Setelah baca, jangan lupa vote dan komen, Kakak Cantik
Meski penasaran, aku tidak berani bertanya kepada Pak Reindra mengenai sosok wanita yang disinggungnya tadi. Biarlah itu menjadi rahasianya sendiri, karena bagaimanapun aku tidak berhak mengorek isi hati orang lain. Aku harus sadar di mana posisiku saat ini. Apalagi di antara kami terbentang sebuah jurang pemisah yang sangat sulit untuk diseberangi. Selepas puding yang aku makan habis, Pak Reindra pun mengajakku pulang. Di dalam mobil, kami tidak banyak mengobrol karena hari sudah cukup malam. Bahkan aku hampir saja tertidur saat perjalanan kami terhenti akibat kemacetan ibu kota. Namun, aku berusaha membuka bola mataku lebar-lebar supaya jangan sampai ketiduran. Sekitar jam sembilan malam, aku baru tiba di kos. Untung saja jam malam di Kos Kartika adalah pukul sepuluh, sehingga aku tidak takut akan terkunci di luar gerbang. “Pak, terima kasih sudah mentraktir saya makan dan mengantarkan saya sampai di kos,” ucapku sebelum membuka pintu mobil. “Hanya berterima kasih saja?” tanya Pa
Perkataan lelaki itu bak suara sirine yang berdengung-dengung di indera pendengaranku, membuat kepalaku terasa berdenyut seperti dihantam oleh batu besar. Belum selesai masalah yang satu, sudah timbul masalah lain yang menghadang. Bahkan setelah kami berpisah, Mas Yoga masih melibatkan aku dalam lingkaran masalahnya. Aku jadi bertanya-tanya apakah Mas Yoga memang bentuk cobaan yang diberikan alam semesta kepadaku. Ataukah aku sedang diuji secara kekuatan dan kesabaran, hingga harus selalu terkena imbas dari perbuatannya. “Maaf, Pak, sudah saya tegaskan sejak tadi bahwa saya tidak berurusan lagi dengan mantan suami saya. Segala utangnya di luaran sana sama sekali bukan tanggung-jawab saya. Jadi, percuma saja Bapak menghubungi saya terus-menerus, karena saya tidak bisa memberikan solusi apa-apa. Setelah ini, tolong jangan pernah mengganggu saya lagi.” Tanpa berbasa-basi, aku memutuskan sambungan telepon itu secara sepihak. Aku sudah tidak peduli dengan tata krama, karena pria ini telah
Sesudah taksi online yang kupesan datang, aku buru-buru berangkat menuju ke rumah Pak Reindra. Sempat terbersit di pikiranku bahwa tidaklah pantas aku bertandang ke rumah seorang pria di malam hari, sementara aku akan menyandang status janda. Namun, aku segera mengabaikannya, karena kesehatan Maura adalah yang terpenting saat ini. Taksi yang kutumpangi pun membelah jalanan ibu kota yang padat merayap. Geliat aktivitas di kota metropolitan memang tak pernah padam meski siang telah berganti malam. Justru suasana tampak lebih hidup dengan kerlap-kerlip lampu yang menghiasi berbagai tempat hiburan. Sesekali aku memandang keluar jendela untuk melihat antrian mobil yang ada di depan sana. Dalam kondisi begini, aku bahkan berkhayal bisa naik taksi terbang agar segera sampai di rumah Maura. Untung saja kemacetan yang menghadangku lekas terurai, sehingga taksiku bisa melaju lebih cepat. Begitu sampai di kompleks perumahan Pak Reindra, aku melihat Pak Sam sudah menunggu kedatanganku di gerban
