Vote dan kasih rating ya
Kata orang lebih baik kita mengetahui kabar yang buruk dulu, setelah itu baru menerima kabar baik. Oleh sebab itu, untuk pertama kali aku memilih untuk membaca pesan dari Mas Yoga, sebelum membaca pesan dari Pak Reindra. [Rista, malam ini aku sudah memutuskan hubungan dengan Syafa. Setelah aku berpikir lagi, mungkin lebih baik aku membawamu ke Sukabumi. Kita bisa memulai segalanya dari awal. Nanti hari Jumat, kita akan membahasnya berdua.] Pesan yang dikirimkan oleh Mas Yoga membuatku terperanjat. Entah ini sekadar akal-akalannya saja ataukah dia memang memutuskan hubungan dengan selingkuhannya. Yang jelas aku tidak percaya begitu saja dengan ucapan lelaki yang sudah berkali-kali menipu aku. Apalagi, aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri jika hubungan Mas Yoga dengan Syafa sangatlah mesra. Berbeda jauh dengan hubungan kami yang begitu dingin sebagai pasangan suami istri. Lagi pula jika hubungan gelapnya dengan Syafa telah berakhir, hal itu juga tidak berpengaruh kepadaku. K
“Bu Arista, masih mendengar saya?” ulang Pak Eko sekali lagi. Sejak tadi aku memang belum memberikan respon apa-apa, sehingga wajar jika Pak Eko menganggap aku tidak mendengarkan perkataannya. “Saya dengar, kok, Pak. Terima kasih atas infonya, sebentar lagi saya akan turun,” ucapku lantas memutuskan sambungan telepon. Kendati masih bingung, mau tak mau aku harus mengambil kiriman makan siang itu. Jika aku membiarkannya berada di lobi, maka akan tersebar desas-desus mengenai siapa orang yang mengirimkan makanan tersebut. Aku tahu benar bagaimana cepatnya sebuah kabar burung tersebar di kantor PT. Sejahtera. Dengan segera, aku menyelesaikan berkas yang masih tersisa di mejaku, lalu menyerahkannya kepada Grezia. “Aku ke bawah duluan, Grez,” ucapku lantas meninggalkan ruangan divisi finance. Ketika masuk ke dalam lift, aku berpapasan dengan Elden dan Davina. Nampaknya pasangan muda itu sudah tak malu-malu lagi untuk menunjukkan hubungan mereka di depan semua orang. Kini, setiap kali a
Pak Yanuar masih membahas beberapa hal mengenai pekerjaan, tetapi aku tidak terlalu menyimaknya. Pikiranku masih saja tertuju kepada satu pria, yaitu Reindra Adiputra. Sulit sekali bagiku untuk tidak memikirkannya, sejak aku tahu bahwa Pak Reindra adalah sang pengirim makanan tanpa nama. Anehnya, ia lebih memilih untuk mengirimkan makan siang itu secara diam-diam. “Rista, apa ada yang ingin kamu tanyakan?” ujar Pak Yanuar di akhir diskusi kami. “Tidak ada, Pak. Besok akan saya usahakan selesai sebelum jam sebelas,” jawabku lantas beranjak dari kursi. “Oke, nanti jangan lembur sampai malam. Bulan ini kita harus menghemat penggunaan listrik,” pesan Pak Yanuar sebelum aku keluar dari ruangannya. Aku mengangguk kecil sambil tersenyum. Wajar saja bila Pak Yanuar berpesan begitu karena selama dia cuti, aku selalu bekerja over time. Walaupun sesungguhnya, aku sangat membutuhkan lembur untuk mengalihkan pikiran, tetapi aku harus tetap mematuhi peraturan dari atasanku. Sekitar satu jam kem
