Aku pun berjalan kaki menuju rumah Pak RT yang jaraknya tak jauh dari rumahku. Hitung-hitung sekalian olahraga. Saat berjalan ke sana, aku beberapa kali berpapasan dengan para tetangga. Dan ada satu tetangga yang sejak dulu tidak suka dengan keluarga sengaja menyindirku saat aku lewat di depan rumahnya."Eh Ibu-ibu, tau gak kalau perempuan yang ditinggal suami selingkuh saat hamil itu karena dia itu tak pintar melayani suami. Mentang-mentang hamil terus dia maunya manja-manjaan aja! Habis itu minta ngidamnya macem-macem lagi. Ish amit-amit!" kata Bu Warni yang tengah duduk di teras bersama dua ibu-ibu yang lain. Matanya sedikit melirik ke arahku."Hush gak boleh bicara seperti itu, Bu! Gak baik itu," timpal satu diantara dua ibu yang lainnya."Ya emang begitu, Bu. Istrinya itu, kan, b*doh! Masa selingkuhan suaminya dikira ipar? Kalau gak b*doh apa, dong, Bu?" sambung Ibu Warni diiringi tawa yang mengejek."Mau-maunya, sih, nikah sama lelaki yang gak jelas! Begini, deh, sekarang nasibn
Aku memang bukan anak Mama Ria. Aku sudah tahu sejak lama karena aku bisa merasakannya. Sejak dulu memang Mama Ria tidak menyayangiku. Dia akan bersikap baik jika ada Papa. Dulu saat usiaku tujuh belas tahun, aku tak sengaja mendengar pembicaraan Mama Ria dengan temannya. Saat itu Mama Ria mengatakan pada temannya kalau aku ini bukan anak kandungnya.Tentu saja aku syok. Aku bahkan sempat kabur dari rumah Papa waktu ini. Tapi karena kasih sayang Papa yang benar-benar tulus padaku, aku mau kembali lagi ke rumah itu. Papa juga menceritakan semuanya padaku. Kata Papa, aku diambil dari orang yang tak mereka kenal. Mereka bahkan tak tahu orang tua kandungku.Karena tak ada petunjuk apapun untuk mencari orang tua kandungku, aku memutuskan untuk berbakti kepada Papa dan Mama Ria. Walaupun sikap Mama Ria masih sama padaku. Papa selalu berpesan padaku untuk tetap sabar menghadapi Mama Ria. Beliau yakin kalau suatu saat nanti Mama Ria bisa berubah baik dan sayang padaku. Dunia hancur ketika P
Aku mengikuti mobil yang dinaiki Mama Ria hingga sampai ke mall. Aku menunggu mereka selama berjam-jam di parkiran. Hingga dapat kulihat jelas wajah laki-laki yang bersama dengan Mama Ria.Dia, kan, suami Nirmala?! Astagfirullahal'adzim! Aku tak menyangka ternyata dia yang selama bersama Mama."Mama!" seruku saat mereka hendak masuk dalam mobil.Mereka berdua terkejut melihatku yang sudah ada di sana. Beberapa detik mereka saling berpandangan. Kemudian menatapku lagi. Aku menghampiri Mama Ria dan mengajaknya sedikit dari tempat Raga berdiri."Kenapa Mama bersama dengan laki-laki itu? Apa Mama tahu kalau dia suami orang?" Aku melirik suami Nirmala yang menatapku dengan pandangan tidak suka."Itu bukan urusanmu!" jawab Mama yang tak mau menatapku lama-lama."Tapi, Ma ..." Belum sempat aku selesai bicara, Mama mengajak suami Nirmala pergi dari sana.Mobil yang dikendarai Mama melesat dengan kencang. Aku pun tak kuasa untuk mengejarnya lagi. Hanya berselang dua puluh menit, aku mendapat k
Arga yang sudah siuman kebingungan mencari keberadaan Tante Ria. Dia bertanya pada suster yang saat ini tengah memeriksa kondisinya."Sus, perempuan yang bersama dengan saya bagaimana keadaannya, ya?" tanya Arga sambil meringis menahan sakit pada kakinya."Oh ibu-ibu yang bersama, Mas, ya?" Aku mengangguk saat ditanya suster itu."Saat ini sedang dilakukan operasi besar karena benturan keras di kepalanya, Mas," jawab suster itu.Saat menabrak pembatas jalan, airbag milik Tante Ria tidak terbuka sempurna. Dan karena hal itulah Tante Ria mengalami luka dalam yang cukup parah."Apa?! Boleh saya ke sana, Sus?" Arga ingin menemani Tante Ria.Suster itu dengan telaten membantu Arga ke kursi roda. Lalu dia mendorong Arga sampai ke ruang operasi. Namun, belum juga sampai di depan ruang operasi Arga meminta suster itu untuk berhenti."Berhenti, Sus!" seru Arga. Kursi roda Arga seketika berhenti. "Kenapa, Mas?" tanya suster itu."Sampai di sini saja, Sus. Terima kasih!" ucap Arga. Arga memint