Antara sadar dan tidak, aku merasakan tangan seseorang menyentuh lenganku. Disusul dengan sebuah suara yang memanggil-manggilku dari alam penuh ilusi. Dengan susah payah, aku berusaha mengumpulkan nyawa yang belum terkumpul seluruhnya. Sambil menggeliatkan tubuh, aku membuka kelopak mata perlahan-lahan untuk melihat siapa yang telah membangunkan aku. “Mbak Ratna…,” lirihku seraya menajamkan pandangan. “Maaf, saya terpaksa mengganggu istirahat Ibu karena ada masalah.” Melihat ekspresi Mbak Ratna yang cemas, aku berusaha untuk bangun meski saraf-sarafku masih terasa lemas. Yang pertama terlintas di benakku tentu saja adalah Maura. Lekas saja aku menoleh ke samping untuk mengecek bagaimana kondisinya. Melihat gadis kecil itu masih terlelap, aku langsung menarik napas lega. Terlebih saat kusentuh keningnya, suhu tubuh Maura sudah tidak panas lagi. “Maura baik-baik saja, kok, Mbak,” jawabku dengan suara serak khas bangun tidur. “Masalahnya bukan pada Maura, Bu. Tuan Reindra baru saj
“Hmppthh!” Aku berusaha memberontak, tetapi Pak Reindra malah semakin menekan bibirnya untuk memperdalam ciuman kami. Pengaruh alkohol membuatnya seakan tuli terhadap semua permohonanku. Bahkan ia menggigit bibir bawahku, agar aku membuka mulut dan memberikan akses yang lebih kepadanya. Ketika mulutku terbuka, dia langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk membelitkan lidah kami. Lambat laun, aku menjadi lemah dan terbuai oleh ciuman yang diberikan Pak Reindra. Entah mengapa semua ini terasa begitu indah, hingga mampu menggetarkan seluruh saraf di tubuhku. Aku pernah menjadi seorang istri dan ini bukanlah pengalaman pertamaku dicium oleh seorang pria. Namun, aku tidak pernah merasakan kehangatan semacam ini selama menikah dengan Mas Yoga. Kami memang jarang bermesraan. Bahkan di saat dia meminta hak sebagai suami, kerap kali dia hanya mencari kenikmatan sendiri tanpa memikirkan perasaanku. Hal ini sangat berbeda dengan yang aku alami sekarang. Meski Pak Reindra dalam kondisi mabuk,
“Bagaimana, Dok, kondisi Maura?” tanyaku kepada dokter Noval. Menurut Mbak Ratna, dokter spesialis anak yang masih terbilang muda itu adalah dokter langganan Maura. Dokter Noval mengetikkan sesuatu, lantas memutar laptopnya menghadap ke arahku. “Tenggorokan Maura berwarna merah dan ada bintik-bintik putih seperti ini, Bu. Maura mengalami infeksi bakteri. Saya akan memberikan antibiotik yang harus diminum selama lima hari, obat racikan untuk mengurangi gejala pilek, dan obat semprot untuk hidung.” “Apa ada pantangan makan untuk Maura, Dok?” tanyaku ingin memastikan. “Untuk sementara, Maura tidak boleh makan makanan yang berminyak, dan harus istirahat yang cukup.” “Baik, Dok. Boleh saya minta surat keterangan sakit untuk Maura, supaya bisa diberikan ke sekolahnya?” pintaku. “Bisa, Bu, saya akan membuat surat istirahat selama tiga hari. Nanti Ibu bisa memintanya kepada perawat yang bertugas di depan.” Aku menunggu dokter itu selesai menuliskan resep, kemudian mengucapkan terima kas
Aku serasa bermimpi ketika mendengar Pak Reindra mengucapkan hal itu. Hingga detik ini, aku masih belum mengerti alasannya menyuruhku untuk tidak bersikap formal. Bahkan sikapnya yang meminta perhatian dariku, seperti seorang laki-laki yang sedang cemburu karena tidak diperhatikan oleh kekasihnya. Sungguhkah ia menjadi begini karena mengingat kejadian semalam?“Lagi-lagi kamu melamun dan tidak mau menjawabku,” tegur Pak Reindra.Aku pun gelagapan dan memandang Pak Reindra dengan rasa kikuk.“Maaf, saya belum bisa mengikuti kemauan Bapak. Karena Bapak adalah atasan saya, dan saya tidak mungkin bicara dengan Bapak seperti bicara dengan seorang teman,” kilahku memberikan alasan.“Rista, kenapa kamu pura-pura bodoh begini? Sudahlah, kita lanjutkan pembahasan ini saat makan malam. Tunggu sebentar, aku lupa mengambil sesuatu.”Ketika Pak Reindra berbalik menuju ke mobilnya, aku buru-buru mengikutinya dari belakang.“Pak, saya minta izin pulang sekarang dan kembali ke kos,” ujarku. Aku mema
