"Kamu teman baru sampai ke rumah?" Julio menegur kedatangan Jenar. Jenar awalnya tak acuh. Dia melanjutkan langkah kaki tanpa mau menatap keberadaan Julio."Jenar!" Julio memanggilnya dengan tegas. Berharap kalau sekarang dia akan diperhatikan.Sayang sekali, Jenar masih saja melangkah untuk pergi ke kamar Jean. "Kamu tidak mendengarkan apa yang aku katakan?" tanya Julio. "Aku sedang menanyaimu sekarang."Jenar berhenti di depan kamar Jean. Dia hampir membuka pintu, tetapi benar mengurungkan niatnya.Jenar memandang Julio. Dia diam sejenak, sebelum akhirnya membuka suara. "Jean sudah tidur?" Julio tidak menjawab. Dia hanya memandang raut wajah Jenar yang terlihat begitu asing hari ini. Sepertinya Jenar sedang menyembunyikan permasalahan di dalam matanya. "Kalau tidak menjawab ya sudah, aku akan memeriksa sendiri." Jenar berbalik badan, dia tak acuh dengan Julio yang jelas-jelas penasaran akan apa yang terjadi padanya hari ini.Julio tidak melarangnya untuk memeriksa Jean, jadi dia
Jenar mulai muak dengan Julio. "Apa aku tanya tentang itu padamu?" tanya Jenar.Jenar mendengus kesal. "Aku tidak peduli apa yang sebenarnya terjadi. Permasalahanku terlalu banyak hari ini."Jenar menutup kalimatnya. Setelah itu dia langsung pergi dari hadapan Julio. Jenar peduli. Itulah permasalahan dalam dirinya sekarang."Aku yakin kamu membutuhkan informasi itu." Julio kembali menghentikan langkah kaki Jenar. Jenar berbalik dan menatapnya. "Kenapa kamu ini?" tanyanya sembari mengerutkan."Kenapa kamu jadi tiba-tiba peduli apa yang aku rasakan dan apa yang terjadi padaku?" Jenar terus mendesaknya. "Bersikaplah seperti Julio biasanya. Kamu tidak perlu berusaha keras untuk membalas kebaikanku."Julio mendekatinya. "Kamu tidak bisa berbohong padaku, Jenar.""Emangnya aku berbohong tentang apa padamu?" Jenar harus terlibat perkelahian dengan Julio sekarang. Jenar tersenyum tipis. "Tolong tinggalkan aku sendiri. Aku sedang tidak mau berdebat dengan siapa pun termasuk kamu.""Papa per
Jasmine membuat kekacauan lagi. Jenar kembali dipanggil ke kantor polisi, kali ini permasalahan serius sebab Jenar harus menghadapi keluarga korban."Aku menuntutnya!" Kalimat itu membuat seluruh tubuh Jenar merinding. Jenar tidak tahu dia harus berbicara apa. Membuat pembelaan saja dia tidak bisa."Dia mengancam putriku dengan video yang diharapkan milih galih dalam hp-nya!" Wanita tua itu berteriak. "Bagaimana bisa aku membiarkan dia lolos begitu saja?"Jenar hanya menunduk. Sesekali dia melirik ke arah Jasmine yang duduk di sudut ruangan. Jasmine bukannya menyesal, tatapan matanya dipenuhi kemarahan."Sekali lagi maafkan putri saya," ucap Jenar merendah. "Saya akan memarahinya ketika sampai di rumah, Bu."Wanita itu menyeringai pada Jenar. "Aku dengar dia anaknya orang kaya. Papanya pemilik perusahaan makanan terkenal di Jakarta, aku juga dengar kalau papanya bercerai dari mamanya."Jenar hanya diam ketika dia mendapat pandangan mata aneh dari wanita di depannya. Dia tahu kalau d
Jenar mempercepat langkah kaki. Dalam benaknya, dia segera ingin menemukan tempat yang paling nyaman untuk menangis sejadi-jadinya. Namun, kota tidak memberikan dia ruang yang cukup untuk meluapkan semua sesaknya. "Jenar?" Seseorang tiba-tiba saja memanggilnya dan menghentikan langkah kakinya. "Itu kamu?"Suaranya tidak asing untuk Jenar. Ketika Jenar menoleh dia mendapati mantan kekasihnya berdiri tak jauh darinya. "Adam?" Jenar bergumam pada dirinya sendiri.Adam tersenyum tipis. Dia berjalan mendekati Jenar. Tidak ada pembicaraan, keduanya saling memandang. Hingga akhirnya Adam mendapati raut wajah Jenar yang tak biasa. "Kamu baik-baik saja?" Adam berusaha menerka-nerka apa yang kiranya ada di dalam kepala Jenar. Raut wajahnya seakan berbicara sebaliknya. Jenar tidak menjawab. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Jenar kembali melanjutkan langkah kakinya begitu saja.Adam juga kukuh. "Ada masalah?" Adam menarik tangan Jenar."Raut wajah kamu sepertinya berbicara seperti itu." Ada
