"Mas! Mas Raga tidur? Nurma sudah sampai, Mas," serunya di depan kamar. Aku menyingkap selimut dan membuka pintu. Di depanku berdiri bidadari yang kupersunting satu tahun yang lalu. Senyum manis terlukis di bibirnya. Nurma langsung mencium punggung tanganku."Capek, ya, Mas?" tanyanya. Dia masuk lalu berbaring di ranjang. Aku melihat ada yang aneh dengan sikap Nurma. Wajahnya juga terlihat pucat.Kamu gak apa-apa, Dek? Mukamu pucat, lho!" Aku begitu serius memandangi wajah Nurma karena memang tak seperti biasa."Masa, sih, Mas? Perasaan Nurma biasa-biasa aja. Mungkin karena Nurma habis perjalanan jauh kali, ya?" sangkalnya. Tapi masuk akal bagiku alasan Nurma itu. Apalagi ditambah dengan kondisi hamil seperti itu. Aku pun meminta Nurma untuk beristirahat sejenak. Sedangkan aku turun ke bawah untuk meminta Mbok Darmi membuatkan sup untuk semuanya."Bu ... Apa kabar?" Aku menyapa mertuaku yang juga kebetulan ikut membantu Mbok Darmi di dapur."Alhamdulillah sehat, Nak. Kamu juga sehat
"Bang, gak jadi ke alamat itu. Mas Raga kasih tahu kalau kita ke rumah sakit Mitra Medika," ucapku pada Bang Ridwan setelah mendapat pesan dari Mas Raga.Firasatku mengatakan kalau Mbak Nurma sudah melahirkan. Tapi ... kenapa aku diminta ke sana? Jangan-jangan?! Ah semoga pikiran buruk tentang Mbak Nurma tidak terjadi.Mbak Nurma dan Mas Raga sudah begitu baik padaku. Dulu Mas Raga selalu membeli camilan yang aku jual. Mbak Nurma juga sama memperlakukan aku dengan baik. Walaupun kita baru saling mengenal.Sebenarnya aku dan Mbak Nurma ada rahasia yang Mas Raga sendiri tidak tahu. Diam-diam Mbak Nurma mengambil cuti hanya untuk menyelidiki Mas Raga dan juga Cindi. Aku sudah menolaknya berkali-kali, karena aku rasa itu terlalu berlebihan. Bukankah masih banyak polisi yang bisa membantu Mbak Nurma? Kenapa dia malah memilih berjalan sendiri dan membahayakan dirinya sendiri hanya untuk orang seperti aku? Orang yang baru diken
Mas Raga menoleh ke arah Bang Ridwan dan juga Kak Aisyah karena ini pertama kali mereka bertemu."Ini Abang saya, Mas. Bang Ridwan namanya. Dan yang ini istri Bang Ridwan, Kak Aisyah namanya." Aku pun juga memperkenalkan abangku pada Mas Raga. Bang Ridwan dan Mas Raga saling berjabat tangan."Mbak Nurma gimana, Mas? Baik-baik saja, kan?" tanyaku penasaran."Masih ditangani dokter karena ada komplikasi saat operasi, La," jawab Mas Raga lirih. Ada raut kesedihan dalam dirinya."Bayinya, Mas?" Aku berharap kalau anak mereka sehat-sehat saja."Anak kami Alhamdulillah sehat. Sekarang ada di ruang bayi." Jawaban Mas Raga membuatku bernafas lega.Sedari tadi aku melihat Ibu Sari melihatku terus-menerus. Aku sampai merasa risih karenanya. Saat mata kami beradu, Ibu Sari tersenyum padaku."Cantik!" lirih Ibu Sari tapi masih dapat aku dengar.
