Yuk komen dan beri rating untuk mendukung novel ini
Peringatan bernada ancaman itu membuatku terperanjat. Entah apa maksudnya Mas Yoga berbicara tentang pernikahanku dengan laki-laki lain, padahal dia baru saja menjatuhkan talak. Yang lebih mengherankan lagi, dia sendiri yang berencana untuk menikahi Safa, tetapi dia malah menuduhku yang bukan-bukan. Andai suatu hari aku benar-benar membuka hati untuk pria lain, bukankah dia tidak berhak melarangnya? Kami sudah sepakat untuk berpisah, dan dia tidak memiliki hak atas diriku lagi. Lantas untuk apa dia menghalang-halangi perjalananku di masa depan? Dari ucapannya ini saja terlihat jelas bahwa dia memiliki sikap egois, iri hati, dan mau menang sendiri. Tak ingin terusik lebih lama, aku memilih untuk meninggalkan kos itu. Aku bahkan tak menghiraukan belasan pasang mata yang tertuju ke arahku. Dilihat dari beragam ekspresi mereka, aku yakin ada yang mengasihani aku sebagai istri yang diselingkuhi suami. Namun aku tak ingin ambil pusing. Toh, urusan pribadiku tak ada sangkut pautnya dengan p
Napasku serasa berhenti tatkala Pak Reindra menatap layar ponselku. Karena panik, lekas saja aku menghampiri Pak Reindra, lalu merampas ponsel itu dari tangannya. "Pak, maaf, ponsel saya," ujarku tanpa basa-basi. Bosku itu nampak terkejut melihat sikapku yang kurang sopan. Barangkali dia berpikir kenapa aku tidak menunggu hingga dia yang mengembalikan. Toh, dia juga tidak akan menahan ponselku lebih lama. Sebelum Pak Reindra memberikan respon, aku buru-buru menimpali ucapanku tadi. "Terima kasih karena sudah menyelamatkan ponsel saya, Pak." Pak Reindra tidak mengatakan apa pun. Dia malah melenggang pergi, meninggalkan aku yang masih terpaku di tempat. Melihat Pak Reindra menuruni anak tangga, aku pun mengikutinya dari belakang. Entah apa yang ada di pikiran Pak Reindra saat ini. Apakah dia sedang kesal karena tingkahku yang tidak sopan, atau dia sempat membaca isi pesan Mas Yoga tadi? Setibanya di lantai satu, aku berjalan lebih cepat dari Pak Reindra agar tiba terlebih dulu di k
Usai berbelanja di toko mochi, aku dan Pak Reindra langsung meluncur ke jalan tol. Kami akan menempuh perjalanan cukup lama, sehingga aku memilih untuk menikmati saja musik instrumen yang diputar oleh Pak Reindra di dalam mobil. “Rista, perjalanan kita masih sekitar dua jam lagi. Kamu boleh tidur kalau memang mengantuk, nanti saya bangunkan,” ujar Pak Reindra tiba-tiba. “Iya, Pak,” jawabku bersandar pada kursi mobil. Mana mungkin aku bisa tidur jika pikiranku masih runyam begini. Lebih baik aku menatap ke jalan sambil mendengarkan alunan musik. Terkadang mendengarkan musik justru bisa membuat jiwa dan pikiranku menjadi lebih tenang. Sedangkan Pak Reindra nampak mengarahkan atensi secara penuh kepada jalan tol di hadapannya. Di kala aku tengah memandangi jalan, aku merasakan ponselku bergetar-getar. Entah mengapa aku malas untuk mengangkatnya, karena aku yakin itu adalah Mas Yoga. Barangkali dia masih penasaran karena aku belum memberikan respon atas pesan yang dikirimnya tadi. Nya
