Kami masuk dan menemui Mami Mey. Agak lama kami menunggu Mami Mey keluar. Tapi itu tak mengapa. Setelah mengatakan maksud dan tujuanku datang, Mami Mey meminta sertifikat rumah Nirmala dan memeriksanya."Mau pinjam berapa?" tanya Mami Mey dengan tangan masih membolak-balik sertifikat itu.Saat melihat Mami Mey, aku sedikit terkejut karena tidak sesuai dengan pemikiranku. Aku kira Mami Mey itu sudah ibu-ibu dengan umur empat puluhan ke atas. Ternyata, Mami Mey masih muda dan aku taksir umurnya masih sekitar tiga puluh lima tahunan. Hanya beda satu tahun denganku yang saat ini berumur tiga puluh enam."Di sini bunganya dua puluh persen dan tidak mentolerir orang yang menunggak!" sambung Mami Mey lagi."Se—seratus juta, Mi," jawabku dengan suara bergetar karena gugup.Mata Mami Mey memicing ke arahku sebentar. Lalu, dia kembali lagi memeriksa sertifikat rumah itu."Untuk sertifikat ini, aku hanya bisa memberikan tujuh puluh juta. Itupun kalau kamu mau. Gimana?" tawar Mami Mey. Sertifikat
Aku mendapati Cindi terjatuh tepat di depan kamar mandi. Dari kedua kakinya mengalir darah segar. Aku panik tak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Cindi, dia tak henti-hentinya berteriak hingga aku frustasi karenanya."Cepat antar aku ke rumah sakit, Mas! Kok kamu malah diem aja, sih?!" teriak Cindi sambil meringis kesakitan."Ah ... iy—a," jawabku terbata. Aku pun memapah Cindi hingga sampai ke parkiran. Walaupun butuh waktu yang lama, tapi kami bisa juga sampai di parkiran.Gegas aku menyalakan mesin mobilku dan meluncur ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, Cindi didorong kursi roda oleh satpam. Dan para dokter pun langsung menangani Cindi. Aku diminta untuk mengurus pendaftaran selagi Cindi diperiksa. Selesai mendaftar, aku tak melihat Cindi di tempat awal. Aku pun bertanya ke perawat yang ada di sana. Ternyata Cindi dibawa ke ruang operasi karena harus segera dilakukan tindakan operasi secepatnya.Mendengar kata operasi, diot*knya yang ada adalah bayarnya uang dar
Saat aku hendak menjawabnya, pintu ruangan Cindi terbuka. Seorang dokter muda datang mengunjungi Cindi. Dokter laki-laki itu bernama Zaki."Selamat siang! Ibu Cindi sudah siuman? Apa ada keluhan?" tanya Dokter Zaki pada Cindi."Baik, Dok. Hanya dibagian perut saja kadang masih terasa nyeri," jawab Cindi."Wajar itu, Bu. Tapi itu tidak apa-apa. Nanti seiring berjalannya waktu, lukanya akan sembuh. Kalau begitu, saya periksa dulu, ya!" ucap Dokter Zaki.Dokter Zaki kemudian mengeluarkan stetoskop dan mulai memeriksa Cindi secara detail. Dan setelah memeriksa, Dokter Zaki mengulas senyum ke arahku dan juga Cindi."Alhamdulillah kondisi Ibu Cindi semakin membaik. Inshaa Allah jika besok kondisinya masih sama, Ibu Cindi sudah bisa pulang," jelas Dokter Zaki pada kami. Aku dan Cindi sama-sama mengangguk."Kalau tidak ada yang ditanyakan, saya permisi untuk memeriksa pasien yang lain lagi. Mari!" Dokter Zaki pun pergi dari ruangan Cindi. Ketika Dokter Zaki sudah tidak terlihat, Cindi menata
Alhamdulillah usaha baruku mulai berjalan. Walaupun aku sedang hamil besar, tapi aku tetap semangat menjalaninya. Ketika cucian dan setrikaan sedang banyak-banyaknya, aku meminta bantuan temanku yang dulu juga ikut kerja laundry di tempat Ibu Tuti. Bermodalkan mesin cuci dua tabung dan setrika listrik, aku nekad memulai usaha ini. Apapun akan aku lakukan yang penting itu halal dan menghasilkan.Beruntung sekali dia mau. Tapi, dia bisanya kerja hanya siang hari. Karena untuk pagi harinya, dia bekerja bersih-bersih di rumah kos. Dan aku pun tak mempermasalahkannya, karena dia juga kerja tidak setiap hari.Uang hasil dari laundry aku sisihkan sedikit demi sedikit untuk biaya persalinan dan perlengkapan anakku besok. Bersyukur sekali Allah kasih jalan untukku mencari nafkah.Teror yang selama ini aku dapat, sudah tak ada lagi. Entahlah, aku juga tidak tahu siapa itu. Hanya dua masalah yang kini masih aku pikirkan. Pertama soal sertifikat rumah ini yang sampai saat ini pihak kepolisian be
