Alhamdulillah usaha baruku mulai berjalan. Walaupun aku sedang hamil besar, tapi aku tetap semangat menjalaninya. Ketika cucian dan setrikaan sedang banyak-banyaknya, aku meminta bantuan temanku yang dulu juga ikut kerja laundry di tempat Ibu Tuti. Bermodalkan mesin cuci dua tabung dan setrika listrik, aku nekad memulai usaha ini. Apapun akan aku lakukan yang penting itu halal dan menghasilkan.Beruntung sekali dia mau. Tapi, dia bisanya kerja hanya siang hari. Karena untuk pagi harinya, dia bekerja bersih-bersih di rumah kos. Dan aku pun tak mempermasalahkannya, karena dia juga kerja tidak setiap hari.Uang hasil dari laundry aku sisihkan sedikit demi sedikit untuk biaya persalinan dan perlengkapan anakku besok. Bersyukur sekali Allah kasih jalan untukku mencari nafkah.Teror yang selama ini aku dapat, sudah tak ada lagi. Entahlah, aku juga tidak tahu siapa itu. Hanya dua masalah yang kini masih aku pikirkan. Pertama soal sertifikat rumah ini yang sampai saat ini pihak kepolisian be
"Mbak Nirmala itu hebat! Kalau aku jadi Mbak Nirmala, gak tau deh, Mbak bisa kuat atau enggak," kata Mbak Dini suatu hari padaku.Aku yang sedang membungkus baju-baju pelanggan hanya bisa tersenyum menanggapi perkataannya. Kalau boleh jujur, aku juga sebenarnya tidak kuat. Hidup yatim piatu dan sekarang dikhianati suami. Siapa, sih, yang mau? Apalagi sudah tidak ada orang tua. Kemana lagi aku mengadu dan bersandar selain pada Allah?Mungkin yang orang lihat aku masih baik-baik saja dan bisa tersenyum. Tapi mereka tidak tahu kalau setiap malam aku selalu menangis. Jika tidak ingat anak yang ada di perutku, mungkin aku memilih untuk mengakhiri hidupku."Semoga rejeki Mbak Nirmala selalu dilimpahkan, ya, Mbak." Mbak Dini menata pakaian yang sudah rapi di atas meja."Aamiin!" jawabku singkat.Aku sudah hampir satu bulan menjalani usaha ini sendiri dan kadang dibantu Mbak Dini. Aku sangat bersyukur anak yang ada di dalam perutku mau diajak kerjasama.Aku berjanji dalam hati, kalau kelak ak
"Bang Ridwan?!" seruku ketika tahu siapa yang datang ke rumahku.Bang Ridwan ini adalah anak dari Bude Mira, kakak ibuku. Dulu Bang Ridwan tinggal bersamaku dan juga orang tuaku, saat kedua orang tua Bang Ridwan meninggal. Tapi semenjak lulus SMA, Bang Ridwan memilih untuk merantau. Sudah seperti kakak kandungku sendiri, aku memeluk erat Bang Ridwan. Tak terasa air mataku menetes. Seperti menemukan kembali sandaran ketika aku sedang sedih."Gimana kabar adik Abang yang satu ini? Sehat?" tanya Bang Ridwan sambil membalas pelukanku."Abang sudah mau punya keponakan rupanya," serunya padaku sambil mengelus perutku."Kenapa Abang tak pernah kirim kabar sama Nirmala? Abang lupa sama Nirmala?" tanyaku sambil terisak."Bukan begitu, Adik! Abang malu kalau harus pulang ke sini tapi Abang belum sukses. Sekarang dimana Paklek sama Bulek? Abang mau ketemu," kata Bang Ridwan.Sudah tujuh tahun Bang Ridwan tidak pulang dan juga tidak memberi kabar pada keluarga. Jadi tidak heran jika Bang Ridwan
Kami jalan kaki karena jarak makam yang tak terlalu jauh dari rumah. Tak ada percakapan antara kami. Selain karena sudah lama tidak bertemu, aku juga canggung dengan Bang Ridwan sekarang.Bang Ridwan tak bisa membendung air matanya ketika sampai di pusara orang tuaku. Beliau memanjatkan do'a untuk mereka berdua. Dan setelah puas, kami berdua segera pulang karena Bang Ridwan juga tidak bisa berlama-lama di sini."Abang pulangnya gak nunggu sehabis makan malam sekalian?" Aku menawarkan diri. Kebetulan saat itu sudah pukul setengah lima sore.Bang Ridwan menggeleng. "Tidak, Dek. Abang harus pulang. Lusa Abang kemari bersama istri Abang. Besok Inshaa Allah kalau sudah ke sini, Abang kenalkan sama istri Abang, ya!" jawabnya."Iya, Bang. Bang Ridwan hati-hati, ya, di jalan." Sebelum pergi, kami bertukar nomor ponsel jika sewaktu-waktu kami butuh komunikasi. Aku mengantar Bang Ridwan sampai di depan rumah. Dan masuk kembali setelah motor Bang Ridwan tidak terlihat lagi."Mbak, saya pamit, y
