Huft! Hampir saja aku jadi bulan-bulanan ibu-ibu! Nyesel juga, sih, tadi gak cek dulu siapa yang di dalam. Kalau tahu itu anaknya Tante Ria, tentu aku tak akan masuk dan mengompori ibu-ibu tadi. B*go!Dahlah ... yang penting sekarang aku mau ke rumah Mami Mey. Semoga Mami Mey mau menerima sertifikat ini. Aku dengar Mami Mey memintakan uang tanpa berbelit-belit.Tapi, aku belum tahu alamat pastinya. Ah lebih baik aku telepon Ari dulu untuk memastikannya. Tut ... tut ... tut ....Dua kali aku mencoba menelepon Ari, tapi belum dijawab juga. Dan untuk yang ketiga kalinya, Ari langsung mengangkatnya."Apa, Bray? Tumben amat kamu telpon!" ucap Ari yang ceplas-ceplos."Sensi amat, sih! Aku mau nanya alamat rumah Mami Mey tepatnya dimana? Tau, kan?" jawabku.Kami memang biasa bicara apa adanya dan tanpa ada rasa jaim sama sekali. Ari ini temanku dari jaman aku pindah ke kota ini. Dia juga yang kadang memberikan aku pinjaman uang kalau sedang tidak ada uang."Wuish ... mau apa kamu ke sana? M
Kami masuk dan menemui Mami Mey. Agak lama kami menunggu Mami Mey keluar. Tapi itu tak mengapa. Setelah mengatakan maksud dan tujuanku datang, Mami Mey meminta sertifikat rumah Nirmala dan memeriksanya."Mau pinjam berapa?" tanya Mami Mey dengan tangan masih membolak-balik sertifikat itu.Saat melihat Mami Mey, aku sedikit terkejut karena tidak sesuai dengan pemikiranku. Aku kira Mami Mey itu sudah ibu-ibu dengan umur empat puluhan ke atas. Ternyata, Mami Mey masih muda dan aku taksir umurnya masih sekitar tiga puluh lima tahunan. Hanya beda satu tahun denganku yang saat ini berumur tiga puluh enam."Di sini bunganya dua puluh persen dan tidak mentolerir orang yang menunggak!" sambung Mami Mey lagi."Se—seratus juta, Mi," jawabku dengan suara bergetar karena gugup.Mata Mami Mey memicing ke arahku sebentar. Lalu, dia kembali lagi memeriksa sertifikat rumah itu."Untuk sertifikat ini, aku hanya bisa memberikan tujuh puluh juta. Itupun kalau kamu mau. Gimana?" tawar Mami Mey. Sertifikat
Aku mendapati Cindi terjatuh tepat di depan kamar mandi. Dari kedua kakinya mengalir darah segar. Aku panik tak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Cindi, dia tak henti-hentinya berteriak hingga aku frustasi karenanya."Cepat antar aku ke rumah sakit, Mas! Kok kamu malah diem aja, sih?!" teriak Cindi sambil meringis kesakitan."Ah ... iy—a," jawabku terbata. Aku pun memapah Cindi hingga sampai ke parkiran. Walaupun butuh waktu yang lama, tapi kami bisa juga sampai di parkiran.Gegas aku menyalakan mesin mobilku dan meluncur ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, Cindi didorong kursi roda oleh satpam. Dan para dokter pun langsung menangani Cindi. Aku diminta untuk mengurus pendaftaran selagi Cindi diperiksa. Selesai mendaftar, aku tak melihat Cindi di tempat awal. Aku pun bertanya ke perawat yang ada di sana. Ternyata Cindi dibawa ke ruang operasi karena harus segera dilakukan tindakan operasi secepatnya.Mendengar kata operasi, diot*knya yang ada adalah bayarnya uang dar
Saat aku hendak menjawabnya, pintu ruangan Cindi terbuka. Seorang dokter muda datang mengunjungi Cindi. Dokter laki-laki itu bernama Zaki."Selamat siang! Ibu Cindi sudah siuman? Apa ada keluhan?" tanya Dokter Zaki pada Cindi."Baik, Dok. Hanya dibagian perut saja kadang masih terasa nyeri," jawab Cindi."Wajar itu, Bu. Tapi itu tidak apa-apa. Nanti seiring berjalannya waktu, lukanya akan sembuh. Kalau begitu, saya periksa dulu, ya!" ucap Dokter Zaki.Dokter Zaki kemudian mengeluarkan stetoskop dan mulai memeriksa Cindi secara detail. Dan setelah memeriksa, Dokter Zaki mengulas senyum ke arahku dan juga Cindi."Alhamdulillah kondisi Ibu Cindi semakin membaik. Inshaa Allah jika besok kondisinya masih sama, Ibu Cindi sudah bisa pulang," jelas Dokter Zaki pada kami. Aku dan Cindi sama-sama mengangguk."Kalau tidak ada yang ditanyakan, saya permisi untuk memeriksa pasien yang lain lagi. Mari!" Dokter Zaki pun pergi dari ruangan Cindi. Ketika Dokter Zaki sudah tidak terlihat, Cindi menata
