Semua Bab Aku Bukan Budak (Iparku Ternyata Selingkuhan Suamiku): Bab 21 - Bab 30

146 Bab

Bab 21. Asal Bicara

Sesampainya di kampung Nirmala, aku memelankan laju mobilku. Mataku menyipit kala melihat ada sebuah mobil yang terparkir di halaman Nirmala. Aku pun berinisiatif untuk memarkirkan mobilku agak jauh dari rumah Nirmala. Aku mengendap-endap hendak mengintip siapa orang yang tengah bersama Nirmala. Sayangnya aku tak bisa melihat wajah orang yang bersama dengan Nirmala. Tapi, dari suara yang aku dengar, dia adalah seorang laki-laki.Sebuah ide terlintas dalam pikiranku. Gegas aku pergi dari sana dan mencari tetangga sekitar yang ada di luar."Bu, Pak! Istriku tengah berduaan dengan laki-laki di rumahnya," aduku pada mereka semua. Ada sekitar tiga orang yang di sana.Mereka saling beradu pandang dan seolah mengacuhkanku. Wajar memang karena aku saja ketahuan berbuat yang aneh-aneh di sana. Jadi mereka tak langsung percaya begitu saja."Kamu pikir kami percaya?" kata salah satu dari mereka bertiga."Kalau Ibu gak percaya, ayo aku tunjukkan! Mumpung laki-laki itu ada di sini," tantangku pad
Baca selengkapnya

Bab 22. Tak Enak Hati

"Maaf, ya, Mas, Mbak! Kalian jadi harus melihat kelakuan suamiku," ucapku sedikit menyesal. Berulang kali aku membungkukkan badan karena benar-benar tidak enak hati."Tidak apa-apa, Mbak." Mbak Nurma menanggapi dengan santai dan masih bisa tersenyum."Jangan panggil aku Mbak, Mbak, karena kalian lebih tua dariku. Panggil Nirmala saja," kataku. Mbak Nurma sudah duduk kembali setelah ibu-ibu yang tadi datang bersama Mas Arga pergi. Aku melihat memang Mas Raga dan juga Mbak Nurma usianya di atasku. Mungkin selisihnya dua tahun sampai empat tahun. Rasanya tidak enak jika aku dipanggil Mbak oleh orang yang lebih tua."Kalian sudah saya anggap saudara, Mbak. Berkali-kali Mbak Nurma dan Mas Raga membantuku. Aku tak bisa membalasnya. Aku hanya bisa mendoakan semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan dan juga rejeki yang melimpah untuk kalian berdua," ucapku."Aamiin!" balas mereka serempak."Gimana dengan tawaranku, La? Mas Raga juga tidak keberatan, kan?" Mbak Nurma menoleh ke arah Mas R
Baca selengkapnya

Bab 23. Tidak Takut

Untuk timbangan, aku sementara meminjam timbangan milik Ibu Desi. Kebetulan Ibu Desi ini punya warung dan ada timbangan yang tidak terpakai.Aku benar-benar bersyukur mempunyai tetangga yang baik-baik. Karena itu pula aku merasa keberatan jika harus pergi dari kampung ini. Aku pun bisa tidur nyenyak malam ini. Sebelumnya aku sudah bicara dengan ibu-ibu tadi kalau maksimal pengerjaannya tiga hari. Alhamdulillah mereka tidak mempermasalahkannya.Hari berikutnya, aku bersemangat memulai usaha baruku itu. Dua bungkus milik ibu-ibu yang sore kemarin diantar aku kerjakan. Walaupun hanya setrika listrik yang aku punya untuk saat ini, tapi tak menyurutkanku untuk tetap bekerja.Dua jam aku mengerjakan semua itu. Badan pegal dan capek? Tentu saja dengan kondisi perut besar akan terasa dua kali lipat capeknya. Tapi itu tak mengapa buatku.Karena sebelumnya bekerja di laundry, aku jadi tahu sedikit-sedikit tentang dunia itu. Selesai setrika, aku memesan ojek online untuk mengantarku membeli par
Baca selengkapnya

