Astaghfirullah! Aku sampai lupa kalau Mbak Nurma sudah memberi nama pada bayi itu. Karena aku terlalu syok dan pingsan, aku belum sempat memberitahu Mas Raga soal itu."Maaf, Mas, Nirmala lupa kasih tahu Mas Raga kalau sewaktu Nirmala masuk dan menemui Mbak Nurma, Mbak Nurma memberi nama anak kalian Tegar." Aku berusaha menjelaskan kejadian saat itu."Tegar?" gumam Mas Raga dan aku mengangguk."Nama yang bagus! Itu benar Nurma yang mengatakan?" Mas Raga masih belum percaya dengar perkataanku. Aku mengangguk pelan."Aku memang belum memberinya nama karena memang belum ada persiapan. Terima kasih, ya, Sayang ... Kamu masih sempat memberikan nama yang bagus untuk anak kita. Semoga anak kita kelak jadi anak yang pemberani sepertimu," ucap Mas Raga sambil memperhatikan foto Mbak Nurma yang tertempel di dinding rumah ini.Aku menghampiri bayi kecil itu dan meminta izin untuk menggendongnya sebentar. Mas Raga dengan senang hati mengizinkannya."Assalamualaikum anak ganteng, anak Sholeh! Ini
"Nurma menitipkan ini sama Ibu. Dia bilang kalau kamu sendiri yang harus menerimanya dari tangan Ibu. Jujur saja, Ibu tidak tahu isinya apa. Jadi, silahkan Nak Nirmala buka sendiri," kata Ibu Sari padaku.Mataku menyipit ketika melihat amplop berukuran besar di tanganku. Dengan perasaan ragu, aku menerima amplop itu dari tangan Ibu Sari."Oh iya dan satu lagi, ini surat dari Nurma untukmu." Lagi, Ibu Sari memberikanku amplop putih tapi ukurannya lebih kecil dari yang pertama.Setelah dua-duanya aku terima, aku langsung pulang ke rumah. Karena memang pemakaman Mbak Nurma sudah selesai. Bang Ridwan dan Kak Aisyah juga sepertinya kecapekan.Aku meletakkan amplop dan surat yang diberi oleh Ibu Sari di atas meja. Rasanya ingin segera membersihkan badan ini karena terasa lengket. Selesai mandi, aku rasanya ingin tidur. Badanku terasa sangat lelah dan aku tak memikirkan lagi amplop yang diberikan oleh
"Ternyata firasat Abang benar. Kamu kenapa-napa. Untung saja warga di sana menemukanmu dengan cepat. Kalau tidak ... Abang tak tahu apa yang akan terjadi padamu." Bang Ridwan masih menceritakan kejadian saat aku membereskan bekas kekacauan penagih hutang."Benarkah, Bang? Aku selalu ke kantor polisi dan menanyakan perkembangan laporanku, Bang. Mereka kesulitan melacak dimana Mas Arga menggadaikan sertifikat ini. Tapi ... Kenapa Mbak Nurma bisa dengan cepat mendapatkannya, ya, Bang?" tanyaku bingung."Memangnya Nurma gak bilang apa-apa lagi sama kamu, La? Atau tidak ada gitu surat atau apa yang dia tinggalkan untukmu?" Kak Aisyah ikut bertanya padaku. Dan pertanyaan Kak Aisyah mengingatkanku pada satu amplop kecil yang satu lagi."Ah iya, mungkin di amplop itu! Sebentar Nirmala ambil dulu amplopnya, Bang, Kak," kataku.Aku masuk kembali ke dalam kamar dan mengambil surat yang satu lagi. Aku kembali la
Kala itu, Ridwan baru saja pulang dari bermain. Saat dia hendak masuk, tanpa sengaja Ridwan mendengar pembicaraan Bude dan Pakdenya."Kenapa Ibu tidak boleh memberitahu Ridwan, Pak? Bukankah adikmu juga sudah tidak ada? Ibu juga ingin memeluk Ridwan sebagai anak kandung Ibu sendiri, Pak!" kata Ibu Tari pada Pak Gunawan. Mereka berdua adalah orang tua kandung Nirmala.Deg! Ridwan terkejut dengan penuturan Budenya. Tapi dia tidak buru-buru keluar menampakkan dirinya di hadapan mereka. Ridwan ingin tahu kebenarannya lebih dalam lagi."Jangan, Bu! Bukankah kita sudah berjanji pada mereka untuk merahasiakan ini seumur hidup kita, Bu. Apa Ibu lupa?" sahut Pak Gunawan. Pak Gunawan tahu betul perasaan istrinya. Dia yang memaksa istrinya untuk memberikan anak pertama mereka pada adik kandungnya karena sudah lama adik kandungnya tidak punya anak.Pak Gunawan dulu memang dilangkahi oleh adik perempuannya. Jadi, usia pernikahannya lebih lama adik perempuannya dibandingkan dia."Bukan Ibu, Pak ..
