Home / Pernikahan / Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung / Chapter 91 - Chapter 100

All Chapters of Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung: Chapter 91 - Chapter 100

154 Chapters

90. Kecurigaan

"Malam itu kamu bersama suamiku?" Jenar tidak benar-benar kuat seperti kelihatannya. Kenyataannya dia berusaha untuk tidak meneteskan air mata.  Luce memandang Jenar. "Kenapa kamu tidak langsung tanyakan itu pada suamimu?" "Tentu saja aku akan menanyakan juga padanya. Karena aku tidak bisa mempercayai salah satu dari kalian jika sudah begini," ujar Jenar. Jenar tersenyum tipis. "Aku hanya tidak mau dibodohi." "Kamu berpikir suamimu akan membodohimu?" tanya Luce. Dia tertawa kecil kepada Jenar. "Bukankah kepercayaan pada suami jauh lebih penting di atas segalanya?" tanyanya lagi.  Jenar tak menjawab.  "Sebelum kamu datang ke sini dan menanyaik
Read more

91. Diskusi Suami-Istri

Jenar berdiri di depan ambang pintu. Raut wajahnya tak senang setelah kembali dari rumah Luce. Luce tidak memberi informasi lebih lagi kepadanya. Luce mengingkari janji yang dia buat. Pada kenyataannya, dia tidak mau mengatakan apapun. Informasi sepenggal malah membuat Jenar tak karuan sekarang. "Jenar?" Suara Julian membuyarkan lamunannya. Jenar menoleh ketika suaminya datang padanya. "Kamu ngapain malah berdiri di situ bukannya masuk ke dalam? Gerimis sangat dingin," kata Julian lagi. Dia merangkul Jenar, memberikan pelukan hangat untuk istrinya. Jenar bahkan tidak bisa tersenyum, raut wajahnya tidak menampilkan apa-apa menyambut kedatangan suaminya senja ini. Julian melepaskan pelukannya. Pandangan mata Julian memandang Jenar dengan begitu fokus. "Ada masalah?" Julian mendeteksi ketidakbiasaan pada Jenar.Jenar memaksakan senyum. "Tidak ada masalah apapun. Aku hanya sedang lelah saja. Aku juga sepertinya sedikit tidak enak badan, jadi aku memerlukan istirahat.""Emangnya kamu
Read more

92. Tentang Keturunan

Julian berjalan mendekatinya. Senyuman mengembang di atas bibirnya, ketika Jenar terdiam karena kata-katanya."Aku tidak memaksamu jika memang belum ingin punya anak." Julian meraih bahu Jenar. "Aku tahu kalau hamil itu bukan masa yang mudah, jadi aku memberi kebebasan untukmu tentang itu."Jenar menundukkan pandangan mata. "Aku hanya terkejut karena kamu tiba-tiba membahasnya," ucap Jenar. "Bukannya aku tidak mau punya anak darimu, aku hanya belum siap." Jenar memandang Julian. "Aku masih belajar untuk mengurus tiga anak yang kamu tinggalkan dari pernikahanmu sebelumnya," imbuh Jenar. Dia tidak mau membahas hal ini sebenarnya, tetapi dia terpaksa melakukannya. "Jean masih perlu diriku untuk memperhatikannya." Jenar kembali mengimbuhkan. "Bukannya aku banyak alasan, tetapi memang itulah yang aku rasakan sekarang."Julian mencoba untuk menganggukkan kepala dan memahami Jenar. "Katakan padaku jika kamu sudah siap. Kita akan melakukan program untuk itu."Jenar tersenyum seadanya. "S
Read more

