Tanpa menghiraukan intimidasi yang diberikan Mas Yoga, aku memeluk Zidan. Aku sangat menyayangi putra semata wayangku ini. Namun aku sadar bahwa rasa sayang saja tidak cukup. Apabila aku terus berada di rumah, bagaimana aku bisa memberikan makanan bergizi dan pendidikan yang bagus untuk Zidan? Tidak, aku tidak boleh menyerah sebelum bertanding. Untuk sementara waktu, aku harus belajar mengesampingkan perasaanku. "Kita ke rumah Bu Siti sekarang, Mas," ujarku mantap. "Kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini?" "Iya, aku yakin," jawabku berjalan menuju pintu. Melihat pendirianku yang tidak bisa lagi digoyahkan, Mas Yoga akhirnya menyerah. Ia pun mengantarkan aku ke rumah Bu Siti dengan motornya. "Bu, titip Zidan ya. Ini untuk makan siang dan makan malam Zidan," ucapku menyerahkan tas besar berisi makanan dan camilan. Aku sengaja bangun di saat subuh untuk memasak makanan bagi Zidan. Aku harus menyiapkan semua keperluan putraku agar Bu Siti tidak kerepotan. "Iya, Rista. Jangan khaw
Begitu pintu lift terbuka, Pak Yanuar mendahului aku keluar dari lift. Aku mengekor dari belakang hingga sampai di sebuah ruangan dengan pintu berwarna putih. Dengan sekali dorong, Pak Yanuar berhasil membuka pintu yang terlihat berat itu.Ketika kami masuk, sontak semua mata memandang ke arah kami. Dan tentu saja yang paling diperhatikan adalah aku."Selamat pagi, Pak," seru beberapa orang staf."Pagi," jawab Pak Yanuar tergesa-gesa.Dari ekor mata, kulirik sekilas wajah para staf yang akan menjadi anak buahku. Mereka rata-rata masih muda dan berpembawaan tenang. Barangkali karena ini belum terhitung akhir bulan, sehingga mereka tidak terlalu tegang. Berbeda bila nanti menuju ke akhir bulan yang pastinya penuh dengan deadline yang mencekik."Saya mohon perhatian sebentar," ujar Pak Yanuar mendadak berhenti di tengah ruangan. Untung saja aku menjaga jarak dengannya. Bila tidak mungkin aku akan menabrak punggung Pak Yanuar.Para staf yang berjumlah tujuh orang itu langsung berdiri di m
“Dav, sebentar ya aku angkat telpon dulu,” ucapku pada Davina.“Iya, Bu, silakan.”Sebenarnya aku merasa tak enak hati karena harus menyela pembicaraan Davina. Namun aku tidak bisa mengabaikan telpon dari Bu Siti. Aku tidak mau menyesal di kemudian hari karena lebih mementingkan pekerjaan daripada putraku sendiri.Aku berjalan menjauh dari meja menuju ke sudut ruangan. Di sana ada rak tinggi yang sepertinya berisi dokumen-dokumen lama. Aku pun memilih tempat itu supaya percakapanku tidak didengarkan oleh staf yang lain.“Halo, Bu, maaf saya lama mengangkat telpon. Ada apa dengan Zidan? Apa dia sakit?” tanyaku was-was.“Justru Ibu yang minta maaf karena mengganggumu, Rista. Zidan sedang rewel.”Samar-samar kudengar suara tangisan Zidan dari balik telpon.“Rewel kenapa, Bu?”“Ibu sedang beli minyak goreng di warung sambil gendong Zidan. Dia nunjuk-nunjuk biskuit cokelat terus nangis. Boleh tidak Ibu membelikannya? Ibu takut kamu marah kalau Zidan jajan sembarangan,” tutur Bu Siti. Nada
