Kehilangan janin yang ada dalam kandunganku membuat aku tersadar kalau Mas Arga sebenarnya tidak benar-benar mau menikahiku. Sejak tahu aku hamil, sikap Mas Arga sedikit berbeda dari sebelumnya. Dia hampir setiap hari bertemu dengan Tante Ria. Apalagi setelah aku pulang dari rumah sakit. Aku memang sengaja tak pernah keluar dari kamar. Aku ingin tahu sikap Mas Arga ketika aku mengurung diri di kamar. Sesuai prediksiku, Mas Arga sama sekali tak peduli padaku. Bahkan hanya sekedar bertanya sudah makan apa belum, Mas Arga tak lakukan itu.Sudah beberapa hari aku tidak melihat Mas Arga pulang. Dan aku pun sudah tak peduli lagi dengannya. Mungkin Mas Arga pikir aku tak bisa hidup tanpanya. Sekarang, mari kita buktikan siapa yang akan sengsara, Mas Arga! Biarpun aku sudah tidak punya rahim, tapi aku masih punya wajah yang cantik. Aku mengemasi pakaianku karena aku mau pergi dari apartemen ini. Tak sudi bagiku tinggal di apartemen milik perempuan tua itu! Rencananya aku akan ke rumah Mami
Berdasarkan penuturan Mami Mey, Dokter Zaki ini berusia tiga puluh empat tahu dan belum pernah menikah. Orangnya tampan dengan tubuh tinggi dan juga kulitnya putih. Mami Mey juga berkata kalau Dokter Zaki ini susah ditaklukkan. Mami Mey sudah beberapa kali mencobanya. Mulai dari perempuan seksi sampai perempuan yang biasa saja tetap tak bisa menaklukkan dokter tampan satu ini. Dan ini adalah tantangan tersendiri bagiku."Senoga berhasil!" ucap Mami Mey saat kami sampai di sebuah restoran. Mami Mey sudah mengatur pertemuan ini sebelumnya. Sehingga aku hanya perlu menunggu di tempat yang sudah di pesan sebelumnya. Aku sudah menunggu di meja yang sudah di pesan Mami Mey. Dan satu jam aku menunggu, laki-laki yang bernama Zaki itu belum menunjukkan batang hidungnya. Sampai kesal aku menunggunya. [Mi ... kok laki-laki yang bernama Zaki itu belum datang juga, ya? Apa benar dia mau datang, Mi? Jangan-jangan kita kena tipu, Mi.] Aku mengirim pesan pada Mami Mey karena sudah lelah menunggu.
Satu bulan Mama Ria dirawat di rumah sakit. Selama itu pula Nurma berada di rumah mertuaku Ibu Sari. Aku dan Nurma tidak pernah lupa untuk memberi kabar. "Dek, Alhamdulillah besok Mama sudah boleh pulang. Tapi Mama masih belum melakukan apapun. Dokter tak bisa memastikan kapan Mama bisa berjalan lagi." Aku berusaha menjelaskan kondisi Mama Ria pada Nurma agar nantinya dia tidak terkejut."Alhamdulillah kalau Mama sudah boleh pulang. Kalau gitu besok Nurma juga pulang, Mas. Tapi ... bolehkah Ibu ikut ke sana?" Tanya Nurma padaku. Aku mengernyitkan keningku. Tak biasanya Nurma meminta ibu mertuaku untuk menginap di sini. Bukan apa-apa, aku tahu kalau Ibu Sari kurang suka dengan Mama Ria. "Mas, kok diam saja? Gak boleh, ya?" Tanya Nurma lagi. Aku tersentak dari lamunanku."Oh bukan gitu, Dek. Boleh! Siapa bilang gak boleh?" Kataku. Aku berusaha bicara setenang mungkin agar Nurma tidak curiga. "Terima kasih, Mas!" ucapnya. Lalu kami membicarakan hal lain sampai beberapa menit. Setelah
"Mas! Mas Raga tidur? Nurma sudah sampai, Mas," serunya di depan kamar. Aku menyingkap selimut dan membuka pintu. Di depanku berdiri bidadari yang kupersunting satu tahun yang lalu. Senyum manis terlukis di bibirnya. Nurma langsung mencium punggung tanganku."Capek, ya, Mas?" tanyanya. Dia masuk lalu berbaring di ranjang. Aku melihat ada yang aneh dengan sikap Nurma. Wajahnya juga terlihat pucat.Kamu gak apa-apa, Dek? Mukamu pucat, lho!" Aku begitu serius memandangi wajah Nurma karena memang tak seperti biasa."Masa, sih, Mas? Perasaan Nurma biasa-biasa aja. Mungkin karena Nurma habis perjalanan jauh kali, ya?" sangkalnya. Tapi masuk akal bagiku alasan Nurma itu. Apalagi ditambah dengan kondisi hamil seperti itu. Aku pun meminta Nurma untuk beristirahat sejenak. Sedangkan aku turun ke bawah untuk meminta Mbok Darmi membuatkan sup untuk semuanya."Bu ... Apa kabar?" Aku menyapa mertuaku yang juga kebetulan ikut membantu Mbok Darmi di dapur."Alhamdulillah sehat, Nak. Kamu juga sehat