Arga terkejut melihat Raga sudah ada di sampingnya. Arga pun tak bisa menjawab pertanyaan Raga. Tak ingin berdebatan dengan Raga, Arga memilih untuk kembali ke kamarnya sendiri.Tak lama setelah itu, Tante Ria dipindahkan ke ruang rawat inap. Raga memilihkan ruangan VVIP untuk Tante Ria. Dia ingin mama angkatnya itu mendapatkan perawatan yang terbaik. Walaupun dia dibenci, Raga tetap ingin berbakti layaknya anak ke orang tuanya.***Di lain tempat dan berbeda waktu, Nirmala dengan tangan gemetar membuka ikatan tali Dini. Rumahnya menjadi seperti kapal pecah. Semua baju-baju pelanggannya berserakan menjadi satu."Kenapa ini, Mbak?" tanya Nirmala sesenggukan. Dini yang masih syok hanya bisa menangis tak bisa menjawab pertanyaan Nirmala. Kejadian barusan benar-benar membuatnya trauma. Dimana ada sekelompok laki-laki berbadan besar mengobrak-abrik seisi rumah dan mengancamnya.Bukannya Nirmala tidak mau bertindak. Tapi kadang dia berpikir kalau pihak yang berwajib memilih-milih kasus. Ya
Aku membuka mata dan melihat langit-langit putih. Seingatku, tadi aku baru saja beres-beres rumah dan memisahkan baju-baju pelanggan yang tercampur karena ulah orang yang tak bertanggung jawab. Saat itu aku merasakan sakit yang teramat sangat di bagian perutku.Anakku? Anakku mana? Aku berteriak dalam hati. Spontan aku memegang perutku yang ternyata masih membuncit. Alhamdulillah! Aku seketika lega karena aku masih bisa meraba calon anakku di dalam perut. Tampak ada selang yang menancap di tanganku. Bisa aku pastikan jika sekarang aku berada di rumah sakit. Ketika aku menoleh ke samping, aku seorang perempuan berhijab besar tersenyum padaku."Alhamdulillah kamu sudah sadar," ucap perempuan yang aku tidak tahu siapa. Perempuan itu mengambilkan aku segelas air putih yang terletak di meja samping ranjangku. Dia menyodorkan gelas itu padaku."Minumlah dulu!" perintahnya. Aku pun dengan patuh menuruti perintahnya. "Bagaimana keadaanmu sekarang? Pusingkah atau merasakan apa?" tanya perem
"Dia istri Abang, Dek." Bang Ridwan seperti tahu apa yang aku pikirkan saat ini. Dan ternyata tebakanku benar."Besok Abang ceritakan kalau kamu sudah pulang, ya. Besok pulang ke rumah Abang saja. Aisyah tidak keberatan kok. Bukan begitu, Ai?" tanya Aisyah pada istrinya. Kak Aisyah pun menjawabnya dengan anggukan dan senyuman.***Tiga hari dirawat, aku sudah diperbolehkan pulang. Kata Dokter Zaki aku masih beruntung karena cepat dibawa ke rumah sakit. Jika terlambat sedikit saja, aku bisa kehilangan bayiku.Seperti kata Bang Ridwan tempo hari, aku pulang ke rumah Bang Ridwan. Saat pertama kali menginjakkan kaki di halaman rumah Bang Ridwan, aku dibuat kagum dengan rumahnya. Rumah Bang Ridwan sangat bagus dan mewah menurutku. Mulutku sampai terbuka lebar karena merasa takjub. Aku menutup mulutku ketika Kak Aisyah menggandeng tanganku dan menuntunku masuk ke dalam rumahnya."Assalamu'alaikum!" Kami bertiga serempak mengucap salam saat masuk ke dalam rumah."Wah rumah Bang Ridwan dan K