Bab 24. Ke Rumah Mami Mey

Huft! Hampir saja aku jadi bulan-bulanan ibu-ibu! Nyesel juga, sih, tadi gak cek dulu siapa yang di dalam. Kalau tahu itu anaknya Tante Ria, tentu aku tak akan masuk dan mengompori ibu-ibu tadi. B*go!Dahlah ... yang penting sekarang aku mau ke rumah Mami Mey. Semoga Mami Mey mau menerima sertifikat ini. Aku dengar Mami Mey memintakan uang tanpa berbelit-belit.Tapi, aku belum tahu alamat pastinya. Ah lebih baik aku telepon Ari dulu untuk memastikannya. Tut ... tut ... tut ....Dua kali aku mencoba menelepon Ari, tapi belum dijawab juga. Dan untuk yang ketiga kalinya, Ari langsung mengangkatnya."Apa, Bray? Tumben amat kamu telpon!" ucap Ari yang ceplas-ceplos."Sensi amat, sih! Aku mau nanya alamat rumah Mami Mey tepatnya dimana? Tau, kan?" jawabku.Kami memang biasa bicara apa adanya dan tanpa ada rasa jaim sama sekali. Ari ini temanku dari jaman aku pindah ke kota ini. Dia juga yang kadang memberikan aku pinjaman uang kalau sedang tidak ada uang."Wuish ... mau apa kamu ke sana? M
Baca selengkapnya

Bab 25. Gadai Sertifikat

Kami masuk dan menemui Mami Mey. Agak lama kami menunggu Mami Mey keluar. Tapi itu tak mengapa. Setelah mengatakan maksud dan tujuanku datang, Mami Mey meminta sertifikat rumah Nirmala dan memeriksanya."Mau pinjam berapa?" tanya Mami Mey dengan tangan masih membolak-balik sertifikat itu.Saat melihat Mami Mey, aku sedikit terkejut karena tidak sesuai dengan pemikiranku. Aku kira Mami Mey itu sudah ibu-ibu dengan umur empat puluhan ke atas. Ternyata, Mami Mey masih muda dan aku taksir umurnya masih sekitar tiga puluh lima tahunan. Hanya beda satu tahun denganku yang saat ini berumur tiga puluh enam."Di sini bunganya dua puluh persen dan tidak mentolerir orang yang menunggak!" sambung Mami Mey lagi."Se—seratus juta, Mi," jawabku dengan suara bergetar karena gugup.Mata Mami Mey memicing ke arahku sebentar. Lalu, dia kembali lagi memeriksa sertifikat rumah itu."Untuk sertifikat ini, aku hanya bisa memberikan tujuh puluh juta. Itupun kalau kamu mau. Gimana?" tawar Mami Mey. Sertifikat
Baca selengkapnya

Bab 26. Cindi Jatuh

Aku mendapati Cindi terjatuh tepat di depan kamar mandi. Dari kedua kakinya mengalir darah segar. Aku panik tak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Cindi, dia tak henti-hentinya berteriak hingga aku frustasi karenanya."Cepat antar aku ke rumah sakit, Mas! Kok kamu malah diem aja, sih?!" teriak Cindi sambil meringis kesakitan."Ah ... iy—a," jawabku terbata. Aku pun memapah Cindi hingga sampai ke parkiran. Walaupun butuh waktu yang lama, tapi kami bisa juga sampai di parkiran.Gegas aku menyalakan mesin mobilku dan meluncur ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, Cindi didorong kursi roda oleh satpam. Dan para dokter pun langsung menangani Cindi. Aku diminta untuk mengurus pendaftaran selagi Cindi diperiksa. Selesai mendaftar, aku tak melihat Cindi di tempat awal. Aku pun bertanya ke perawat yang ada di sana. Ternyata Cindi dibawa ke ruang operasi karena harus segera dilakukan tindakan operasi secepatnya.Mendengar kata operasi, diot*knya yang ada adalah bayarnya uang dar
Baca selengkapnya

Bab 27. Rahim Diangkat

Saat aku hendak menjawabnya, pintu ruangan Cindi terbuka. Seorang dokter muda datang mengunjungi Cindi. Dokter laki-laki itu bernama Zaki."Selamat siang! Ibu Cindi sudah siuman? Apa ada keluhan?" tanya Dokter Zaki pada Cindi."Baik, Dok. Hanya dibagian perut saja kadang masih terasa nyeri," jawab Cindi."Wajar itu, Bu. Tapi itu tidak apa-apa. Nanti seiring berjalannya waktu, lukanya akan sembuh. Kalau begitu, saya periksa dulu, ya!" ucap Dokter Zaki.Dokter Zaki kemudian mengeluarkan stetoskop dan mulai memeriksa Cindi secara detail. Dan setelah memeriksa, Dokter Zaki mengulas senyum ke arahku dan juga Cindi."Alhamdulillah kondisi Ibu Cindi semakin membaik. Inshaa Allah jika besok kondisinya masih sama, Ibu Cindi sudah bisa pulang," jelas Dokter Zaki pada kami. Aku dan Cindi sama-sama mengangguk."Kalau tidak ada yang ditanyakan, saya permisi untuk memeriksa pasien yang lain lagi. Mari!" Dokter Zaki pun pergi dari ruangan Cindi. Ketika Dokter Zaki sudah tidak terlihat, Cindi menata
Baca selengkapnya