Dadaku serasa tertusuk duri ketika mendengar ucapan Mas Yoga. Istri mana yang tidak akan terluka mendengar suaminya memberikan ultimatum sekeras itu. Apakah aku yang sudah keterlaluan kepada Mas Yoga sampai dia tersulut emosi?Aku sendiri dihadapkan pada pilihan yang sulit. Pekerjaan ini mendesak untuk diselesaikan tetapi aku juga tidak bisa membiarkan Mas Yoga menunggu.“Rista, cepat putuskan!”“Aku pulang sendiri, Mas. Nanti aku naik ojek online. Tolong jemput Zidan di rumah Bu Siti,” jawabku tanpa ragu.Aku tidak ingin terbebani lagi oleh gertakan suamiku. Lebih baik pulang sendiri daripada makan hati. Lagipula tidak lama lagi aku juga harus terbiasa hidup mandiri tanpa kehadiran Mas Yoga.“Ya sudah, aku pulang sekarang.”Terdengar suara sambungan telpon yang dimatikan secara sepihak. Kembali hati ini berdenyut nyeri karena kelakukan suamiku. Di hari pertama, dia sudah uring-uringan apalagi nanti bila aku harus lembur sampai malam.Kucoba mengembalikan mood yang buruk dengan berkon
Walaupun tubuhku lelah, aku membantu Mas Yoga mengemasi barang-barangnya. Tak kusangka waktu kebersamaan dengan suamiku hanya tersisa dua hari lagi.Mengingat hal ini, aku merasa sedih. Hubungan kami berdua akhir-akhir ini memang memburuk. Terlebih hatiku juga seringkali tersakiti oleh sikap dan perkataan Mas Yoga. Namun bukan berarti aku ingin hidup terpisah dari suamiku. Bagaimanapun kami tetaplah pasangan suami istri yang seharusnya tinggal satu atap. "Mas, coba dicek apa yang masih kurang?" tanyaku kepada Mas Yoga.Ia terlihat kurang peduli dengan barang yang akan dibawanya. Matanya malah terpaku pada layar laptop untuk membaca berita."Sebentar lagi tanggung.""Mas, aku sudah ngantuk, mau tidur. Cek dulu kopermu," desakku kepadanya.Sambil mendengkus, Mas Yoga beranjak dari posisinya yang duduk bersila di karpet. Dia berdiri lantas memeriksa isi kopernya."Sudah cukup. Yang di rumah sisakan empat atau lima baju saja," ujarnya menarik ritsleting koper itu hingga tertutup rapat."
Tentu saja aku kelabakan mendengar perintah dari Pak Yanuar. Sekarang aku mengerti mengapa rata-rata karyawan disini harus berjalan cepat. Ternyata sewaktu-waktu bisa saja ada pekerjaan dadakan yang harus ditangani dengan segera. Aku bergegas mengambil laporan yang sudah kucetak kemarin. Kemudian aku mengetuk pintu ruangan Pak Yanuar walaupun pintu tersebut dibiarkan terbuka. Itu sebagai pertanda sopan santunku terhadap atasan. "Permisi, Pak, ini laporannya," ucapku memberitahu. "Letakkan saja di meja. Jangan lupa minta Elden untuk membantumu mengerjakan laporan piutang." "Baik, Pak." Selepas keluar dari ruangan manajer, aku menuju ke meja Elden. Aku memberitahukan kepadanya perihal instruksi yang diberikan oleh Pak Yanuar. Ekspresi Elden nampak terkejut. Ia langsung mengambil setumpuk file dan flash disk untuk bekerja di mejaku. Waktu yang berlalu sampai tak terasa karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Tak dapat kusembunyikan rasa tegang yang juga menyertai setiap tindak
Sungguh aku merasa terkejut dengan pertanyaan Pak Reindra yang tanpa basa-basi. Nampaknya ia sudah membaca profil beserta daftar riwayat pekerjaanku secara lengkap. Dari matanya yang menyorot tanpa jeda, aku bisa merasakan bahwa dia sedang meragukan kemampuanku. Wajar memang jika Pak Reindra berpikir demikian mengingat jabatan supervisor merupakan kedudukan yang cukup penting. Sebagai atasan, pastilah dia ingin memastikan para staf finance dipimpin oleh orang yang kompeten. "Iya, Pak, setelah menikah saya menjadi ibu rumah tangga," jawabku dengan suara nyaris bergetar. Bukan maksudku untuk cengeng atau terlalu sensitif. Hanya saja perkataan yang dilemparkan Pak Reindra telah meruntuhkan benteng kepercayaan diri yang baru saja kubangun. "Ini hari keduamu bekerja, apakah kamu bisa menyesuaikan diri?" lanjut Pak Reindra. Belum sempat aku menjawab Pak Yanuar sudah menyahut lebih dulu. "Bapak bisa melihat hasil kerja Arista. Kemarin dia saya beri tugas untuk melakukan revisi terhada