"Mbak Nirmala itu hebat! Kalau aku jadi Mbak Nirmala, gak tau deh, Mbak bisa kuat atau enggak," kata Mbak Dini suatu hari padaku.Aku yang sedang membungkus baju-baju pelanggan hanya bisa tersenyum menanggapi perkataannya. Kalau boleh jujur, aku juga sebenarnya tidak kuat. Hidup yatim piatu dan sekarang dikhianati suami. Siapa, sih, yang mau? Apalagi sudah tidak ada orang tua. Kemana lagi aku mengadu dan bersandar selain pada Allah?Mungkin yang orang lihat aku masih baik-baik saja dan bisa tersenyum. Tapi mereka tidak tahu kalau setiap malam aku selalu menangis. Jika tidak ingat anak yang ada di perutku, mungkin aku memilih untuk mengakhiri hidupku."Semoga rejeki Mbak Nirmala selalu dilimpahkan, ya, Mbak." Mbak Dini menata pakaian yang sudah rapi di atas meja."Aamiin!" jawabku singkat.Aku sudah hampir satu bulan menjalani usaha ini sendiri dan kadang dibantu Mbak Dini. Aku sangat bersyukur anak yang ada di dalam perutku mau diajak kerjasama.Aku berjanji dalam hati, kalau kelak ak
"Bang Ridwan?!" seruku ketika tahu siapa yang datang ke rumahku.Bang Ridwan ini adalah anak dari Bude Mira, kakak ibuku. Dulu Bang Ridwan tinggal bersamaku dan juga orang tuaku, saat kedua orang tua Bang Ridwan meninggal. Tapi semenjak lulus SMA, Bang Ridwan memilih untuk merantau. Sudah seperti kakak kandungku sendiri, aku memeluk erat Bang Ridwan. Tak terasa air mataku menetes. Seperti menemukan kembali sandaran ketika aku sedang sedih."Gimana kabar adik Abang yang satu ini? Sehat?" tanya Bang Ridwan sambil membalas pelukanku."Abang sudah mau punya keponakan rupanya," serunya padaku sambil mengelus perutku."Kenapa Abang tak pernah kirim kabar sama Nirmala? Abang lupa sama Nirmala?" tanyaku sambil terisak."Bukan begitu, Adik! Abang malu kalau harus pulang ke sini tapi Abang belum sukses. Sekarang dimana Paklek sama Bulek? Abang mau ketemu," kata Bang Ridwan.Sudah tujuh tahun Bang Ridwan tidak pulang dan juga tidak memberi kabar pada keluarga. Jadi tidak heran jika Bang Ridwan
Kami jalan kaki karena jarak makam yang tak terlalu jauh dari rumah. Tak ada percakapan antara kami. Selain karena sudah lama tidak bertemu, aku juga canggung dengan Bang Ridwan sekarang.Bang Ridwan tak bisa membendung air matanya ketika sampai di pusara orang tuaku. Beliau memanjatkan do'a untuk mereka berdua. Dan setelah puas, kami berdua segera pulang karena Bang Ridwan juga tidak bisa berlama-lama di sini."Abang pulangnya gak nunggu sehabis makan malam sekalian?" Aku menawarkan diri. Kebetulan saat itu sudah pukul setengah lima sore.Bang Ridwan menggeleng. "Tidak, Dek. Abang harus pulang. Lusa Abang kemari bersama istri Abang. Besok Inshaa Allah kalau sudah ke sini, Abang kenalkan sama istri Abang, ya!" jawabnya."Iya, Bang. Bang Ridwan hati-hati, ya, di jalan." Sebelum pergi, kami bertukar nomor ponsel jika sewaktu-waktu kami butuh komunikasi. Aku mengantar Bang Ridwan sampai di depan rumah. Dan masuk kembali setelah motor Bang Ridwan tidak terlihat lagi."Mbak, saya pamit, y
Tak kupedulikan lagi Cindi yang masih mengurung diri di kamar. Mungkin memang dia sedang butuh waktu untuk sendiri. Kali ini yang harus aku pikirkan adalah cara untuk merayu Tante Ria. Bisa mat* aku jika Tante Ria marah padaku gara-gara Cindi. Terlebih lagi sekarang aku tengah dekat dengan Nadira.Ya, semenjak pertemuanku kembali dengan Nadira tempo hari, aku berkomunikasi intens dengannya. Ternyata Nadira baru saja bercerai dengan suaminya karena kasus KDRT.Aku pun juga mengaku baru saja bercerai. Jadi kami bisa lebih saling nyambung lagi kalau mengobrol. Dan dengan Nadira juga aku mengaku sebagai pengusaha yang sukses. Bukannya apa-apa, perempuan secantik dan seseksi Nadira sayang untuk dilewatkan. Karena itu pula aku harus mampu meluluhkan hati Tante Ria lagi.Sore itu aku membujuk Tante Ria agar mau bertemu denganku. Berulang kali aku menghubungi Tante Ria. Tapi tak sekalipun dia mengangkatnya. Aku mencoba mengirim pesan dan mengancamnya. Barulah saat aku ancam, Tante Ria bersedi