Selesai membantu Kak Aisyah, aku menghampiri Bang Ridwan yang sudah menungguku di ruang keluarga. Kak Aisyah menyusulku dengan membawa minuman hangat dan beberapa camilan yang diletakkan di meja depan tempat kami duduk."Dek, sini!" Bang Ridwan memanggil istrinya untuk duduk di dekatnya. Tampak Kak Aisyah menurut. Dia langsung duduk di sebelah Bang Ridwan.Hatinya menjadi dag dig dug tak karuan. Seperti seorang tersangka yang tengah diadili di ruang sidang. Itulah yang aku rasakan saat ini. Walaupun aku belum pernah mendapat perlakuan yang tidak baik dari Bang Ridwan."Ada hal yang harus kamu tahu, Nirmala. Sebenarnya Abang sudah tahu ini sejak dulu. Tapi Abang tak berani menceritakannya padamu. Dulu saat Abang tahu kenyataan ini, Abang marah dan memilih pergi dari rumahmu." Bang Ridwan terlihat matanya berkaca-kaca. Aku jadi bingung dan tak mengerti arah pembicaraannya ini. Apa yang aku tidak tahu? Dan kenapa Bang Ridwan sampai marah besar? Apakah ada masalah serius hingga Bang Ridw
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap
"Aku tahu kamu butuh biaya besar untuk ayahmu di sini. Aku bisa bantu itu. Tapi, aku juga butuh bantuanmu," ucap Nirmala kemudian. "Bantuan? Bantuan apa?" tanya Ana yang penasaran. "Saya akan menjamin biaya ayahmu di rumah sakit ini. Kamu kerja denganku," sahut Nirmala. Ana terkejut ketika Nirmala menawarkan pekerjaan padanya. Saat ini memang dia sedang butuh pekerjaan karena uang pegangannya sudah menipis. Apalagi ayahnya masih butuh banyak biaya. Walaupun dokter sudah angkat tangan dan menyarankan untuk melepas alat bantu, Ana belum mau. Ada keyakinan dalam dirinya jika sang ayah akan pulih kembali seperti sedia kala. Hanya saja saat ini Ana dihadapkan dengan biaya rumah sakit yang sangat besar. Isi kepalanya hampir keluar karena pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Kerjanya apa? Apa aku masih bisa merawat ayahku di sini?" tanya Ana ragu. "Jadi asisten pribadiku. Kamu hanya perlu ikut saya kalau saya sedang butuh teman saja. Mudah bukan?"Nampaknya Ana sedang berpikir keras.
"Lalu kamu mau apa? Maaf saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusi urusan tidak penting ini. Saya sudah minta maaf dan kamu pun tidak terluka. Lalu apa lagi?" Zaki dibuat sedikit kesal oleh perempuan muda itu. "Gak penting katamu? Gara-gara kamu, aku jadi terlambat memberi makanan pada ayahku. Jadi, kamu harus tanggung jawab!" Perempuan yang belum diketahui namanya itu tak kalah kesal. Zaki menghela nafas panjang. Waktunya terbuang percuma hanya untuk menanggapi orang yang tak dikenal. "Kamu harus ikut aku dan minta maaf langsung sama ayahku!" sambungnya lagi. "Maaf saya tidak ada waktu." Zaki pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan perempuan tadi. Langkahnya hampir sampai di ruangan rawat inap Nirmala. Dia merasa sedikit lega karena tak lagi mendengar suara perempuan tadi. Namun, prediksinya salah. Ternyata perempuan itu mengikutinya sampai di depan ruangan Nirmala.Perempuan itu mencegat Zaki. "Kamu harus ikut aku!" serunya. "Gak sopan! Kamu dari tadi mengikuti ku?"
Mama Zoya yang tertidur dengan kepala berbaring ke ranjang Nirmala pun terkejut mendengar suara Nirmala. Spontan Mama Zoya langsung bangun dan memastikan Nirmala sudah sadar. Lalu, Mama Zoya lari keluar untuk memanggil perawat jaga. Setelah perawat jaga memeriksa Nirmala, Mama Zoya baru lah lega karena menurut perawat, semuanya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk penanganan lebih lanjut, menurut kata perawat akan menunggu instruksi dari dokter yang menangani Nirmala. Dokter yang memeriksa Nirmala belum mengatakan apapun pada mertua Nirmala itu. Alasannya karena menunggu suami Nirmala. "Aku dimana, Ma? Kok mama di sini?" tanya Nirmala yang masih tak sadar kalau dia di rumah sakit. Fano sudah kembali bertugas dan Zaki juga sudah diberitahu kalau Nirmala ada di rumah sakit. Sekarang, Zaki sedang ada di perjalanan. Dia juga baru selesai menangani dua operasi yang sangat darurat. Setelah melihat sekeliling dan mengingat kejadian terakhir, Nirmala baru ingat kal