“Salah paham bagaimana? Saya tidak mengerti maksudmu. Apa kamu ingin saya berubah menjadi galak dan memarahi kamu seperti dulu?" tanya Pak Reindra. Meski Pak Reindra memandang ke jalan raya, dari nada suaranya tersirat jelas bahwa ia menuntut penjelasan. Aku menggigit bibir bagian bawah. Tak kusangka pernyataanku tadi justru menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Dijawab maupun tidak, tetap saja aku yang berada dalam posisi serba salah. "Bukan, Pak, maksud saya kita ini hanya atasan dan bawahan. Seharusnya Bapak jangan terlalu sering menolong saya atau mengajak saya pergi bersama." "Memangnya siapa yang melarang seorang atasan untuk menolong bawahannya? Justru sebagai rekan kerja, kita harus saling membantu bila ada yang mengalami kesulitan. Lagi pula saya hanya mengajakmu makan malam, kenapa hal ini bisa membebani hatimu?" Aku pun meneguk ludah kasar saat Pak Reindra bertanya untuk kedua kalinya. Aku yakin dia sengaja berpura-pura bodoh untuk mengujiku. “Kalau kita sering bersama
Setelah berhasil menguasai diri, tangisku pun berhenti. Lekas saja aku melepaskan diri dari pelukan Pak Reindra. Aku merasa malu dan tak enak hati karena bersandar di bahu seorang pria yang bukan suamiku. Apalagi lengan bagian atas kemeja Pak Reindra terlihat basah oleh air mataku. Seharusnya sehancur apa pun hatiku, aku tidak boleh sampai kelepasan dan menjadi lupa diri. “Maaf, Pak, saya tidak sengaja membuat kemeja Bapak basah. Saya tidak akan mengulanginya,” ucapku lantas mengambil tissue. Akan tetapi, Pak Reindra malah menahan tanganku. “Tidak usah, Rista, ini hanya masalah sepele. Ayo, kita masuk ke restoran sekarang mumpung hujannya sudah berhenti.” Aku pun mengikuti langkah Pak Reindra menuju ke restoran yang sedang dipadati oleh pengunjung. Maklum saja ini adalah jam makan malam untuk para pasangan muda dan juga pegawai kantoran seperti aku. Ketika kami memasuki restoran itu, Pak Reindra langsung menuju ke meja kasir untuk melakukan pemesanan. “Kamu mau paket yang mana, A,
Meski penasaran, aku tidak berani bertanya kepada Pak Reindra mengenai sosok wanita yang disinggungnya tadi. Biarlah itu menjadi rahasianya sendiri, karena bagaimanapun aku tidak berhak mengorek isi hati orang lain. Aku harus sadar di mana posisiku saat ini. Apalagi di antara kami terbentang sebuah jurang pemisah yang sangat sulit untuk diseberangi. Selepas puding yang aku makan habis, Pak Reindra pun mengajakku pulang. Di dalam mobil, kami tidak banyak mengobrol karena hari sudah cukup malam. Bahkan aku hampir saja tertidur saat perjalanan kami terhenti akibat kemacetan ibu kota. Namun, aku berusaha membuka bola mataku lebar-lebar supaya jangan sampai ketiduran. Sekitar jam sembilan malam, aku baru tiba di kos. Untung saja jam malam di Kos Kartika adalah pukul sepuluh, sehingga aku tidak takut akan terkunci di luar gerbang. “Pak, terima kasih sudah mentraktir saya makan dan mengantarkan saya sampai di kos,” ucapku sebelum membuka pintu mobil. “Hanya berterima kasih saja?” tanya Pa
Perkataan lelaki itu bak suara sirine yang berdengung-dengung di indera pendengaranku, membuat kepalaku terasa berdenyut seperti dihantam oleh batu besar. Belum selesai masalah yang satu, sudah timbul masalah lain yang menghadang. Bahkan setelah kami berpisah, Mas Yoga masih melibatkan aku dalam lingkaran masalahnya. Aku jadi bertanya-tanya apakah Mas Yoga memang bentuk cobaan yang diberikan alam semesta kepadaku. Ataukah aku sedang diuji secara kekuatan dan kesabaran, hingga harus selalu terkena imbas dari perbuatannya. “Maaf, Pak, sudah saya tegaskan sejak tadi bahwa saya tidak berurusan lagi dengan mantan suami saya. Segala utangnya di luaran sana sama sekali bukan tanggung-jawab saya. Jadi, percuma saja Bapak menghubungi saya terus-menerus, karena saya tidak bisa memberikan solusi apa-apa. Setelah ini, tolong jangan pernah mengganggu saya lagi.” Tanpa berbasa-basi, aku memutuskan sambungan telepon itu secara sepihak. Aku sudah tidak peduli dengan tata krama, karena pria ini telah