Tanpa pikir panjang, aku berlari dan menyambar tubuh mungil gadis kecil itu. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam diriku. Aku membayangkan jika Zidan yang berada dalam posisi bahaya, aku juga akan mempertaruhkan nyawaku demi dia. Karena gerakanku yang tiba-tiba, aku hilang keseimbangan. Aku tersandung kemudian jatuh dalam posisi duduk. Namun aku bersyukur karena gadis kecil itu baik-baik saja. Rasa takut bercampur terkejut membuat gadis kecil itu gemetaran dalam dekapanku. Sementara pengasuhnya segera berlari menghampiri kami. Wajahnya nampak pucat pasi melihat kejadian yang hampir mencelakakan anak asuhnya. "Ya ampun, Maura, untung saja kamu masih disayang Tuhan!" ucapnya sambil mengelus dada. Ternyata gadis kecil ini bernama Maura. Nama yang sangat cantik sesuai dengan wajahnya. "Makasih ya Bu," lanjut pengasuh itu membantuku berdiri. "Sama-sama, Mbak," jawabku melepaskan tanganku dari Maura. Namun Maura malah kembali memelukku sambil mendongakkan kepala. "Makasih, Tante," u
Masih dilanda kebingungan, aku melangkah ke ruang tamu beriringan dengan Maura dan Zidan. Melihat Pak Darmawan dan Bu Alya tengah duduk melingkar di sofa, aku hanya bisa berdiri mematung. Perasaanku menjadi campur aduk saat tatapan mataku terkunci dengan sorot mata Mas Reindra. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pria itu seolah-olah ingin mengirimkan pesan kepadaku melalui tatapan matanya. Dan entah mengapa aku bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Aku tahu Mas Reindra ingin kejutan darinya bisa membuatku bahagia, bukan malah gugup seperti ini. “Arista, akhirnya kamu datang juga. Pak Darmawan dan Bu Alya sudah menunggu dari tadi,” tegur Ibu. Dengan menepis rasa canggung, aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Pak Darmawan dan Bu Alya. “Pak Darmawan, Bu Alya, maaf saya tidak menyambut Anda dan malah pergi ke luar rumah,” kataku tidak enak hati. “Tidak apa-apa, Arista. Ini bukan salahmu, karena kami datang mendadak tanpa pemberitahuan,” jawab Pak Darmawan sembari
Aku mendesak Mas Reindra untuk memberitahukan kejutan apa yang dimaksud olehnya. Namun, ia tidak mau mengatakan apa-apa dengan alasan belum tiba waktunya.Sempat aku berpikir bahwa dia akan menyusul aku ke Jogja. Namun, hal itu sepertinya mustahil karena Mas Reindra masih berada di Sulawesi. Lagi pula setiap kali dia melakukan perjalanan di luar urusan bisnis, dia pasti akan mengajak Maura. Padahal saat ini, Maura sedang menginap selama satu minggu di rumah Pak Darmawan.Usai menelepon Mas Reindra, aku pun mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Aku melihat sebentar ke arah koper yang akan kubawa ke Jogja besok pagi. Akhirnya, aku akan bertemu dengan putra kecilku setelah berbulan-bulan kami tidak bertemu. Meski hanya tiga hari, aku akan berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin.Tak terasa, aku pun terlelap dalam tidur hingga alarm di ponselku berbunyi. Seperti mesin otomatis, kelopak mataku langsung terbuka lebar. Lantaran aku tidak sabar untuk melepas rindu kepada p
