Suasana pagi yang canggung. Menu sarapan yang istimewa, tetapi tidak untuk suasananya. Lambat laun semua mulai terasa begitu membosankan. Jenar hanya bisa menjalani semuanya dengan cara yang seadanya, tanpa mau banyak berharap lagi."Tiga hari ke depan aku akan ada acara di sini jadi tidak akan bisa pulang." Julian menyela keheningan makan. Fokus pandangan Julian tertuju pada dua putra dan putrinya, dia mencoba tersenyum pada Julio. "Papa harap kemarin malam adalah kesalahan terakhirmu hingga membuat Jenar kerepotan.""Aku tidak menyuruhnya untuk datang ke rumah sakit. Dia yang datang—" Julio menghentikan kalimatnya, setelah dia mendapati ayahnya memandang dirinya dengan cara yang sedikit tegas."Kamu sudah dewasa dan papa yakin kamu mengerti tentang kata terima kasih, Julio." Julian memberi penekanan. "Kamu harus mulai mengubah sikapmu."Julio tidak memberi jawaban lagi. Dia melanjutkan aktivitas makannya. Belum sempat Julian memulai pembicaraan dengan Jean, suara langkah kaki terd
"Kamu akhirnya datang lagi, Jenar." Sarah tertawa ringan sembari meletakkan menu yang dipesan Jenar di atas meja.Jenar awalnya tidak mau memprotes. Datangnya kemari bukan menginginkan perdebatan dengan siapapun."Sekarang ada masalah apa?" Sarah langsung menebak tujuan Jenar main ke tempatnya kerja. Jenar mendengus pelan. "Anggap saja kalau aku ini pelanggan yang kebetulan kamu kenal," tandasnya. "Kalau tidak mau melayani kamu bisa kembali kerja lagi."Sarah tidak bergeming di tempatnya dalam beberapa waktu. Dia hanya memandang teman lamanya itu."Kamu pikir aku tidak tahu?" Sarah akhirnya berbicara lagi. Jenar memandangnya. Sepertinya dia yang sudah melupakan Sarah dengan kebiasaannya. Mereka sudah lama tidak bersua, sejak pertemuan terakhir beberapa minggu lalu."Aku tidak bisa menyalahkan kamu, Kamu sekarang sibuk mengurus rumah tangga." Sarah mulai dengan basa-basi, berusaha menarik fokus Jenar tanpa membuatnya emosi."Banyak teman-teman kita yang terkadang menanyakan kamu ket
Pemandangan kota dari gedung paling atas sedikit meredakan perasaan resah dan pikiran gundah gelisah yang Julian rasakan. Dia berakhir di tempat ini, setelah seharian penuh melakukan segalanya untuk mendapatkan penanam sahamnya kembali. Julian tidak bisa membayangkan bagaimana jika perusahaan yang dia bangun begitu megah dan mewah di tengah pusat kota Jakarta, harus menjadi milik orang lain. "Pemandangannya indah kan?" tanya Luce. Julian tidak sendiri datang kemari. Kenyataannya dia harus memaksakan diri untuk berbohong pada keluarga barunya. Julian tidak mungkin mengadakan kalau Luce turut serta dalam perjalanan bisnis tak resminya.Julian manggut-manggut. "Cukup menghibur malam ini," ucapnya. "Setidaknya kita bisa melihat semua ini di akhir kesibukan yang terjadi," kekehnya. Luce memahami keresahan Julian, tanpa dia harus mendapatkan pernyataan langsung dari mantan suaminya. Mereka sudah hidup lebih dari 15 tahun lamanya, saling mengenal satu sama lain hampir lebih dari 20 tahun
Sepulang dari cafe tempat Sarah bekerja, Jenar tidak langsung pulang ke rumah. Dia hanya mengabari pembantunya kalau dia akan pulang terlambat. Di tengah jalan, Jenar melihat seorang pria yang tidak asing untuknya. "Pria itu ...." Jenar menunjuk ke arahnya. Kedua matanya menyipit, mencoba untuk memastikan kalau yang dia lihat itu tidak salah. "Benar! Dia!" Jenar mempercepat langkah kakinya. Buru-buru dia menyeberang jalan, untuk sampai ke warung yang ada di sudut jalan. "Dua puluh ribu?" Suara pria itu terdengar ketika Jenar mendekat. "Katanya ada promo hari ini, aku hanya bawa lima belas ribu," jawabnya pada penjual.Jenar tak pikir panjang. Dia langsung merogoh aku jaket dan mengeluarkan uang untuk membantunya."Aku yang akan bayar," ucap Jenar.Hank terkejut. Dia mau menolak, tetapi penjual sudah mengambil uang Jenar. "Kamu istrinya Julian kan?" tanya Hank. Jenar menganggukkan kepalanya. Dia sedikit lega karena Hank ternyata masih mengingat dirinya. Jenar tersenyum. "Lam