Aku menurut saja ketika Pak Reindra mengajakku ke ruang makan, kendati aku tidak tahu apa yang dimaksud olehnya dengan situasi tidak biasa. Dalam sekejap, rasa penasaranku telah terjawab. Aku terkesima saat melihat ruang makan yang hanya diterangi oleh sinar lilin. Pencahayaan yang temaram membuat kami serasa berada di sebuah restoran dan akan melakukan dinner romantis. Ada empat buah lilin yang dipasang di setiap sudut meja, sedangkan di bagian tengah dihiasi enam tangkai mawar yang tertata rapi di dalam vas bunga. Bukan hanya itu, di meja telah berjajar berbagai hidangan. Jika dilihat dari tampilannya, makanan tersebut pasti berasal dari restoran ternama, bukan masakan rumahan buatan Bi Eni. Yang lebih mengejutkan lagi, hanya ada dua buah kursi di sana. Pak Reindra pun melepaskan tautan tangan kami, lalu menarik salah satu kursi. Sikapnya yang sangat gentleman ini membuatku merasa dihargai sebagai seorang wanita. “Duduklah, Rista, kita makan dulu sebelum bicara.” Aku mengira dia
Masih dilanda kebingungan, aku melangkah ke ruang tamu beriringan dengan Maura dan Zidan. Melihat Pak Darmawan dan Bu Alya tengah duduk melingkar di sofa, aku hanya bisa berdiri mematung. Perasaanku menjadi campur aduk saat tatapan mataku terkunci dengan sorot mata Mas Reindra. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pria itu seolah-olah ingin mengirimkan pesan kepadaku melalui tatapan matanya. Dan entah mengapa aku bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Aku tahu Mas Reindra ingin kejutan darinya bisa membuatku bahagia, bukan malah gugup seperti ini. “Arista, akhirnya kamu datang juga. Pak Darmawan dan Bu Alya sudah menunggu dari tadi,” tegur Ibu. Dengan menepis rasa canggung, aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Pak Darmawan dan Bu Alya. “Pak Darmawan, Bu Alya, maaf saya tidak menyambut Anda dan malah pergi ke luar rumah,” kataku tidak enak hati. “Tidak apa-apa, Arista. Ini bukan salahmu, karena kami datang mendadak tanpa pemberitahuan,” jawab Pak Darmawan sembari
Aku mendesak Mas Reindra untuk memberitahukan kejutan apa yang dimaksud olehnya. Namun, ia tidak mau mengatakan apa-apa dengan alasan belum tiba waktunya.Sempat aku berpikir bahwa dia akan menyusul aku ke Jogja. Namun, hal itu sepertinya mustahil karena Mas Reindra masih berada di Sulawesi. Lagi pula setiap kali dia melakukan perjalanan di luar urusan bisnis, dia pasti akan mengajak Maura. Padahal saat ini, Maura sedang menginap selama satu minggu di rumah Pak Darmawan.Usai menelepon Mas Reindra, aku pun mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Aku melihat sebentar ke arah koper yang akan kubawa ke Jogja besok pagi. Akhirnya, aku akan bertemu dengan putra kecilku setelah berbulan-bulan kami tidak bertemu. Meski hanya tiga hari, aku akan berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin.Tak terasa, aku pun terlelap dalam tidur hingga alarm di ponselku berbunyi. Seperti mesin otomatis, kelopak mataku langsung terbuka lebar. Lantaran aku tidak sabar untuk melepas rindu kepada p
