"Bang Ridwan?!" seruku ketika tahu siapa yang datang ke rumahku.Bang Ridwan ini adalah anak dari Bude Mira, kakak ibuku. Dulu Bang Ridwan tinggal bersamaku dan juga orang tuaku, saat kedua orang tua Bang Ridwan meninggal. Tapi semenjak lulus SMA, Bang Ridwan memilih untuk merantau. Sudah seperti kakak kandungku sendiri, aku memeluk erat Bang Ridwan. Tak terasa air mataku menetes. Seperti menemukan kembali sandaran ketika aku sedang sedih."Gimana kabar adik Abang yang satu ini? Sehat?" tanya Bang Ridwan sambil membalas pelukanku."Abang sudah mau punya keponakan rupanya," serunya padaku sambil mengelus perutku."Kenapa Abang tak pernah kirim kabar sama Nirmala? Abang lupa sama Nirmala?" tanyaku sambil terisak."Bukan begitu, Adik! Abang malu kalau harus pulang ke sini tapi Abang belum sukses. Sekarang dimana Paklek sama Bulek? Abang mau ketemu," kata Bang Ridwan.Sudah tujuh tahun Bang Ridwan tidak pulang dan juga tidak memberi kabar pada keluarga. Jadi tidak heran jika Bang Ridwan
Kami jalan kaki karena jarak makam yang tak terlalu jauh dari rumah. Tak ada percakapan antara kami. Selain karena sudah lama tidak bertemu, aku juga canggung dengan Bang Ridwan sekarang.Bang Ridwan tak bisa membendung air matanya ketika sampai di pusara orang tuaku. Beliau memanjatkan do'a untuk mereka berdua. Dan setelah puas, kami berdua segera pulang karena Bang Ridwan juga tidak bisa berlama-lama di sini."Abang pulangnya gak nunggu sehabis makan malam sekalian?" Aku menawarkan diri. Kebetulan saat itu sudah pukul setengah lima sore.Bang Ridwan menggeleng. "Tidak, Dek. Abang harus pulang. Lusa Abang kemari bersama istri Abang. Besok Inshaa Allah kalau sudah ke sini, Abang kenalkan sama istri Abang, ya!" jawabnya."Iya, Bang. Bang Ridwan hati-hati, ya, di jalan." Sebelum pergi, kami bertukar nomor ponsel jika sewaktu-waktu kami butuh komunikasi. Aku mengantar Bang Ridwan sampai di depan rumah. Dan masuk kembali setelah motor Bang Ridwan tidak terlihat lagi."Mbak, saya pamit, y
Tak kupedulikan lagi Cindi yang masih mengurung diri di kamar. Mungkin memang dia sedang butuh waktu untuk sendiri. Kali ini yang harus aku pikirkan adalah cara untuk merayu Tante Ria. Bisa mat* aku jika Tante Ria marah padaku gara-gara Cindi. Terlebih lagi sekarang aku tengah dekat dengan Nadira.Ya, semenjak pertemuanku kembali dengan Nadira tempo hari, aku berkomunikasi intens dengannya. Ternyata Nadira baru saja bercerai dengan suaminya karena kasus KDRT.Aku pun juga mengaku baru saja bercerai. Jadi kami bisa lebih saling nyambung lagi kalau mengobrol. Dan dengan Nadira juga aku mengaku sebagai pengusaha yang sukses. Bukannya apa-apa, perempuan secantik dan seseksi Nadira sayang untuk dilewatkan. Karena itu pula aku harus mampu meluluhkan hati Tante Ria lagi.Sore itu aku membujuk Tante Ria agar mau bertemu denganku. Berulang kali aku menghubungi Tante Ria. Tapi tak sekalipun dia mengangkatnya. Aku mencoba mengirim pesan dan mengancamnya. Barulah saat aku ancam, Tante Ria bersedi
Aku dan Tante Ria masih di kasur setelah perjalanan panjang mengarungi lautan. Tib-tiba saja ada bunyi pesan masuk di ponselku.[Kamu dimana, Mas?] Bunyi pesan dari Cindi. Aku tak membalas pesan Cindi karena masih bersama dengan Tante Ria. Sikap Tante Ria sudah seperti biasanya lagi padaku. Tapi, dia mengajukan syarat agar aku tidak terlalu dekat dengan Cindi. Dan Tante Ria meminta agar Cindi tak lagi tinggal di apartemennya bersamaku.Salah siapa dia mendiamkanku sejak keluar dari rumah sakit. Aku tak peduli lagi dengan ocehannya. Lebih baik aku nikmati saja hidupku yang bebas sekarang ini. Lepas dari Nirmala memang ingin hidup bebas. "Kamu gak usah pulang saja. Temani aku di sini! Atau, kamu tempati saja rumah ini. Gak usah lagi berhubungan dengan Cindi," pinta Tante Ria. Aku mengangguk agar dia senang. Saat kami tengah asyik berduaan di dalam kamar, ada seseorang yang mengetuk pintu dari luar. Aku dan Tante Ria saling berpandangan. Setahuku, tak ada orang yang tahu rumah ini sel