Dan saat Pak Gunawan hendak menghampiri Ridwan, dia berlari dengan kencang dan meninggalkan rumah. Pak Gunawan sudah berusaha mengejarnya, tapi tak dapat terkejar. Ibu Tari menangis keras karena hal itu.Ridwan pergi pulang ke rumah orang tua yang telah merawatnya. Dia masih belum percaya dengan ucapan Ibu Tari tadi. "Bagaimana bisa mereka lakukan ini padaku? Jika pun aku ini anak mereka," gumam Ridwan. Tak kuasa Ridwan menahan air mata. Dadanya terasa sangat sesak menerima kenyataan ini. Dia mengacak-acak rumah orang tua angkatnya itu dengan harapan bisa menemukan suatu petunjuk yang bisa meluruskan ini semua.Saat melakukan pencarian, tanpa sengaja Ridwan menemukan sebuah surat. Dengan cepat dia segera membacanya. Betapa terkejutnya Ridwan saat menemukan fakta jika benar bahwa Pak Gunawan dan Ibu Sari itu orang tua kandungnya yang asli. Orang tua angkatnya juga meminta maaf karena selama ini menyembunyikan kebenaran ini darinya.Ridwan yang kecewa nekat pergi ke ibukota untuk meng
Aku sudah tidak tahu lagi harus kemana. Semenjak kecelakaan bersama Tante Ria, hidupku jadi berantakan. Tante Ria yang aku tahu dia lumpuh sudah tidak bisa lagi aku andalan. Untuk sementara aku masih tinggal di apartemen Tante Ria. Toh si Raga itu tidak tahu apartemen ini. Jadi aku bebas untuk menempatinya.Aku harus segera cari cara agar aku bisa tetap bisa hidup enak tanpa harus kerja. Tapi apa yang bisa aku kerjakan, ya? Apa aku kembali ke rumah Nirmala aja? Aku, kan, bisa berpura-pura sudah bertaubat dan menyesali perbuatanku kemarin.Nanti biar aja Nirmala yang kerja cari uang. Aku hanya tinggal duduk manis menikmati uang hasilnya bekerja. Ah, iya benar! B*dohnya aku! Kenapa gak dari dulu saja, ya? Dia, kan, cinta mati sama aku.Mau mengaet Nadira sudah tidak mungkin lagi. Dia sekarang sok jual mahal dan tak mau jika aku ajak berkencan. Yang aku dengar sekarang dia tengah dekat dengan seorang polisi. Malam itu aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sudah tidak sabar menunggu samp
"Suami? Sejak kapan kamu mengakui aku ini istrimu?! Bukankah kamu memang sudah tak ingin bersamaku lagi? Silahkan! Pergi jauh dari kehidupanku!" sungut Nirmala. Matanya melotot dan nada suaranya juga tinggi."Aku masih berhak untuk tinggal di sini karena anakku sebentar lagi akan lahir. Kamu gak ingat?" Aku mencoba membujuk Nirmala agar bisa sedikit melunak padaku."Anakmu? Kamu lupa kalau kamu gak menginginkan anak ini?! Apa perlu aku ingatkan lagi? Jangan pura-pura lupa kamu, Mas!" ucap Nirmala penuh penekanan.Memang benar yang dikatakan Nirmala. Dulu aku memarahinya karena hamil. Aku tak mau dibebankan dengan kehadiran bayi di pernikahanku dengan Nirmala. Tapi tentu itu tak kukatakan sekarang padanya. Tujuanku sekarang adalah membujuk agar Nirmala mau memaafkanku."Aku minta sama kamu untuk pergi sekarang juga, Mas. Aku sudah tidak sudi melihat wajahmu lagi!" seru Nirmala seraya memalingkan mukanya dariku."Ayo kita masuk, Bang! Gak ada gunanya ngeladeni laki-laki tak tahu diri it
XdHal yang paling membuat aku benci ketika kembali ke rumah adalah Mama selalu menyuruhku untuk segera menikah. Sebenarnya wajar jika Mama memintaku untuk menikah karena mengingat usiaku juga sudah kepala tiga. Tapi, pernikahan itu sekali seumur hidup dan aku tidak mau salah memilih seorang istri.Namaku Zaki. Profesiku sebagai dokter kandungan membuatku membuka mata soal perjuangan seorang Ibu. Bagaimana tidak, mereka berjuang sekuat tenaga untuk melahirkan putra-putri mereka.Dan karena hal itu, aku sangat selektif memilih seorang istri. Bukankah itu tidak salah?Aku punya adik laki-laki yang berprofesi sebagai polisi. Rencananya, tahun depan adiknya yang bernama Fano itu akan menikahi kekasihnya.Dan karena hal itulah, Mama Zoya memintaku untuk segera menikah sebelum adikku menikah. Aku sebenarnya tidak begitu masalah jika adikku menikah terlebih dahulu. Tapi, tidak untuk Mama Zoya."Ya ampun, Zaki! Sudah berapa kali Mama mohon? Tolongla