Detik ini juga aku mengalami dilema yang berat karena permintaan Mas Yoga. Aku tahu dia sedang membutuhkan pekerjaan untuk menyambung biaya hidup. Namun, di PT. Sejahtera sedang tidak ada lowongan pekerjaan, kecuali di cabang baru yang berlokasi di Sulawesi.Sedangkan untuk Ibu, kemungkinan besar Beliau tidak akan mau menerima Mas Yoga karena terlanjur membenci lelaki itu. Siapa yang tidak akan antipati dengan seorang pencuri dan pembohong seperti Mas Yoga. Jangankan menjadi pegawainya, bertemu Mas Yoga saja Ibu pasti sudah enggan.“Rista, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak mau membantu aku? Kalau kamu masih dendam padaku, paling tidak ingatlah Zidan dan ayahku. Gara-gara kita berpisah, ayahku kepikiran dan sering jatuh sakit. Sebagai anak tertua, aku semestinya bertanggung jawab untuk membiayai pengobatan ayahku,” ungkap Mas Yoga.Tanpa sadar, aku menyentuh pelipisku sendiri karena ikut pusing memikirkan masalah Mas Yoga.“Iya, aku sudah mengetahuinya dari Dian. Sekitar dua bulan
Kini, aku melewati hari demi hari sebagai karyawan PT. Sejahtera. Tak terasa hampir dua bulan lamanya aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Mas Reindra. Bukan jauh dalam arti yang sebenarnya, tetapi kami sengaja tidak bertemu kecuali untuk urusan pekerjaan. Memang begitulah komitmen yang harus kami jalani sekarang. Walaupun secara fisik tidak bersama, kami masih berkomunikasi aktif lewat telepon untuk mengetahui kegiatan masing-masing.Terkadang di hari Minggu, Maura minta ditemani olehku untuk berbelanja atau sekadar bermain di mall, tetapi Mas Reindra tidak pernah ikut. Dia memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti berolah raga, bersepeda, atau mengurusi ikan peliharaannya. Akhir-akhir ini, dia memang memiliki hobi baru, yaitu mengoleksi berbagai jenis ikan laut di akuarium. Katanya dengan melihat ikan dia bisa sedikit terhibur saat merindukan aku.Melalui informasi yang diberikan Pak Ridwan, proses di pengadilan berjalan dengan lancar dan hampir mencapai tahap akhir. Selama
“Mas, aku sedang serius kamu malah bercanda,” ucapku berdecak sebal. Mas Reindra hanya terkekeh sambil memelukku kembali.“Siapa bilang aku bercanda? Aku bisa berubah menjadi penculik jika itu menyangkut kamu,” katanya memasang ekspresi serius.“Sudah, jangan merayuku lagi. Kita pulang sekarang, Mas.”Buru-buru aku melepaskan diri dari Mas Reindra sambil merapikan baju dan rambutku yang berantakan. Kemudian, aku berpindah dari kursi belakang menuju ke depan. Beban yang ada di pundakku serasa terangkat, karena kami berdua mencapai kata sepakat.Tak sampai sepuluh menit, kami telah sampai di villa. Sebelum keluar dari mobil, aku pun bercermin di kaca spion. Aku ingin mengecek sekiranya ada tanda merah atau bekas yang ditinggalkan Mas Reindra. Bila memang ada, aku harus menutupinya agar tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di villa.“Tenang saja, Sayang, aku tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bibirmu yang sedikit bengkak,” ucap Mas Reindra dengan wajah tanpa dosa.Aku mencebik
Mas Reindra terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sungguh cemas dia akan gelap mata dan mengajakku ke tempat yang berbahaya. Namun, aku segera menepis pikiran itu karena aku tahu bahwa Mas Reindra adalah orang yang bijak dan dewasa. Tidak mungkin ia melakukan sesuatu yang membahayakan aku dan dirinya sendiri. Apalagi, dia masih punya tanggung-jawab untuk mendidik dan membesarkan Maura.Mas Reindra menghentikan mobilnya di sebuah kawasan mirip hutan kecil. Tidak ada satu kendaraan pun yang lewat di lokasi itu, sehingga suasana di sekitar kami sangat sepi. Meski demikian, aku tahu lokasi ini dekat dengan villa tempat kami menginap.“Mas, untuk apa kita berhenti di sini? Kita harus pulang karena ini hampir tengah malam. Bagaimana jika Pak Darmawan dan Bu Alya tahu kita masih berduaan di luar?” tanyaku gugup.Mas Reindra tidak menjawab, tetapi ia malah memiringkan wajahnya untuk menatapku. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh pada sinar matanya.“Kamu selalu saja mencema
