Yuk beri komen dan rating untuk novel ini agar author selalu semangat update.
Dalam suasana hati yang masih pilu, aku teringat perkataan Pak Reindra mengenai makanan manis. Netraku otomatis menatap ke arah kue mochi yang masih terbungkus di dalam kotak. Mungkin dengan menuruti saran dari Pak Reindra, perasaanku akan menjadi lebih baik. Tanpa berpikir dua kali, aku meraih kotak mochi itu lantas membuka penutupnya. Dengan menggunakan telunjuk dan ibu jari, aku mengambil satu buah mochi. Begitu menyentuh lidah, kue yang kenyal itu langsung lumer dan menyebarkan rasa manis ke seluruh indera perasaku. Ternyata memakan kue mochi di kala sedih justru terasa lebih nikmat dibandingkan dalam keadaan biasa. Tak terasa, aku sudah menghabiskan empat buah kue mochi berukuran mungil. Anehnya, hatiku kini terasa lebih ringan dari sebelumnya. Seingatku makanan manis memang memicu produksi hormon serotonin yang dapat memperbaiki suasana hati. Dan itu sudah terbukti pada diriku sendiri. Selesai menikmati mochi, aku menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Rasanya begitu m
Aku berpikir untuk mengirimkan motor ini ke Sukabumi, tetapi biayanya pasti lumayan mahal. Mungkin akan lebih baik jika aku menunggu sampai mendapatkan tempat tinggal yang baru. Setelah itu, aku akan meninggalkan barang kepunyaan Mas Yoga di kontrakan supaya dia bisa mengambilnya. Terlebih barang milik Mas Yoga hanyalah sepeda motor, televisi, dan kipas angin, sehingga aku tidak akan kesulitan untuk memisahkannya. Merasa mantap dengan keputusanku sendiri, aku lantas memanaskan mesin motor. Aku akan menggunakan motor Mas Yoga untuk terakhir kalinya hari ini. Rencanaku usai menemani Maura, aku akan berkeliling mencari kontrakan atau kos yang bisa disewa per bulan. Jika memungkinkan aku ingin yang lokasinya berdekatan dengan kantorku. Sambil menunggu jam sebelas, aku mampir ke rumah Bu Siti untuk memberinya kue mochi. Mengingat Bu Siti sudah belasan tahun tinggal di daerah sini, siapa tahu dia juga memiliki informasi mengenai rumah petak atau kos-kosan khusus wanita. Ketika sampai di r
Aku sungguh terkejut mendengar perkataan Pak Reindra. Diam-diam aku mencubit lenganku sendiri tanpa sepengetahuannya, sekadar memastikan bahwa aku sedang tidak bermimpi. Karena lenganku terasa sakit, artinya apa yang diucapkan oleh bosku itu adalah nyata, bukan ilusi. “Ck, di keramaian seperti ini sempat-sempatnya kamu melamun,” tegur Pak Reindra menoleh ke arahku. Mendapat teguran darinya, sontak pipiku memanas. Entah sudah keberapa kalinya aku kepergok melamun di depan pria ini. “Maaf, Pak,” sahutku gelagapan. “Saya tidak butuh permintaan maaf, yang saya tanyakan kamu mau boneka yang mana. Kalau kamu tidak menjawab, saya akan mengambil sekenanya,” decih Pak Reindra. Saat ini, aku merasa seperti orang bodoh di hadapan bosku sendiri. Barangkali di dalam hatinya, Pak Reindra merasa heran kenapa putrinya bisa menyukai wanita sepertiku. “Terserah Bapak saja,” jawabku cepat. Menurutku semua boneka di dalam kotak kaca itu bagus, sehingga aku bingung untuk memilihnya. Mendengar jawaba
Aku masih berdiri mematung di depan pintu keluar. Melihat derasnya air hujan yang turun, aku memutuskan untuk menunggu saja. Karena meskipun aku memakai jas hujan, aku yakin jika tubuhku akan tetap basah. Saat sedang menunggu, aku terkejut karena sebuah tangan menyentuhku dari belakang. Sontak aku menoleh dan bertukar pandang dengan manik mata bulat yang begitu jernih. “Tante belum pulang?” tanya Maura. “Eh, belum, Maura. Tante masih menunggu hujan reda.” “Kalau begitu Tante ikut aku aja. Aku dan Daddy akan mengantar Tante ke mana pun Tante mau,” ujar Maura. “Nggak bisa, Sayang. Bagaimana dengan motor Tante kalau Tante ikut Maura?” Gadis kecil itu nampak berpikir sebentar, kemudian ia menggoyangkan lengan ayahnya. “Dad, panggil saja Pak Sam untuk mengambilkan motor Tante Arista nanti. Bisa ‘kan, Dad? Kasihan Tante Arista kalau kita tinggal sendirian,” tanya Maura penuh harap. Pak Reindra malah melirik kepadaku dengan wajah datar. “Bisa saja, tapi jika Tante Arista setuju. Teta