Bab 28. Usaha Baru

Alhamdulillah usaha baruku mulai berjalan. Walaupun aku sedang hamil besar, tapi aku tetap semangat menjalaninya. Ketika cucian dan setrikaan sedang banyak-banyaknya, aku meminta bantuan temanku yang dulu juga ikut kerja laundry di tempat Ibu Tuti. Bermodalkan mesin cuci dua tabung dan setrika listrik, aku nekad memulai usaha ini. Apapun akan aku lakukan yang penting itu halal dan menghasilkan.Beruntung sekali dia mau. Tapi, dia bisanya kerja hanya siang hari. Karena untuk pagi harinya, dia bekerja bersih-bersih di rumah kos. Dan aku pun tak mempermasalahkannya, karena dia juga kerja tidak setiap hari.Uang hasil dari laundry aku sisihkan sedikit demi sedikit untuk biaya persalinan dan perlengkapan anakku besok. Bersyukur sekali Allah kasih jalan untukku mencari nafkah.Teror yang selama ini aku dapat, sudah tak ada lagi. Entahlah, aku juga tidak tahu siapa itu. Hanya dua masalah yang kini masih aku pikirkan. Pertama soal sertifikat rumah ini yang sampai saat ini pihak kepolisian be
Baca selengkapnya

Bab 29. Tamu Tak Diundang

"Mbak Nirmala itu hebat! Kalau aku jadi Mbak Nirmala, gak tau deh, Mbak bisa kuat atau enggak," kata Mbak Dini suatu hari padaku.Aku yang sedang membungkus baju-baju pelanggan hanya bisa tersenyum menanggapi perkataannya. Kalau boleh jujur, aku juga sebenarnya tidak kuat. Hidup yatim piatu dan sekarang dikhianati suami. Siapa, sih, yang mau? Apalagi sudah tidak ada orang tua. Kemana lagi aku mengadu dan bersandar selain pada Allah?Mungkin yang orang lihat aku masih baik-baik saja dan bisa tersenyum. Tapi mereka tidak tahu kalau setiap malam aku selalu menangis. Jika tidak ingat anak yang ada di perutku, mungkin aku memilih untuk mengakhiri hidupku."Semoga rejeki Mbak Nirmala selalu dilimpahkan, ya, Mbak." Mbak Dini menata pakaian yang sudah rapi di atas meja."Aamiin!" jawabku singkat.Aku sudah hampir satu bulan menjalani usaha ini sendiri dan kadang dibantu Mbak Dini. Aku sangat bersyukur anak yang ada di dalam perutku mau diajak kerjasama.Aku berjanji dalam hati, kalau kelak ak
Baca selengkapnya

Bab 30. Bang Ridwan

"Bang Ridwan?!" seruku ketika tahu siapa yang datang ke rumahku.Bang Ridwan ini adalah anak dari Bude Mira, kakak ibuku. Dulu Bang Ridwan tinggal bersamaku dan juga orang tuaku, saat kedua orang tua Bang Ridwan meninggal. Tapi semenjak lulus SMA, Bang Ridwan memilih untuk merantau. Sudah seperti kakak kandungku sendiri, aku memeluk erat Bang Ridwan. Tak terasa air mataku menetes. Seperti menemukan kembali sandaran ketika aku sedang sedih."Gimana kabar adik Abang yang satu ini? Sehat?" tanya Bang Ridwan sambil membalas pelukanku."Abang sudah mau punya keponakan rupanya," serunya padaku sambil mengelus perutku."Kenapa Abang tak pernah kirim kabar sama Nirmala? Abang lupa sama Nirmala?" tanyaku sambil terisak."Bukan begitu, Adik! Abang malu kalau harus pulang ke sini tapi Abang belum sukses. Sekarang dimana Paklek sama Bulek? Abang mau ketemu," kata Bang Ridwan.Sudah tujuh tahun Bang Ridwan tidak pulang dan juga tidak memberi kabar pada keluarga. Jadi tidak heran jika Bang Ridwan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
15
DMCA.com Protection Status