Selesai membantu Kak Aisyah, aku menghampiri Bang Ridwan yang sudah menungguku di ruang keluarga. Kak Aisyah menyusulku dengan membawa minuman hangat dan beberapa camilan yang diletakkan di meja depan tempat kami duduk."Dek, sini!" Bang Ridwan memanggil istrinya untuk duduk di dekatnya. Tampak Kak Aisyah menurut. Dia langsung duduk di sebelah Bang Ridwan.Hatinya menjadi dag dig dug tak karuan. Seperti seorang tersangka yang tengah diadili di ruang sidang. Itulah yang aku rasakan saat ini. Walaupun aku belum pernah mendapat perlakuan yang tidak baik dari Bang Ridwan."Ada hal yang harus kamu tahu, Nirmala. Sebenarnya Abang sudah tahu ini sejak dulu. Tapi Abang tak berani menceritakannya padamu. Dulu saat Abang tahu kenyataan ini, Abang marah dan memilih pergi dari rumahmu." Bang Ridwan terlihat matanya berkaca-kaca. Aku jadi bingung dan tak mengerti arah pembicaraannya ini. Apa yang aku tidak tahu? Dan kenapa Bang Ridwan sampai marah besar? Apakah ada masalah serius hingga Bang Ridw
"Dan satu lagi, bukankah Abang dulu memang pergi karena mau bekerja di luar kota? Kenapa kata Abang kalau Abang kabur? Jujur, Nirmala bingung dengan semua ini, Bang," kata Nirmala panjang lebar."Kamu gak sadar, La, kalau nama Abang Ridwan Al Fatih?" seru Bang Ridwan. Dan aku baru tersadar akan hal itu.Betapa b*dohnya kamu berdua tidak menyadari kemiripan itu. Sungguh ini membuatku syok. Ternyata selama ini aku begitu dekat dengan abang kandungku."Mungkin Bapak dan Ibu mengatakan hal itu agar kamu tidak bertanya-tanya mengapa aku kabur dari rumah. Abang saat itu benar-benar frustasi dan ingin menenangkan diri, La. Dan ketika Abang ingin meminta maaf sama Bapak dan Ibu, ternyata mereka —" Bang Ridwan tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Terlihat jelas gurat penyesalan dari wajah Bang Ridwan."Maafkan Abang yang selama ini sudah meninggalkanmu, La! Abang merasa bersalah padamu," sambung Bang Ridwan. Dia menatapku penuh kasih sayang seperti dulu. "Abang juga sudah tahu semua masalahm
Kehilangan janin yang ada dalam kandunganku membuat aku tersadar kalau Mas Arga sebenarnya tidak benar-benar mau menikahiku. Sejak tahu aku hamil, sikap Mas Arga sedikit berbeda dari sebelumnya. Dia hampir setiap hari bertemu dengan Tante Ria. Apalagi setelah aku pulang dari rumah sakit. Aku memang sengaja tak pernah keluar dari kamar. Aku ingin tahu sikap Mas Arga ketika aku mengurung diri di kamar. Sesuai prediksiku, Mas Arga sama sekali tak peduli padaku. Bahkan hanya sekedar bertanya sudah makan apa belum, Mas Arga tak lakukan itu.Sudah beberapa hari aku tidak melihat Mas Arga pulang. Dan aku pun sudah tak peduli lagi dengannya. Mungkin Mas Arga pikir aku tak bisa hidup tanpanya. Sekarang, mari kita buktikan siapa yang akan sengsara, Mas Arga! Biarpun aku sudah tidak punya rahim, tapi aku masih punya wajah yang cantik. Aku mengemasi pakaianku karena aku mau pergi dari apartemen ini. Tak sudi bagiku tinggal di apartemen milik perempuan tua itu! Rencananya aku akan ke rumah Mami
Berdasarkan penuturan Mami Mey, Dokter Zaki ini berusia tiga puluh empat tahu dan belum pernah menikah. Orangnya tampan dengan tubuh tinggi dan juga kulitnya putih. Mami Mey juga berkata kalau Dokter Zaki ini susah ditaklukkan. Mami Mey sudah beberapa kali mencobanya. Mulai dari perempuan seksi sampai perempuan yang biasa saja tetap tak bisa menaklukkan dokter tampan satu ini. Dan ini adalah tantangan tersendiri bagiku."Senoga berhasil!" ucap Mami Mey saat kami sampai di sebuah restoran. Mami Mey sudah mengatur pertemuan ini sebelumnya. Sehingga aku hanya perlu menunggu di tempat yang sudah di pesan sebelumnya. Aku sudah menunggu di meja yang sudah di pesan Mami Mey. Dan satu jam aku menunggu, laki-laki yang bernama Zaki itu belum menunjukkan batang hidungnya. Sampai kesal aku menunggunya. [Mi ... kok laki-laki yang bernama Zaki itu belum datang juga, ya? Apa benar dia mau datang, Mi? Jangan-jangan kita kena tipu, Mi.] Aku mengirim pesan pada Mami Mey karena sudah lelah menunggu.
