Home / Pernikahan / Katamu Uang Tak Kenal Saudara / Chapter 71 - Chapter 80

All Chapters of Katamu Uang Tak Kenal Saudara : Chapter 71 - Chapter 80

139 Chapters

Ada apa dengan mu, Nang

"Permisi, katanya ada pasien pingsan! Biar saya periksa dulu!" Seorang dokter jaga, kutaksir usianya masih dua puluh lima tahun mendekati brankar pasien. Dokter ini memeriksa Tio. Ya Allah, semoga Tio baik-baik aja. Do'a ku tak henti untuknya. Air mataku masih saja menetes. Sedih sekali melihat kondisi Tio. "Nadinya lemah! Pasang oksigen! Infus segera! Badannya dingin banget! Tensi, jangan lupa! Bu, permisi dulu, ya! Biar anaknya kami tangani dulu," ucap Dokter ini ramah. Aku menyingkir, kulihat dari jauh, baju Tio di buka paksa lalu dadanya dipasangi alat persis yang dipasang pada Yazid dulu. Kubekap mulutku menahan tangis. Ya Allah! Semoga Tio baik-baik saja. Peralatan medis mulai dipasang di tubuh Tio. Alat-alat medis yang terhubung mulai berbunyi sahut-sahutan. "Selimut! Ambil selimut!" Dokter memberi instruksi. Usai menangani Tio, Dokter muda itu menghampiriku. "Bu, kondisi putra Ibu, lemah sekali, hampir kritis, dia butuh perawatan opname, sambil nunggu hasil laboratorium,
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Aku nggak tau bapak dimana

Hari telah berganti. Kejelasan dimana Kang Handoyo berada hingga kini belum juga ada kabar. Mbak Meri juga sudah sadar dari komanya, kini sudah pindah di ruang perawatan biasa, Tio juga kondisinya sudah membaik. Hadi masih dalam tahap pemulihan. Badanku rasanya capek bukan main mengurus keluarga yang sakit. Aku bingung, dalam keadaan seperti ini, keluarga Mbak Meri nggak ada seorangpun yang mendekat. "Pipis! Aku kebelet pipis!" rengek Mbak Meri. Stroke yang menimpanya membuat kakinya sulit untuk berjalan. Namun, indera pengucapannya masih lancar. "Ayo, Mbak, kuantar kalo mau pipis," tawarku kepadanya. "Nggak! Panggilkan suster, cepat!" sentak Mbak Meri. Sakit aja masih sempat berkata lantang, kapan kamu berubah, Mbak? Melangkah gontai aku keluar memanggil Suster. Ah, sebaiknya aku kembali ke ruangan Hadi dan Tio saja, toh disini aku nggak dibutuhkan. Aku melangkah menuju ruangan Hadi dan Tio. Menunggu di rumah sakit seperti ini, sungguh jenuh. Belum lagi masalah biaya perawata
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Kemana Handoyo

Semua mata tertuju kepada Mbak Meri. Maklum, ruangan ini padat penghuni, jadi wajar saja banyak orang disini. Aku mendekati Mbak Meri. "Suamimu menusuk perut Hadi pakai pisau dapur. Sekarang dia buron! Diamlah jangan berkoar, jika kamu berkoar, semua orang disini akan tau," ucapku pelan. Mbak Meri mendelik tak percaya. "Bohong! Jangan fitnah!" Mbak Meri malah nyolot lagi. "Bu, jangan marah-marah! Eling sampean masih sakit, baru aja dari ruang ICU," salah seorang kerabat pasien lain menasehati Mbak Meri. Mbak Meri malah melengos. Dasar nggak tahu adab! Aku duduk di kursi khusus penunggu pasien. Mbak Meri membuang muka. "Bu, gimana keadaan ibu sekarang?" Tio yang sedang sakit masih perhatian kepada ibunya. Oh, iya, aku lupa. Infus Tio harus tetap berjalan juga. Aku bangkit lalu kudoro g kursi roda Tio mendekati ibunya. Kugantung botol infus Tio di tiang infus Mbak Meri. "Ibu sehat. Cuma kakinya aja yang susah buat jalan," ketus Mbak Meri. "Arum! Kamu 'kan yang masukin Tio ke ruma
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Ulah keluarga Meri

