Tinggalkan jejak vote dan komen ya
“Hmppthh!” Aku berusaha memberontak, tetapi Pak Reindra malah semakin menekan bibirnya untuk memperdalam ciuman kami. Pengaruh alkohol membuatnya seakan tuli terhadap semua permohonanku. Bahkan ia menggigit bibir bawahku, agar aku membuka mulut dan memberikan akses yang lebih kepadanya. Ketika mulutku terbuka, dia langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk membelitkan lidah kami. Lambat laun, aku menjadi lemah dan terbuai oleh ciuman yang diberikan Pak Reindra. Entah mengapa semua ini terasa begitu indah, hingga mampu menggetarkan seluruh saraf di tubuhku. Aku pernah menjadi seorang istri dan ini bukanlah pengalaman pertamaku dicium oleh seorang pria. Namun, aku tidak pernah merasakan kehangatan semacam ini selama menikah dengan Mas Yoga. Kami memang jarang bermesraan. Bahkan di saat dia meminta hak sebagai suami, kerap kali dia hanya mencari kenikmatan sendiri tanpa memikirkan perasaanku. Hal ini sangat berbeda dengan yang aku alami sekarang. Meski Pak Reindra dalam kondisi mabuk,
“Bagaimana, Dok, kondisi Maura?” tanyaku kepada dokter Noval. Menurut Mbak Ratna, dokter spesialis anak yang masih terbilang muda itu adalah dokter langganan Maura. Dokter Noval mengetikkan sesuatu, lantas memutar laptopnya menghadap ke arahku. “Tenggorokan Maura berwarna merah dan ada bintik-bintik putih seperti ini, Bu. Maura mengalami infeksi bakteri. Saya akan memberikan antibiotik yang harus diminum selama lima hari, obat racikan untuk mengurangi gejala pilek, dan obat semprot untuk hidung.” “Apa ada pantangan makan untuk Maura, Dok?” tanyaku ingin memastikan. “Untuk sementara, Maura tidak boleh makan makanan yang berminyak, dan harus istirahat yang cukup.” “Baik, Dok. Boleh saya minta surat keterangan sakit untuk Maura, supaya bisa diberikan ke sekolahnya?” pintaku. “Bisa, Bu, saya akan membuat surat istirahat selama tiga hari. Nanti Ibu bisa memintanya kepada perawat yang bertugas di depan.” Aku menunggu dokter itu selesai menuliskan resep, kemudian mengucapkan terima kas
Aku serasa bermimpi ketika mendengar Pak Reindra mengucapkan hal itu. Hingga detik ini, aku masih belum mengerti alasannya menyuruhku untuk tidak bersikap formal. Bahkan sikapnya yang meminta perhatian dariku, seperti seorang laki-laki yang sedang cemburu karena tidak diperhatikan oleh kekasihnya. Sungguhkah ia menjadi begini karena mengingat kejadian semalam?“Lagi-lagi kamu melamun dan tidak mau menjawabku,” tegur Pak Reindra.Aku pun gelagapan dan memandang Pak Reindra dengan rasa kikuk.“Maaf, saya belum bisa mengikuti kemauan Bapak. Karena Bapak adalah atasan saya, dan saya tidak mungkin bicara dengan Bapak seperti bicara dengan seorang teman,” kilahku memberikan alasan.“Rista, kenapa kamu pura-pura bodoh begini? Sudahlah, kita lanjutkan pembahasan ini saat makan malam. Tunggu sebentar, aku lupa mengambil sesuatu.”Ketika Pak Reindra berbalik menuju ke mobilnya, aku buru-buru mengikutinya dari belakang.“Pak, saya minta izin pulang sekarang dan kembali ke kos,” ujarku. Aku mema
Aku menurut saja ketika Pak Reindra mengajakku ke ruang makan, kendati aku tidak tahu apa yang dimaksud olehnya dengan situasi tidak biasa. Dalam sekejap, rasa penasaranku telah terjawab. Aku terkesima saat melihat ruang makan yang hanya diterangi oleh sinar lilin. Pencahayaan yang temaram membuat kami serasa berada di sebuah restoran dan akan melakukan dinner romantis. Ada empat buah lilin yang dipasang di setiap sudut meja, sedangkan di bagian tengah dihiasi enam tangkai mawar yang tertata rapi di dalam vas bunga. Bukan hanya itu, di meja telah berjajar berbagai hidangan. Jika dilihat dari tampilannya, makanan tersebut pasti berasal dari restoran ternama, bukan masakan rumahan buatan Bi Eni. Yang lebih mengejutkan lagi, hanya ada dua buah kursi di sana. Pak Reindra pun melepaskan tautan tangan kami, lalu menarik salah satu kursi. Sikapnya yang sangat gentleman ini membuatku merasa dihargai sebagai seorang wanita. “Duduklah, Rista, kita makan dulu sebelum bicara.” Aku mengira dia