Detik ini juga aku mengalami dilema yang berat karena permintaan Mas Yoga. Aku tahu dia sedang membutuhkan pekerjaan untuk menyambung biaya hidup. Namun, di PT. Sejahtera sedang tidak ada lowongan pekerjaan, kecuali di cabang baru yang berlokasi di Sulawesi.Sedangkan untuk Ibu, kemungkinan besar Beliau tidak akan mau menerima Mas Yoga karena terlanjur membenci lelaki itu. Siapa yang tidak akan antipati dengan seorang pencuri dan pembohong seperti Mas Yoga. Jangankan menjadi pegawainya, bertemu Mas Yoga saja Ibu pasti sudah enggan.“Rista, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak mau membantu aku? Kalau kamu masih dendam padaku, paling tidak ingatlah Zidan dan ayahku. Gara-gara kita berpisah, ayahku kepikiran dan sering jatuh sakit. Sebagai anak tertua, aku semestinya bertanggung jawab untuk membiayai pengobatan ayahku,” ungkap Mas Yoga.Tanpa sadar, aku menyentuh pelipisku sendiri karena ikut pusing memikirkan masalah Mas Yoga.“Iya, aku sudah mengetahuinya dari Dian. Sekitar dua bulan
Kini, aku melewati hari demi hari sebagai karyawan PT. Sejahtera. Tak terasa hampir dua bulan lamanya aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Mas Reindra. Bukan jauh dalam arti yang sebenarnya, tetapi kami sengaja tidak bertemu kecuali untuk urusan pekerjaan. Memang begitulah komitmen yang harus kami jalani sekarang. Walaupun secara fisik tidak bersama, kami masih berkomunikasi aktif lewat telepon untuk mengetahui kegiatan masing-masing.Terkadang di hari Minggu, Maura minta ditemani olehku untuk berbelanja atau sekadar bermain di mall, tetapi Mas Reindra tidak pernah ikut. Dia memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti berolah raga, bersepeda, atau mengurusi ikan peliharaannya. Akhir-akhir ini, dia memang memiliki hobi baru, yaitu mengoleksi berbagai jenis ikan laut di akuarium. Katanya dengan melihat ikan dia bisa sedikit terhibur saat merindukan aku.Melalui informasi yang diberikan Pak Ridwan, proses di pengadilan berjalan dengan lancar dan hampir mencapai tahap akhir. Selama
“Mas, aku sedang serius kamu malah bercanda,” ucapku berdecak sebal. Mas Reindra hanya terkekeh sambil memelukku kembali.“Siapa bilang aku bercanda? Aku bisa berubah menjadi penculik jika itu menyangkut kamu,” katanya memasang ekspresi serius.“Sudah, jangan merayuku lagi. Kita pulang sekarang, Mas.”Buru-buru aku melepaskan diri dari Mas Reindra sambil merapikan baju dan rambutku yang berantakan. Kemudian, aku berpindah dari kursi belakang menuju ke depan. Beban yang ada di pundakku serasa terangkat, karena kami berdua mencapai kata sepakat.Tak sampai sepuluh menit, kami telah sampai di villa. Sebelum keluar dari mobil, aku pun bercermin di kaca spion. Aku ingin mengecek sekiranya ada tanda merah atau bekas yang ditinggalkan Mas Reindra. Bila memang ada, aku harus menutupinya agar tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di villa.“Tenang saja, Sayang, aku tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bibirmu yang sedikit bengkak,” ucap Mas Reindra dengan wajah tanpa dosa.Aku mencebik
Mas Reindra terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sungguh cemas dia akan gelap mata dan mengajakku ke tempat yang berbahaya. Namun, aku segera menepis pikiran itu karena aku tahu bahwa Mas Reindra adalah orang yang bijak dan dewasa. Tidak mungkin ia melakukan sesuatu yang membahayakan aku dan dirinya sendiri. Apalagi, dia masih punya tanggung-jawab untuk mendidik dan membesarkan Maura.Mas Reindra menghentikan mobilnya di sebuah kawasan mirip hutan kecil. Tidak ada satu kendaraan pun yang lewat di lokasi itu, sehingga suasana di sekitar kami sangat sepi. Meski demikian, aku tahu lokasi ini dekat dengan villa tempat kami menginap.“Mas, untuk apa kita berhenti di sini? Kita harus pulang karena ini hampir tengah malam. Bagaimana jika Pak Darmawan dan Bu Alya tahu kita masih berduaan di luar?” tanyaku gugup.Mas Reindra tidak menjawab, tetapi ia malah memiringkan wajahnya untuk menatapku. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh pada sinar matanya.“Kamu selalu saja mencema