Kami berjalan bersama menuju ruang perawatan Hadi dan Tio. "Ngomong-ngomong, siapa pula yang sakit? Katamu, Om nya Tio, Om dari keluargamu atau keluarga suami?" Wanita blasteran Jawa Lampung ini kepo. "Oh, adiknya suamiku yang sakit, Yuk. Dia habis operasi perut," sahutku sambil mendorong kursi roda Tio. "Lah, sakit apa pula, sampai operasi perut? Oooo, usus buntu kah?" Mbak Nina menebak. Duh, Iki kepie? Mau dijawab iya, salah! Jawab enggak, takut geger. Kuhela napas berat. "Yaaa ... gitulah!" Hanya itu yang keluar dari mulutku. Kami sampai di ruang perawatan Hadi dan Tio. Ternyata Hadi masih lelap tidur. "Eh, Alhamdulillah Mbak Arum sudah kembali. Aku titip anakku dulu, ada sesuatu yang harus kubeli," ucap Tiara saat melihatku masuk ruangan ini. Adik iparku ini masih saja bersedih. Yah, rasa kecewa dihatinya, pasti mempengaruhi kondisi emosional Tiara. "Nah, mau beli apa? Ini ada kakaknya Mbak Meri," ucapku berusaha mencegah kepergian Tiara. "Ini, keperluan si kecil, Mbak. O
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Beneran Disita

Akhirnya Tio sudah boleh pulang. Mbak Meri juga sudah boleh pulang. Tio minta pulang ke rumahku bersama ibu mertua dan Tiara. Semua keluarga Sepertinya akan berkumpul dirumahku. Keluarga besarku sudah pulang dari pulau Jawa, mereka semua langsung berkunjung menjenguk Hadi. "Hadi, selama masa pemulihan, kalian semua tinggal dirumah kami aja, ya!" pintaku pada Hadi. "Jaraknya dekat, Mas mu juga bisa lebih tenang karena kalian semua disini. Aku meminta Hadi agar mau pulang kerumahku. "Mbak, apa nggak ngerepotin? Aku nggak enak sama sampean," lirih Hadi. Alhamdulillah kini dia sudah mulai pulih. "Mbak sama Mas mu lebih repot, kalo kamu pulang ke rumah ibu. Pokoknya, Mbak minta, kamu pulang ke rumah Mbak. Nggak usah bingung masalah makan. Insyaallah, kita pasti bisa makan." Aku memaksa. "Iya, pulang aja kerumah kami. Mas lebih tenang kalo kalian bersamaku," Mas Rahman ikut membujuk Hadi. "Aku nggak tau harus berterimakasih kepada kalian gimana. Aku bersyukur punya kalian." Hadi menete
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Kesedihan Tio

Malam harinya .... Usai menunaikan sholat Maghrib berjamaah, aku duduk diteras depan sambil ngeteh. Kepalaku rasanya pusing memikirkan ulah kakak ipar. "Bulik," Tio menghampiriku, wajahnya agak ditekuk. "Eh, Tio. Udah makan, Nang?" Basa-basi ku kepada bocah ini. "Belum. Bulik nggak makan?" Tio berucap gemetar. "Oh, Bulik udah makan, tadi, bareng sama Bulik Tiara. Makanlah sana, nanti ndak sakit." "Bulik, em, aku besok nggak sekolah, ya!" lirih Tio seakan penuh tekanan. Aku kaget bukan main. Kutatap bocah laki-laki berkain sarung dan kaos oblong yang mirip sekali dengan wajah ibunya. "Kenapa, nggak sekolah? Libur?" selidikku penasaran. "Bulik, sebenarnya ... Tio nunggak bayar uang untuk ujian tengah semester, sama uang bulanan komputer. Kata wali kelas tadi, Tio disuruh ngajak wali murid kalo mau ikut ujian tengah semester besok," terang Tio hampir menangis. Aku menghela napas berat, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya agar paru-paru ini penuh udara hingga dadaku nggak sesak.
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Meri Mencak-mencak lagi

"Ya, ngomong sama Mbak Meri lah. Ladangnya 'kan masih sehektar yang nggak di sentuh Bank. Maksudku, ladang itu dijual aja buat nutup hutang Bank, dari pada rumah dan ladang kesita," ujar suamiku. "Aku nggak yakin Mbak Meri mau, Mas. Tau sendiri, sifatnya gimana. Mana mau dia rugi," bola mataku mengerling. "Emang hutang Handoyo berapa, Man?" Ibu angkat bicara. "Entah, Bu. Saya kurang tau sisanya berapa." Mas Rahman selonjoran. "Mas, kalo ladang Kang Handoyo dijual, pokoknya, aku mau minta ganti rugi biaya perawatan Mas Hadi selama sakit. Suamiku sakit juga gara-gara Handoyo," Tiara angkat bicara. "Aku nggak iklhas atas apa yang menimpa suamiku. Apalagi Kang Handoyo belum tersentuh hukum. Sampai sekarang pun entah dimana dia," imbuh Tiara. Kupandangi wajah anggota keluarga ini satu persatu. Wajah ibu kelihatan sedih. "Ibu nggak habis pikir, sikap Handoyo kok bisa begini," lirih ibu mertua menyeka air matanya. "Hhhhahhh! Bu, sifat anak beda-beda. Ayam aja sama-sama dari telur, die
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Kena Tipu