Hatiku bergetar hebat ketika mendengar pertanyaan Pak Reindra. Aku tak menyangka peristiwa bak cerita dongeng ini akan terjadi dalam hidupku. Seorang pria tampan dengan mawar merah di tangannya sedang menawarkan sebuah cinta yang baru. Dan di detik ini juga ia sedang mengharapkan jawaban dariku. Oh, Tuhan, rasanya aku ingin pingsan sekarang juga. Aku masih terombang-ambing antara menjawab dengan jujur atau menyembunyikan saja perasaanku terhadapnya. Sungguh dilema ini telah menyiksa batinku berkali-kali. Ingin rasanya aku mencetuskan sebuah kalimat, tetapi tidak ada vibrasi suara yang keluar dari tenggorokanku. Dalam pendar cahaya lilin yang menyinari ruang makan, Pak Reindra menatapku sekali lagi. Seberkas sinar lilin terpantul dari iris matanya yang hitam pekat, membuatku jiwaku serasa tersesat ke dalamnya. “Rista, jawablah dengan jujur. Apa pun jawabanmu, aku tidak akan marah, dan itu tidak akan mengganggu pekerjaan kita di kantor.” Baru kali ini aku melihat sisi lain dari diri
Mas Reindra mengetatkan rahangnya ketika mendengar berita yang aku sampaikan. Terlihat jelas bahwa dia sedang cemburu. Melihat sikapnya ini, aku justru semakin yakin bahwa ia sungguh-sungguh mencintaiku. “Kamu tidak boleh membiarkan dia datang ke kantor, karena aku yakin Yoga memiliki maksud terselubung,” ujar Mas Reindra. “Iya, Mas, aku juga berpikir begitu. Tetapi aku harus bisa membuat alasan yang masuk akal, supaya dia batal menjemputku ke kantor.” Mas Reindra mengerutkan keningnya dalam-dalam, seolah sedang berpikir keras. Beberapa saat kemudian, ia mencetuskan sebuah gagasan untuk melindungi aku. “Katakan saja kepadanya bahwa kamu menghadiri meeting di luar kantor. Besok aku akan bertemu dengan Pak Wilmar dari Bank Sentosa, kamu bisa ikut denganku.” Mendengar ide Mas Reindra yang beresiko, aku pun menggeleng perlahan. “Jangan, Mas, nanti orang-orang kantor akan curiga. Aku hanya seorang supervisor yang tidak selayaknya menemani direktur untuk meeting dengan pihak bank. Ki
“Permisi, Pak, selamat pagi,” ucapku ketika memasuki ruangan Pak Yanuar. “Pagi Arista, silakan duduk. Apa kamu sudah merasa sehat hari ini?” tanya Pak Yanuar sembari memasang kaca matanya. “Iya, Pak,” jawabku singkat. Aku merasa bersalah karena sudah membohongi manajerku itu. Mana mungkin aku mengatakan kepadanya bahwa aku tidak masuk akibat terlibat perasaan dengan pimpinan tertinggi divisi keuangan. “Kamu mendapat tugas khusus dari Pak Reindra. Dia meminta laporan stok opname produk nugget dari beberapa outlet kita. Ini daftar outlet yang harus kamu kunjungi,” ujar Pak Yanuar menyodorkan selembar kertas ke tanganku. Aku menerima kertas tersebut, lalu membacanya dengan seksama. Ternyata Mas Reindra sudah menyusun jalur perjalananku sedemikian rupa, hingga pada kunjungan terakhir aku akan berada di Berlian Mart yang dekat dengan area kuliner. Dengan begitu, akan lebih mudah untukku mengatur pertemuan dengan Mas Yoga di salah satu kafe atau restoran. “Kamu akan diantar dan dibantu
Aku meminta Pak Eki untuk segera mengantarku ke Kafe Pleasure. Sengaja aku memilih kafe tersebut karena lokasinya berada di pinggir jalan, dekat dengan kawasan pertokoan. Dengan begitu, Mas Yoga tidak akan berani bertindak sembarangan terhadapku. Setelah sampai di kafe tersebut, aku bermaksud mentraktir Pak Eki untuk sekadar minum kopi atau membeli camilan. Sekaligus sebagai ucapan terima kasih, karena dia sudah membantu aku seharian ini. Akan tetapi, Pak Eki lebih memilih untuk menunggu di mobil sembari menikmati kepulan asap rokok. Sambil mengirimkan lokasiku kepada Mas Reindra, aku berjalan memasuki kafe. Sepertinya ponsel Mas Reindra sedang tidak aktif, sehingga pesanku belum terkirim. Namun, aku tidak mempermasalahkan hal itu, sebab aku tahu dia sedang menjalani sebuah rapat penting. Di dalam kafe, aku memilih meja paling belakang agar nanti percakapan kami tidak didengar oleh pengunjung lain. Bagaimanapun aku harus bersiap-siap apabila Mas Yoga menyulut pertengkaran di antara