Membaca pesan itu, debaran jantungku jadi tak menentu. Aku merasa was-was untuk menemui dan mendengarkan apa yang dikatakan Mas Reindra. Jujur, aku takut bila Pak Darmawan juga meminta Mas Reindra untuk mengakhiri hubungan kami.Untuk meredakan rasa gelisah yang membuncah, aku berbaring sambil menunggu jam sepuluh tiba. Tiba-tiba aku teringat pada ibu kandungku dan juga mantan ayah mertuaku. Aku baru menyadari bahwa pernikahan dan perceraian selalu melibatkan orang tua. Jika anak mereka bermasalah, maka orang tua yang akan terkena imbasnya. Pantas saja Pak Darmawan dan Bu Alya sangat menaruh perhatian kepada pasangan hidup Mas Reindra. Terlebih dari pengalamanku yang pernah gagal berumah tangga, mungkin mereka akan semakin meragukan karakterku.Memikirkan semua ini membuat hatiku serasa ditusuk oleh duri-duri tajam. Gara-gara masalah rumah tanggaku, banyak orang tua yang terlibat di dalamnya. Padahal semestinya di usia senja, mereka bisa hidup dengan tenang tanpa harus terbebani oleh
Dengan menerima arloji tersebut, aku berhasil menyelesaikan tantangan terakhir. Tidak ada yang berani berkomentar mengenai aku dan Mas Reindra, khususnya saat aku mengembalikan arloji itu ke tangan pemiliknya. Tanpa bicara sekalipun, mereka pasti sudah mengetahui bahwa aku bukanlah sekadar bawahan untuk Mas Reindra. Mana mungkin seorang pria yang memiliki jabatan tinggi mau memberikan barang pribadinya kepada wanita yang bukan siapa-siapa.Permainan pun berlanjut satu putaran lagi dan aku-lah yang bertugas memutar botol. Ketika botol itu berhenti, aku terperanjat karena Mas Reindra yang terpilih. Seolah-olah benang takdir selalu mengikat kami berdua.Aku pun merasakan suasana di sekitarku mendadak tegang. Sepertinya semua menahan napas, termasuk diriku sendiri. Entah aku harus bagaimana sekarang, karena aku yang harus memberikan pertanyaan kepada Mas Reindra. Seketika mulutku terasa kering, sehingga aku harus menelan ludah beberapa kali.“Wah, Bapak baru datang langsung dapat giliran.
Seperti orang yang mengalami hipnosis, aku terdiam tanpa berucap apa-apa. Serangan telak yang aku terima dari Bu Alya membuat daya pikirku seakan melemah. Rasanya aku bagai terhantam oleh palu gada dan terjebak ke dalam lapisan kabut yang tebal.Tak hanya gagal berpikir, seluruh sarafku juga serasa sulit untuk digerakkan. Aku pun mematung layaknya orang yang baru saja terkena kutuk. Kesadaranku baru kembali saat suara Bu Alya menggema di telingaku.“Arista, saat ini Pak Darmawan juga sedang bicara dengan Reindra. Kami ingin meminta pengertian dari kalian berdua. Sebelum hubungan kalian bertambah dalam, lebih baik berpisah sekarang. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk saling melupakan,” kata Bu Alya berusaha mempertahankan nada suaranya. Terlihat jelas bahwa dia tak ingin mengumbar emosi yang berlebihan di hadapanku.Entah dari mana sumbernya, mendadak setitik keberanian bangkit dari dalam diriku. Aku merasa perlu membela diri dan mengatakan kebenaran kepada Bu Alya mengenai kondisik