Saat aku terbangun, aku sudah berada dalam kamar rumah Bang Ridwan. Aku melihat sekeliling tapi tidak ada siapa-siapa. Segera aku beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Tak kutemukan bang Ridwan maupun Kak Aisyah di ruang tengah. Lalu, aku menuju ke halaman belakang rumah. Terlihat Bang Ridwan dan Kak Aisyah tengah duduk di sebuah gazebo yang ada di halaman belakang. Mereka duduk membelakangi ku, sehingga mereka tidak menyadari kalau ada ada di belakang mereka."Mas ... kasihan bayi itu. Boleh gak, ya, kita merawatnya?" tanya Kak Aisyah pada Bang Ridwan. Aku tak tahu bayi siapa yang Kak Aisyah maksud. Apakah bayiku? Atau ....Aku jadi teringat akan kejadian yang menimpa Mbak Nurma. Tanpa di aba-aba, air mataku lolos begitu saja dari sumbernya. Kepalaku masih terngiang-ngiang pesan dari Mbak Nurma agar mau menjadi ibu asuh untuk Tegar anaknya. Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Aku tidak mau mengganggu pembicaraan Abang dan kakakku itu. "Bayi itu masih punya aya
Astaghfirullah! Aku sampai lupa kalau Mbak Nurma sudah memberi nama pada bayi itu. Karena aku terlalu syok dan pingsan, aku belum sempat memberitahu Mas Raga soal itu."Maaf, Mas, Nirmala lupa kasih tahu Mas Raga kalau sewaktu Nirmala masuk dan menemui Mbak Nurma, Mbak Nurma memberi nama anak kalian Tegar." Aku berusaha menjelaskan kejadian saat itu."Tegar?" gumam Mas Raga dan aku mengangguk."Nama yang bagus! Itu benar Nurma yang mengatakan?" Mas Raga masih belum percaya dengar perkataanku. Aku mengangguk pelan."Aku memang belum memberinya nama karena memang belum ada persiapan. Terima kasih, ya, Sayang ... Kamu masih sempat memberikan nama yang bagus untuk anak kita. Semoga anak kita kelak jadi anak yang pemberani sepertimu," ucap Mas Raga sambil memperhatikan foto Mbak Nurma yang tertempel di dinding rumah ini.Aku menghampiri bayi kecil itu dan meminta izin untuk menggendongnya sebentar. Mas Raga dengan senang hati mengizinkannya."Assalamualaikum anak ganteng, anak Sholeh! Ini
"Nurma menitipkan ini sama Ibu. Dia bilang kalau kamu sendiri yang harus menerimanya dari tangan Ibu. Jujur saja, Ibu tidak tahu isinya apa. Jadi, silahkan Nak Nirmala buka sendiri," kata Ibu Sari padaku.Mataku menyipit ketika melihat amplop berukuran besar di tanganku. Dengan perasaan ragu, aku menerima amplop itu dari tangan Ibu Sari."Oh iya dan satu lagi, ini surat dari Nurma untukmu." Lagi, Ibu Sari memberikanku amplop putih tapi ukurannya lebih kecil dari yang pertama.Setelah dua-duanya aku terima, aku langsung pulang ke rumah. Karena memang pemakaman Mbak Nurma sudah selesai. Bang Ridwan dan Kak Aisyah juga sepertinya kecapekan.Aku meletakkan amplop dan surat yang diberi oleh Ibu Sari di atas meja. Rasanya ingin segera membersihkan badan ini karena terasa lengket. Selesai mandi, aku rasanya ingin tidur. Badanku terasa sangat lelah dan aku tak memikirkan lagi amplop yang diberikan oleh
"Ternyata firasat Abang benar. Kamu kenapa-napa. Untung saja warga di sana menemukanmu dengan cepat. Kalau tidak ... Abang tak tahu apa yang akan terjadi padamu." Bang Ridwan masih menceritakan kejadian saat aku membereskan bekas kekacauan penagih hutang."Benarkah, Bang? Aku selalu ke kantor polisi dan menanyakan perkembangan laporanku, Bang. Mereka kesulitan melacak dimana Mas Arga menggadaikan sertifikat ini. Tapi ... Kenapa Mbak Nurma bisa dengan cepat mendapatkannya, ya, Bang?" tanyaku bingung."Memangnya Nurma gak bilang apa-apa lagi sama kamu, La? Atau tidak ada gitu surat atau apa yang dia tinggalkan untukmu?" Kak Aisyah ikut bertanya padaku. Dan pertanyaan Kak Aisyah mengingatkanku pada satu amplop kecil yang satu lagi."Ah iya, mungkin di amplop itu! Sebentar Nirmala ambil dulu amplopnya, Bang, Kak," kataku.Aku masuk kembali ke dalam kamar dan mengambil surat yang satu lagi. Aku kembali la
Kala itu, Ridwan baru saja pulang dari bermain. Saat dia hendak masuk, tanpa sengaja Ridwan mendengar pembicaraan Bude dan Pakdenya."Kenapa Ibu tidak boleh memberitahu Ridwan, Pak? Bukankah adikmu juga sudah tidak ada? Ibu juga ingin memeluk Ridwan sebagai anak kandung Ibu sendiri, Pak!" kata Ibu Tari pada Pak Gunawan. Mereka berdua adalah orang tua kandung Nirmala.Deg! Ridwan terkejut dengan penuturan Budenya. Tapi dia tidak buru-buru keluar menampakkan dirinya di hadapan mereka. Ridwan ingin tahu kebenarannya lebih dalam lagi."Jangan, Bu! Bukankah kita sudah berjanji pada mereka untuk merahasiakan ini seumur hidup kita, Bu. Apa Ibu lupa?" sahut Pak Gunawan. Pak Gunawan tahu betul perasaan istrinya. Dia yang memaksa istrinya untuk memberikan anak pertama mereka pada adik kandungnya karena sudah lama adik kandungnya tidak punya anak.Pak Gunawan dulu memang dilangkahi oleh adik perempuannya. Jadi, usia pernikahannya lebih lama adik perempuannya dibandingkan dia."Bukan Ibu, Pak ..