Hari yang kutakuti itu akhirnya tiba. Di depan gerbang, aku melihat Ibu datang bersama dengan Martha, karyawan kepercayaannya. Sungguh hatiku berdenyut nyeri setiap kali mengingat Zidan akan berpisah dariku. Namun aku sadar bahwa aku tak punya pilihan lain. Ini adalah keputusan terbaik yang bisa kuambil. Memang lebih baik putraku diasuh oleh neneknya daripada terlantar di rumah ini. “Zidan, anak ganteng,” sapa Ibu langsung mengelus pipi Zidan. Putra kecilku itu tersenyum sembari mengulurkan tangannya untuk meminta gendong. Meski mereka lama tidak berjumpa, nampaknya Zidan sangat mengenali wajah neneknya. “Nanti minta gendongnya, Zidan. Eyang masih capek dari perjalanan,” ucapku melarang Zidan. “Mbak, Rista, apa kabar?” tanya Martha menyapaku. “Baik, Mar, ayo masuk,” ajakku sambil menggendong Zidan. Kami bertiga masuk ke kontrakan petak milikku. Aku mempersilakan Ibu dan Martha duduk di kursi ruang tamu, lalu kuletakkan Zidan di keretanya. Setelah itu, aku ke dapur untuk membuatkan
Esok harinya aku masuk kantor dengan wajah yang lesu. Aku tahu bahwa pekerjaanku di kantor hari ini sangat banyak, apalagi Pak Yanuar tidak masuk. Namun, di sisi lain hatiku sedang merana karena berpisah dengan Zidan. Ternyata sebesar ini penderitaan seorang ibu bila harus terpisah jauh dari anaknya. “Bu, tolong periksa laporan saya,” ucap Davina menyodorkan setumpuk file di mejaku. “Oke, letakkan saja, Dav, nanti aku periksa,” jawabku tersadar dari lamunan. “Apa Bu Rista sakit? Wajah Ibu agak pucat,” tanya Davina mengamati wajahku dari dekat. “Aku baik-baik saja, Dav, hanya agak kurang tidur semalam.” Baru saja aku selesai bicara dengan Davina, interkom di mejaku berdering. Aku mengangkat panggilan itu dengan segera, karena aku bisa menebak siapa yang menghubungiku. “Rista, kamu ke kantor saya sekarang. Bawakan saya mutasi rekening koran tiga bulan terakhir dan rekap penjualan per produk.” Terdengar suara tegas Pak Reindra dari balik telepon. “Ba-ik, Pak, saya akan ke sana,” ja
Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Namun, kala aku membuka mata, yang pertama kali kulihat adalah wajah seorang pria. Alangkah terkejutnya aku saat menyadari siapa sosok pria tersebut.“Pak Reindra….”Suaraku terdengar begitu lemah, lebih mirip gumaman daripada sebuah pernyataan.Pria yang kusebut namanya itu langsung menempelkan punggung tangannya di dahiku. Ekspresi yang tergambar di wajahnya sedikit berbeda, tidak sedatar biasanya.“Baguslah, kamu sudah sadar. Badanku juga tidak demam,” ucap Pak Reindra. Ternyata dia sedang berusaha untuk memeriksa suhu tubuhku.Segera aku menegakkan punggung meski kepalaku masih terasa pening. Saat kesadaranku telah terkumpul, aku baru menyadari bahwa saat ini aku berada di dalam mobil mewah milik atasanku.“Pak, maaf, apa saya tadi pingsan?” tanyaku masih bingung dengan apa yang terjadi.“Apa perlu saya menjawabnya? Jelas-jelas kamu limbung sewaktu mengunci pintu ruangan finance. Untung saja saya masih ada di sana, jika tidak entah siapa
Selesai mandi dan meminum obat sakit kepala, aku ingin sekali menghubungi Ibu dan Zidan. Namun melihat waktu yang hampir menunjukkan pukul sebelas malam, aku urung melakukan niatku itu. Mana mungkin aku menelepon mereka pada jam istirahat seperti sekarang. Aku naik ke atas tempat tidur sambil menghembuskan napas pelan. Rasanya begitu sunyi berada di kamar ini sendirian tanpa Zidan dan Mas Yoga. Kadang aku berpikir bahwa aku satu-satunya wanita yang kesepian setelah menikah. Karena setahuku wanita yang sudah menikah selalu disibukkan oleh berbagai kegiatan bersama suami dan anaknya. Aku meletakkan bantal di atas kepala sambil memejamkan mata. Meski aku menangis darah sekalipun, kondisi ini tidak akan berubah. Terlebih sampai detik ini, Mas Yoga tidak memberikan kabar. Padahal bisa saja ia meminjam ponsel temannya sebentar atau menghubungiku lewat telepon kantor. Nampaknya Mas Yoga memang enggan untuk berusaha, karena menganggapku bukanlah prioritas utama dalam hidupnya. Ah, sudahlah,