"Sebenarnya, aku tidak bisa memiliki anak karena rahimku bermasalah. Bertahun-tahun aku sudah berusaha ikhtiar kemana-mana tapi tak kunjung berhasil. Lalu aku berpura-pura hamil di depan suamiku agar aku tidak diceraikan. Aku tidak sanggup hidup miskin," kata Tante Ria yang mulai bercerita padaku.Aku dengan seksama menyimak cerita Tante Ria. Pikiran buruk soal Raga terlintas dibenakku. Baru mendengar cerita awal Tante Ria saja aku bisa menebak arah pembicaraannya."Aku berusaha mencari bayi yang bisa kuakui sebagai anak saat tiba waktu melahirkan. Bahkan aku rela membayar berapapun. Hingga akhirnya ada yang menyerahkan bayi laki-laki padaku. Tentu saja aku senang karena aku dengan cepat bisa mendapatkan anak. Dan kamu pasti tahu siapa anak itu," sambung Tante Ria panjang lebar."Memangnya suamimu tak curiga dengan kehamilanmu? Bukankah kalian satu atap?" tanyaku penasaran. Tak mungkin jika suami Tante Ria tidak tahu kalau istrinya berbohong. "Kebetulan setelah aku memberitahu kehami
"Siapa? Cindi?" tanya Tante Ria yang langsung bisa menebaknya. Aku mengangguk."Udah ikuti aja saranku tadi. Gak usah lagi kamu urusin Cindi itu. Biar dia tau rasa gak ada yang biayai dia hidup," ucap Tante Ria gemas. Aku mengangguk lagi.Untuk mengurangi rasa kesalku, Tante Ria mengajakku berbelanja ke salah satu mall besar di kota ini. Siapa, sih, yang gak mau ditraktir belanja di mall? Aku pun langsung menyetujui ajakannya.Aku diperbolehkan memilih apa aja saja yang aku mau. Tak ada batasan bagi Tante Ria. Aku pun kalap dan berbelanja barang yang nilainya berjuta-juta."Sudah hilang, kan, keselnya?" ucap Tante Ria saat kami berjalan ke parkiran."Iya, sudah. Makasih, Tan. Tante Ria memang the best pokoknya!" pujiku agar Tante Ria semakin meng*laiku.Namun saat kami hendak membuka pintu mobil, suara laki-laki terdengar memanggil Tante Ria. Kami pun menoleh dan betapa terkejutnya kami saat melihat Raga sudah ada di sana. Apa mungkin sejak tadi Raga mengikuti kami? Sempat terjadi ad
Duniaku seakan gelap setelah tahu kalau Mas Arga yang mencuri sertifikat rumahku. Bahkan dia juga menggadaikannya ke rentenir dengan mengatasnamakanku sebagai penanggungjawab untuk membayar cicilannya.Selama ini dia saja tak cukup banyak memenuhi kebutuhanku secara layak. Aku harus banting tulang sendiri untuk menutupi semua biaya hidup sehari-hari. Sekarang beban berat ditumpahkannya padaku? Sungguh tak bertanggung jawab suamiku itu!Sepanjang malam aku tak bisa tidur. Aku bingung meminta pendapat dengan siapa. Sedangkan aku sudah tak punya orang tua dan juga sanak saudara.Di tengah kekalutanku, aku mengambil air wudhu dan menggelar sajadah. Di atas sajadah itu aku menumpahkan segala masalah yang kuhadapi. Selain itu aku juga meminta kekuatan untuk bisa melewati ujian yang kali ini ada dalam rumah tanggaku. Ya Allah ... berikanlah hamba keikhlasan hati. Teguhkanlah hamba untuk menegakkan kebenaran apapun itu resikonya. Semoga hamba selalu berada di jalan-Mu. Aamiin!Aku berdzikir