Satu bulan Mama Ria dirawat di rumah sakit. Selama itu pula Nurma berada di rumah mertuaku Ibu Sari. Aku dan Nurma tidak pernah lupa untuk memberi kabar. "Dek, Alhamdulillah besok Mama sudah boleh pulang. Tapi Mama masih belum melakukan apapun. Dokter tak bisa memastikan kapan Mama bisa berjalan lagi." Aku berusaha menjelaskan kondisi Mama Ria pada Nurma agar nantinya dia tidak terkejut."Alhamdulillah kalau Mama sudah boleh pulang. Kalau gitu besok Nurma juga pulang, Mas. Tapi ... bolehkah Ibu ikut ke sana?" Tanya Nurma padaku. Aku mengernyitkan keningku. Tak biasanya Nurma meminta ibu mertuaku untuk menginap di sini. Bukan apa-apa, aku tahu kalau Ibu Sari kurang suka dengan Mama Ria. "Mas, kok diam saja? Gak boleh, ya?" Tanya Nurma lagi. Aku tersentak dari lamunanku."Oh bukan gitu, Dek. Boleh! Siapa bilang gak boleh?" Kataku. Aku berusaha bicara setenang mungkin agar Nurma tidak curiga. "Terima kasih, Mas!" ucapnya. Lalu kami membicarakan hal lain sampai beberapa menit. Setelah
"Mas! Mas Raga tidur? Nurma sudah sampai, Mas," serunya di depan kamar. Aku menyingkap selimut dan membuka pintu. Di depanku berdiri bidadari yang kupersunting satu tahun yang lalu. Senyum manis terlukis di bibirnya. Nurma langsung mencium punggung tanganku."Capek, ya, Mas?" tanyanya. Dia masuk lalu berbaring di ranjang. Aku melihat ada yang aneh dengan sikap Nurma. Wajahnya juga terlihat pucat.Kamu gak apa-apa, Dek? Mukamu pucat, lho!" Aku begitu serius memandangi wajah Nurma karena memang tak seperti biasa."Masa, sih, Mas? Perasaan Nurma biasa-biasa aja. Mungkin karena Nurma habis perjalanan jauh kali, ya?" sangkalnya. Tapi masuk akal bagiku alasan Nurma itu. Apalagi ditambah dengan kondisi hamil seperti itu. Aku pun meminta Nurma untuk beristirahat sejenak. Sedangkan aku turun ke bawah untuk meminta Mbok Darmi membuatkan sup untuk semuanya."Bu ... Apa kabar?" Aku menyapa mertuaku yang juga kebetulan ikut membantu Mbok Darmi di dapur."Alhamdulillah sehat, Nak. Kamu juga sehat
"Bang, gak jadi ke alamat itu. Mas Raga kasih tahu kalau kita ke rumah sakit Mitra Medika," ucapku pada Bang Ridwan setelah mendapat pesan dari Mas Raga.Firasatku mengatakan kalau Mbak Nurma sudah melahirkan. Tapi ... kenapa aku diminta ke sana? Jangan-jangan?! Ah semoga pikiran buruk tentang Mbak Nurma tidak terjadi.Mbak Nurma dan Mas Raga sudah begitu baik padaku. Dulu Mas Raga selalu membeli camilan yang aku jual. Mbak Nurma juga sama memperlakukan aku dengan baik. Walaupun kita baru saling mengenal.Sebenarnya aku dan Mbak Nurma ada rahasia yang Mas Raga sendiri tidak tahu. Diam-diam Mbak Nurma mengambil cuti hanya untuk menyelidiki Mas Raga dan juga Cindi. Aku sudah menolaknya berkali-kali, karena aku rasa itu terlalu berlebihan. Bukankah masih banyak polisi yang bisa membantu Mbak Nurma? Kenapa dia malah memilih berjalan sendiri dan membahayakan dirinya sendiri hanya untuk orang seperti aku? Orang yang baru diken
Mas Raga menoleh ke arah Bang Ridwan dan juga Kak Aisyah karena ini pertama kali mereka bertemu."Ini Abang saya, Mas. Bang Ridwan namanya. Dan yang ini istri Bang Ridwan, Kak Aisyah namanya." Aku pun juga memperkenalkan abangku pada Mas Raga. Bang Ridwan dan Mas Raga saling berjabat tangan."Mbak Nurma gimana, Mas? Baik-baik saja, kan?" tanyaku penasaran."Masih ditangani dokter karena ada komplikasi saat operasi, La," jawab Mas Raga lirih. Ada raut kesedihan dalam dirinya."Bayinya, Mas?" Aku berharap kalau anak mereka sehat-sehat saja."Anak kami Alhamdulillah sehat. Sekarang ada di ruang bayi." Jawaban Mas Raga membuatku bernafas lega.Sedari tadi aku melihat Ibu Sari melihatku terus-menerus. Aku sampai merasa risih karenanya. Saat mata kami beradu, Ibu Sari tersenyum padaku."Cantik!" lirih Ibu Sari tapi masih dapat aku dengar.