Sesudah taksi online yang kupesan datang, aku buru-buru berangkat menuju ke rumah Pak Reindra. Sempat terbersit di pikiranku bahwa tidaklah pantas aku bertandang ke rumah seorang pria di malam hari, sementara aku akan menyandang status janda. Namun, aku segera mengabaikannya, karena kesehatan Maura adalah yang terpenting saat ini. Taksi yang kutumpangi pun membelah jalanan ibu kota yang padat merayap. Geliat aktivitas di kota metropolitan memang tak pernah padam meski siang telah berganti malam. Justru suasana tampak lebih hidup dengan kerlap-kerlip lampu yang menghiasi berbagai tempat hiburan. Sesekali aku memandang keluar jendela untuk melihat antrian mobil yang ada di depan sana. Dalam kondisi begini, aku bahkan berkhayal bisa naik taksi terbang agar segera sampai di rumah Maura. Untung saja kemacetan yang menghadangku lekas terurai, sehingga taksiku bisa melaju lebih cepat. Begitu sampai di kompleks perumahan Pak Reindra, aku melihat Pak Sam sudah menunggu kedatanganku di gerban
Masih dilanda kebingungan, aku melangkah ke ruang tamu beriringan dengan Maura dan Zidan. Melihat Pak Darmawan dan Bu Alya tengah duduk melingkar di sofa, aku hanya bisa berdiri mematung. Perasaanku menjadi campur aduk saat tatapan mataku terkunci dengan sorot mata Mas Reindra. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pria itu seolah-olah ingin mengirimkan pesan kepadaku melalui tatapan matanya. Dan entah mengapa aku bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Aku tahu Mas Reindra ingin kejutan darinya bisa membuatku bahagia, bukan malah gugup seperti ini. “Arista, akhirnya kamu datang juga. Pak Darmawan dan Bu Alya sudah menunggu dari tadi,” tegur Ibu. Dengan menepis rasa canggung, aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Pak Darmawan dan Bu Alya. “Pak Darmawan, Bu Alya, maaf saya tidak menyambut Anda dan malah pergi ke luar rumah,” kataku tidak enak hati. “Tidak apa-apa, Arista. Ini bukan salahmu, karena kami datang mendadak tanpa pemberitahuan,” jawab Pak Darmawan sembari
Aku mendesak Mas Reindra untuk memberitahukan kejutan apa yang dimaksud olehnya. Namun, ia tidak mau mengatakan apa-apa dengan alasan belum tiba waktunya.Sempat aku berpikir bahwa dia akan menyusul aku ke Jogja. Namun, hal itu sepertinya mustahil karena Mas Reindra masih berada di Sulawesi. Lagi pula setiap kali dia melakukan perjalanan di luar urusan bisnis, dia pasti akan mengajak Maura. Padahal saat ini, Maura sedang menginap selama satu minggu di rumah Pak Darmawan.Usai menelepon Mas Reindra, aku pun mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Aku melihat sebentar ke arah koper yang akan kubawa ke Jogja besok pagi. Akhirnya, aku akan bertemu dengan putra kecilku setelah berbulan-bulan kami tidak bertemu. Meski hanya tiga hari, aku akan berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin.Tak terasa, aku pun terlelap dalam tidur hingga alarm di ponselku berbunyi. Seperti mesin otomatis, kelopak mataku langsung terbuka lebar. Lantaran aku tidak sabar untuk melepas rindu kepada p