93. Masalah Baru

Kehidupan Jenar terus berjalan seiring berjalannya waktu, dia melalui status barunya sebagai seorang ibu sekaligus istri dengan penuh perjuangan. Merasakan kehidupan sebagai ibu sambung, ternyata bukan hal mudah untuk Jenar. Melawan banyak hal termasuk keegoisannya sendiri adalah perjuangan yang harus ia lakukan. "Mau berangkat?" Jenar menyapa Julio yang baru saja keluar dari kamarnya. Julio menoleh dan menganggukkan kepalanya ringan."Ada kelas siang?" Jenar kembali mengimbuhkan, dia berjalan mendekati Julio. "Jika langsung pulang, bisa tolong jemput Jasmine sekalian?"Julio tidak langsung memberikan jawaban. Dia terdiam sembari memandang Jenar tidak percaya. "Jasmine sepertinya tadi tidak enak badan, " ucap Jenar menginformasikan. "Dia memang tidak menyuruhku untuk menjemputnya, tetapi aku khawatir jika dia pulang sendiri dalam keadaan sakit."Julio menghela nafasnya. "Kenapa kamu terus perhatian pada Jasmine, padahal dia saja tidak bisa menghargaimu?" tanya Julio. "Kamu tidak pe
Read more

94. Rumah Sakit (Hati)

Jenar panik setelah mendapat sebuah telepon dari nomor yang tak dikenal. Dia buru-buru keluar dari dalam rumah, naik taksi manapun yang mau berhenti ketika dia mencegahnya, dengan perasaan gelisah mengerubungi ketenangannya. Telepon singkat itu, membawa Jenar ke sebuah bangunan rumah sakit. Dia sesekali menghela nafasnya, mencoba membangun kembali ketenangan dan pikiran positif tentang keadaan Julio."Saya mau tanya, pasien yang baru saja datang karena kecelakaan motor namanya Julio," ucap Jenar dengan hati-hati. Dia mengulum ludahnya. "Dia dirawat di ruang mana?"Resepsionis itu mencari informasi sesuai dengan yang Jenar katakan."Bisa tolong cepat?" Jenar memohon tanpa memaksa. "Keadaan putraku sepertinya serius," ucapnya lagi. Sekarang dia tahu bagaimana kecemasan ibunya dulu ketika dia membandel. "Sudah aku bilang untuk tidak perlu datang."Jenar langsung menoleh ketika mendengar suara Julio mendekat padanya. "Julio?" Jenar memasang wajah panik melihat keadaan Julio yang babak
Read more

95. Anak dan Ibu Tiri

"Kamu mau jadi pacarku?" Untuk yang kesekian kalinya, Julio mengulang kalimatnya. Dia tidak tahu lagi kalau kemarasannya memang sudah hilang sekarang.Jenar yang awalnya terdiam, tiba-tiba saja menghela nafasnya kasar. Dia langsung menjitak kepala Julio. "Aku ini ibumu!" "Bisa-bisanya kamu bilang begitu di depanku!" Jenar marah bukan main. "Kalau bapak kamu tahu ini dia pasti akan kecewa!" Julio malah cengengesan di tempatnya. Dia kembali berjalan melangkah, menjauh dari Jenar. Jenar mengikuti langkah kaki Julio. "Kamu benar-benar tidak mau mendengarkan aku?" Dia kembali memaksa. "Aku tidak akan membiarkan kamu pergi kemanapun.""Aku juga mau pulang ke rumah!" Julio kesal pada Jenar malam ini. "Kenapa kamu jadi cerewet sekali?" ketusnya.Jenar mengulum ludah mendapatkan kata-kata itu. Hatinya sudah terbuat dari baja, hingga dia tidak perlu merasakan rasa sakit lagi.Gerimis tiba-tiba mengguyur kota, kepanikan Jenar dan keadaan mereka berdua melupakan fakta kalau langit mendung mala
Read more

96. Kebetulan?

Suasana pagi yang canggung. Menu sarapan yang istimewa, tetapi tidak untuk suasananya. Lambat laun semua mulai terasa begitu membosankan. Jenar hanya bisa menjalani semuanya dengan cara yang seadanya, tanpa mau banyak berharap lagi."Tiga hari ke depan aku akan ada acara di sini jadi tidak akan bisa pulang." Julian menyela keheningan makan. Fokus pandangan Julian tertuju pada dua putra dan putrinya, dia mencoba tersenyum pada Julio. "Papa harap kemarin malam adalah kesalahan terakhirmu hingga membuat Jenar kerepotan.""Aku tidak menyuruhnya untuk datang ke rumah sakit. Dia yang datang—" Julio menghentikan kalimatnya, setelah dia mendapati ayahnya memandang dirinya dengan cara yang sedikit tegas."Kamu sudah dewasa dan papa yakin kamu mengerti tentang kata terima kasih, Julio." Julian memberi penekanan. "Kamu harus mulai mengubah sikapmu."Julio tidak memberi jawaban lagi. Dia melanjutkan aktivitas makannya. Belum sempat Julian memulai pembicaraan dengan Jean, suara langkah kaki terd
Read more