Mbak Meri masih terdengar beberapa kali menghiba memohon kepada tamu yang datang. Kami semua saling pandang, terjebak dengan pikiran kami masing-masing. "Ada apa itu?" celetuk Ibu mertua. "Entahlah, Bu. Sepertinya ada masalah lain juga," sahutku masih tetap duduk. "Tapi, Mbak, angsurannya udah macet. Kita juga butuh duit buat modal. Udahlah, mending kita bawa pulang lagi aja," kudengar salah seorang itu berbicara. Ini masalah apaan lagi sih? Kami semua yang berkumpul di ruang tv bengong menunggu drama diluar selesai. "Saya janji, kalo suami saya pulang, segera tak lunasi, tapi tolong ... jangan diambil lagi barangnya!" Lagi Mbak Meri menghiba. "Mbak, kalo nggak punya duit, nggak usah sok sok an beli barang mahal!" cibir seorang diantara tamu diluar. "Kalian, lekas angkut barang itu! Waktu kita nggak banyak!" Terdengar suara memerintah. Nah, apa yang mau diangkut? Aku mengerutkan kening, masih menerka apa yang akan keluar dari rumah ini. Setengah nggak percaya kalau Mbak Meri p
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Masalah lagi

"Silahkan angkut sofa itu. Biar ku buat perhitungan sama orang yang udah nipu aku. Belum tau dia berhadapan dengan siapa!" Mbak Meri meradang. "Jaga emosimu, Mbak! Kau baru sembuh dari sakit. Jangan sampai kambuh lagi," ku ingatkan kakak iparku. Bukan sok perhatian sih, kalau dia sakit, aku juga orang pertama yang repot. Mbak Meri malah mendengus, "Puas kau melihatku susah!" bentak Mbak Meri. Lalu dia nyelonong masuk rumah. Aku geleng-geleng kepala. Hem, kira-kira siapa ya yang nipu Mbak Meri? Lumayan tuh, tiga kali angsuran sofa ditilep. Aku masuk rumah lagi. Ibu dan yang lain masih setia menunggu di ruang tivi, sementara Mbak Meri sibuk berkutat dengan hape androidnya. "Mbak, urusan kita gimana?" celetuk suamiku. "Matamu buta, Man? Nggak liat, baru aja sofaku disita? Ini malah nambahin masalah!" hardik Mbak Meri. Aku gemas, "Mbak, itu baru sofa yang disita, nah kalo sampai pihak bank yang datang nyita rumahmu ini, gimana?" tegasku. Mbak Meri membelalak, lalu ia mengacak ramb
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more

Mau tinggal dimana?

"Tio! Tio!" Saat kami sedang istirahat siang, Tio juga sedang makan, terdengar suara teriakan memanggil nama Tio. "Kayaknya itu suara ibu, Bulik," ucap Tio sambil memegang piring. Beruntung si kecil Rafa tak terusik tidur siangnya. "Kamu selsaikan makanmu, biar Bulik yang nemui ibumu!" Aku segera kedepan menemui Mbak Meri. "Tio! Tio!" teriak Mbak Meri lagi. Aku segera membuka pintu depan. Mbak Meri ini benar-benar nggak tahu sopan santun, siang siang teriak-teriak. "Mbak, bukan hutan ini! Salam bisa 'kan?" ceplosku kesal. "Halah, nggak usah ngajari aku! Mana Tio?" Mbak Meri mendelik. "Tio ada didalam. Lagi makan," sahutku ketus. "Ayo masuk," kubuka pintu lebar-lebar."Nggak sudi! Arum! Kamu jangan coba-coba nyuci otak Tio biar menjauh dariku. Ingat, dia itu anakku!" Mbak Meri membusungkan dada. "Aku tau, Mbak. Tapi, kasihan Tio, karena kurang perhatian, dia lari kesini," ucapku santuy. "Apa maksudmu?!" Mbak Meri menyentak. "Pikir sendiri, deh!" Malas sekali bertengkar denga
last updateLast Updated : 2024-10-29
Read more
PREV
1
...
678910
...
14
DMCA.com Protection Status