Detik ini juga aku mengalami dilema yang berat karena permintaan Mas Yoga. Aku tahu dia sedang membutuhkan pekerjaan untuk menyambung biaya hidup. Namun, di PT. Sejahtera sedang tidak ada lowongan pekerjaan, kecuali di cabang baru yang berlokasi di Sulawesi.Sedangkan untuk Ibu, kemungkinan besar Beliau tidak akan mau menerima Mas Yoga karena terlanjur membenci lelaki itu. Siapa yang tidak akan antipati dengan seorang pencuri dan pembohong seperti Mas Yoga. Jangankan menjadi pegawainya, bertemu Mas Yoga saja Ibu pasti sudah enggan.“Rista, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak mau membantu aku? Kalau kamu masih dendam padaku, paling tidak ingatlah Zidan dan ayahku. Gara-gara kita berpisah, ayahku kepikiran dan sering jatuh sakit. Sebagai anak tertua, aku semestinya bertanggung jawab untuk membiayai pengobatan ayahku,” ungkap Mas Yoga.Tanpa sadar, aku menyentuh pelipisku sendiri karena ikut pusing memikirkan masalah Mas Yoga.“Iya, aku sudah mengetahuinya dari Dian. Sekitar dua bulan
Kini, aku melewati hari demi hari sebagai karyawan PT. Sejahtera. Tak terasa hampir dua bulan lamanya aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Mas Reindra. Bukan jauh dalam arti yang sebenarnya, tetapi kami sengaja tidak bertemu kecuali untuk urusan pekerjaan. Memang begitulah komitmen yang harus kami jalani sekarang. Walaupun secara fisik tidak bersama, kami masih berkomunikasi aktif lewat telepon untuk mengetahui kegiatan masing-masing.Terkadang di hari Minggu, Maura minta ditemani olehku untuk berbelanja atau sekadar bermain di mall, tetapi Mas Reindra tidak pernah ikut. Dia memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti berolah raga, bersepeda, atau mengurusi ikan peliharaannya. Akhir-akhir ini, dia memang memiliki hobi baru, yaitu mengoleksi berbagai jenis ikan laut di akuarium. Katanya dengan melihat ikan dia bisa sedikit terhibur saat merindukan aku.Melalui informasi yang diberikan Pak Ridwan, proses di pengadilan berjalan dengan lancar dan hampir mencapai tahap akhir. Selama
“Mas, aku sedang serius kamu malah bercanda,” ucapku berdecak sebal. Mas Reindra hanya terkekeh sambil memelukku kembali.“Siapa bilang aku bercanda? Aku bisa berubah menjadi penculik jika itu menyangkut kamu,” katanya memasang ekspresi serius.“Sudah, jangan merayuku lagi. Kita pulang sekarang, Mas.”Buru-buru aku melepaskan diri dari Mas Reindra sambil merapikan baju dan rambutku yang berantakan. Kemudian, aku berpindah dari kursi belakang menuju ke depan. Beban yang ada di pundakku serasa terangkat, karena kami berdua mencapai kata sepakat.Tak sampai sepuluh menit, kami telah sampai di villa. Sebelum keluar dari mobil, aku pun bercermin di kaca spion. Aku ingin mengecek sekiranya ada tanda merah atau bekas yang ditinggalkan Mas Reindra. Bila memang ada, aku harus menutupinya agar tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di villa.“Tenang saja, Sayang, aku tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bibirmu yang sedikit bengkak,” ucap Mas Reindra dengan wajah tanpa dosa.Aku mencebik
Mas Reindra terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sungguh cemas dia akan gelap mata dan mengajakku ke tempat yang berbahaya. Namun, aku segera menepis pikiran itu karena aku tahu bahwa Mas Reindra adalah orang yang bijak dan dewasa. Tidak mungkin ia melakukan sesuatu yang membahayakan aku dan dirinya sendiri. Apalagi, dia masih punya tanggung-jawab untuk mendidik dan membesarkan Maura.Mas Reindra menghentikan mobilnya di sebuah kawasan mirip hutan kecil. Tidak ada satu kendaraan pun yang lewat di lokasi itu, sehingga suasana di sekitar kami sangat sepi. Meski demikian, aku tahu lokasi ini dekat dengan villa tempat kami menginap.“Mas, untuk apa kita berhenti di sini? Kita harus pulang karena ini hampir tengah malam. Bagaimana jika Pak Darmawan dan Bu Alya tahu kita masih berduaan di luar?” tanyaku gugup.Mas Reindra tidak menjawab, tetapi ia malah memiringkan wajahnya untuk menatapku. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh pada sinar matanya.“Kamu selalu saja mencema