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap
"Aku tahu kamu butuh biaya besar untuk ayahmu di sini. Aku bisa bantu itu. Tapi, aku juga butuh bantuanmu," ucap Nirmala kemudian. "Bantuan? Bantuan apa?" tanya Ana yang penasaran. "Saya akan menjamin biaya ayahmu di rumah sakit ini. Kamu kerja denganku," sahut Nirmala. Ana terkejut ketika Nirmala menawarkan pekerjaan padanya. Saat ini memang dia sedang butuh pekerjaan karena uang pegangannya sudah menipis. Apalagi ayahnya masih butuh banyak biaya. Walaupun dokter sudah angkat tangan dan menyarankan untuk melepas alat bantu, Ana belum mau. Ada keyakinan dalam dirinya jika sang ayah akan pulih kembali seperti sedia kala. Hanya saja saat ini Ana dihadapkan dengan biaya rumah sakit yang sangat besar. Isi kepalanya hampir keluar karena pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Kerjanya apa? Apa aku masih bisa merawat ayahku di sini?" tanya Ana ragu. "Jadi asisten pribadiku. Kamu hanya perlu ikut saya kalau saya sedang butuh teman saja. Mudah bukan?"Nampaknya Ana sedang berpikir keras.
"Lalu kamu mau apa? Maaf saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusi urusan tidak penting ini. Saya sudah minta maaf dan kamu pun tidak terluka. Lalu apa lagi?" Zaki dibuat sedikit kesal oleh perempuan muda itu. "Gak penting katamu? Gara-gara kamu, aku jadi terlambat memberi makanan pada ayahku. Jadi, kamu harus tanggung jawab!" Perempuan yang belum diketahui namanya itu tak kalah kesal. Zaki menghela nafas panjang. Waktunya terbuang percuma hanya untuk menanggapi orang yang tak dikenal. "Kamu harus ikut aku dan minta maaf langsung sama ayahku!" sambungnya lagi. "Maaf saya tidak ada waktu." Zaki pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan perempuan tadi. Langkahnya hampir sampai di ruangan rawat inap Nirmala. Dia merasa sedikit lega karena tak lagi mendengar suara perempuan tadi. Namun, prediksinya salah. Ternyata perempuan itu mengikutinya sampai di depan ruangan Nirmala.Perempuan itu mencegat Zaki. "Kamu harus ikut aku!" serunya. "Gak sopan! Kamu dari tadi mengikuti ku?"
Mama Zoya yang tertidur dengan kepala berbaring ke ranjang Nirmala pun terkejut mendengar suara Nirmala. Spontan Mama Zoya langsung bangun dan memastikan Nirmala sudah sadar. Lalu, Mama Zoya lari keluar untuk memanggil perawat jaga. Setelah perawat jaga memeriksa Nirmala, Mama Zoya baru lah lega karena menurut perawat, semuanya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk penanganan lebih lanjut, menurut kata perawat akan menunggu instruksi dari dokter yang menangani Nirmala. Dokter yang memeriksa Nirmala belum mengatakan apapun pada mertua Nirmala itu. Alasannya karena menunggu suami Nirmala. "Aku dimana, Ma? Kok mama di sini?" tanya Nirmala yang masih tak sadar kalau dia di rumah sakit. Fano sudah kembali bertugas dan Zaki juga sudah diberitahu kalau Nirmala ada di rumah sakit. Sekarang, Zaki sedang ada di perjalanan. Dia juga baru selesai menangani dua operasi yang sangat darurat. Setelah melihat sekeliling dan mengingat kejadian terakhir, Nirmala baru ingat kal