Tak kupedulikan lagi Cindi yang masih mengurung diri di kamar. Mungkin memang dia sedang butuh waktu untuk sendiri. Kali ini yang harus aku pikirkan adalah cara untuk merayu Tante Ria. Bisa mat* aku jika Tante Ria marah padaku gara-gara Cindi. Terlebih lagi sekarang aku tengah dekat dengan Nadira.Ya, semenjak pertemuanku kembali dengan Nadira tempo hari, aku berkomunikasi intens dengannya. Ternyata Nadira baru saja bercerai dengan suaminya karena kasus KDRT.Aku pun juga mengaku baru saja bercerai. Jadi kami bisa lebih saling nyambung lagi kalau mengobrol. Dan dengan Nadira juga aku mengaku sebagai pengusaha yang sukses. Bukannya apa-apa, perempuan secantik dan seseksi Nadira sayang untuk dilewatkan. Karena itu pula aku harus mampu meluluhkan hati Tante Ria lagi.Sore itu aku membujuk Tante Ria agar mau bertemu denganku. Berulang kali aku menghubungi Tante Ria. Tapi tak sekalipun dia mengangkatnya. Aku mencoba mengirim pesan dan mengancamnya. Barulah saat aku ancam, Tante Ria bersedi
Aku dan Tante Ria masih di kasur setelah perjalanan panjang mengarungi lautan. Tib-tiba saja ada bunyi pesan masuk di ponselku.[Kamu dimana, Mas?] Bunyi pesan dari Cindi. Aku tak membalas pesan Cindi karena masih bersama dengan Tante Ria. Sikap Tante Ria sudah seperti biasanya lagi padaku. Tapi, dia mengajukan syarat agar aku tidak terlalu dekat dengan Cindi. Dan Tante Ria meminta agar Cindi tak lagi tinggal di apartemennya bersamaku.Salah siapa dia mendiamkanku sejak keluar dari rumah sakit. Aku tak peduli lagi dengan ocehannya. Lebih baik aku nikmati saja hidupku yang bebas sekarang ini. Lepas dari Nirmala memang ingin hidup bebas. "Kamu gak usah pulang saja. Temani aku di sini! Atau, kamu tempati saja rumah ini. Gak usah lagi berhubungan dengan Cindi," pinta Tante Ria. Aku mengangguk agar dia senang. Saat kami tengah asyik berduaan di dalam kamar, ada seseorang yang mengetuk pintu dari luar. Aku dan Tante Ria saling berpandangan. Setahuku, tak ada orang yang tahu rumah ini sel
"Sebenarnya, aku tidak bisa memiliki anak karena rahimku bermasalah. Bertahun-tahun aku sudah berusaha ikhtiar kemana-mana tapi tak kunjung berhasil. Lalu aku berpura-pura hamil di depan suamiku agar aku tidak diceraikan. Aku tidak sanggup hidup miskin," kata Tante Ria yang mulai bercerita padaku.Aku dengan seksama menyimak cerita Tante Ria. Pikiran buruk soal Raga terlintas dibenakku. Baru mendengar cerita awal Tante Ria saja aku bisa menebak arah pembicaraannya."Aku berusaha mencari bayi yang bisa kuakui sebagai anak saat tiba waktu melahirkan. Bahkan aku rela membayar berapapun. Hingga akhirnya ada yang menyerahkan bayi laki-laki padaku. Tentu saja aku senang karena aku dengan cepat bisa mendapatkan anak. Dan kamu pasti tahu siapa anak itu," sambung Tante Ria panjang lebar."Memangnya suamimu tak curiga dengan kehamilanmu? Bukankah kalian satu atap?" tanyaku penasaran. Tak mungkin jika suami Tante Ria tidak tahu kalau istrinya berbohong. "Kebetulan setelah aku memberitahu kehami
"Siapa? Cindi?" tanya Tante Ria yang langsung bisa menebaknya. Aku mengangguk."Udah ikuti aja saranku tadi. Gak usah lagi kamu urusin Cindi itu. Biar dia tau rasa gak ada yang biayai dia hidup," ucap Tante Ria gemas. Aku mengangguk lagi.Untuk mengurangi rasa kesalku, Tante Ria mengajakku berbelanja ke salah satu mall besar di kota ini. Siapa, sih, yang gak mau ditraktir belanja di mall? Aku pun langsung menyetujui ajakannya.Aku diperbolehkan memilih apa aja saja yang aku mau. Tak ada batasan bagi Tante Ria. Aku pun kalap dan berbelanja barang yang nilainya berjuta-juta."Sudah hilang, kan, keselnya?" ucap Tante Ria saat kami berjalan ke parkiran."Iya, sudah. Makasih, Tan. Tante Ria memang the best pokoknya!" pujiku agar Tante Ria semakin meng*laiku.Namun saat kami hendak membuka pintu mobil, suara laki-laki terdengar memanggil Tante Ria. Kami pun menoleh dan betapa terkejutnya kami saat melihat Raga sudah ada di sana. Apa mungkin sejak tadi Raga mengikuti kami? Sempat terjadi ad