Membaca pesan itu, debaran jantungku jadi tak menentu. Aku merasa was-was untuk menemui dan mendengarkan apa yang dikatakan Mas Reindra. Jujur, aku takut bila Pak Darmawan juga meminta Mas Reindra untuk mengakhiri hubungan kami.Untuk meredakan rasa gelisah yang membuncah, aku berbaring sambil menunggu jam sepuluh tiba. Tiba-tiba aku teringat pada ibu kandungku dan juga mantan ayah mertuaku. Aku baru menyadari bahwa pernikahan dan perceraian selalu melibatkan orang tua. Jika anak mereka bermasalah, maka orang tua yang akan terkena imbasnya. Pantas saja Pak Darmawan dan Bu Alya sangat menaruh perhatian kepada pasangan hidup Mas Reindra. Terlebih dari pengalamanku yang pernah gagal berumah tangga, mungkin mereka akan semakin meragukan karakterku.Memikirkan semua ini membuat hatiku serasa ditusuk oleh duri-duri tajam. Gara-gara masalah rumah tanggaku, banyak orang tua yang terlibat di dalamnya. Padahal semestinya di usia senja, mereka bisa hidup dengan tenang tanpa harus terbebani oleh
Dengan menerima arloji tersebut, aku berhasil menyelesaikan tantangan terakhir. Tidak ada yang berani berkomentar mengenai aku dan Mas Reindra, khususnya saat aku mengembalikan arloji itu ke tangan pemiliknya. Tanpa bicara sekalipun, mereka pasti sudah mengetahui bahwa aku bukanlah sekadar bawahan untuk Mas Reindra. Mana mungkin seorang pria yang memiliki jabatan tinggi mau memberikan barang pribadinya kepada wanita yang bukan siapa-siapa.Permainan pun berlanjut satu putaran lagi dan aku-lah yang bertugas memutar botol. Ketika botol itu berhenti, aku terperanjat karena Mas Reindra yang terpilih. Seolah-olah benang takdir selalu mengikat kami berdua.Aku pun merasakan suasana di sekitarku mendadak tegang. Sepertinya semua menahan napas, termasuk diriku sendiri. Entah aku harus bagaimana sekarang, karena aku yang harus memberikan pertanyaan kepada Mas Reindra. Seketika mulutku terasa kering, sehingga aku harus menelan ludah beberapa kali.“Wah, Bapak baru datang langsung dapat giliran.
Seperti orang yang mengalami hipnosis, aku terdiam tanpa berucap apa-apa. Serangan telak yang aku terima dari Bu Alya membuat daya pikirku seakan melemah. Rasanya aku bagai terhantam oleh palu gada dan terjebak ke dalam lapisan kabut yang tebal.Tak hanya gagal berpikir, seluruh sarafku juga serasa sulit untuk digerakkan. Aku pun mematung layaknya orang yang baru saja terkena kutuk. Kesadaranku baru kembali saat suara Bu Alya menggema di telingaku.“Arista, saat ini Pak Darmawan juga sedang bicara dengan Reindra. Kami ingin meminta pengertian dari kalian berdua. Sebelum hubungan kalian bertambah dalam, lebih baik berpisah sekarang. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk saling melupakan,” kata Bu Alya berusaha mempertahankan nada suaranya. Terlihat jelas bahwa dia tak ingin mengumbar emosi yang berlebihan di hadapanku.Entah dari mana sumbernya, mendadak setitik keberanian bangkit dari dalam diriku. Aku merasa perlu membela diri dan mengatakan kebenaran kepada Bu Alya mengenai kondisik