Dalam kondisi terdesak, aku memaksa otakku untuk berpikir lebih cepat. Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan alasan klasik, agar aku bisa menolak keinginan Maura secara halus. “Maura, hari ini Tante nggak bisa ikut makan malam dengan Maura karena Tante ngantuk. Tante ingin cepat-cepat bobok di rumah Tante. Maaf ya, Sayang.” “Oh, Tante ngantuk ya. Kalau begitu besok aja kita main di Fantasia, setelah itu kita makan pizza dan spaghetti. Aku akan menemani Tante selama liburan supaya Tante nggak sendirian di rumah.” Kali ini aku mati kutu karena tidak bisa mencari alasan. Jika aku mengatakan akan pergi ke suatu tempat, pasti Maura tidak akan percaya. Aku pun melirik kepada Pak Reindra, mencoba mencari bantuan darinya. Namun bosku itu malah mengedikkan bahu, seolah cuci tangan dengan keadaanku. Bila sudah begini aku jadi bingung bagaimana menghindari ajakan Maura. “Tante kok diem? Aku jemput Tante besok jam sebelas ya. See you tomorrow, Tante Rista.” Sebelum aku menjawab, Maura sud
Dalam suasana hati yang masih pilu, aku teringat perkataan Pak Reindra mengenai makanan manis. Netraku otomatis menatap ke arah kue mochi yang masih terbungkus di dalam kotak. Mungkin dengan menuruti saran dari Pak Reindra, perasaanku akan menjadi lebih baik. Tanpa berpikir dua kali, aku meraih kotak mochi itu lantas membuka penutupnya. Dengan menggunakan telunjuk dan ibu jari, aku mengambil satu buah mochi. Begitu menyentuh lidah, kue yang kenyal itu langsung lumer dan menyebarkan rasa manis ke seluruh indera perasaku. Ternyata memakan kue mochi di kala sedih justru terasa lebih nikmat dibandingkan dalam keadaan biasa. Tak terasa, aku sudah menghabiskan empat buah kue mochi berukuran mungil. Anehnya, hatiku kini terasa lebih ringan dari sebelumnya. Seingatku makanan manis memang memicu produksi hormon serotonin yang dapat memperbaiki suasana hati. Dan itu sudah terbukti pada diriku sendiri. Selesai menikmati mochi, aku menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Rasanya begitu m
Aku berpikir untuk mengirimkan motor ini ke Sukabumi, tetapi biayanya pasti lumayan mahal. Mungkin akan lebih baik jika aku menunggu sampai mendapatkan tempat tinggal yang baru. Setelah itu, aku akan meninggalkan barang kepunyaan Mas Yoga di kontrakan supaya dia bisa mengambilnya. Terlebih barang milik Mas Yoga hanyalah sepeda motor, televisi, dan kipas angin, sehingga aku tidak akan kesulitan untuk memisahkannya. Merasa mantap dengan keputusanku sendiri, aku lantas memanaskan mesin motor. Aku akan menggunakan motor Mas Yoga untuk terakhir kalinya hari ini. Rencanaku usai menemani Maura, aku akan berkeliling mencari kontrakan atau kos yang bisa disewa per bulan. Jika memungkinkan aku ingin yang lokasinya berdekatan dengan kantorku. Sambil menunggu jam sebelas, aku mampir ke rumah Bu Siti untuk memberinya kue mochi. Mengingat Bu Siti sudah belasan tahun tinggal di daerah sini, siapa tahu dia juga memiliki informasi mengenai rumah petak atau kos-kosan khusus wanita. Ketika sampai di r
Aku sungguh terkejut mendengar perkataan Pak Reindra. Diam-diam aku mencubit lenganku sendiri tanpa sepengetahuannya, sekadar memastikan bahwa aku sedang tidak bermimpi. Karena lenganku terasa sakit, artinya apa yang diucapkan oleh bosku itu adalah nyata, bukan ilusi. “Ck, di keramaian seperti ini sempat-sempatnya kamu melamun,” tegur Pak Reindra menoleh ke arahku. Mendapat teguran darinya, sontak pipiku memanas. Entah sudah keberapa kalinya aku kepergok melamun di depan pria ini. “Maaf, Pak,” sahutku gelagapan. “Saya tidak butuh permintaan maaf, yang saya tanyakan kamu mau boneka yang mana. Kalau kamu tidak menjawab, saya akan mengambil sekenanya,” decih Pak Reindra. Saat ini, aku merasa seperti orang bodoh di hadapan bosku sendiri. Barangkali di dalam hatinya, Pak Reindra merasa heran kenapa putrinya bisa menyukai wanita sepertiku. “Terserah Bapak saja,” jawabku cepat. Menurutku semua boneka di dalam kotak kaca itu bagus, sehingga aku bingung untuk memilihnya. Mendengar jawaba