"Bang, gak jadi ke alamat itu. Mas Raga kasih tahu kalau kita ke rumah sakit Mitra Medika," ucapku pada Bang Ridwan setelah mendapat pesan dari Mas Raga.Firasatku mengatakan kalau Mbak Nurma sudah melahirkan. Tapi ... kenapa aku diminta ke sana? Jangan-jangan?! Ah semoga pikiran buruk tentang Mbak Nurma tidak terjadi.Mbak Nurma dan Mas Raga sudah begitu baik padaku. Dulu Mas Raga selalu membeli camilan yang aku jual. Mbak Nurma juga sama memperlakukan aku dengan baik. Walaupun kita baru saling mengenal.Sebenarnya aku dan Mbak Nurma ada rahasia yang Mas Raga sendiri tidak tahu. Diam-diam Mbak Nurma mengambil cuti hanya untuk menyelidiki Mas Raga dan juga Cindi. Aku sudah menolaknya berkali-kali, karena aku rasa itu terlalu berlebihan. Bukankah masih banyak polisi yang bisa membantu Mbak Nurma? Kenapa dia malah memilih berjalan sendiri dan membahayakan dirinya sendiri hanya untuk orang seperti aku? Orang yang baru diken
Mas Raga menoleh ke arah Bang Ridwan dan juga Kak Aisyah karena ini pertama kali mereka bertemu."Ini Abang saya, Mas. Bang Ridwan namanya. Dan yang ini istri Bang Ridwan, Kak Aisyah namanya." Aku pun juga memperkenalkan abangku pada Mas Raga. Bang Ridwan dan Mas Raga saling berjabat tangan."Mbak Nurma gimana, Mas? Baik-baik saja, kan?" tanyaku penasaran."Masih ditangani dokter karena ada komplikasi saat operasi, La," jawab Mas Raga lirih. Ada raut kesedihan dalam dirinya."Bayinya, Mas?" Aku berharap kalau anak mereka sehat-sehat saja."Anak kami Alhamdulillah sehat. Sekarang ada di ruang bayi." Jawaban Mas Raga membuatku bernafas lega.Sedari tadi aku melihat Ibu Sari melihatku terus-menerus. Aku sampai merasa risih karenanya. Saat mata kami beradu, Ibu Sari tersenyum padaku."Cantik!" lirih Ibu Sari tapi masih dapat aku dengar.
Saat aku terbangun, aku sudah berada dalam kamar rumah Bang Ridwan. Aku melihat sekeliling tapi tidak ada siapa-siapa. Segera aku beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Tak kutemukan bang Ridwan maupun Kak Aisyah di ruang tengah. Lalu, aku menuju ke halaman belakang rumah. Terlihat Bang Ridwan dan Kak Aisyah tengah duduk di sebuah gazebo yang ada di halaman belakang. Mereka duduk membelakangi ku, sehingga mereka tidak menyadari kalau ada ada di belakang mereka."Mas ... kasihan bayi itu. Boleh gak, ya, kita merawatnya?" tanya Kak Aisyah pada Bang Ridwan. Aku tak tahu bayi siapa yang Kak Aisyah maksud. Apakah bayiku? Atau ....Aku jadi teringat akan kejadian yang menimpa Mbak Nurma. Tanpa di aba-aba, air mataku lolos begitu saja dari sumbernya. Kepalaku masih terngiang-ngiang pesan dari Mbak Nurma agar mau menjadi ibu asuh untuk Tegar anaknya. Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Aku tidak mau mengganggu pembicaraan Abang dan kakakku itu. "Bayi itu masih punya aya
Astaghfirullah! Aku sampai lupa kalau Mbak Nurma sudah memberi nama pada bayi itu. Karena aku terlalu syok dan pingsan, aku belum sempat memberitahu Mas Raga soal itu."Maaf, Mas, Nirmala lupa kasih tahu Mas Raga kalau sewaktu Nirmala masuk dan menemui Mbak Nurma, Mbak Nurma memberi nama anak kalian Tegar." Aku berusaha menjelaskan kejadian saat itu."Tegar?" gumam Mas Raga dan aku mengangguk."Nama yang bagus! Itu benar Nurma yang mengatakan?" Mas Raga masih belum percaya dengar perkataanku. Aku mengangguk pelan."Aku memang belum memberinya nama karena memang belum ada persiapan. Terima kasih, ya, Sayang ... Kamu masih sempat memberikan nama yang bagus untuk anak kita. Semoga anak kita kelak jadi anak yang pemberani sepertimu," ucap Mas Raga sambil memperhatikan foto Mbak Nurma yang tertempel di dinding rumah ini.Aku menghampiri bayi kecil itu dan meminta izin untuk menggendongnya sebentar. Mas Raga dengan senang hati mengizinkannya."Assalamualaikum anak ganteng, anak Sholeh! Ini