Suara dentuman menyita fokus Julio. Pemuda itu lekas datang ke sumber suara. Dia menemukan Jenar yang terkapar di sisi pintu masuk, keadaannya begitu kacau dengan wajahnya yang sembab dan hidungnya yang memerah."Jenar?"Julio berusaha berjongkok dan mendekatinya. "Kamu nggak apa-apa?" Jenar tidak menjawab. Dia hanya mendongak dan tersenyum pada Julio.Julio terperangah melihat penampilan Jenar malam ini. Dia menghilang sejak sore tadi, sekarang pulang dalam keadaan begini. Aroma alkohol menyeruak masuk ke dalam hidungnya."Kamu mabuk rupanya." Julio langsung menyimpulkan begitu aroma yang tak asing untuknya datang menyela, mengalahkan parfum wangi semerbak milik Jenar biasanya.Julio menghela nafas. "Kalau sampai Papa tahu kamu pulang hampir tengah malam dalam keadaan mabuk, kamu bisa dimarahi habis-habisan!" gerutunya. "Aku antar ke kamarmu," ucap Julio. Dia menarik tubuh Jenar agar bangun dari tempatnya.Sayangnya alkohol mempengaruhi kemarasan Jenar. Perempuan itu malah tertawa d
Jenar menghela nafasnya. Dia tahu kalau mengeluh dalam bentuk apapun tidak akan pernah mengubah semua keadaan yang sudah berjalan. Meskipun begitu, Jenar masih ingin mengeluh sejadi-jadinya."Aku hanya penasaran, apa yang dilakukan papamu di sana?" Jenar berandai-andai. Berhalusinasi, seakan semuanya ada di depan pandangan matanya. "Aku selalu bertanya-tanya, kenapa akhirnya dia melakukan itu?" Jenar memandang Julio yang ada di sisinya. "Jika dia memang tidak mencintaiku dari awal, seharusnya dia menyetuju ketika aku menolak pernikahannya."Jenar tersenyum kecut. "Aku tidak pernah memaksa dia untuk bertanggung jawab.""Faktanya memang aku tidak pernah hamil anaknya." Jenar menutup kalimat.Julio ikut menghela nafas panjang. Seakan dia punya rasa sakit tersendiri di sini, Julio bisa merasakan apa yang Jenar rasakan."Kamu berniat untuk meninggalkannya?" Julio malah memancing Jenar untuk berpikir semakin buruk. "Secara tidak langsung kamu mengetahui perselingkuhannya."Jenar menoleh pa
Dering alarm ponsel membuat Julio kembali pada kesadarannya. Sepasang mata elang itu terbuka, lensanya berusaha menerima cahaya lampu dari langit-langit ruang kamar. "Argh—" Julio mengerang ringan. Dia merasakan nyeri luar biasa di kepalanya, lehernya sedikit sakit sebab posisi bantal yang salah. Julio jelas kebingungan saat mendapati dia bangun dalam keadaan telanjang. Yang membuat dia bingung, bukan apa yang dia lakukan semalam. Julio mengingat semua yang dia lakukan. Julio segera bangun, memakai kembali pakaiannya sebelum hari semakin siang. "Aku harus menemui Jenar." Julio bergumam pada dirinya sendiri. "Kenapa dia tidak membangunkanku?" Julio memandang dirinya sendiri dari pantulan cermin di depannya. Jelas-jelas keadaannya kacau. Dia tak ingin menghabiskan waktunya di sini tetap tujuannya adalah menemui Jenar...."Maaf karena tidak memberi kabar sejak kemarin." Julian menatap punggung istrinya. "Aku tidak bisa men
"Tentang apa yang kita lakukan semalam. Aku yakin kamu mengingat semuanya, bukan?" tanya Julio penuh harapan.Tentu, Jenar tidak bisa langsung menjawabnya. Dia bergeming cukup lama di tempatnya.Julio melangkah lagi. Sekarang jauh lebih dekat dengan Jenar. "Meskipun kamu dalam keadaan mabuk berat, aku yakin ada sedikit ingatan di dalam kepalamu."Setelah berhasil menenangkan dirinya dalam diam, Jenar mencoba untuk melengkungkan senyum. Dia menggelengkan kepalanya dengan keyakinan yang terus bertambah. "Emangnya apa yang sudah kita lakukan kemarin?" Jenar tertawa kecil dengan kalimatnya sendiri. "Aku tidak yakin kita melakukan sesuatu yang—""Hanya aku yang terbangun dalam keadaan telanjang di atas ranjang?" Julio memotong argumen Jenar. "Jadi semalaman aku hanya tidur seorang diri?"Julio kembali melangkah, tentu saja dia memangkas jarak agar suaranya tidak perlu ditinggikan. "Lalu semalam aku hanya berhalusinasi?"Jena
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?