Aku masih berdiri mematung di depan pintu keluar. Melihat derasnya air hujan yang turun, aku memutuskan untuk menunggu saja. Karena meskipun aku memakai jas hujan, aku yakin jika tubuhku akan tetap basah. Saat sedang menunggu, aku terkejut karena sebuah tangan menyentuhku dari belakang. Sontak aku menoleh dan bertukar pandang dengan manik mata bulat yang begitu jernih. “Tante belum pulang?” tanya Maura. “Eh, belum, Maura. Tante masih menunggu hujan reda.” “Kalau begitu Tante ikut aku aja. Aku dan Daddy akan mengantar Tante ke mana pun Tante mau,” ujar Maura. “Nggak bisa, Sayang. Bagaimana dengan motor Tante kalau Tante ikut Maura?” Gadis kecil itu nampak berpikir sebentar, kemudian ia menggoyangkan lengan ayahnya. “Dad, panggil saja Pak Sam untuk mengambilkan motor Tante Arista nanti. Bisa ‘kan, Dad? Kasihan Tante Arista kalau kita tinggal sendirian,” tanya Maura penuh harap. Pak Reindra malah melirik kepadaku dengan wajah datar. “Bisa saja, tapi jika Tante Arista setuju. Teta
Masih dilanda kebingungan, aku melangkah ke ruang tamu beriringan dengan Maura dan Zidan. Melihat Pak Darmawan dan Bu Alya tengah duduk melingkar di sofa, aku hanya bisa berdiri mematung. Perasaanku menjadi campur aduk saat tatapan mataku terkunci dengan sorot mata Mas Reindra. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pria itu seolah-olah ingin mengirimkan pesan kepadaku melalui tatapan matanya. Dan entah mengapa aku bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Aku tahu Mas Reindra ingin kejutan darinya bisa membuatku bahagia, bukan malah gugup seperti ini. “Arista, akhirnya kamu datang juga. Pak Darmawan dan Bu Alya sudah menunggu dari tadi,” tegur Ibu. Dengan menepis rasa canggung, aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Pak Darmawan dan Bu Alya. “Pak Darmawan, Bu Alya, maaf saya tidak menyambut Anda dan malah pergi ke luar rumah,” kataku tidak enak hati. “Tidak apa-apa, Arista. Ini bukan salahmu, karena kami datang mendadak tanpa pemberitahuan,” jawab Pak Darmawan sembari
Aku mendesak Mas Reindra untuk memberitahukan kejutan apa yang dimaksud olehnya. Namun, ia tidak mau mengatakan apa-apa dengan alasan belum tiba waktunya.Sempat aku berpikir bahwa dia akan menyusul aku ke Jogja. Namun, hal itu sepertinya mustahil karena Mas Reindra masih berada di Sulawesi. Lagi pula setiap kali dia melakukan perjalanan di luar urusan bisnis, dia pasti akan mengajak Maura. Padahal saat ini, Maura sedang menginap selama satu minggu di rumah Pak Darmawan.Usai menelepon Mas Reindra, aku pun mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Aku melihat sebentar ke arah koper yang akan kubawa ke Jogja besok pagi. Akhirnya, aku akan bertemu dengan putra kecilku setelah berbulan-bulan kami tidak bertemu. Meski hanya tiga hari, aku akan berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin.Tak terasa, aku pun terlelap dalam tidur hingga alarm di ponselku berbunyi. Seperti mesin otomatis, kelopak mataku langsung terbuka lebar. Lantaran aku tidak sabar untuk melepas rindu kepada p