"Kamu teman baru sampai ke rumah?" Julio menegur kedatangan Jenar. Jenar awalnya tak acuh. Dia melanjutkan langkah kaki tanpa mau menatap keberadaan Julio."Jenar!" Julio memanggilnya dengan tegas. Berharap kalau sekarang dia akan diperhatikan.Sayang sekali, Jenar masih saja melangkah untuk pergi ke kamar Jean. "Kamu tidak mendengarkan apa yang aku katakan?" tanya Julio. "Aku sedang menanyaimu sekarang."Jenar berhenti di depan kamar Jean. Dia hampir membuka pintu, tetapi benar mengurungkan niatnya.Jenar memandang Julio. Dia diam sejenak, sebelum akhirnya membuka suara. "Jean sudah tidur?" Julio tidak menjawab. Dia hanya memandang raut wajah Jenar yang terlihat begitu asing hari ini. Sepertinya Jenar sedang menyembunyikan permasalahan di dalam matanya. "Kalau tidak menjawab ya sudah, aku akan memeriksa sendiri." Jenar berbalik badan, dia tak acuh dengan Julio yang jelas-jelas penasaran akan apa yang terjadi padanya hari ini.Julio tidak melarangnya untuk memeriksa Jean, jadi dia
Jenar mulai muak dengan Julio. "Apa aku tanya tentang itu padamu?" tanya Jenar.Jenar mendengus kesal. "Aku tidak peduli apa yang sebenarnya terjadi. Permasalahanku terlalu banyak hari ini."Jenar menutup kalimatnya. Setelah itu dia langsung pergi dari hadapan Julio. Jenar peduli. Itulah permasalahan dalam dirinya sekarang."Aku yakin kamu membutuhkan informasi itu." Julio kembali menghentikan langkah kaki Jenar. Jenar berbalik dan menatapnya. "Kenapa kamu ini?" tanyanya sembari mengerutkan."Kenapa kamu jadi tiba-tiba peduli apa yang aku rasakan dan apa yang terjadi padaku?" Jenar terus mendesaknya. "Bersikaplah seperti Julio biasanya. Kamu tidak perlu berusaha keras untuk membalas kebaikanku."Julio mendekatinya. "Kamu tidak bisa berbohong padaku, Jenar.""Emangnya aku berbohong tentang apa padamu?" Jenar harus terlibat perkelahian dengan Julio sekarang. Jenar tersenyum tipis. "Tolong tinggalkan aku sendiri. Aku sedang tidak mau berdebat dengan siapa pun termasuk kamu.""Papa per
Jasmine membuat kekacauan lagi. Jenar kembali dipanggil ke kantor polisi, kali ini permasalahan serius sebab Jenar harus menghadapi keluarga korban."Aku menuntutnya!" Kalimat itu membuat seluruh tubuh Jenar merinding. Jenar tidak tahu dia harus berbicara apa. Membuat pembelaan saja dia tidak bisa."Dia mengancam putriku dengan video yang diharapkan milih galih dalam hp-nya!" Wanita tua itu berteriak. "Bagaimana bisa aku membiarkan dia lolos begitu saja?"Jenar hanya menunduk. Sesekali dia melirik ke arah Jasmine yang duduk di sudut ruangan. Jasmine bukannya menyesal, tatapan matanya dipenuhi kemarahan."Sekali lagi maafkan putri saya," ucap Jenar merendah. "Saya akan memarahinya ketika sampai di rumah, Bu."Wanita itu menyeringai pada Jenar. "Aku dengar dia anaknya orang kaya. Papanya pemilik perusahaan makanan terkenal di Jakarta, aku juga dengar kalau papanya bercerai dari mamanya."Jenar hanya diam ketika dia mendapat pandangan mata aneh dari wanita di depannya. Dia tahu kalau d
Jenar mempercepat langkah kaki. Dalam benaknya, dia segera ingin menemukan tempat yang paling nyaman untuk menangis sejadi-jadinya. Namun, kota tidak memberikan dia ruang yang cukup untuk meluapkan semua sesaknya. "Jenar?" Seseorang tiba-tiba saja memanggilnya dan menghentikan langkah kakinya. "Itu kamu?"Suaranya tidak asing untuk Jenar. Ketika Jenar menoleh dia mendapati mantan kekasihnya berdiri tak jauh darinya. "Adam?" Jenar bergumam pada dirinya sendiri.Adam tersenyum tipis. Dia berjalan mendekati Jenar. Tidak ada pembicaraan, keduanya saling memandang. Hingga akhirnya Adam mendapati raut wajah Jenar yang tak biasa. "Kamu baik-baik saja?" Adam berusaha menerka-nerka apa yang kiranya ada di dalam kepala Jenar. Raut wajahnya seakan berbicara sebaliknya. Jenar tidak menjawab. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Jenar kembali melanjutkan langkah kakinya begitu saja.Adam juga kukuh. "Ada masalah?" Adam menarik tangan Jenar."Raut wajah kamu sepertinya berbicara seperti itu." Ada
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?