"Nurma menitipkan ini sama Ibu. Dia bilang kalau kamu sendiri yang harus menerimanya dari tangan Ibu. Jujur saja, Ibu tidak tahu isinya apa. Jadi, silahkan Nak Nirmala buka sendiri," kata Ibu Sari padaku.
Mataku menyipit ketika melihat amplop berukuran besar di tanganku. Dengan perasaan ragu, aku menerima amplop itu dari tangan Ibu Sari.
"Oh iya dan satu lagi, ini surat dari Nurma untukmu." Lagi, Ibu Sari memberikanku amplop putih tapi ukurannya lebih kecil dari yang pertama.
Setelah dua-duanya aku terima, aku langsung pulang ke rumah. Karena memang pemakaman Mbak Nurma sudah selesai. Bang Ridwan dan Kak Aisyah juga sepertinya kecapekan.
Aku meletakkan amplop dan surat yang diberi oleh Ibu Sari di atas meja. Rasanya ingin segera membersihkan badan ini karena terasa lengket. Selesai mandi, aku rasanya ingin tidur. Badanku terasa sangat lelah dan aku tak memikirkan lagi amplop yang diberikan oleh
"Ternyata firasat Abang benar. Kamu kenapa-napa. Untung saja warga di sana menemukanmu dengan cepat. Kalau tidak ... Abang tak tahu apa yang akan terjadi padamu." Bang Ridwan masih menceritakan kejadian saat aku membereskan bekas kekacauan penagih hutang."Benarkah, Bang? Aku selalu ke kantor polisi dan menanyakan perkembangan laporanku, Bang. Mereka kesulitan melacak dimana Mas Arga menggadaikan sertifikat ini. Tapi ... Kenapa Mbak Nurma bisa dengan cepat mendapatkannya, ya, Bang?" tanyaku bingung."Memangnya Nurma gak bilang apa-apa lagi sama kamu, La? Atau tidak ada gitu surat atau apa yang dia tinggalkan untukmu?" Kak Aisyah ikut bertanya padaku. Dan pertanyaan Kak Aisyah mengingatkanku pada satu amplop kecil yang satu lagi."Ah iya, mungkin di amplop itu! Sebentar Nirmala ambil dulu amplopnya, Bang, Kak," kataku.Aku masuk kembali ke dalam kamar dan mengambil surat yang satu lagi. Aku kembali la
Kala itu, Ridwan baru saja pulang dari bermain. Saat dia hendak masuk, tanpa sengaja Ridwan mendengar pembicaraan Bude dan Pakdenya."Kenapa Ibu tidak boleh memberitahu Ridwan, Pak? Bukankah adikmu juga sudah tidak ada? Ibu juga ingin memeluk Ridwan sebagai anak kandung Ibu sendiri, Pak!" kata Ibu Tari pada Pak Gunawan. Mereka berdua adalah orang tua kandung Nirmala.Deg! Ridwan terkejut dengan penuturan Budenya. Tapi dia tidak buru-buru keluar menampakkan dirinya di hadapan mereka. Ridwan ingin tahu kebenarannya lebih dalam lagi."Jangan, Bu! Bukankah kita sudah berjanji pada mereka untuk merahasiakan ini seumur hidup kita, Bu. Apa Ibu lupa?" sahut Pak Gunawan. Pak Gunawan tahu betul perasaan istrinya. Dia yang memaksa istrinya untuk memberikan anak pertama mereka pada adik kandungnya karena sudah lama adik kandungnya tidak punya anak.Pak Gunawan dulu memang dilangkahi oleh adik perempuannya. Jadi, usia pernikahannya lebih lama adik perempuannya dibandingkan dia."Bukan Ibu, Pak ..
Dan saat Pak Gunawan hendak menghampiri Ridwan, dia berlari dengan kencang dan meninggalkan rumah. Pak Gunawan sudah berusaha mengejarnya, tapi tak dapat terkejar. Ibu Tari menangis keras karena hal itu.Ridwan pergi pulang ke rumah orang tua yang telah merawatnya. Dia masih belum percaya dengan ucapan Ibu Tari tadi. "Bagaimana bisa mereka lakukan ini padaku? Jika pun aku ini anak mereka," gumam Ridwan. Tak kuasa Ridwan menahan air mata. Dadanya terasa sangat sesak menerima kenyataan ini. Dia mengacak-acak rumah orang tua angkatnya itu dengan harapan bisa menemukan suatu petunjuk yang bisa meluruskan ini semua.Saat melakukan pencarian, tanpa sengaja Ridwan menemukan sebuah surat. Dengan cepat dia segera membacanya. Betapa terkejutnya Ridwan saat menemukan fakta jika benar bahwa Pak Gunawan dan Ibu Sari itu orang tua kandungnya yang asli. Orang tua angkatnya juga meminta maaf karena selama ini menyembunyikan kebenaran ini darinya.Ridwan yang kecewa nekat pergi ke ibukota untuk meng
