Vote dan rating
Dengan tergesa-gesa, aku berjalan menuju ke pintu sebelah timur yang dimaksud oleh Pak Reindra. Aku berteduh di sana bersama dengan beberapa orang pengunjung, sembari menunggu kedatangan Pak Reindra. Entah mengapa aku merasa gelisah setiap kali melihat mobil yang lewat. Aku berharap bahwa itu adalah mobil Pak Reindra yang akan segera datang untuk menjemputku. Menanti di tengah hujan, membuat aku sadar bahwa aku hanya sendirian di kota ini. Aku tidak punya siapa-siapa, baik itu keluarga, sanak saudara, maupun sahabat yang bisa berbagi cerita. Aku merasa bagaikan seorang wanita asing yang tersesat di tengah hiruk pikuk kota metropolitan. Di saat rasa sepi mendera jiwaku, terdengar bunyi klakson dari arah depan. Sontak, aku menoleh dan melihat mobil Pak Reindra sudah tiba. Dari kejauhan, aku juga melihat Maura menempelkan wajahnya di jendela mobil sambil melambaikan tangan kepadaku. Bak seorang musafir yang menemukan oase, aku hendak berlari menuju ke mobil. Namun Mbak Ratna sudah kelu
“I-iya, Pak,” jawabku berusaha menutupi rasa malu.Melihat reaksiku, Pak Reindra sepertinya tidak enak hati. Ia berdehem sebentar untuk mencairkan suasana yang terasa ganjil di antara kami.“Maaf, jika saya salah bicara, saya tidak bermaksud mencampuri urusan pribadimu. Sebenarnya saat ponselmu jatuh, saya tidak sengaja membaca pesan di dalamnya. Selama kita di Sukabumi, saya perhatikan kamu juga sering melamun dan tidak fokus. Selain itu, di restoran kamu tak lepas memandangi sepasang pria dan wanita yang berada di lantai bawah,” ucap Pak Reindra secara jujur.Hawa dingin merayap naik ke atas punggungku, tetapi wajahku justru terasa memanas. Tak kusangka Pak Reindra diam-diam memperhatikan gerak-gerikku saat kami melakukan perjalanan dinas ke Sukabumi. Aku melupakan fakta bahwa Pak Reindra adalah seorang pria yang detail dan jeli. Dia selalu bisa menemukan hal-hal kecil yang tak lazim dalam laporan keuangan. Tentu saja untuk mengamati perilaku seseorang bukanlah sesuatu yang sulit ba
“Saya teman sekaligus rekan kerjanya Arista, Bu. Nama saya Reindra,” jawab Pak Reindra membalas uluran tangan Bu Etik. Mendengar jawaban yang diberikan Pak Reindra, Bu Etik malah tersenyum lebar. “Semoga nanti dari teman, lanjut berjodoh jadi suami istri. Kalau Tuan butuh rumah setelah menikah, saya bisa carikan yang sesuai budget. Selain pemilik kos, saya ini juga makelar rumah yang terpercaya,” ujar Bu Etik malah mempromosikan dirinya. Pak Reindra hanya menanggapi ucapan Bu Etik dengan tersenyum kecut. Berbeda denganku yang merasa malu setengah mati. Aku pun berusaha mengalihkan obrolan dengan menanyakan kamar kos yang masih tersedia. “Bu, ada berapa kamar kos yang masih kosong?” potongku. “Ada dua, satu di lantai bawah, satu lagi di lantai dua. Mbak mau lihat yang mana?” tanya Bu Etik. “Saya akan melihat dua-duanya, Bu.” “Kalau begitu, kita ke kamar yang di bawah dulu.” Sebelum pergi dengan Bu Etik, aku menengok kepada Pak Reindra untuk berpamitan. “Pak, saya akan melihat k
Aku segera memutus kontak mata dengan Pak Reindra. Dengan gugup, aku buru-buru menegakkan badan agar bisa terlepas dari posisi yang memalukan ini. Tidak seperti biasanya, Pak Reindra juga terlihat canggung. Seiring dengan gerakanku, ia pun melepaskan tangannya dari pinggangku dan membiarkan aku melangkah ke lantai dua. “Aduh, jantung saya hampir copot lihat Mbak Arista tersandung. Maaf, ya, Mbak, mungkin tangganya licin karena ada minuman yang tumpah. Saya akan menyuruh Narti untuk mengepelnya,” ujar Bu Etik menghampiriku. Wajahnya sedikit pucat karena merasa takut sekaligus bersalah. “Tidak apa-apa, Bu, saya yang kurang berhati-hati. Yang mana kamarnya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. “Itu yang urutan ke tiga dari pojok, Mbak,” jawab Bu Etik sembari mengeluarkan kunci dari saku. Aku dan Bu Etik berjalan beriringan, sedangkan Pak Reindra mengikuti kami dengan menjaga jarak. Barangkali ia ingin menjaga citra dirinya di hadapanku setelah insiden yang tidak disengaja tadi. “Silakan