Alhamdulillah usaha baruku mulai berjalan. Walaupun aku sedang hamil besar, tapi aku tetap semangat menjalaninya. Ketika cucian dan setrikaan sedang banyak-banyaknya, aku meminta bantuan temanku yang dulu juga ikut kerja laundry di tempat Ibu Tuti. Bermodalkan mesin cuci dua tabung dan setrika listrik, aku nekad memulai usaha ini. Apapun akan aku lakukan yang penting itu halal dan menghasilkan.Beruntung sekali dia mau. Tapi, dia bisanya kerja hanya siang hari. Karena untuk pagi harinya, dia bekerja bersih-bersih di rumah kos. Dan aku pun tak mempermasalahkannya, karena dia juga kerja tidak setiap hari.Uang hasil dari laundry aku sisihkan sedikit demi sedikit untuk biaya persalinan dan perlengkapan anakku besok. Bersyukur sekali Allah kasih jalan untukku mencari nafkah.Teror yang selama ini aku dapat, sudah tak ada lagi. Entahlah, aku juga tidak tahu siapa itu. Hanya dua masalah yang kini masih aku pikirkan. Pertama soal sertifikat rumah ini yang sampai saat ini pihak kepolisian be
"Mbak Nirmala itu hebat! Kalau aku jadi Mbak Nirmala, gak tau deh, Mbak bisa kuat atau enggak," kata Mbak Dini suatu hari padaku.Aku yang sedang membungkus baju-baju pelanggan hanya bisa tersenyum menanggapi perkataannya. Kalau boleh jujur, aku juga sebenarnya tidak kuat. Hidup yatim piatu dan sekarang dikhianati suami. Siapa, sih, yang mau? Apalagi sudah tidak ada orang tua. Kemana lagi aku mengadu dan bersandar selain pada Allah?Mungkin yang orang lihat aku masih baik-baik saja dan bisa tersenyum. Tapi mereka tidak tahu kalau setiap malam aku selalu menangis. Jika tidak ingat anak yang ada di perutku, mungkin aku memilih untuk mengakhiri hidupku."Semoga rejeki Mbak Nirmala selalu dilimpahkan, ya, Mbak." Mbak Dini menata pakaian yang sudah rapi di atas meja."Aamiin!" jawabku singkat.Aku sudah hampir satu bulan menjalani usaha ini sendiri dan kadang dibantu Mbak Dini. Aku sangat bersyukur anak yang ada di dalam perutku mau diajak kerjasama.Aku berjanji dalam hati, kalau kelak ak
"Bang Ridwan?!" seruku ketika tahu siapa yang datang ke rumahku.Bang Ridwan ini adalah anak dari Bude Mira, kakak ibuku. Dulu Bang Ridwan tinggal bersamaku dan juga orang tuaku, saat kedua orang tua Bang Ridwan meninggal. Tapi semenjak lulus SMA, Bang Ridwan memilih untuk merantau. Sudah seperti kakak kandungku sendiri, aku memeluk erat Bang Ridwan. Tak terasa air mataku menetes. Seperti menemukan kembali sandaran ketika aku sedang sedih."Gimana kabar adik Abang yang satu ini? Sehat?" tanya Bang Ridwan sambil membalas pelukanku."Abang sudah mau punya keponakan rupanya," serunya padaku sambil mengelus perutku."Kenapa Abang tak pernah kirim kabar sama Nirmala? Abang lupa sama Nirmala?" tanyaku sambil terisak."Bukan begitu, Adik! Abang malu kalau harus pulang ke sini tapi Abang belum sukses. Sekarang dimana Paklek sama Bulek? Abang mau ketemu," kata Bang Ridwan.Sudah tujuh tahun Bang Ridwan tidak pulang dan juga tidak memberi kabar pada keluarga. Jadi tidak heran jika Bang Ridwan