Berusaha mengabaikan tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang, aku memilih untuk menuruti perintah Pak Reindra. Bosku itu menyuruhku duduk di kursi bagian tengah, sedangkan dia duduk di kursi kemudi. Begitu sampai di dalam mobil, aku disambut oleh wajah cantik Maura. Dengan dress berwarna merah muda dan pita rambut yang senada, Maura benar-benar terlihat seperti seorang princess. Melihatnya, aku jadi membayangkan betapa manisnya bila aku juga memiliki seorang putri. Aku melihat sorot mata gadis kecil itu berbinar tatkala melihat kedatanganku. “Tante Arista, aku senang bisa ketemu Tante lagi,” ucapnya lantas memeluk pinggangku. Aku terkesiap untuk sesaat, merasa terharu dengan reaksi yang ditunjukkan Maura. Ternyata masih ada orang yang merindukan aku setelah sekian lama aku merasa terabaikan. “Iya, Tante juga senang bisa bertemu Maura,” jawabku balas membelai rambut tebalnya. “Kenapa Maura datang ke sini malam-malam? Maura belum ngantuk?” tanyaku keheranan. “Belum, Tante. Tadi
Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Mas Yoga, meski aku sangat ingin menimpali ucapannya. Tak mungkin aku berdebat dengannya di hadapan semua rekan kerjaku. Aku menjauhkan ponsel yang kupegang dari telinga untuk berbicara dengan Maura. “Maura, Tante ke toilet dulu ya. Tante sudah kebelet dari tadi,” ucapku meminta izin darinya. “Oke, Tante. Cepat aja ke toilet supaya Tante nggak ngompol di jalan,” celetuknya. Aku melihat Mbak Ratna dan Davina mengulum senyuman saat mendengar ucapan Maura. Sambil menahan sedikit rasa malu, aku mengangguk kepada gadis kecil itu sebelum meninggalkan meja. “Halo, Rista, kenapa kamu diam saja? Sebenarnya kamu keluyuran ke mana?” Terdengar suara berat Mas Yoga yang menuntut jawaban dari seberang telepon. “Sebentar, Mas,” jawabku jengah. Sepantasnya aku yang mempertanyakan keberadaannya setelah beberapa hari menghilang tanpa kabar. Namun justru dia yang lebih dulu menuduhku keluyuran. Memang sungguh ajaib kelakuan suamiku yang satu ini. Dengan
Aku membeku sejenak, bingung harus bagaimana untuk mengatasi situasi ini. Pak Reindra juga terkejut karena Maura mengigau dan menyebut aku sebagai ibunya. Aku melihat Pak Reindra berjalan mendekatiku untuk membangunkan Maura. Namun sebelum dia sampai, aku lebih dulu bertindak untuk menyadarkan gadis kecil itu.“Maura, bangun sebentar, Sayang. Ini Tante Arista,” lirihku lembut.Maura menggeliat perlahan sambil bergumam tidak jelas. Gadis kecil itu masih terpejam, tidak terlihat tanda-tanda bahwa ia akan bangun atau membuka mata. Nampaknya ia benar-benar lelah dan mengantuk, sehingga enggan untuk terjaga.Melihat usahaku tidak membuahkan hasil, Pak Reindra segera mengambil alih. Ia masuk ke mobil lewat pintu yang berseberangan denganku, lalu duduk di samping Maura.“Maura, bobok sama Daddy ya. Tante Arista mau pulang,” bisik Pak Reindra. Karena ia mendekat ke telinga Maura, otomatis jarak kami hanya terpaut beberapa senti. Bahkan aku bisa mendengar hembusan napas Pak Reindra yang hangat
Terus terang aku merasa terkejut sekaligus kesal mendengar pertanyaan Ayah. Ketika anaknya membuat masalah besar dalam hidupku, dia tidak bertanya sama sekali. Sekadar menghubungiku untuk menanyakan kabar cucunya pun tidak. Namun kala anak lelakinya mengadu, yang mana itu belum dipastikan kebenarannya, Ayah langsung memojokkan aku seperti ini. “Aku belum minta izin kepada Mas Yoga, karena beberapa hari ini dia tidak bisa dihubungi, Yah. Alasannya karena ponselnya rusak dan sedang diperbaiki di counter. Baru semalam Mas Yoga menelepon, dan itu juga memakai nomer baru,” jelasku apa adanya. Ayah berdehem sebentar di telepon sebelum merespon ucapanku. “Mungkin Yoga sedang kesulitan di sana, Rista. Tetapi Ayah yakin keputusanmu untuk menitipkan Zidan, tidak terjadi dalam waktu singkat. Seharusnya kamu bisa meminta pertimbangan Yoga sebelum dia ke Sukabumi.” Nampaknya ayah mertuaku itu menyindirku secara halus. Ingin sekali aku menjelaskan bahwa keputusan itu kuambil secara mendadak, kar