Membaca pesan itu, debaran jantungku jadi tak menentu. Aku merasa was-was untuk menemui dan mendengarkan apa yang dikatakan Mas Reindra. Jujur, aku takut bila Pak Darmawan juga meminta Mas Reindra untuk mengakhiri hubungan kami.Untuk meredakan rasa gelisah yang membuncah, aku berbaring sambil menunggu jam sepuluh tiba. Tiba-tiba aku teringat pada ibu kandungku dan juga mantan ayah mertuaku. Aku baru menyadari bahwa pernikahan dan perceraian selalu melibatkan orang tua. Jika anak mereka bermasalah, maka orang tua yang akan terkena imbasnya. Pantas saja Pak Darmawan dan Bu Alya sangat menaruh perhatian kepada pasangan hidup Mas Reindra. Terlebih dari pengalamanku yang pernah gagal berumah tangga, mungkin mereka akan semakin meragukan karakterku.Memikirkan semua ini membuat hatiku serasa ditusuk oleh duri-duri tajam. Gara-gara masalah rumah tanggaku, banyak orang tua yang terlibat di dalamnya. Padahal semestinya di usia senja, mereka bisa hidup dengan tenang tanpa harus terbebani oleh
Dengan menerima arloji tersebut, aku berhasil menyelesaikan tantangan terakhir. Tidak ada yang berani berkomentar mengenai aku dan Mas Reindra, khususnya saat aku mengembalikan arloji itu ke tangan pemiliknya. Tanpa bicara sekalipun, mereka pasti sudah mengetahui bahwa aku bukanlah sekadar bawahan untuk Mas Reindra. Mana mungkin seorang pria yang memiliki jabatan tinggi mau memberikan barang pribadinya kepada wanita yang bukan siapa-siapa.Permainan pun berlanjut satu putaran lagi dan aku-lah yang bertugas memutar botol. Ketika botol itu berhenti, aku terperanjat karena Mas Reindra yang terpilih. Seolah-olah benang takdir selalu mengikat kami berdua.Aku pun merasakan suasana di sekitarku mendadak tegang. Sepertinya semua menahan napas, termasuk diriku sendiri. Entah aku harus bagaimana sekarang, karena aku yang harus memberikan pertanyaan kepada Mas Reindra. Seketika mulutku terasa kering, sehingga aku harus menelan ludah beberapa kali.“Wah, Bapak baru datang langsung dapat giliran.
Seperti orang yang mengalami hipnosis, aku terdiam tanpa berucap apa-apa. Serangan telak yang aku terima dari Bu Alya membuat daya pikirku seakan melemah. Rasanya aku bagai terhantam oleh palu gada dan terjebak ke dalam lapisan kabut yang tebal.Tak hanya gagal berpikir, seluruh sarafku juga serasa sulit untuk digerakkan. Aku pun mematung layaknya orang yang baru saja terkena kutuk. Kesadaranku baru kembali saat suara Bu Alya menggema di telingaku.“Arista, saat ini Pak Darmawan juga sedang bicara dengan Reindra. Kami ingin meminta pengertian dari kalian berdua. Sebelum hubungan kalian bertambah dalam, lebih baik berpisah sekarang. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk saling melupakan,” kata Bu Alya berusaha mempertahankan nada suaranya. Terlihat jelas bahwa dia tak ingin mengumbar emosi yang berlebihan di hadapanku.Entah dari mana sumbernya, mendadak setitik keberanian bangkit dari dalam diriku. Aku merasa perlu membela diri dan mengatakan kebenaran kepada Bu Alya mengenai kondisik