Dengan tergesa-gesa, aku berjalan menuju ke pintu sebelah timur yang dimaksud oleh Pak Reindra. Aku berteduh di sana bersama dengan beberapa orang pengunjung, sembari menunggu kedatangan Pak Reindra. Entah mengapa aku merasa gelisah setiap kali melihat mobil yang lewat. Aku berharap bahwa itu adalah mobil Pak Reindra yang akan segera datang untuk menjemputku. Menanti di tengah hujan, membuat aku sadar bahwa aku hanya sendirian di kota ini. Aku tidak punya siapa-siapa, baik itu keluarga, sanak saudara, maupun sahabat yang bisa berbagi cerita. Aku merasa bagaikan seorang wanita asing yang tersesat di tengah hiruk pikuk kota metropolitan. Di saat rasa sepi mendera jiwaku, terdengar bunyi klakson dari arah depan. Sontak, aku menoleh dan melihat mobil Pak Reindra sudah tiba. Dari kejauhan, aku juga melihat Maura menempelkan wajahnya di jendela mobil sambil melambaikan tangan kepadaku. Bak seorang musafir yang menemukan oase, aku hendak berlari menuju ke mobil. Namun Mbak Ratna sudah kelu
“I-iya, Pak,” jawabku berusaha menutupi rasa malu.Melihat reaksiku, Pak Reindra sepertinya tidak enak hati. Ia berdehem sebentar untuk mencairkan suasana yang terasa ganjil di antara kami.“Maaf, jika saya salah bicara, saya tidak bermaksud mencampuri urusan pribadimu. Sebenarnya saat ponselmu jatuh, saya tidak sengaja membaca pesan di dalamnya. Selama kita di Sukabumi, saya perhatikan kamu juga sering melamun dan tidak fokus. Selain itu, di restoran kamu tak lepas memandangi sepasang pria dan wanita yang berada di lantai bawah,” ucap Pak Reindra secara jujur.Hawa dingin merayap naik ke atas punggungku, tetapi wajahku justru terasa memanas. Tak kusangka Pak Reindra diam-diam memperhatikan gerak-gerikku saat kami melakukan perjalanan dinas ke Sukabumi. Aku melupakan fakta bahwa Pak Reindra adalah seorang pria yang detail dan jeli. Dia selalu bisa menemukan hal-hal kecil yang tak lazim dalam laporan keuangan. Tentu saja untuk mengamati perilaku seseorang bukanlah sesuatu yang sulit ba
“Saya teman sekaligus rekan kerjanya Arista, Bu. Nama saya Reindra,” jawab Pak Reindra membalas uluran tangan Bu Etik. Mendengar jawaban yang diberikan Pak Reindra, Bu Etik malah tersenyum lebar. “Semoga nanti dari teman, lanjut berjodoh jadi suami istri. Kalau Tuan butuh rumah setelah menikah, saya bisa carikan yang sesuai budget. Selain pemilik kos, saya ini juga makelar rumah yang terpercaya,” ujar Bu Etik malah mempromosikan dirinya. Pak Reindra hanya menanggapi ucapan Bu Etik dengan tersenyum kecut. Berbeda denganku yang merasa malu setengah mati. Aku pun berusaha mengalihkan obrolan dengan menanyakan kamar kos yang masih tersedia. “Bu, ada berapa kamar kos yang masih kosong?” potongku. “Ada dua, satu di lantai bawah, satu lagi di lantai dua. Mbak mau lihat yang mana?” tanya Bu Etik. “Saya akan melihat dua-duanya, Bu.” “Kalau begitu, kita ke kamar yang di bawah dulu.” Sebelum pergi dengan Bu Etik, aku menengok kepada Pak Reindra untuk berpamitan. “Pak, saya akan melihat k
Aku segera memutus kontak mata dengan Pak Reindra. Dengan gugup, aku buru-buru menegakkan badan agar bisa terlepas dari posisi yang memalukan ini. Tidak seperti biasanya, Pak Reindra juga terlihat canggung. Seiring dengan gerakanku, ia pun melepaskan tangannya dari pinggangku dan membiarkan aku melangkah ke lantai dua. “Aduh, jantung saya hampir copot lihat Mbak Arista tersandung. Maaf, ya, Mbak, mungkin tangganya licin karena ada minuman yang tumpah. Saya akan menyuruh Narti untuk mengepelnya,” ujar Bu Etik menghampiriku. Wajahnya sedikit pucat karena merasa takut sekaligus bersalah. “Tidak apa-apa, Bu, saya yang kurang berhati-hati. Yang mana kamarnya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. “Itu yang urutan ke tiga dari pojok, Mbak,” jawab Bu Etik sembari mengeluarkan kunci dari saku. Aku dan Bu Etik berjalan beriringan, sedangkan Pak Reindra mengikuti kami dengan menjaga jarak. Barangkali ia ingin menjaga citra dirinya di hadapanku setelah insiden yang tidak disengaja tadi. “Silakan