Aku sudah tidak tahu lagi harus kemana. Semenjak kecelakaan bersama Tante Ria, hidupku jadi berantakan. Tante Ria yang aku tahu dia lumpuh sudah tidak bisa lagi aku andalan. Untuk sementara aku masih tinggal di apartemen Tante Ria. Toh si Raga itu tidak tahu apartemen ini. Jadi aku bebas untuk menempatinya.Aku harus segera cari cara agar aku bisa tetap bisa hidup enak tanpa harus kerja. Tapi apa yang bisa aku kerjakan, ya? Apa aku kembali ke rumah Nirmala aja? Aku, kan, bisa berpura-pura sudah bertaubat dan menyesali perbuatanku kemarin.Nanti biar aja Nirmala yang kerja cari uang. Aku hanya tinggal duduk manis menikmati uang hasilnya bekerja. Ah, iya benar! B*dohnya aku! Kenapa gak dari dulu saja, ya? Dia, kan, cinta mati sama aku.Mau mengaet Nadira sudah tidak mungkin lagi. Dia sekarang sok jual mahal dan tak mau jika aku ajak berkencan. Yang aku dengar sekarang dia tengah dekat dengan seorang polisi. Malam itu aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sudah tidak sabar menunggu samp
"Suami? Sejak kapan kamu mengakui aku ini istrimu?! Bukankah kamu memang sudah tak ingin bersamaku lagi? Silahkan! Pergi jauh dari kehidupanku!" sungut Nirmala. Matanya melotot dan nada suaranya juga tinggi."Aku masih berhak untuk tinggal di sini karena anakku sebentar lagi akan lahir. Kamu gak ingat?" Aku mencoba membujuk Nirmala agar bisa sedikit melunak padaku."Anakmu? Kamu lupa kalau kamu gak menginginkan anak ini?! Apa perlu aku ingatkan lagi? Jangan pura-pura lupa kamu, Mas!" ucap Nirmala penuh penekanan.Memang benar yang dikatakan Nirmala. Dulu aku memarahinya karena hamil. Aku tak mau dibebankan dengan kehadiran bayi di pernikahanku dengan Nirmala. Tapi tentu itu tak kukatakan sekarang padanya. Tujuanku sekarang adalah membujuk agar Nirmala mau memaafkanku."Aku minta sama kamu untuk pergi sekarang juga, Mas. Aku sudah tidak sudi melihat wajahmu lagi!" seru Nirmala seraya memalingkan mukanya dariku."Ayo kita masuk, Bang! Gak ada gunanya ngeladeni laki-laki tak tahu diri it
XdHal yang paling membuat aku benci ketika kembali ke rumah adalah Mama selalu menyuruhku untuk segera menikah. Sebenarnya wajar jika Mama memintaku untuk menikah karena mengingat usiaku juga sudah kepala tiga. Tapi, pernikahan itu sekali seumur hidup dan aku tidak mau salah memilih seorang istri.Namaku Zaki. Profesiku sebagai dokter kandungan membuatku membuka mata soal perjuangan seorang Ibu. Bagaimana tidak, mereka berjuang sekuat tenaga untuk melahirkan putra-putri mereka.Dan karena hal itu, aku sangat selektif memilih seorang istri. Bukankah itu tidak salah?Aku punya adik laki-laki yang berprofesi sebagai polisi. Rencananya, tahun depan adiknya yang bernama Fano itu akan menikahi kekasihnya.Dan karena hal itulah, Mama Zoya memintaku untuk segera menikah sebelum adikku menikah. Aku sebenarnya tidak begitu masalah jika adikku menikah terlebih dahulu. Tapi, tidak untuk Mama Zoya."Ya ampun, Zaki! Sudah berapa kali Mama mohon? Tolongla
Saat aku baru tiba di rumah, Fano langsung menghampiriku. Dia tiba-tiba saja mengajakku pergi ke belakang lagi."Iku aku, Mas!" katanya sambil menarik tanganku."Apaan, sih, kamu? Mas capek!" Aku agak keberatan kalau dia mau mengajakku mengobrol lagi. Jujur, badanku terasa sangat lelah dan aku butuh istirahat."Sebentar saja, Mas. Aku butuh bantuanmu, Mas!" ujarnya.Aku mengernyitkan keningku. Tumben amat ini anak mau minta tolong padaku? Biasanya anti kalau aku tolong. Kami duduk lagi di belakang. Fano menatap wajahku lekat."Mau minta tolong apa? Tapi gak gratis! Traktir aku di hotel bintang lima!" kataku bercanda."Oke, siap! Asal Mas Zaki mau menuruti perintahku," jawab Fano tanpa berpikir.Aduh! Salah bicara aku rupanya. Tadinya, setelah aku memilih di traktir di hotel mewah, Fano akan keberatan. Kalau sudah seperti ini, pasti masala
Saat aku hendak pergi menjauh dari rumah Nirmala, ada yang memanggilku dari belakang. Seketika aku menoleh dan melihat empat orang preman berbadan besar tengah menghampiriku.Keningku mengernyit. Pikiranku juga menerka-nerka, siapakah mereka? Aku tidak pernah merasa punya masalah dengan orang lain."Tunggu!" teriak mereka.Karena wajah mereka seperti tidak bersahabat, aku merasa biasa saja. Tapi, tanpa kuduga, mereka langsung menyerang ku membabi-buta. Aku yang tak siap pun habis dihajar mereka."Kalau kamu tidak bayar hutangmu pada Mami Mey, kami akan memberi pelajaran padamu lebih dari ini!" ancam mereka sebelum mereka pergi.Ibu-ibu yang tadi berkerumun di rumah Nirmala hanya bisa menyaksikan ku dihajar preman-preman tadi. Bahkan ada yang mencibirku."Oh banyak hutang, ya? Mbak Nirmala mah udah bener gak peduli lagi sama laki kayak gitu. Aku mah juga ogah