Detik ini juga aku mengalami dilema yang berat karena permintaan Mas Yoga. Aku tahu dia sedang membutuhkan pekerjaan untuk menyambung biaya hidup. Namun, di PT. Sejahtera sedang tidak ada lowongan pekerjaan, kecuali di cabang baru yang berlokasi di Sulawesi.Sedangkan untuk Ibu, kemungkinan besar Beliau tidak akan mau menerima Mas Yoga karena terlanjur membenci lelaki itu. Siapa yang tidak akan antipati dengan seorang pencuri dan pembohong seperti Mas Yoga. Jangankan menjadi pegawainya, bertemu Mas Yoga saja Ibu pasti sudah enggan.“Rista, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak mau membantu aku? Kalau kamu masih dendam padaku, paling tidak ingatlah Zidan dan ayahku. Gara-gara kita berpisah, ayahku kepikiran dan sering jatuh sakit. Sebagai anak tertua, aku semestinya bertanggung jawab untuk membiayai pengobatan ayahku,” ungkap Mas Yoga.Tanpa sadar, aku menyentuh pelipisku sendiri karena ikut pusing memikirkan masalah Mas Yoga.“Iya, aku sudah mengetahuinya dari Dian. Sekitar dua bulan
Kini, aku melewati hari demi hari sebagai karyawan PT. Sejahtera. Tak terasa hampir dua bulan lamanya aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Mas Reindra. Bukan jauh dalam arti yang sebenarnya, tetapi kami sengaja tidak bertemu kecuali untuk urusan pekerjaan. Memang begitulah komitmen yang harus kami jalani sekarang. Walaupun secara fisik tidak bersama, kami masih berkomunikasi aktif lewat telepon untuk mengetahui kegiatan masing-masing.Terkadang di hari Minggu, Maura minta ditemani olehku untuk berbelanja atau sekadar bermain di mall, tetapi Mas Reindra tidak pernah ikut. Dia memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti berolah raga, bersepeda, atau mengurusi ikan peliharaannya. Akhir-akhir ini, dia memang memiliki hobi baru, yaitu mengoleksi berbagai jenis ikan laut di akuarium. Katanya dengan melihat ikan dia bisa sedikit terhibur saat merindukan aku.Melalui informasi yang diberikan Pak Ridwan, proses di pengadilan berjalan dengan lancar dan hampir mencapai tahap akhir. Selama
“Mas, aku sedang serius kamu malah bercanda,” ucapku berdecak sebal. Mas Reindra hanya terkekeh sambil memelukku kembali.“Siapa bilang aku bercanda? Aku bisa berubah menjadi penculik jika itu menyangkut kamu,” katanya memasang ekspresi serius.“Sudah, jangan merayuku lagi. Kita pulang sekarang, Mas.”Buru-buru aku melepaskan diri dari Mas Reindra sambil merapikan baju dan rambutku yang berantakan. Kemudian, aku berpindah dari kursi belakang menuju ke depan. Beban yang ada di pundakku serasa terangkat, karena kami berdua mencapai kata sepakat.Tak sampai sepuluh menit, kami telah sampai di villa. Sebelum keluar dari mobil, aku pun bercermin di kaca spion. Aku ingin mengecek sekiranya ada tanda merah atau bekas yang ditinggalkan Mas Reindra. Bila memang ada, aku harus menutupinya agar tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di villa.“Tenang saja, Sayang, aku tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bibirmu yang sedikit bengkak,” ucap Mas Reindra dengan wajah tanpa dosa.Aku mencebik
Mas Reindra terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku sungguh cemas dia akan gelap mata dan mengajakku ke tempat yang berbahaya. Namun, aku segera menepis pikiran itu karena aku tahu bahwa Mas Reindra adalah orang yang bijak dan dewasa. Tidak mungkin ia melakukan sesuatu yang membahayakan aku dan dirinya sendiri. Apalagi, dia masih punya tanggung-jawab untuk mendidik dan membesarkan Maura.Mas Reindra menghentikan mobilnya di sebuah kawasan mirip hutan kecil. Tidak ada satu kendaraan pun yang lewat di lokasi itu, sehingga suasana di sekitar kami sangat sepi. Meski demikian, aku tahu lokasi ini dekat dengan villa tempat kami menginap.“Mas, untuk apa kita berhenti di sini? Kita harus pulang karena ini hampir tengah malam. Bagaimana jika Pak Darmawan dan Bu Alya tahu kita masih berduaan di luar?” tanyaku gugup.Mas Reindra tidak menjawab, tetapi ia malah memiringkan wajahnya untuk menatapku. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh pada sinar matanya.“Kamu selalu saja mencema