Kami jalan kaki karena jarak makam yang tak terlalu jauh dari rumah. Tak ada percakapan antara kami. Selain karena sudah lama tidak bertemu, aku juga canggung dengan Bang Ridwan sekarang.Bang Ridwan tak bisa membendung air matanya ketika sampai di pusara orang tuaku. Beliau memanjatkan do'a untuk mereka berdua. Dan setelah puas, kami berdua segera pulang karena Bang Ridwan juga tidak bisa berlama-lama di sini."Abang pulangnya gak nunggu sehabis makan malam sekalian?" Aku menawarkan diri. Kebetulan saat itu sudah pukul setengah lima sore.Bang Ridwan menggeleng. "Tidak, Dek. Abang harus pulang. Lusa Abang kemari bersama istri Abang. Besok Inshaa Allah kalau sudah ke sini, Abang kenalkan sama istri Abang, ya!" jawabnya."Iya, Bang. Bang Ridwan hati-hati, ya, di jalan." Sebelum pergi, kami bertukar nomor ponsel jika sewaktu-waktu kami butuh komunikasi. Aku mengantar Bang Ridwan sampai di depan rumah. Dan masuk kembali setelah motor Bang Ridwan tidak terlihat lagi."Mbak, saya pamit, y
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap
"Aku tahu kamu butuh biaya besar untuk ayahmu di sini. Aku bisa bantu itu. Tapi, aku juga butuh bantuanmu," ucap Nirmala kemudian. "Bantuan? Bantuan apa?" tanya Ana yang penasaran. "Saya akan menjamin biaya ayahmu di rumah sakit ini. Kamu kerja denganku," sahut Nirmala. Ana terkejut ketika Nirmala menawarkan pekerjaan padanya. Saat ini memang dia sedang butuh pekerjaan karena uang pegangannya sudah menipis. Apalagi ayahnya masih butuh banyak biaya. Walaupun dokter sudah angkat tangan dan menyarankan untuk melepas alat bantu, Ana belum mau. Ada keyakinan dalam dirinya jika sang ayah akan pulih kembali seperti sedia kala. Hanya saja saat ini Ana dihadapkan dengan biaya rumah sakit yang sangat besar. Isi kepalanya hampir keluar karena pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Kerjanya apa? Apa aku masih bisa merawat ayahku di sini?" tanya Ana ragu. "Jadi asisten pribadiku. Kamu hanya perlu ikut saya kalau saya sedang butuh teman saja. Mudah bukan?"Nampaknya Ana sedang berpikir keras.
"Lalu kamu mau apa? Maaf saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusi urusan tidak penting ini. Saya sudah minta maaf dan kamu pun tidak terluka. Lalu apa lagi?" Zaki dibuat sedikit kesal oleh perempuan muda itu. "Gak penting katamu? Gara-gara kamu, aku jadi terlambat memberi makanan pada ayahku. Jadi, kamu harus tanggung jawab!" Perempuan yang belum diketahui namanya itu tak kalah kesal. Zaki menghela nafas panjang. Waktunya terbuang percuma hanya untuk menanggapi orang yang tak dikenal. "Kamu harus ikut aku dan minta maaf langsung sama ayahku!" sambungnya lagi. "Maaf saya tidak ada waktu." Zaki pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan perempuan tadi. Langkahnya hampir sampai di ruangan rawat inap Nirmala. Dia merasa sedikit lega karena tak lagi mendengar suara perempuan tadi. Namun, prediksinya salah. Ternyata perempuan itu mengikutinya sampai di depan ruangan Nirmala.Perempuan itu mencegat Zaki. "Kamu harus ikut aku!" serunya. "Gak sopan! Kamu dari tadi mengikuti ku?"
Mama Zoya yang tertidur dengan kepala berbaring ke ranjang Nirmala pun terkejut mendengar suara Nirmala. Spontan Mama Zoya langsung bangun dan memastikan Nirmala sudah sadar. Lalu, Mama Zoya lari keluar untuk memanggil perawat jaga. Setelah perawat jaga memeriksa Nirmala, Mama Zoya baru lah lega karena menurut perawat, semuanya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk penanganan lebih lanjut, menurut kata perawat akan menunggu instruksi dari dokter yang menangani Nirmala. Dokter yang memeriksa Nirmala belum mengatakan apapun pada mertua Nirmala itu. Alasannya karena menunggu suami Nirmala. "Aku dimana, Ma? Kok mama di sini?" tanya Nirmala yang masih tak sadar kalau dia di rumah sakit. Fano sudah kembali bertugas dan Zaki juga sudah diberitahu kalau Nirmala ada di rumah sakit. Sekarang, Zaki sedang ada di perjalanan. Dia juga baru selesai menangani dua operasi yang sangat darurat. Setelah melihat sekeliling dan mengingat kejadian terakhir, Nirmala baru ingat kal