, sehingga suasana di sekitar kami sangat sepi. Meski demikian, aku tahu lokasi ini dekat dengan villa tempat kami menginap.“Mas, untuk apa kita berhenti di sini? Kita harus pulang karena ini hampir tengah malam. Bagaimana jika Pak Darmawan dan Bu Alya tahu kita masih berduaan di luar?” tanyaku gugup.Mas Reindra tidak menjawab, tetapi ia malah memiringkan wajahnya untuk menatapku. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh pada sinar matanya.“Kamu selalu saja mencema

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Rela Melepaskan Aku

    Membaca pesan itu, debaran jantungku jadi tak menentu. Aku merasa was-was untuk menemui dan mendengarkan apa yang dikatakan Mas Reindra. Jujur, aku takut bila Pak Darmawan juga meminta Mas Reindra untuk mengakhiri hubungan kami.Untuk meredakan rasa gelisah yang membuncah, aku berbaring sambil menunggu jam sepuluh tiba. Tiba-tiba aku teringat pada ibu kandungku dan juga mantan ayah mertuaku. Aku baru menyadari bahwa pernikahan dan perceraian selalu melibatkan orang tua. Jika anak mereka bermasalah, maka orang tua yang akan terkena imbasnya. Pantas saja Pak Darmawan dan Bu Alya sangat menaruh perhatian kepada pasangan hidup Mas Reindra. Terlebih dari pengalamanku yang pernah gagal berumah tangga, mungkin mereka akan semakin meragukan karakterku.Memikirkan semua ini membuat hatiku serasa ditusuk oleh duri-duri tajam. Gara-gara masalah rumah tanggaku, banyak orang tua yang terlibat di dalamnya. Padahal semestinya di usia senja, mereka bisa hidup dengan tenang tanpa harus terbebani oleh

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Apakah Ini Ikatan Takdir

    Dengan menerima arloji tersebut, aku berhasil menyelesaikan tantangan terakhir. Tidak ada yang berani berkomentar mengenai aku dan Mas Reindra, khususnya saat aku mengembalikan arloji itu ke tangan pemiliknya. Tanpa bicara sekalipun, mereka pasti sudah mengetahui bahwa aku bukanlah sekadar bawahan untuk Mas Reindra. Mana mungkin seorang pria yang memiliki jabatan tinggi mau memberikan barang pribadinya kepada wanita yang bukan siapa-siapa.Permainan pun berlanjut satu putaran lagi dan aku-lah yang bertugas memutar botol. Ketika botol itu berhenti, aku terperanjat karena Mas Reindra yang terpilih. Seolah-olah benang takdir selalu mengikat kami berdua.Aku pun merasakan suasana di sekitarku mendadak tegang. Sepertinya semua menahan napas, termasuk diriku sendiri. Entah aku harus bagaimana sekarang, karena aku yang harus memberikan pertanyaan kepada Mas Reindra. Seketika mulutku terasa kering, sehingga aku harus menelan ludah beberapa kali.“Wah, Bapak baru datang langsung dapat giliran.

  • Ketika Suami Tak Lagi Peduli   Tamparan Keras

    Seperti orang yang mengalami hipnosis, aku terdiam tanpa berucap apa-apa. Serangan telak yang aku terima dari Bu Alya membuat daya pikirku seakan melemah. Rasanya aku bagai terhantam oleh palu gada dan terjebak ke dalam lapisan kabut yang tebal.Tak hanya gagal berpikir, seluruh sarafku juga serasa sulit untuk digerakkan. Aku pun mematung layaknya orang yang baru saja terkena kutuk. Kesadaranku baru kembali saat suara Bu Alya menggema di telingaku.“Arista, saat ini Pak Darmawan juga sedang bicara dengan Reindra. Kami ingin meminta pengertian dari kalian berdua. Sebelum hubungan kalian bertambah dalam, lebih baik berpisah sekarang. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk saling melupakan,” kata Bu Alya berusaha mempertahankan nada suaranya. Terlihat jelas bahwa dia tak ingin mengumbar emosi yang berlebihan di hadapanku.Entah dari mana sumbernya, mendadak setitik keberanian bangkit dari dalam diriku. Aku merasa perlu membela diri dan mengatakan kebenaran kepada Bu Alya mengenai kondisik

DMCA.com Protection Status