Aku pun berjalan kaki menuju rumah Pak RT yang jaraknya tak jauh dari rumahku. Hitung-hitung sekalian olahraga. Saat berjalan ke sana, aku beberapa kali berpapasan dengan para tetangga. Dan ada satu tetangga yang sejak dulu tidak suka dengan keluarga sengaja menyindirku saat aku lewat di depan rumahnya."Eh Ibu-ibu, tau gak kalau perempuan yang ditinggal suami selingkuh saat hamil itu karena dia itu tak pintar melayani suami. Mentang-mentang hamil terus dia maunya manja-manjaan aja! Habis itu minta ngidamnya macem-macem lagi. Ish amit-amit!" kata Bu Warni yang tengah duduk di teras bersama dua ibu-ibu yang lain. Matanya sedikit melirik ke arahku."Hush gak boleh bicara seperti itu, Bu! Gak baik itu," timpal satu diantara dua ibu yang lainnya."Ya emang begitu, Bu. Istrinya itu, kan, b*doh! Masa selingkuhan suaminya dikira ipar? Kalau gak b*doh apa, dong, Bu?" sambung Ibu Warni diiringi tawa yang mengejek."Mau-maunya, sih, nikah sama lelaki yang gak jelas! Begini, deh, sekarang nasibn
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap
"Aku tahu kamu butuh biaya besar untuk ayahmu di sini. Aku bisa bantu itu. Tapi, aku juga butuh bantuanmu," ucap Nirmala kemudian. "Bantuan? Bantuan apa?" tanya Ana yang penasaran. "Saya akan menjamin biaya ayahmu di rumah sakit ini. Kamu kerja denganku," sahut Nirmala. Ana terkejut ketika Nirmala menawarkan pekerjaan padanya. Saat ini memang dia sedang butuh pekerjaan karena uang pegangannya sudah menipis. Apalagi ayahnya masih butuh banyak biaya. Walaupun dokter sudah angkat tangan dan menyarankan untuk melepas alat bantu, Ana belum mau. Ada keyakinan dalam dirinya jika sang ayah akan pulih kembali seperti sedia kala. Hanya saja saat ini Ana dihadapkan dengan biaya rumah sakit yang sangat besar. Isi kepalanya hampir keluar karena pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Kerjanya apa? Apa aku masih bisa merawat ayahku di sini?" tanya Ana ragu. "Jadi asisten pribadiku. Kamu hanya perlu ikut saya kalau saya sedang butuh teman saja. Mudah bukan?"Nampaknya Ana sedang berpikir keras.
"Lalu kamu mau apa? Maaf saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusi urusan tidak penting ini. Saya sudah minta maaf dan kamu pun tidak terluka. Lalu apa lagi?" Zaki dibuat sedikit kesal oleh perempuan muda itu. "Gak penting katamu? Gara-gara kamu, aku jadi terlambat memberi makanan pada ayahku. Jadi, kamu harus tanggung jawab!" Perempuan yang belum diketahui namanya itu tak kalah kesal. Zaki menghela nafas panjang. Waktunya terbuang percuma hanya untuk menanggapi orang yang tak dikenal. "Kamu harus ikut aku dan minta maaf langsung sama ayahku!" sambungnya lagi. "Maaf saya tidak ada waktu." Zaki pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan perempuan tadi. Langkahnya hampir sampai di ruangan rawat inap Nirmala. Dia merasa sedikit lega karena tak lagi mendengar suara perempuan tadi. Namun, prediksinya salah. Ternyata perempuan itu mengikutinya sampai di depan ruangan Nirmala.Perempuan itu mencegat Zaki. "Kamu harus ikut aku!" serunya. "Gak sopan! Kamu dari tadi mengikuti ku?"
Mama Zoya yang tertidur dengan kepala berbaring ke ranjang Nirmala pun terkejut mendengar suara Nirmala. Spontan Mama Zoya langsung bangun dan memastikan Nirmala sudah sadar. Lalu, Mama Zoya lari keluar untuk memanggil perawat jaga. Setelah perawat jaga memeriksa Nirmala, Mama Zoya baru lah lega karena menurut perawat, semuanya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk penanganan lebih lanjut, menurut kata perawat akan menunggu instruksi dari dokter yang menangani Nirmala. Dokter yang memeriksa Nirmala belum mengatakan apapun pada mertua Nirmala itu. Alasannya karena menunggu suami Nirmala. "Aku dimana, Ma? Kok mama di sini?" tanya Nirmala yang masih tak sadar kalau dia di rumah sakit. Fano sudah kembali bertugas dan Zaki juga sudah diberitahu kalau Nirmala ada di rumah sakit. Sekarang, Zaki sedang ada di perjalanan. Dia juga baru selesai menangani dua operasi yang sangat darurat. Setelah melihat sekeliling dan mengingat kejadian terakhir, Nirmala baru ingat kal