Membaca pesan itu, debaran jantungku jadi tak menentu. Aku merasa was-was untuk menemui dan mendengarkan apa yang dikatakan Mas Reindra. Jujur, aku takut bila Pak Darmawan juga meminta Mas Reindra untuk mengakhiri hubungan kami.Untuk meredakan rasa gelisah yang membuncah, aku berbaring sambil menunggu jam sepuluh tiba. Tiba-tiba aku teringat pada ibu kandungku dan juga mantan ayah mertuaku. Aku baru menyadari bahwa pernikahan dan perceraian selalu melibatkan orang tua. Jika anak mereka bermasalah, maka orang tua yang akan terkena imbasnya. Pantas saja Pak Darmawan dan Bu Alya sangat menaruh perhatian kepada pasangan hidup Mas Reindra. Terlebih dari pengalamanku yang pernah gagal berumah tangga, mungkin mereka akan semakin meragukan karakterku.Memikirkan semua ini membuat hatiku serasa ditusuk oleh duri-duri tajam. Gara-gara masalah rumah tanggaku, banyak orang tua yang terlibat di dalamnya. Padahal semestinya di usia senja, mereka bisa hidup dengan tenang tanpa harus terbebani oleh
Dengan menerima arloji tersebut, aku berhasil menyelesaikan tantangan terakhir. Tidak ada yang berani berkomentar mengenai aku dan Mas Reindra, khususnya saat aku mengembalikan arloji itu ke tangan pemiliknya. Tanpa bicara sekalipun, mereka pasti sudah mengetahui bahwa aku bukanlah sekadar bawahan untuk Mas Reindra. Mana mungkin seorang pria yang memiliki jabatan tinggi mau memberikan barang pribadinya kepada wanita yang bukan siapa-siapa.Permainan pun berlanjut satu putaran lagi dan aku-lah yang bertugas memutar botol. Ketika botol itu berhenti, aku terperanjat karena Mas Reindra yang terpilih. Seolah-olah benang takdir selalu mengikat kami berdua.Aku pun merasakan suasana di sekitarku mendadak tegang. Sepertinya semua menahan napas, termasuk diriku sendiri. Entah aku harus bagaimana sekarang, karena aku yang harus memberikan pertanyaan kepada Mas Reindra. Seketika mulutku terasa kering, sehingga aku harus menelan ludah beberapa kali.“Wah, Bapak baru datang langsung dapat giliran.
Seperti orang yang mengalami hipnosis, aku terdiam tanpa berucap apa-apa. Serangan telak yang aku terima dari Bu Alya membuat daya pikirku seakan melemah. Rasanya aku bagai terhantam oleh palu gada dan terjebak ke dalam lapisan kabut yang tebal.Tak hanya gagal berpikir, seluruh sarafku juga serasa sulit untuk digerakkan. Aku pun mematung layaknya orang yang baru saja terkena kutuk. Kesadaranku baru kembali saat suara Bu Alya menggema di telingaku.“Arista, saat ini Pak Darmawan juga sedang bicara dengan Reindra. Kami ingin meminta pengertian dari kalian berdua. Sebelum hubungan kalian bertambah dalam, lebih baik berpisah sekarang. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk saling melupakan,” kata Bu Alya berusaha mempertahankan nada suaranya. Terlihat jelas bahwa dia tak ingin mengumbar emosi yang berlebihan di hadapanku.Entah dari mana sumbernya, mendadak setitik keberanian bangkit dari dalam diriku. Aku merasa perlu membela diri dan mengatakan kebenaran kepada Bu Alya mengenai kondisik