Aku melihat ada yang berbeda dari sorot mata Pak Reindra saat dia mengucapkan hal itu. Aku jadi merasa cemas apabila ia salah mengartikan janji yang telah kuucapkan. “I-iya, Pak, selama saya mampu, saya pasti melaksanakan perintah Bapak,” imbuhku. “Saya akan menagih janjimu itu suatu hari,” ucapnya. Pak Reindra melirik jam di tangannya, lalu mulai mengemudikan mobil menuju ke kontrakanku. Ketika kami tiba di depan gapura, aku melihat seorang pria berkulit sawo matang sedang berdiri di samping motorku. Aku menebak bahwa pria tersebut adalah Pak Sam, supirnya Pak Reindra. “Sam, ternyata kamu sudah sampai duluan,” sapa Pak Reindra lantas keluar dari mobil. “Iya, Tuan, saya baru saja akan menelepon Bu Arista,” jawab Pak Sam sembari menganggukkan kepala kepadaku. Aku yakin Pak Reindra sudah memberitahunya mengenai nama dan ciri-ciri fisikku. Aku bergegas mengulurkan tanganku untuk berkenalan dengan Pak Sam. “Saya Arista, Pak, terima kasih karena sudah mengantarkan motor saya.” Pak S
Setelah semua barang-barangku diangkut ke atas mobil, aku segera berpamitan kepada Mbak Santi dan Bang Irsyad, beserta para tetangga di rumah petak. Mereka semua melepas kepergianku tanpa bertanya macam-macam. Mungkin karena ini sudah malam, mereka tidak tertarik lagi untuk mengurusi orang lain. Sebelum benar-benar pergi, aku meminta Pak Sam untuk menungguku sebentar di depan gapura. Aku ingin menemui Bu Siti untuk berpamitan, sekaligus berterima kasih atas semua bantuannya selama ini. Ketika sampai di depan rumahnya, Bu Siti ternyata masih duduk di teras depan. Ia pun bangkit berdiri saat melihat kedatanganku. “Rista, Ibu tadi lihat barang-barangmu diangkut dengan mobil. Apa kamu jadi pindah ke kos malam-malam begini?” tanya Bu Siti. “Iya, Bu, saya ke sini untuk berpamitan. Mulai malam ini, saya sudah tinggal di kos miliknya Bu Etik.” “Lha, kenapa nggak nunggu Sabtu depan, Rista? Lebih enak pindahan itu pagi-pagi,” tanya Bu Siti nampak keheranan. "Saya harus pergi sekarang karen
Kata orang lebih baik kita mengetahui kabar yang buruk dulu, setelah itu baru menerima kabar baik. Oleh sebab itu, untuk pertama kali aku memilih untuk membaca pesan dari Mas Yoga, sebelum membaca pesan dari Pak Reindra. [Rista, malam ini aku sudah memutuskan hubungan dengan Syafa. Setelah aku berpikir lagi, mungkin lebih baik aku membawamu ke Sukabumi. Kita bisa memulai segalanya dari awal. Nanti hari Jumat, kita akan membahasnya berdua.] Pesan yang dikirimkan oleh Mas Yoga membuatku terperanjat. Entah ini sekadar akal-akalannya saja ataukah dia memang memutuskan hubungan dengan selingkuhannya. Yang jelas aku tidak percaya begitu saja dengan ucapan lelaki yang sudah berkali-kali menipu aku. Apalagi, aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri jika hubungan Mas Yoga dengan Syafa sangatlah mesra. Berbeda jauh dengan hubungan kami yang begitu dingin sebagai pasangan suami istri. Lagi pula jika hubungan gelapnya dengan Syafa telah berakhir, hal itu juga tidak berpengaruh kepadaku. K
“Bu Arista, masih mendengar saya?” ulang Pak Eko sekali lagi. Sejak tadi aku memang belum memberikan respon apa-apa, sehingga wajar jika Pak Eko menganggap aku tidak mendengarkan perkataannya. “Saya dengar, kok, Pak. Terima kasih atas infonya, sebentar lagi saya akan turun,” ucapku lantas memutuskan sambungan telepon. Kendati masih bingung, mau tak mau aku harus mengambil kiriman makan siang itu. Jika aku membiarkannya berada di lobi, maka akan tersebar desas-desus mengenai siapa orang yang mengirimkan makanan tersebut. Aku tahu benar bagaimana cepatnya sebuah kabar burung tersebar di kantor PT. Sejahtera. Dengan segera, aku menyelesaikan berkas yang masih tersisa di mejaku, lalu menyerahkannya kepada Grezia. “Aku ke bawah duluan, Grez,” ucapku lantas meninggalkan ruangan divisi finance. Ketika masuk ke dalam lift, aku berpapasan dengan Elden dan Davina. Nampaknya pasangan muda itu sudah tak malu-malu lagi untuk menunjukkan hubungan mereka di depan semua orang. Kini, setiap kali a