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap
"Aku tahu kamu butuh biaya besar untuk ayahmu di sini. Aku bisa bantu itu. Tapi, aku juga butuh bantuanmu," ucap Nirmala kemudian. "Bantuan? Bantuan apa?" tanya Ana yang penasaran. "Saya akan menjamin biaya ayahmu di rumah sakit ini. Kamu kerja denganku," sahut Nirmala. Ana terkejut ketika Nirmala menawarkan pekerjaan padanya. Saat ini memang dia sedang butuh pekerjaan karena uang pegangannya sudah menipis. Apalagi ayahnya masih butuh banyak biaya. Walaupun dokter sudah angkat tangan dan menyarankan untuk melepas alat bantu, Ana belum mau. Ada keyakinan dalam dirinya jika sang ayah akan pulih kembali seperti sedia kala. Hanya saja saat ini Ana dihadapkan dengan biaya rumah sakit yang sangat besar. Isi kepalanya hampir keluar karena pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Kerjanya apa? Apa aku masih bisa merawat ayahku di sini?" tanya Ana ragu. "Jadi asisten pribadiku. Kamu hanya perlu ikut saya kalau saya sedang butuh teman saja. Mudah bukan?"Nampaknya Ana sedang berpikir keras.
"Lalu kamu mau apa? Maaf saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusi urusan tidak penting ini. Saya sudah minta maaf dan kamu pun tidak terluka. Lalu apa lagi?" Zaki dibuat sedikit kesal oleh perempuan muda itu. "Gak penting katamu? Gara-gara kamu, aku jadi terlambat memberi makanan pada ayahku. Jadi, kamu harus tanggung jawab!" Perempuan yang belum diketahui namanya itu tak kalah kesal. Zaki menghela nafas panjang. Waktunya terbuang percuma hanya untuk menanggapi orang yang tak dikenal. "Kamu harus ikut aku dan minta maaf langsung sama ayahku!" sambungnya lagi. "Maaf saya tidak ada waktu." Zaki pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan perempuan tadi. Langkahnya hampir sampai di ruangan rawat inap Nirmala. Dia merasa sedikit lega karena tak lagi mendengar suara perempuan tadi. Namun, prediksinya salah. Ternyata perempuan itu mengikutinya sampai di depan ruangan Nirmala.Perempuan itu mencegat Zaki. "Kamu harus ikut aku!" serunya. "Gak sopan! Kamu dari tadi mengikuti ku?"
Mama Zoya yang tertidur dengan kepala berbaring ke ranjang Nirmala pun terkejut mendengar suara Nirmala. Spontan Mama Zoya langsung bangun dan memastikan Nirmala sudah sadar. Lalu, Mama Zoya lari keluar untuk memanggil perawat jaga. Setelah perawat jaga memeriksa Nirmala, Mama Zoya baru lah lega karena menurut perawat, semuanya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk penanganan lebih lanjut, menurut kata perawat akan menunggu instruksi dari dokter yang menangani Nirmala. Dokter yang memeriksa Nirmala belum mengatakan apapun pada mertua Nirmala itu. Alasannya karena menunggu suami Nirmala. "Aku dimana, Ma? Kok mama di sini?" tanya Nirmala yang masih tak sadar kalau dia di rumah sakit. Fano sudah kembali bertugas dan Zaki juga sudah diberitahu kalau Nirmala ada di rumah sakit. Sekarang, Zaki sedang ada di perjalanan. Dia juga baru selesai menangani dua operasi yang sangat darurat. Setelah melihat sekeliling dan mengingat kejadian terakhir, Nirmala baru ingat kal