97. Keresahan Ibu Sambung

"Kamu akhirnya datang lagi, Jenar." Sarah tertawa ringan sembari meletakkan menu yang dipesan Jenar di atas meja.Jenar awalnya tidak mau memprotes. Datangnya kemari bukan menginginkan perdebatan dengan siapapun."Sekarang ada masalah apa?" Sarah langsung menebak tujuan Jenar main ke tempatnya kerja. Jenar mendengus pelan. "Anggap saja kalau aku ini pelanggan yang kebetulan kamu kenal," tandasnya. "Kalau tidak mau melayani kamu bisa kembali kerja lagi."Sarah tidak bergeming di tempatnya dalam beberapa waktu. Dia hanya memandang teman lamanya itu."Kamu pikir aku tidak tahu?" Sarah akhirnya berbicara lagi. Jenar memandangnya. Sepertinya dia yang sudah melupakan Sarah dengan kebiasaannya. Mereka sudah lama tidak bersua, sejak pertemuan terakhir beberapa minggu lalu."Aku tidak bisa menyalahkan kamu, Kamu sekarang sibuk mengurus rumah tangga." Sarah mulai dengan basa-basi, berusaha menarik fokus Jenar tanpa membuatnya emosi."Banyak teman-teman kita yang terkadang menanyakan kamu ket
Read more

98. Malam di Sudut Kota

Pemandangan kota dari gedung paling atas sedikit meredakan perasaan resah dan pikiran gundah gelisah yang Julian rasakan. Dia berakhir di tempat ini, setelah seharian penuh melakukan segalanya untuk mendapatkan penanam sahamnya kembali. Julian tidak bisa membayangkan bagaimana jika perusahaan yang dia bangun begitu megah dan mewah di tengah pusat kota Jakarta, harus menjadi milik orang lain. "Pemandangannya indah kan?" tanya Luce. Julian tidak sendiri datang kemari. Kenyataannya dia harus memaksakan diri untuk berbohong pada keluarga barunya. Julian tidak mungkin mengadakan kalau Luce turut serta dalam perjalanan bisnis tak resminya.Julian manggut-manggut. "Cukup menghibur malam ini," ucapnya. "Setidaknya kita bisa melihat semua ini di akhir kesibukan yang terjadi," kekehnya. Luce memahami keresahan Julian, tanpa dia harus mendapatkan pernyataan langsung dari mantan suaminya. Mereka sudah hidup lebih dari 15 tahun lamanya, saling mengenal satu sama lain hampir lebih dari 20 tahun
Read more

99. Masa lalu

Sepulang dari cafe tempat Sarah bekerja, Jenar tidak langsung pulang ke rumah. Dia hanya mengabari pembantunya kalau dia akan pulang terlambat. Di tengah jalan, Jenar melihat seorang pria yang tidak asing untuknya. "Pria itu ...." Jenar menunjuk ke arahnya. Kedua matanya menyipit, mencoba untuk memastikan kalau yang dia lihat itu tidak salah. "Benar! Dia!" Jenar mempercepat langkah kakinya. Buru-buru dia menyeberang jalan, untuk sampai ke warung yang ada di sudut jalan. "Dua puluh ribu?" Suara pria itu terdengar ketika Jenar mendekat. "Katanya ada promo hari ini, aku hanya bawa lima belas ribu," jawabnya pada penjual.Jenar tak pikir panjang. Dia langsung merogoh aku jaket dan mengeluarkan uang untuk membantunya."Aku yang akan bayar," ucap Jenar.Hank terkejut. Dia mau menolak, tetapi penjual sudah mengambil uang Jenar. "Kamu istrinya Julian kan?" tanya Hank. Jenar menganggukkan kepalanya. Dia sedikit lega karena Hank ternyata masih mengingat dirinya. Jenar tersenyum. "Lam
Read more
PREV
1
...
89101112
...
16
DMCA.com Protection Status